Saturday, October 25, 2025

Dear John: Sebuah Adaptasi Tentang Cinta, Kerinduan, dan Kehilangan

Poster film diambil dari sini

Apa yang kamu lakukan ketika gadis yang kamu cintai, yang berjanji akan menunggumu pulang dari dinas ketentaraan, ternyata pada akhirnya memutuskan hubungan kalian dan menikah dengan lelaki lain?

Begitulah kondisi sulit yang dihadapi John Tyree, seorang prajurit US Armed Forces setelah memenuhi panggilan negaranya dalam perang di Timur Tengah, yang dikisahkan oleh Nicholas Sparks dalam novelnya “Dear John”.

“Dear John” menceritakan kisah hidup John yang pada masa awal kehidupannya hanya tinggal berdua dengan ayahnya, seorang pengidap Sindrom Asperger. Hal itu sedikit banyak mempengaruhi relasi mereka. John tahu ada yang berbeda dengan ayahnya, tetapi ia tak pernah memahami hal itu.

Perjalanan hidupnya yang rumit membuatnya mendaftar masuk ke US Armed Forces, dan pada suatu masa cuti dari ketentaraan ketika ia pulang ke rumah, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Savannah. Dari situlah kisah kemudian berkembang. Savannah mengajarkan John bagaimana memperbaiki hubungan dengan ayahnya, mengajarkannya tentang cinta, patah hati, dan kebahagiaan sejati.

Novel “Dear John” ditulis pada tahun 2006 dan diangkat ke layar lebar pada tahun 2010. Selisih tahun adaptasinya tidak terpaut jauh sehingga bisa dibilang: tidak ada konteks zaman yang berbeda. Meskipun demikian, tentu ada hal-hal menarik yang bisa dikaji dalam proses kreatif adaptasinya. Apakah memang sesuai ekspektasi pembaca novel dan penikmat film? Apakah ada alur, kisah, dan rasa yang berubah?

Dari Segi Penulisan Novel

Sparks berusaha membangun konflik dengan cara seorisinal mungkin tentang alasan mengapa dua orang yang saling mencintai tidak dapat bersatu selamanya. Konflik dalam kisah John dan Savannah ini diaduk-aduk sedemikian rupa sehingga tetap terasa nyata dan tidak mengada-ada. Jadi meskipun ringan dibaca, konfliknya tetap matang.

Novel yang berjumlah 392 halaman ini banyak menggambarkan detail Wilmington, North Carolina sebagai latar. Bagi sebagian orang yang tidak terlalu suka narasi, beberapa bagian penceritaan kota itu mungkin terasa panjang. Namun bagiku, hal ini menunjukkan kepiawaian Sparks dalam menulis deskripsi dan menggambarkan suasana yang sangat membantu pembaca untuk membayangkan konteks cerita. Tidak hanya pada latar, tetapi juga pada bagian-bagian detail lainnya. Penggambaran selalu deskriptif mengenai apa pun dan tidak membosankan, meskipun selalu dilihat dari sudut pandang orang pertama.

Dalam hal penokohan, sungguh aku tak bisa berkata-kata lagi. Sparks selalu keren dalam menciptakan tokoh yang berkarakter. Sudut pandang orang pertama sering dipakai dalam novel, tetapi jarang ada novel romantis yang “aku”-nya adalah seorang laki-laki. John digambarkan sangat manusiawi: meskipun ia tentara–yang identik dengan sosok tangguh–ternyata ia memiliki perasaan yang halus. Ia bisa mellow bahkan menangis, juga clueless jika menyangkut hubungannya dengan Savannah.

Dari segi penggambaran emosi, perasaan John pun tersampaikan dengan baik seolah-olah ia benar-benar sedang curhat dengan pembaca. Hal ini tentu membuat pembaca ikut larut dalam cerita. Aku angkat topi untuk kemampuan Sparks menulis tentang emosi secara mendalam.

Dari sekian banyak novel Nicholas Sparks, “Dear John” ini yang paling baik menurutku. Alih bahasa yang dilakukan Barokah Ruziati bagus dan tanpa cela, tidak seperti salah satu novel Sparks lain yang alih bahasanya acakadut dan bikin geregetan.

Dalam situs pribadinya, Sparks menulis tentang buku ini, “In the end, I was proud of the novel. It is, in many ways, one of my favorites. It is also one that I think will resonate with readers long after the final page is turned.

