Ada satu cerita menarik dalam usahaku memperkenalkan Hanif kepada aktivitas berenang. Sejak kecil ia tampak trauma menyentuh air ketika diajak ke pantai atau kolam renang. Padahal ketika usianya beberapa bulan dulu, ia suka bermain air di dalam kolam karet yang kami belikan. Aku sempat bertanya-tanya, apa gerangan yang membuatnya sedemikian takut, bahkan saat dikeramas pun sampai menjerit-jerit? Mengingat kembali perjalanan hidupnya, rasanya aku tahu kejadian apa yang membuatnya begitu. Jadi ketika usia Hanif 1 tahun 4 bulan, pada kunjungannya yang kedua ke pantai Pangandaran, mukanya sempat terciprat air ombak. Ia menangis tentu, tapi aku tak mengira kejadian itu membekas dalam memorinya menjadi sesuatu yang menakutkan.
Oktober 2009, terciprat ombak di Pangandaran |
Beberapa tahun setelah itu, ketika ia sudah masuk ke Playgroup dan TK, ada acara berenang rutin tiap bulan. Jangankan nyemplung, mendekat pinggiran kolam renang pun ia tak sudi. Beberapa kali aku ajak ke kolam renang saat weekend, reaksinya masih sama. Bahkan ketika Daffa, sepupunya, asyik berenang-renang pun Hanif tampak tak tertarik. Ini menjadi PR tersendiri buatku, mengingat aktivitas berenang adalah aktivitas olahraga favorit keluarga besar, dan skill berenang termasuk skill yang sunnah untuk diajarkan kepada anak. Selalu dan selalu, aku berusaha mengajaknya masuk ke kolam renang, meskipun penolakan demi penolakan terus keluar dari mulutnya.
Hingga hari itu tiba. Di penghujung Juni 2012, ketika kami sekeluarga pelesir ke Cirebon dan menginap di hotel yang ada kolam renangnya, Hanif mau duduk di pinggir kolam renang dan mulai bermain air. Hal itu jelas mencengangkan, dan bagi kami itu sudah merupakan prestasi luar biasa bagi Hanif dalam mengatasi rasa takutnya. Kami biarkan ia bermain air sampai bajunya basah, sambil tak lupa diberi apresiasi atas keberaniannya bersentuhan dengan air.
Hingga hari itu tiba. Di penghujung Juni 2012, ketika kami sekeluarga pelesir ke Cirebon dan menginap di hotel yang ada kolam renangnya, Hanif mau duduk di pinggir kolam renang dan mulai bermain air. Hal itu jelas mencengangkan, dan bagi kami itu sudah merupakan prestasi luar biasa bagi Hanif dalam mengatasi rasa takutnya. Kami biarkan ia bermain air sampai bajunya basah, sambil tak lupa diberi apresiasi atas keberaniannya bersentuhan dengan air.
Juni 2012, bermain air di kolam renang hotel |
Awal Oktober 2012, resmi sudah Hanif mau nyemplung ke kolam renang. Ia tertawa bangga sambil menunjukkan keberaniannya mencelupkan kepala ke dalam air. Masya Allah, betapa gembiranya hati ini. Meskipun demikian, ia masih ogah-ogahan untuk belajar berenang. Masih kebanyakan ngeles-nya hehehe. Akhirnya kami memutuskan, anak ini sebaiknya belajar berenang lewat les berenang saja. Mungkin ia bakal lebih disiplin bila diajari oleh guru beneran.
Oktober 2012, pertama kali berani nyemplung di kolam renang :) |
Akhirnya, sudah sebulan ini Hanif ikut les berenang bareng sepupunya. Latihan tiap Sabtu pagi di Rumah Sosis ini hampir selalu diselipi drama, entah menangis di awal karena ogah-ogahan nyemplung, atau menangis di tengah-tengah latihan karena disuruh mencelupkan kepala atau disuruh mencoba berenang tanpa pelampung (sambil dipegangi pelatih tentunya). Efeknya dilatih guru beneran, Hanif dilatih untuk disiplin dan berani. Adakalanya ia terpaksa diceburkan oleh pelatihnya hihihi.
Mei 2014, les berenang di Rumah Sosis |
Namanya latihan berenang seminggu sekali, anak-anak pula, maka kemajuan latihan bisa dibilang berjalan lambat. Hanif masih belajar gerakan kaki gaya dada, kalau dicoba berlatih gerakan kaki dan tangan sekaligus, ia akan berteriak-teriak heboh, karena itu artinya ia harus melepas pelampung yang didekapnya erat. Yaa ra popo wis, meskipun lambat, setidaknya ia mau konsisten berlatih tiap minggu. Mengingat kisah perjuangannya mengatasi trauma terhadap air, kemajuannya saat ini sudah menjadi prestasi tersendiri di hatiku. Bravo, Mas Hanif... tetap rajin berlatih yaa :)
No comments:
Post a Comment