Thursday, October 09, 2008

ASI Eksklusif


Di usia Hanif yang ke-3 bulan, aku terpaksa mengambil keputusan sulit: memberinya tambahan susu formula—di samping ASI tentunya. Hanif sudah bertambah besar saja, minumnya kuat. ASI perah yang selama ini memenuhi kebutuhannya kini makin terasa kurang saja. Dia makin sering merengek-rengek haus, seperti tidak pernah cukup.

Waktu itu berat badannya hampir 6 kg. Menurut dokter, kecukupan susunya dilihat dari berat ini, yaitu 100 mL untuk tiap kg. Berarti sehari minimal dia harus minum 600 mL. Ini minimal. Yah, secara kasar, angka minimal ini hanya cukup untuk hidup dan bernafas. Untuk optimalisasi tumbuh kembangnya, angka minimal ini harus ditambah. Untuk berat badannya yang segitu, paling bagus dia minum 800-900 mL sehari.

Aku tidak mau ambil resiko Hanif kurang minum. Nanti kecukupan gizi dan optimalisasi tumbuh kembangnya bagaimana? Karena ASI-ku juga makin berkurang, jadilah aku ambil keputusan sulit itu. Mengapa sulit? Karena dari awal, aku ingin Hanif menjalani program ASI eksklusif selama 6 bulan. Dengan adanya kejadian ini, berarti program ASI eksklusif-ku gagal :(

Mengenai pentingnya program ASI eksklusif selama 6 bulan, rasanya tidak perlu kuceritakan di sini. Banyak situs di internet yang menerangkan hal ini. Yah, pada intinya, aku sempat merasa sedih dan gagal menjadi ibu karena program ini gagal. Ada rasa malu ketika orang lain tahu bahwa ASI-ku hanya sedikit atau kadang tidak keluar saat Hanif berdecap-decap menyedotnya.

Berusaha menjadi positif, itu yang sekarang ingin kulakukan. Pernah ada SMS dari Mbak Liyan yang masuk ke inbox-ku, ”Gagal ASI eksklusif bukan akhir dari segalanya. Gagal ASI eksklusif bukan berarti kita gagal menjadi ibu. Berhasil ASI eksklusif juga belum menjamin kita bisa jadi ibu yang baik. Jalan kita untuk menjadi ibu masih panjang, Yus. Tetap semangat ya!”

I know, I know. Mungkin aku yang terlalu sedih—seperti biasa. Tapi aku yakin, semua usaha sudah kulakukan: minum susu, minum jamu, makan daun katuk, makan sayur dan buah, dsb. Jadi kalau ASI-ku berkurang, mungkin memang demikianlah Allah menentukan. Yang penting aku sudah berikhtiar. Dan... oh come on, baik buruknya menjadi ibu tidak bisa diukur dari pemberian ASI semata.

Dan setelah aku search di situs We R Mommies, ada artikel yang pas sekali. Berikut kutipannya.

Saat Tidak Bisa Memberi ASI

Pengirim: Retmawati
Selasa, 23 Januari 2007

Seorang teman curhat kepada saya. Dia merasa sangat malu untuk bertemu dengan teman-teman, apalagi untuk kopdar dengan teman milis yang sebagian besar adalah Mom. Mengapa? Karena dia tidak bisa memberi ASI untuk anaknya. Efeknya sampai sejauh itu?

Di tengah kampanye pemberian ASI eksklusif, di tengah maraknya diksusi ASI di milis-milis, di tengah banyaknya cerita tentang ibu yang bisa memberi ASI selama 6 bulan (bahkan sampai 2 tahun), ibu-ibu seperti teman saya (dan juga saya yang hanya bisa memberi ASI selama 3 bulan), merasa agak "tersingkir".

Moms, berbanggalah diri Anda yang bisa memberi ASI eksklusif ke buah hati. Tidak sedikit moms lain yang tidak bisa memberikan minuman terbaik itu ke anaknya. Bukan karena malas tentu saja. Bukan juga karena dia ingin tubuhnya tetap bagus. Tapi karena sesuatu sebab (sakit sehingga harus menghentikan pemberian ASI karena mengonsumsi obat; puting tidak keluar; atau sebab lain).

Berbagai cara, upaya, dan semua saran telah diikuti. Tapi apa daya, air susu tiba-tiba berhenti. Dampaknya ternyata tidak bisa dianggap enteng, terutama untuk moms yang sejak tahu dirinya hamil telah bertekad akan memberikan ASI. Shock... itu pertama-pertama yang terjadi. Sedih, menangis, kecewa, atau bahkan depresi. Dan terakhir... saat ditanya oleh orang lain, "Anaknya masih ASI kan?" Merasa bahwa diri adalah ibu paling buruk sedunia. Akibatnya bertemu dengan sesama ibu maupun teman (yang seringnya menanyakan hal itu), menjadi sesuatu yang "menakutkan". Paling tidak itu yang teman saya alami (dan tentu saja pernah saya alami).