Ya, dia benar! Aku menangis ketika membaca novel ini, terutama ketika bab-bab akhir. Aku masih ingat, air mata terus mengalir di wajahku. “Dear John” is also my favorite, and it resonated with me long after the final page was turned, even many years later.

Versi Film

Secara umum, kisah, penokohan, alur, serta latar pada film tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan novelnya. Ada beberapa detail yang berubah, seperti misalnya hubungan antarkarakter dan peringkasan cerita, tetapi rasanya hal itu masih dalam taraf wajar mengingat adanya keterbatasan ruang dan waktu dalam proses adaptasi dari novel menjadi film.

Film “Dear John” dibintangi oleh Channing Tatum sebagai John Tyree dan Amanda Seyfried sebagai Savannah Lynn Curtis. Gambaran tentang John dalam benakku cukup sesuai dengan sosok Channing Tatum. Namun, sosok Savannah sangat berbeda dengan imajinasiku, terutama karena Amanda Seyfried berambut pirang sementara dalam novelnya digambarkan memiliki rambut coklat yang indah. Meskipun demikian, menurutku akting Tatum dan Seyfried bisa dibilang mampu menghadirkan karakter yang mirip dengan karakter novel.

Dalam hal kesuksesan film, pada akhir pekan pembukaannya, film ini meraup $30.468.614. Hal tersebut membuat film ini menempati posisi pertama di box office, mengalahkan Avatar setelah tujuh minggu bertengger di posisi pertama. Hal itu juga berhasil menjadikan film ini sebagai debut terbaik untuk sebuah film yang diangkat dari novel Nicholas Sparks.

Namun, secara reviu, film ini menerima ulasan yang tidak terlalu bagus. Di Rotten Tomatoes, film ini memiliki skor rata-rata 4,50/10 berdasarkan 137 ulasan. Konsensus kritikus situs web tersebut berbunyi: “Built from many of the same ingredients as other Nicholas Sparks tearjerkers, Dear John suffers from its clichéd framework, as well as Lasse Hallstrom's curiously detached directing.” Metacritic, yang memberikan skor rata-rata 43/100 dari 34 ulasan kritikus film, memberikan nilai “mixed or average”.

Jika ada hal yang sangat menggangguku dari filmnya, itu adalah soal ending. Sparks yang dikenal sebagai spesialis penulis dengan ending tragis dalam novel-novelnya, sebenarnya lebih suka menyebut ending novel ini sebagai bittersweet, sebuah istilah halus untuk sad ending.

Pada ending novel, John akhirnya melepaskan Savannah dan berdamai dengan kenyataan bahwa mereka memang tidak dapat bersama karena Savannah telah menikah ketika John masih menjalani dinas ketentaraan. Tahun-tahun yang terpisah ketika mereka menjalani long distance relationship memperburuk keadaan dan membuat hambar hubungan mereka. Meskipun keduanya saling mencintai, hubungan mereka terpaksa harus kandas ketika hidup keduanya tidak lagi beririsan dan memiliki frekuensi yang sama.

Nah, dalam filmnya, sutradara dan penulis skenario agak maksa ketika mereka mengubah ujung cerita menjadi happy ending. Dikisahkan suami Savannah akhirnya meninggal akibat sakit kanker dan mereka berdua dapat kembali bersama. Ini agak krik krik menurutku, mengingat intensitas emosi penonton yang sudah dibuat termehek-mehek ketika mereka berpisah.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Adaptasi karya film yang diangkat dari buku–sadar atau tidak sadar–selalu membuat kita membandingkan: mana yang lebih baik, buku atau film? Sejauh ini, dari sekian banyak film adaptasi yang pernah kutonton, aku selalu memenangkan buku. Namun, kali ini aku harus mengakui bahwa novel maupun film “Dear John” sama-sama bagus. Proses adaptasinya tidak wow, tetapi juga tidak buruk. Filmnya berhasil mengejawantahkan kisah dalam novel dengan sangat manis. Sukses menjadi film bergenre drama seperti novelnya tanpa sisi dramatis yang berlebihan.

Meskipun demikian, perbedaan ending yang membuatku frustrasi memang harus diakui tampaknya sengaja dibuat untuk memanjakan pasar. Mungkin para penikmat film lebih menyukai happy ending daripada sad ending. Mana ada pemirsa yang rela berderai air mata ketika meninggalkan bioskop, hehehe. Pada akhirnya, perbedaan aspek lintas medium (terutama layar lebar) memang tidak bisa dilepaskan dari urusan pasar yang tunduk pada kapitalisme.

