Aku sering takjub bagaimana waktu bisa begitu mengubah hidup seseorang. Aku tak terlalu paham apa yang telah terjadi, tapi melihat beberapa respon dari teman-teman… tampaknya saat ini aku telah berubah menjadi seseorang yang skeptis dan sinis. Kesadaran ini datang dari “ketersinggungan” beberapa teman atas komentar-komentar yang aku lontarkan. Hmm, benarkah? Am I being skeptical and cynical?
Ada suatu masa dalam hidupku di mana segala sesuatu yang tampak dalam benak rancangan hidup adalah kehidupan yang serba idealis. Dari pemahamanku tentang peran utama seorang perempuan, waktu itu aku sangat berharap bisa menjadi stay-at-home mom. Atau kalaupun berkarir, bisa berkarir dari rumah. Nyatanya Allah menakdirkan lain.
Dalam hal pernikahan, terinspirasi dari romantisme masa kecil tentang negeri dongeng, hal yang terbayang adalah sebuah pernikahan yang happily ever after tanpa tetek bengek yang menyusahkan. Tak ada bayangan cerita soal princess yang kebingungan mencari dayang untuk mengasuh anak-anaknya karena ia harus bekerja sementara pangeran tinggal beda kota dan beda istana, atau princess yang tidak akur dengan mertua, atau princess yang bertengkar dengan pangeran, misalnya. Let me tell you, there is no such a fairytale.
Ketika hidup berbenturan dengan idealismeku, maka yang menang adalah hidup. Hidup mengajarkanku bahwa ia tak seindah bayangan. Ya ya ya, terdengar klise memang. Tapi sungguh, ketika akhirnya kita lulus kuliah, bekerja, dan menikah… maka itulah sebenar-benar hidup. Kita dihadapkan pada kerasnya kehidupan dunia. Tak ada lagi hal-hal yang serba ideal, serba manis… yang ada hanya sikap realistis bahwa hidup tak semulus dan seindah yang dibayangkan.
Mungkin dari pengalaman seperti itulah, aku jadi agak bersikap ajaib terhadap teman-teman yang masih hidup dalam idealisme mereka. Seakan ingin membangunkan mereka dari mimpi yang melenakan. Ingin berseru pada mereka, “Wake up! There is no such a fairytale…”
Aku tidak sirik. Apalagi iri. Karena aku yakin bahwa hidup punya takdirnya masing-masing—sesuatu yang wajib juga kita syukuri, karena takdir Allah pastilah yang terbaik. Aku hanya ingin mengingatkan mereka: ada banyak hal pahit dalam hidup ini. Bila hal pahit itu belum datang pada mereka, jangan terlampau senang. Karena tak mungkin Allah membiarkan hidup hamba-Nya mulus dan lempeng tanpa ujian.
Aku tahu, pencapaian yang sederhana berawal dari mimpi yang melangit. Aku tidak melarang orang bermimpi setinggi langit. Tapi kalau lantas hal itu membuat mereka tidak realistis, ya tidak sehat juga rasanya. Hanya ingin mengingatkan.
Hmm, mungkin itu ya yang membuatku menjadi (terlihat) begitu skeptis dan sinis memandang kehidupan?
Catatan:
Kisah lain tentang idealisme vs realitas ada di sini. Baca saja. Bagus untuk renungan.
Ada suatu masa dalam hidupku di mana segala sesuatu yang tampak dalam benak rancangan hidup adalah kehidupan yang serba idealis. Dari pemahamanku tentang peran utama seorang perempuan, waktu itu aku sangat berharap bisa menjadi stay-at-home mom. Atau kalaupun berkarir, bisa berkarir dari rumah. Nyatanya Allah menakdirkan lain.
Dalam hal pernikahan, terinspirasi dari romantisme masa kecil tentang negeri dongeng, hal yang terbayang adalah sebuah pernikahan yang happily ever after tanpa tetek bengek yang menyusahkan. Tak ada bayangan cerita soal princess yang kebingungan mencari dayang untuk mengasuh anak-anaknya karena ia harus bekerja sementara pangeran tinggal beda kota dan beda istana, atau princess yang tidak akur dengan mertua, atau princess yang bertengkar dengan pangeran, misalnya. Let me tell you, there is no such a fairytale.
Ketika hidup berbenturan dengan idealismeku, maka yang menang adalah hidup. Hidup mengajarkanku bahwa ia tak seindah bayangan. Ya ya ya, terdengar klise memang. Tapi sungguh, ketika akhirnya kita lulus kuliah, bekerja, dan menikah… maka itulah sebenar-benar hidup. Kita dihadapkan pada kerasnya kehidupan dunia. Tak ada lagi hal-hal yang serba ideal, serba manis… yang ada hanya sikap realistis bahwa hidup tak semulus dan seindah yang dibayangkan.
Mungkin dari pengalaman seperti itulah, aku jadi agak bersikap ajaib terhadap teman-teman yang masih hidup dalam idealisme mereka. Seakan ingin membangunkan mereka dari mimpi yang melenakan. Ingin berseru pada mereka, “Wake up! There is no such a fairytale…”
Aku tidak sirik. Apalagi iri. Karena aku yakin bahwa hidup punya takdirnya masing-masing—sesuatu yang wajib juga kita syukuri, karena takdir Allah pastilah yang terbaik. Aku hanya ingin mengingatkan mereka: ada banyak hal pahit dalam hidup ini. Bila hal pahit itu belum datang pada mereka, jangan terlampau senang. Karena tak mungkin Allah membiarkan hidup hamba-Nya mulus dan lempeng tanpa ujian.
Aku tahu, pencapaian yang sederhana berawal dari mimpi yang melangit. Aku tidak melarang orang bermimpi setinggi langit. Tapi kalau lantas hal itu membuat mereka tidak realistis, ya tidak sehat juga rasanya. Hanya ingin mengingatkan.
Hmm, mungkin itu ya yang membuatku menjadi (terlihat) begitu skeptis dan sinis memandang kehidupan?
Catatan:
Kisah lain tentang idealisme vs realitas ada di sini. Baca saja. Bagus untuk renungan.