Seperti yang aku tulis di tulisanku sebelumnya, aku menderita skoliosis thorakolumbal dengan angulus 14 derajat ke kiri. Disebut thorakolumbal karena areanya terdapat pada thoracic spine dan lumbar spine (baca keterangannya di sini). Informasi ini kudapat setelah membaca surat dari dokter spesialis radiologi yang menganalisa foto rontgen-ku.
Pada gambar di atas, sudut 14 derajat diukur dari ruas T11 sampai L3. Tapi kalau kulihat-lihat lagi, sebenarnya bentuk melengkungnya itu sudah dimulai dari ruas T9, terus memanjang sampai ruas L5 (huaaa, hiks hiks).
dr. F, dokter ortopedi yang memeriksaku pertama kali, bukan tipe dokter yang simpatik dan enak diajak diskusi atau konsultasi. Hanya melihat hasil rontgen selama satu detik, dia langsung memasukkan foto-foto itu kembali ke dalam amplopnya. Dia hanya menyarankanku untuk berenang dan meresepkan obat pereda nyeri punggung. Ketika kutanya apakah aku masih boleh senam aerobik, dia langsung melarang keras. Ketika aku bertanya lagi apakah aku perlu yoga, chiropractic atau adakah terapi lain yang bisa kulakukan, dia berkata bahwa semua itu tidak akan ada pengaruhnya.
Sambil terus melarang aku untuk senam aerobik, dia mengatakan beberapa kalimat seperti, “Senam nggak boleh karena ada loncatnya. Saya pernah jadi pelatih senam osteoporosis, jadi saya tahu.”, “Jangan angkat yang berat-berat.”, “Kamu mau saya bohongin dengan terapi macam-macam? Semua itu nggak akan ada pengaruhnya.”, “Chiropractic itu buat kaki, bukan buat kayak gini.”, “Emangnya kamu mau dioperasi? Operasi itu nggak enak.”, “Mau sakit apa mau sehat?”
Baru aku akan membuka mulut untuk bertanya lebih lanjut, pandangannya seolah berkata, “Mau nanya apa lagi?”. Cepat dia bilang, “No no no. Pokoknya berenang, berenang, berenang.”
Alih-alih mendapat kejelasan tentang skoliosis yang aku hadapi, aku malah mendapat serangan yang bertubi-tubi tentang tidak boleh melakukan ini-itu. FYI, selama lima tahun terakhir ini aku rutin melakukan senam aerobik 2-3 kali seminggu, sehingga kenyataan bahwa aku tidak boleh senam lagi cukup memukul kesadaranku. Bagaimana tidak sedih kalau hal itu sudah benar-benar menjadi bagian hidup? Tidak bermaksud lebay, tapi yes... it’s been a part of my life for years.
Gontai aku melangkah keluar dari ruangan dokter. Sambil menunggu resep di bagian farmasi, tanpa sadar air mata menitik. Shock karena membaca hasil rontgen lima hari sebelumnya bertambah dengan shock hari itu karena pernyataan dokter yang—menurutku—keras.
Shock ini lebih kepada kesadaran tentang: ya Allah, ternyata aku cacat. Aku tidak bisa berbuat ini-itu akibat kelainan tulang belakang ini. Tapi untungnya shock ini cuma bertahan beberapa hari. Aku bertekad: oke, kalau memang aku ditakdirkan dengan kelainan ini, lalu apa yang bisa kuperbuat?
Pada kelas senam aerobik hari berikutnya, sambil melaraskan diri dengan irama yang berdentam, aku berpikir dengan hati basah: ya Allah, olahraga yang sedemikian menyenangkannya seperti ini... mengapa aku sampai tidak boleh melakukannya? Sore itu aku bertekad: aku akan mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang skoliosis, kalau perlu akan menuliskannya di blog untuk berbagi informasi bagi sebanyak-banyak orang yang mungkin bisa merasakan manfaatnya, serta akan mencari opini lanjutan dari sebanyak-banyak ahli tentang skoliosisku ini. Aku bertekad: I’ll do anything to keep moving. Bismillah...
No comments:
Post a Comment