Sudut Pandang Personal

Kembali ke paragraf yang kutulis di awal tulisan ini: apa yang bakal kamu lakukan ketika kehilangan seseorang yang istimewa dalam hidupmu? Yang membuat kisah John menarik untukku adalah karena ia bercerita tentang proses melepaskan dan berdamai setelah kehilangan, yang mana pengalamannya pasti akan berbeda untuk setiap orang.

Ada orang yang berdamai setelah kehilangan dengan cara melupakan. Namun, ada yang justru dengan cara mengenang, seperti John. Dia mengenang segala yang pernah dia miliki bersama Savannah, karena cinta mereka memang (pernah) nyata. Dia mengikhlaskan Savannah demi kebahagiaannya, meskipun sejatinya dia tidak rela. Itu sebuah bentuk pengorbanan yang besar, kurasa.

Pulih bukan berarti sembuh. Pulih artinya tetap bisa melangkah dengan luka akibat kehilangan dan menyadari sepenuhnya bahwa yang kamu lakukan adalah sesuatu yang benar. Love sekebon buat John, the real gentleman yang membuatku bersimpati hingga tersedu-sedu ketika selesai membaca novelnya dua belas tahun silam.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober yang bertema “Menyelami Orisinalitas dalam Adaptasi Karya Lintas Medium”.

Wednesday, September 10, 2025

Kala Senja

Ilustrasi senja di ibu kota, diambil dari sini

Aku menatap ke luar jendela kaca selebar dinding yang membatasi pandanganku dengan langit Jakarta. Jauh di bawah sana, aku dapat melihat orang yang berjejalan di halte Transjakarta sedang menanti bus yang akan membawa mereka pulang ke rumah masing-masing. Sementara di ufuk barat, mentari tengah bersiap-siap menutup hari, pendar ronanya membias awan.

Sejak dulu aku memang pecinta senja. Selalu ada aura magis yang menyelimuti bumi ketika semburat merah petang menghiasi langit. Namun, inspirasi senja tak lagi dapat kureguk bebas sejak aku pindah ke ibu kota, mengingat setiap sore aku masih terkurung di ruang kerja.

Beberapa penghuni kantor di lantai delapan ini melambaikan tangan padaku dari balik kaca transparan. Meskipun aku tak dapat mendengar ucapan mereka, dari gerak bibir mereka aku paham bahwa mereka tengah berpamitan. Beberapa dari mereka akan segera bergabung dengan keriuhan halte di bawah, yang lain akan meramaikan jalanan ibu kota dengan mobil pribadi, ojol, atau taksol, sebagian larut dalam gegas untuk menumpangi commuter line.

Kehidupan ibu kota memang keras: tiap orang berkejaran dengan waktu mulai subuh hingga malam, mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kesehatan untuk mengejar mimpi dan pundi-pundi rezeki. Mungkin hal itu jugalah yang menjadi alasan keberadaanku di sini.

“Belum pulang, Kak?” Sebuah suara yang diikuti dengan paras jelita muncul dari balik pintu. Rara, mahasiswi yang sedang magang di kantor ini, menatapku dengan pandangan bertanya. Di tangannya ada setumpuk berkas, raut wajahnya memancarkan kelelahan.

“Dokumen yang harus kuperiksa?” Aku mengedikkan kepala ke arah berkas-berkas itu. Dia mengangguk sambil tersenyum, kemudian berjalan menuju sudut meja. Dia sudah hafal di mana dia harus meletakkan benda-benda.

“Ra, jangan capek-capek ya. Sudah magrib, pulang sana.” Aku memandang gadis itu. Meskipun letih, semangat masih jelas tergambar di wajahnya. Sama seperti yang banyak kutemui ketika aku melangkahkan kaki di bilangan Sudirman ini, kompleks perkantoran bergengsi yang menjadi tempat kerja impian banyak anak muda.

“Kak, tadi aku ketemu Pak Evan. Beliau titip pesan, kalau pekerjaan sudah selesai, katanya Kakak disuruh menghubungi beliau,” kata Rara sebelum menghilang dari balik pintu. Aku mengangguk, lalu kembali menekuri layar laptop. Namun sejujurnya, pikiranku sudah melayang ke mana-mana.

“Selamat pagi, perkenalkan nama saya Adrian Evano. Panggil Evan saja, ya,” begitu kalimat yang diucapkannya ketika kami pertama kali bertemu.

“Azalea Pratista, dipanggil Lea,” balasku berusaha sopan.