Jangan Menyalahkan Diri

Minum jamu yang pahit, makan daun katuk dan memompa susu setiap hari, melakukan pijat, telah dilakukan. Tapi karena sesuatu hal, ternyata ASI tidak banyak keluar dan akhirnya berhenti. Apa yang salah? Tidak ada.

Jangan pernah menyalahkan diri sendiri karena hal itu. Toh kita telah berusaha semampu kita (kecuali ada yang enggak berusaha ya). Moms, yakinlah bahwa anak kita suatu saat akan memahami bahwa kita telah melakukan berbagai cara untuk memberinya ASI. Jangan pernah beranggapan bahwa tanpa memberi ASI dunia serasa runtuh.

Jadi jika ada seseorang bertanya, "Anaknya masih ASI kan?" Jawab saja apa adanya. Ceritakan apa yang telah mom lakukan untuk mendapatkannya. Mungkin tidak semua orang bisa menerima. Tapi pikirkan satu hal: saya telah berusaha melakukan yang terbaik.

Bukan Hanya ASI

Tidak bisa memberi ASI bukan suatu aib yang harus ditutup-tutupi. Berpikirlah positif. Masih banyak hal lain yang bisa dilakukan. Misalnya, karena tidak bisa memberi ASI, maksimalkan hubungan dan cara mengasuh anak: meluangkan waktu setiap weekend untuk anak (memandikan, menyuapi, bermain bersama, membacakan cerita, mengajak jalan-jalan keliling kompleks, mengajari naik sepeda, dan lain-lain). "Good parenting is more than breastfeeding," ujar Jan Barger, seorang konsultan laktasi.

Bisa tidaknya memberi ASI bukan patokan apakah dia ibu yang baik atau buruk. Bisa memberi ASI, namun kemudian mengabaikan anak tanpa membimbingnya, jauh lebih buruk. Memang paling bagus bisa memberi ASI dan memberi banyak perhatian ke buah hati. Tapi saat hal itu terjadi, saat ASI tidak bisa keluar dan segala daya telah dilakukan, tegarlah! Duniamu belum berakhir.

Alhamdulillah ASI-ku masih ada, jadi Hanif masih bisa minum ASI sampai dua tahun—insya Allah—meski disambung dengan susu formula. Semoga ASI-ku tidak berhenti sama sekali. Makin kuat tekad dan langkah ini, untuk berproses menjadi bunda terbaik. Insya Allah, insya Allah.

3 comments:

  1. Kasus hampir sama terjadi pada istriku hanya 3 bulan ASInya keluar setelah tidak bisa keluar sama sekali, tapi lucunya yg rada stress dan sempat kecewa malah aku :D Sampe-sampe waktu itu sempat beliin daun katuk banyak-banyak dan susu untuk ibu menyusui segala merek dicoba, toh ndak berhasil. Alhamdulillah anak tumbuh sehat dan cerdas :)

    ReplyDelete
  2. Soal ASI emg rada pelik. tapi membaca ttg kecukupan ASI 100ml/kg berat tubuh, rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Anak saya seumuran hanif & harus ditinggal bekerja bundanya pada umur 2 bulan.

    Pertama2, saat meninggalkan si kecil, saya berkonsultasi dg DSA (dokter spe. anak). anjuran DSA tsb sih sama seperti yang dianjurkan DSA hanif. tapi saya cari second opinion. dan second opinion ini sedikit berbeda. beliau bilang, kecukupan asi bukan diliat dari ukuran itu saja. tapi diliat dari si anak. berapa banyak yang dia mau dan bisa dia habiskan.akhirnya, saya beranikan ikuti second opinion ini.
    sempat terbersit apakah asi saya bakal cukup, karena dalam sehari (karena kesibukan di tempat kerja) saya hanya bisa bawa 200-500ml (padahal berat badan anak saya sudah mencapai 6.5kg), ditambah pula, pada waktu pertama2 kali memerah, paling banyak hanya menghasilkan 20ml, keluarnya hanya netes2, nggak deres dan beribu kegundahan lain ...(sedih banget pas ngalami itu,apalagi kalo memikirkan ucapan DSA pertama ttg batas minimal kebutuhan asi).jadinya, walopun hanya bisa ngumpulin 10-20ml, saya terus memerah (nggak hanya siang, tapi juga malam).Selain itu, saya banyak kumpulin artikel2yang mendukung. di artikel2 itu dibilang bahwa, pengeluaran asi terutama tergantung pede, stress, baru faktor bahan bakar alias makan. berdasar itu, saya stop makan daun katuk banyak2 (tidak melulu daun katuk maksudnya) juga jamu2an.

