Tempo hari waktu pulang ke Solo, aku merasakan lagi kesulitan dalam mobilitas. Sudah menjadi kebiasaan --sejak motor kesayangan dibawa ke Bandung-- aku betul-betul menjadi anak rumahan karena malas ke mana-mana naik angkutan umum.
Alasan pertama. Rumahku di Solo terletak di dalam kawasan perumahan yang memerlukan effort lebih untuk sampai ke jalan raya. Belum lagi kalau harus pergi di siang hari. Jalan jauh dan harus tahan berpanas-panas, demi mencegat bus kota atau angkot. Alasan kedua. Solo masih terbilang kota kecil yang tidak terlalu padat. Transportasi umum warganya kebanyakan kendaraan pribadi, entah itu mobil, motor, atau sepeda. Jumlah bus kota dan angkot tidak sebanyak jumlah angkutan serupa di Bandung, membuat orang Solo harus menanti lama bila ingin naik salah satu di antaranya. Jika mencari angkutan umum yang cukup banyak berseliweran, becak bisa menjadi pilihan meskipun lebih mahal.
Dua alasan di atas, ditambah rasa sayang menghabiskan uang untuk angkutan umum, membuatku mengeluarkan kembali sepeda lamaku. Sepeda itu dulu dengan setia mengantarku ke mana-mana --sejak kelas 4 SD sampai 3 SMP-- sebelum akhirnya tergantikan oleh motorku. Mengabaikan stang yang miring, rem yang tidak makan, dan karat di sana-sini, secara keseluruhan kondisinya masih bagus. Jadilah aku bersepeda ke mana-mana.
Mengayuh pedal sepeda sambil menikmati suasana ternyata menyenangkan juga. Sudah lama aku tak merasakannya. Aku bersepeda mengelilingi kampung menuju rumah teman. Aku bersepeda menyusuri persawahan membentang menuju rumah sepupu (Seberapa sering kalian menyaksikan ayam, bebek, dan itik berkejaran dengan anak-anak mereka sambil mematuk-matuk makanan? Seberapa sering kalian menikmati gemericik air persawahan? Seberapa sering kalian merasakan angin senja membelai jilbab dipigurai kemerahan matahari terbenam?). Dalam perjalanan ke stasiun untuk memesan tiket pulang ke Bandung, aku bersepeda melewati rute yang dulu biasa kulewati kala pergi-pulang sekolah. Melewati jalanan yang sama, bangunan-bangunan yang sama, sambil menyadari perubahan-perubahan yang telah dibuat oleh sang waktu sepuluh tahun belakangan ini.
Fiuuuhhh... Entah mengapa, jenak-jenak nostalgia selalu terasa eksotis. Membuatku tenggelam dalam kenangan. Membuatku merindukan romantisme masa lalu. Kulit yang menjadi lebih hitam (akibat berpanas-panas) dan keriut otot kaki (karena sudah lama tidak bersepeda), tiba-tiba tak penting lagi. Tentu tak sebanding dengan kenikmatan berduaan bersama sepeda lamaku.
Alasan pertama. Rumahku di Solo terletak di dalam kawasan perumahan yang memerlukan effort lebih untuk sampai ke jalan raya. Belum lagi kalau harus pergi di siang hari. Jalan jauh dan harus tahan berpanas-panas, demi mencegat bus kota atau angkot. Alasan kedua. Solo masih terbilang kota kecil yang tidak terlalu padat. Transportasi umum warganya kebanyakan kendaraan pribadi, entah itu mobil, motor, atau sepeda. Jumlah bus kota dan angkot tidak sebanyak jumlah angkutan serupa di Bandung, membuat orang Solo harus menanti lama bila ingin naik salah satu di antaranya. Jika mencari angkutan umum yang cukup banyak berseliweran, becak bisa menjadi pilihan meskipun lebih mahal.
Dua alasan di atas, ditambah rasa sayang menghabiskan uang untuk angkutan umum, membuatku mengeluarkan kembali sepeda lamaku. Sepeda itu dulu dengan setia mengantarku ke mana-mana --sejak kelas 4 SD sampai 3 SMP-- sebelum akhirnya tergantikan oleh motorku. Mengabaikan stang yang miring, rem yang tidak makan, dan karat di sana-sini, secara keseluruhan kondisinya masih bagus. Jadilah aku bersepeda ke mana-mana.
Mengayuh pedal sepeda sambil menikmati suasana ternyata menyenangkan juga. Sudah lama aku tak merasakannya. Aku bersepeda mengelilingi kampung menuju rumah teman. Aku bersepeda menyusuri persawahan membentang menuju rumah sepupu (Seberapa sering kalian menyaksikan ayam, bebek, dan itik berkejaran dengan anak-anak mereka sambil mematuk-matuk makanan? Seberapa sering kalian menikmati gemericik air persawahan? Seberapa sering kalian merasakan angin senja membelai jilbab dipigurai kemerahan matahari terbenam?). Dalam perjalanan ke stasiun untuk memesan tiket pulang ke Bandung, aku bersepeda melewati rute yang dulu biasa kulewati kala pergi-pulang sekolah. Melewati jalanan yang sama, bangunan-bangunan yang sama, sambil menyadari perubahan-perubahan yang telah dibuat oleh sang waktu sepuluh tahun belakangan ini.
Fiuuuhhh... Entah mengapa, jenak-jenak nostalgia selalu terasa eksotis. Membuatku tenggelam dalam kenangan. Membuatku merindukan romantisme masa lalu. Kulit yang menjadi lebih hitam (akibat berpanas-panas) dan keriut otot kaki (karena sudah lama tidak bersepeda), tiba-tiba tak penting lagi. Tentu tak sebanding dengan kenikmatan berduaan bersama sepeda lamaku.
No comments:
Post a Comment