Sebagai penghuni baru di kantor ini, cukup sulit bagiku untuk langsung menghafalkan nama orang-orang yang kutemui, tetapi tidak dengan sosoknya. Perannya selaku manajer health, safety, and environment di perusahaan manufaktur tempatku bekerja cukup menonjol. Kepribadiannya ramah dan peduli, pekerjaannya selalu rapi, dan dia senantiasa tegas dan berwibawa dalam menjalankan tugasnya sebagai penyambung informasi perusahaan dengan pihak HSE di lokasi proyek maupun di unit lain.

Menurut kasak-kusuk Rara, tak sedikit perempuan di kantor ini yang menaruh hati pada Evan. Aku tentu tidak heran, mengingat ketampanannya memang berbanding lurus dengan prestasinya. Sebagian dari mereka sering mengajaknya makan siang atau sekadar nongkrong di kedai kopi, tetapi dia selalu menampik dengan alasan sibuk bekerja. Aku hanya bisa terkikik ketika Rara menceritakan itu semua. Kuanggap itu sebagai hiburan, karena memikirkan laki-laki adalah hal paling terakhir yang ada di pikiranku.

Bertahun-tahun aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Aku berusaha menyibukkan diri dengan beban kerja dan perjalanan dinas, membangun karier, serta berusaha mandiri untuk menghidupi diri, Ibu, dan adikku di Bandung sana. Malam demi malam yang dingin di Kota Kembang kulalui dengan mengambil lembur, berharap kesibukan kerja akan mampu mengusir sepi dan lara hati.

Enam tahun lalu, cintaku dihancurkan berkeping-keping oleh seorang lelaki. Senja kala itu, aku memergokinya tengah berjalan beriringan dengan seorang perempuan, lengkap dengan belaian mesra dan gandeng tangan yang erat. Peristiwa itu membuat pamor senja sedikit tercoreng di mataku.

Aku tak pernah menceritakannya pada Ibu. Yang beliau tahu, aku memutuskan pertunangan dan membatalkan rencana pernikahan secara tiba-tiba. Beliau tak perlu tahu betapa porak-porandanya hatiku, sama seperti ketika Bapak meninggalkan beliau bertahun-tahun silam.

Promosi menjadi manajer quality assurance di kantor pusat membawa perjalananku sampai ke Jakarta. Di satu sisi, aku merasa senang karena dapat membungkus luka yang tersisa dan kabur dari pertanyaan Ibu yang senantiasa menghujani tentang kapan aku akan mengakhiri masa lajang. Namun, di sisi lain aku juga pilu karena merindukan Ibu, adikku, dan kota kelahiran. Tinggal di Jakarta seringkali menggerus kewarasan. Aku merasa tidak punya waktu untuk sejenak melambat dan kadang hal itu membuatku merasa sedikit gila.

“Kamu tidak suka Jakarta?” tanya Evan pada suatu siang. Saat itu aku sedang berjongkok memeriksa ban mobil kantor yang tiba-tiba kempes dalam perjalanan kami menuju Karawang untuk mengecek site pendirian pabrik baru. Perjalanan itu adalah kesekian kali aku bekerja sama dengannya dalam satu tim.

Aku menoleh sekilas ke arahnya, sebelum berseru kepada sopir, “Pak, panggil bengkel saja, ya. Tampaknya ban mobil bocor.”

Evan mengulangi lagi pertanyaannya ketika kami duduk di bangku sebuah warung sembari menanti pihak bengkel datang. Aku memandangnya. “Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

“Entah. Kulihat kamu selalu tinggal di kantor sampai larut malam. Datang paling awal, pulang paling akhir. Nggak pernah ikut jalan sama teman-teman,” jawabnya.

Aku bertanya lagi, “Apa yang menarik dari sebuah kota yang panas, bising, berdebu, dan penuh polusi?”

Dia tertawa. Tangannya mengulurkan sebotol teh dingin. “Minumlah dulu, wajahmu merah karena kepanasan.”

Aku membuka botol dan meneguk secercah kesegaran. “Aku kangen Bandung,” kataku.

“Yah, setiap orang dihadapkan pada risiko dalam setiap langkah kehidupan. Tinggal di Bandung mungkin lebih nyaman, tapi karirmu akan begitu-begitu saja. Seperti halnya manajemen risiko keselamatan dan kesehatan kerja, semua potensi bahaya dan risiko dikalkulasi, lalu dimitigasi dan dikendalikan. Ada risiko yang masih bisa diterima. Nah, itu yang kita kendalikan dampaknya.”