    Konsul berikutnya saya ungkapkan kegundahan saya soal asi yang sedikit itu. DSA pertama sedikit mengarahkan untuk memberikan food supplement alias susu formula. tapi DSA kedua lagi2 membesarkan & bilang, bahwa asi mengikuti prinsip demand & supply. makin banyak dia diminta, makin banyak berproduksi. Akhirnya, saya putuskan untuk makin mempersering frekuensi menyusui, meningkatkan pede. Frekuensi menyusui saya mulai pagi sebelum berangkat kerja, saat istirahat siang, dan segera setelah pulang kerja (oia, untuk itu saya harus keluar ongkos ekstra untuk naik ojek 80rb/hari pp, untuk mengejar minimalisasi waktu meninggalkan si kecil), malam hari, tengah malam, bahkan dini hari (tentunya dg mempertimbangkan kemauan bayi juga).

    oia, pada hari2 pertama meninggalkan rumah, saya sempat stress, suami dinas ke luar kota berbulan2, rotasi kerja, mengurus usaha kos2an suami dan seabrek2 masalah lain. yang paling parah adalah saya sempat berbeda sudut pandang dg mertua dan ortu soal pemberian ASI. sesuai nasihat DSA, saya memberikan ASI menggunakan sendok, bukan dot. argumen saya sih (yg didukung ama DSA-nya), supaya anak tidak bingung puting dan mantap menyusu pada ibunya yang ujung2nya supaya asi saya terpacu makin banyak...tapi mertua & ortu yang ngliat itu, sangat menentang...alasannya banyak deh. jadi saya merasa tidak mendapat dukungan (apalagi saat itu, suami tugas di pedalaman kalimantan dimana sinyal hp jarang ada).

    Stress itu sangat berpengaruh pada produksi ASI. jadi saya putuskan untuk nggak terlalu mikirin hal2 yang kira2 bikin stress. cuek aja lah...dan fokus dulu pada anak (yang lain urusan belakangan).

    karena menggunakan sendok, asupan asi ke si kecil hanya 200-300 ml/hari. jiper juga tau hal itu. secara, anak temen2 yang lain minim 500ml, malah ada yang 800-900ml....karena itu, sepulang kerja, si kecil saya persering frekuensinya buat nenen ke bundanya. termasuk, malam hari, saya bela2in sering bangun buat ngebangunin n nenenin si kecil.

    Setelah 3bln, baru saya perkenalkan dot. itupun sempat ditolak ama dia. baru setelah 1 mgu dia mau. setelah menggunakan dot, volume konsumsi asinya bertambah rata2 300-400 ml, sampe dia berumur 4 bulan. konsekuensinya, selama saya dirumah, frekuensi nenen saya persering (dg mempertimbangkan mood dia tentunya).

    Sempat ada kekhawatiran, kalo2 dg asupan asi sedemikian, kebutuhan gizinya kurang...

    Tapi, alhamdulillah, kekuatiran itu tak terjadi. berat badan si kecil tetap menunjukkan grafik yang terus meningkat. saat 5 bulan, berat badannya sekitar 7.6kg. tumbuh kembangnya juga cukup baik. umur 3 bulan, dia sudah bisa tengkurap dan balik sendiri....dan saat 5 bulan ini, celotehannya juga banyak dan lebih bermakna (misalnya bububu).

    In light of it, bukannya menggurui atau apapun, saya agak sedih juga membaca tulisan mbak. Meskipun demikian, saya setuju bahwasannya kasih sayang seorang ibu bukan hanya diliat dari kemampuan ibu memberi asi eksklusif, but beyond of it.

    Salam hangat buat bunda hanif & hanif.

    ReplyDelete
  3. to Anonymous:

    Aduh, terima kasih sekali, Jeng. Tulisan Anda membuat saya makin bersemangat untuk memerah ASI.

    Frekuensi menyusui saya juga sama seperti Anda: mulai pagi sebelum berangkat kerja, saat istirahat siang, dan segera setelah pulang kerja, malam hari, tengah malam, bahkan dini hari. Persis sama. Tapi ya begitulah, ASI saya tetap makin sedikit/berkurang.

    Padahal Hanif-nya makin keras nangisnya, dia makin merasa kurang minumnya.

    Okelah, mulai sekarang saya akan coba fokus pada pemberian ASI ini. Terus terang ada cukup banyak hal yang mungkin mengganggu dan bikin stres. Try not to think about it though.

    Wah, Anda saja bisa sedih baca tulisan saya, apalagi saya.

    ReplyDelete