Perasaanku adalah sesuatu yang rumit. Jangankan kau, akupun kadang tak memahaminya. Aku sudah pernah bilang padamu tentang bagaimana aku terlalu membutuhkanmu. Ya, kupikir itu benar. Sampai detik ini rasa ketergantungan itu semakin menjadi.
Kau ingat ketika kita beradu pendapat di malam tahun baru itu? Oh ya, masih terbayang jelas ekspresi kesal di wajahmu mendengar kata-kata kerasku. Maafkan aku. Sesungguhnya aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku juga masih ingat saat aku kesal bukan main karena tidak mendengar kabar apapun darimu. Saat itu kau sedang berada di seberang lautan: ratusan kilometer berselisih jarak dan enam puluh menit berselisih waktu denganku. Kau sibuk luar biasa, dan aku tak mampu mengerti. Maka buncahan rindu dan serpihan kekhawatiran meletup menjadi amarah kala kau jua tak mengerti: how dying I was to hear something from you.
Ah, aku tahu. Sesuatu itu bernama ego. Ia berdiri di antara kita saat kita tak saling mengerti. Ia berdiri di antara kita saat kita saling menyakiti. Ego kita masing-masing saling berteriak sehingga kita tak mendengar hati kita bicara. Aku tak bisa mendengar hatimu, dan kau tak bisa mendengar hatiku.
Indah rasanya kala ego kita mampu berkompromi. Tidak, aku tak menganggapnya sebagai suatu kemunduran atau suatu kekalahan. Anggap saja itu harga yang pantas dibayar agar kita saling memahami satu sama lain. Aku bahagia kita telah melewatinya, meski aku tahu fase ini tak berhenti sampai di sini. Ia akan berlangsung terus sepanjang hidup kita.
Waktu kau harus pergi lagi ke seberang lautan dan tak juga memberi kabar, aku tak lagi marah-marah. Meski aku kembali dirundung kekhawatiran dan banjir air mata, alih-alih menumpahkan kekesalan padamu, aku mengirimkan doa untukmu agar kau baik-baik saja. Dan kau berterima kasih untuk sepenuh cinta yang kuberikan. Betapa indahnya.
Aku sedang belajar mengenali diri dan perasaanku, mengendalikan sekeping egoku. Terima kasih buatmu, yang membantuku melakukannya.
Kau ingat ketika kita beradu pendapat di malam tahun baru itu? Oh ya, masih terbayang jelas ekspresi kesal di wajahmu mendengar kata-kata kerasku. Maafkan aku. Sesungguhnya aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku juga masih ingat saat aku kesal bukan main karena tidak mendengar kabar apapun darimu. Saat itu kau sedang berada di seberang lautan: ratusan kilometer berselisih jarak dan enam puluh menit berselisih waktu denganku. Kau sibuk luar biasa, dan aku tak mampu mengerti. Maka buncahan rindu dan serpihan kekhawatiran meletup menjadi amarah kala kau jua tak mengerti: how dying I was to hear something from you.
Ah, aku tahu. Sesuatu itu bernama ego. Ia berdiri di antara kita saat kita tak saling mengerti. Ia berdiri di antara kita saat kita saling menyakiti. Ego kita masing-masing saling berteriak sehingga kita tak mendengar hati kita bicara. Aku tak bisa mendengar hatimu, dan kau tak bisa mendengar hatiku.
Indah rasanya kala ego kita mampu berkompromi. Tidak, aku tak menganggapnya sebagai suatu kemunduran atau suatu kekalahan. Anggap saja itu harga yang pantas dibayar agar kita saling memahami satu sama lain. Aku bahagia kita telah melewatinya, meski aku tahu fase ini tak berhenti sampai di sini. Ia akan berlangsung terus sepanjang hidup kita.
Waktu kau harus pergi lagi ke seberang lautan dan tak juga memberi kabar, aku tak lagi marah-marah. Meski aku kembali dirundung kekhawatiran dan banjir air mata, alih-alih menumpahkan kekesalan padamu, aku mengirimkan doa untukmu agar kau baik-baik saja. Dan kau berterima kasih untuk sepenuh cinta yang kuberikan. Betapa indahnya.
Aku sedang belajar mengenali diri dan perasaanku, mengendalikan sekeping egoku. Terima kasih buatmu, yang membantuku melakukannya.
No comments:
Post a Comment