Aku memandangnya sambil setengah tertawa. “Jadi kita sedang kuliah tentang manajemen risiko di tengah jalanan desa antah berantah?”

Evan terbahak hingga kelihatan susunan giginya yang rapi. “Bukan begitu. Maksudku, dalam hidup ini ada banyak hal yang berjalan tidak sesuai harapan. Itu yang disebut risiko kehidupan. Tapi di balik itu semua, tentu ada hikmah dari promosimu ke Jakarta. Karir naik, gaji juga mengikuti kan?”

“Beban kerja dan tanggung jawabnya juga tidak sedikit,” kilahku.

“Oh, itu jelas,” seru Evan, “tapi kamu juga bisa mencari hal-hal yang membahagiakan dari kehidupan Jakarta. Sebuah alasan di mana suatu hari nanti kamu akan merasa beruntung telah berada di sini.”

Aku hanya mengangkat bahu, belum sepenuhnya menyadari makna kalimatnya.

Proyek pendirian pabrik baru itu memakan sumber daya yang tidak sedikit. Pekan demi pekan kami habiskan untuk mengawasi perencanaan dan pelaksanaannya. Rapat-rapat berlangsung maraton hingga larut malam. Pada suatu akhir hari yang melelahkan, Evan mengajakku berjalan menyusuri Jalan Sudirman di waktu petang. Aku sendiri tak tahu pasti mengapa dengan mudah aku mengiyakan ajakannya.

“Kamu tahu kenapa aku suka Jakarta?” tanya Evan. Aku menggeleng.

Dia melanjutkan lagi, “Kota ini adalah simbol perjuangan dan perubahan. Dinamikanya memang keras, tapi somehow membuat orang-orang di dalamnya menjadi tangguh. Siapa yang tidak bergegas akan tergilas, itulah cara kehidupan mengajari kita akan makna kerja keras.”

Aku manggut-manggut. Setelah sekian lama aku tak merasakan keindahan senja, sore itu menjadi semacam muara bagiku untuk kembali menikmati kemolekannya. Jakarta yang ramai dan bising seakan memendar dalam cahaya jingga. Berkawan sepoinya angin, aku mengurai rindu. Bersama temaramnya sinar surya yang kembali ke peraduan, hatiku menunduk khusyuk dalam syahdu.

Aku menarik napas dalam dengan mata terpejam. “Sudah lama aku tak merasakan indahnya senja seperti ini.”

Ketika aku membuka mata, kudapati Evan tengah menatapku. Binar sandyakala memantul dari matanya. “Kamu suka senja?”

Aku mengangguk sambil berucap, “Pada senja aku menemukan damai. Membuatku berpikir positif, bahwa apa pun yang kulalui hari itu memiliki akhir yang indah sehingga rasa syukurlah yang kurasakan saat menutup hari. Sayangnya aku tak bisa sering-sering menikmati senja sekarang ini. Pekerjaanku tak pernah selesai sebelum magrib.”

Evan terdiam cukup lama. Sejurus kemudian dia berkata, “Oke, mulai besok, kalau pekerjaanmu belum selesai, kita bawa laptopmu ke rooftop. Kamu bisa rampungkan di sana sambil melihat senja. Ada bangku-bangku di ujung helipad yang bisa kita pakai duduk.” Aku terbelalak. Laki-laki ini sungguh penuh kejutan.

Sepanjang jalan kami mengobrol tentang banyak hal. Untuk pertama kalinya setelah enam tahun, aku tak lagi membenamkan diri dalam lubang tak berkesudahan. Kupikir kehidupan Jakarta yang berkejaran, ternyata hati dan pikiranku yang kelelahan. Malam itu, mata dan hatiku terbuka. Semuanya terlihat berbeda.

Pada para pekerja yang tengah menanti bus untuk pulang, aku melihat binar harapan karena sebentar lagi mereka akan bersua keluarga. Beberapa orang yang berlari melintas di area Senayan dan sekelompok orang yang bersorak-sorak di stadion softball mengajariku bahwa seberapapun kerasnya bekerja, kita tetap harus meluangkan waktu untuk self-care. Pada orang-orang yang berkumpul di kedai kopi atau tempat makan, aku memahami pentingnya membangun relasi dan kehangatan di dunia nyata.

Senja hampir saja berlalu ketika ketukan halus terdengar di pintu dan membuyarkan lamunanku. Kudongakkan kepala dan kulihat Evan sudah berdiri di sana dengan senyum yang memesona. “Rooftop?” tanyanya.

Aku tertawa sambil menggeleng. “Rasanya tak perlu, pekerjaanku sudah selesai.”

“Oke, kalau begitu … nasi goreng Jalan Sabang?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk dan membalas senyumnya. Setelah membereskan berkas-berkas yang tadi kuperiksa, aku mematikan laptop dan menyambut uluran tangan Evan. Tangan itulah yang menggenggam jemariku dengan hangat di atas jembatan Semanggi, ketika kami menikmati kerlap-kerlip lampu ibu kota pada suatu malam selepas menyusuri Jalan Sudirman. Aku menatap matanya lekat. Kurasa aku sudah menemukan alasan yang membuatku merasa beruntung telah berada di sini.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September yang bertema “ROMANTISME”.

Sunday, August 24, 2025

Latihan Kekuatan: Antara Mesin dan Alat Portabel

Ketika tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan ini mengambil tema tentang pembahasan teknologi dari sudut pandang apakah memerdekakan atau menjajah, aku sempat kebingungan akan menulis apa. Menurut KBBI, teknologi adalah (1) metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis; ilmu pengetahuan terapan, (2) keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.

Pertanyaan besar dari tantangan: apakah semua teknologi yang ada dalam keseharian kita selalu menjadi alat yang memerdekakan/membebaskan, atau kita pernah merasa terjajah/disulitkan setelah adanya teknologi tersebut?

Kebetulan minggu lalu aku habis mengikuti pelatihan Certified Fitness Instructor, di mana salah satu bahasannya adalah gerakan latihan kekuatan menggunakan mesin dan alat portabel. Ini tentu menarik, karena dibahas juga mana yang lebih efektif. Langsung terpantik ide untuk menulis soal ini. Apakah penggunaan (teknologi) mesin ini dalam dunia kebugaran lebih memerdekakan, atau justu lebih menjajah (dalam artian membuat kita lebih bergantung)?

Sebagai gambaran, mesin yang digunakan untuk latihan kekuatan biasanya berupa multi-stationery machine, plate loaded machine, selectorized machine, cable machine, atau cardio machine semacam treadmill, elliptical, bike, dan rower. Sementara alat portabel biasanya berupa barbell, plates, dumbbell, kettlebell, clubbell, medicine ball, wall ball, slam ball, swiss ball, sand bell, resistance band, battle rope, suspension training, steel mace, bosu, equalizer, dan stepper.

Fixed Motion

Penggunaan mesin dalam latihan kekuatan sering disebut sebagai fixed motion. Hal ini disebabkan karena pola geraknya sudah ditentukan dan bersifat monoton. Sebagian besar mesin untuk latihan kekuatan didesain untuk menyederhanakan teknik dan memudahkan kita dalam melatih otot secara spesifik–misalnya mesin yang dirancang untuk melatih otot dada, bahu, punggung, tangan, kaki, atau perut. Hal ini membuat pemula lebih cepat dalam mempelajari cara menggunakannya. 

Karena posisi, pola, arah pergerakan mesin sudah ditentukan, otot utama yang menjadi target dapat bekerja lebih optimal tanpa banyak mengaktivasi otot-otot pendukung yang berperan untuk menstabilkan gerakan. Dengan demikian, akumulasi tingkat kelelahan dalam melatih otot tertentu akan makin rendah dan kita akan lebih mudah mempertahankan kualitas gerakan selama set berlangsung.

Dalam konteks hipertrofi (latihan yang menarget peningkatan ukuran serat otot), stabilitas itu berperan penting supaya ketika melakukan gerakan sampai failure, yang terjadi adalah muscular failure, bukan technical failure. Nah, technical failure ini bisa diminimalkan dengan penggunaan mesin sebagai alat bantu untuk menstabilkan gerakan (contoh kasusnya dapat dilihat di sini).

Bagi kita yang yang menerapkan program split training berdasarkan kelompok otot, penggunaan mesin kerap menjadi pilihan karena memberikan kontrol yang lebih baik dalam melatih kelompok otot dengan beban yang berat, bahkan untuk gerakan compound–gerakan yang melibatkan banyak kelompok otot dan lebih dari satu persendian–sekalipun.

Free Motion

Latihan kekuatan menggunakan alat portabel yang mudah dibawa dan dipindahkan disebut free motion atau free weight. Penggunaan alat portabel memungkinkan pergerakan lebih bebas dalam melakukan exercise.

Gerakan dengan alat portabel lebih dinamis dan melibatkan otot pendukung, terutama otot inti (core), untuk menstabilkan pergerakan saat melatih otot utama yang menjadi target. Koordinasi tubuh menjadi lebih menantang dibandingkan dengan jika kita menggunakan mesin. Teknik dalam variasi gerakannya seringkali kompleks bagi pemula, sehingga diperlukan pembimbing untuk mempelajari gerakannya.

Mana yang Lebih Baik?

Penggunaan mesin dianggap lebih aman untuk latihan kekuatan karena pola gerakannya stabil dan mengurangi risiko kesalahan teknik. Di sisi lain, penggunaan alat portabel lebih unggul dalam meningkatkan koordinasi, aktivasi otot inti, dan kontrol motorik secara keseluruhan.

Dalam konteks apakah mesin–sebagai salah satu bentuk teknologi–memerdekakan atau menjajah? Jawabnya: tergantung, harus dilihat lagi konteksnya karena baik mesin maupun alat portabel memiliki plus minus masing-masing.

Bagi seseorang yang memiliki privilese untuk pergi ke gym dengan bebas, penggunaan mesin bisa jadi memerdekakan, karena ia dapat melatih gerakan dengan menyasar otot yang lebih spesifik. Dan karena ia tidak perlu memikirkan faktor-faktor lain untuk mendukung gerakan–seperti misalnya faktor tumpuan, exercise yang dilakukan bisa lebih stabil.

Namun, bagi emak-emak yang rempong dan susah keluar rumah, penggunaan home gym dengan alat portabel tentu lebih memerdekakan. Ia tak perlu bergantung pada penggunaan mesin karena bisa memanfaatkan alat portabel yang tentu lebih murah. Tekniknya memang lebih kompleks, tetapi ia juga bisa sekaligus belajar meningkatkan koordinasi gerakan.

Penting untuk dipahami bahwa otot tidak dapat membedakan apakah stimulus berasal dari mesin, alat portabel, atau beban tubuh sendiri. Selama teknik dan intensitasnya sesuai, masing-masing modalitas dapat memberikan hasil yang optimal.

Oleh karena itu, bagi seseorang yang sudah mulai rutin latihan kekuatan, sebaiknya ia menyeimbangkan penggunaan mesin dan alat portabel. Jangan terlalu sering menggunakan salah satu saja. Bagaimanapun juga, keduanya dibutuhkan untuk saling melengkapi dalam mencapai tujuan kebugaran kita.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus yang bertema “Teknologi: Memerdekakan atau Menjajah?”.

Friday, July 25, 2025

Pelari Kalcer: Antara Hobi, Olahraga, dan Fesyen

"Kalcer" adalah istilah gaul dalam bahasa Indonesia yang merupakan serapan dari kata "culture" dalam bahasa Inggris, yang berarti budaya. Dalam konteks anak muda, kalcer merujuk pada orang atau gaya hidup yang mengikuti tren dan perkembangan budaya populer, fesyen, musik, dan gaya hidup terkini.

Dalam dunia lari rekreasional, dikenal pula istilah pelari kalcer. Kadang yang dimaksud adalah orang yang saat ini terbawa arus jadi menggiati olahraga lari karena sedang hype alias ikut-ikutan tren–meskipun hal itu sebenarnya nggak apa-apa juga–atau bisa juga yang dimaksud adalah pelari yang menonjolkan gaya berpakaian dan penampilan (fesyen) saat berlari, seringkali dengan perlengkapan lari terbaru dan bermerek.

Sepatu

Pelari kalcer menggunakan sepatu yang dipilih tidak hanya untuk performa lari, tetapi juga untuk menunjang penampilan yang stylish dan sesuai dengan tren terkini. Rata-rata mereka akan melakukan survei terlebih dahulu sebelum membeli sepatu, melalui diskusi di komunitas lari atau situs-situs yang kontennya mengulas mengenai kualitas sepatu lari.

Mereka akan mencari sepatu-sepatu keluaran terbaru dengan teknologi terkini yang diklaim mampu meningkatkan performa lari. Beberapa di antaranya dibanderol dengan harga cukup tinggi yang pasti akan bikin orang-orang yang tidak suka lari mengerutkan dahi, hahaha.

Teknologi terkini itu mencakup cushion, traction atau grip, bobot sepatu, fleksibilitas, stabilitas, breathability, toebox, durabilitas, dan responsivitas. Seperti yang pernah kutulis di sini, sepatu lari itu ada banyak sekali ragamnya, beda-beda tergantung peruntukannya. Meskipun stylish, jangan sampai salah pakai sepatu. Alih-alih keren, pelari malah bisa cedera jika memakai sepatu yang tidak sesuai peruntukannya.

Baju dan Celana

Zaman dulu, kita sering mendengar jargon bahwa lari adalah olahraga yang paling murah. Jargon itu bisa ya, bisa tidak untuk zaman now. Selain sepatu yang harganya berjuta-juta, jersey lari kini juga harganya cukup fantastis.

Beda dengan orang-orang dulu yang cukup berlari dengan kaos katun saja, para pelari kalcer rata-rata memakai jersey lari berbahan dry fit dengan kain yang breathable. Jenis kain seperti ini membantu penguapan keringat secara maksimal sehingga tidak tertahan lama di material dan riskan membuat masuk angin.

Selain pemilihan bahan, mereka juga rajin memadupadankan outfit supaya terlihat cakep. Tren baju lari pun mulai beragam, dari baju kutung dengan celana pendek hingga baju yang lebih modest dipakai para muslimah, seperti jilbab, baju panjang (bahkan sekarang juga ada tunik buat lari!), dan rok celana.

Outfit lari sebenarnya banyak juga yang murah–tetapi tidak murahan. Hanya dengan beberapa ratus ribu kita sudah bisa mendapatkan outfit lari berkualitas. Namun, dengan makin ramainya industri olahraga zaman sekarang, produsen berlomba-lomba membuat outfit yang wow.

Sebut saja merek Tracksmith yang jersey larinya seharga Rp 1-2 juta, atau 2XU yang compression tights-nya seharga Rp 2-3 juta. Okelah, mereka memang mengklaim produknya dibuat dengan teknologi (heat transfer lah, muscle stamp lah) yang berasal dari hasil riset bertahun-tahun.

Yang lebih wow lagi adalah tren baju lari bolong-bolong. Konon baju lari semacam ini merupakan inovasi dalam dunia pakaian olahraga yang bertujuan untuk meningkatkan ventilasi dan kenyamanan saat berlari. Misalnya Men’s Dri-FIT ADV Short-Sleeve Running Top dari Nike yang dijual seharga Rp 1,2 juta, atau MothTech™ dari Satisfy Running yang ventilasi strategisnya dibuat di bagian tubuh atas yang rentan panas.

Gambar diambil dari sini

Gambar diambil dari sini

Topi dan Visor

Aksesoris berikutnya yang kerap dipakai pelari kalcer adalah penutup kepala, mulai dari slayer, topi, hingga visor. Saat ini banyak topi dari produsen olahraga yang nyaman dipakai saat berlari karena ringan, breathable, dan berbahan quick dry yang gampang banget kering setelah kuyub oleh keringat.

Ada yang diberi tanda atau logo reflektif supaya bersinar ketika dipakai berlari di malam hari. Ada yang dibuat dengan teknologi anti UV. Ada juga yang dibuat dengan lubang belakang untuk pelari wanita yang rambut panjangnya sering dikuncir tinggi (pony tail).

Beberapa visor dibanderol dengan harga yang lumayan. Visor 2XU yang banyak sekali varian warnanya itu dijual seharga Rp 300-400 ribu. Visor Alo Yoga bahkan dijual seharga Rp 1,2 juta. Kalau soal kenyamanan sih tiap orang beda-beda, ya … karena ada yang suka memakai penutup kepala, ada yang tidak.

Visor Alo Yoga

Kacamata

Bukan pelari kalcer namanya jika berlari tanpa kacamata. Pada dasarnya, kacamata sangat diperlukan untuk melindungi mata dari paparan sinar matahari yang bisa meningkatkan risiko katarak dan menurunnya fungsi mata. Kacamata juga bisa melindungi mata dari debu dan kotoran selama lari. Namun, kacamata pelari kini juga mulai bergeser menjadi tools untuk fesyen penuh gaya.

Pelari kalcer Indonesia banyak menggunakan kacamata lari merek Goodr, Duraking, atau Eiger. Harganya cukup terjangkau dan memiliki banyak varian, mulai dari jenis lensa, warna lensa, bentuk frame, bahan frame, hingga warna frame. Teknologinya diklaim no slip, no bounce, polarized, dan dilengkapi dengan UV protection.

Apa bedanya UV protection dengan polarized? Keduanya sama-sama mampu melindungi mata dari sinar matahari. Perbedaan utamanya, lensa dengan UV protection melindungi mata dari sinar UV yang berbahaya. Sementara lensa polarized mengurangi silau yang disebabkan oleh pantulan cahaya pada permukaan seperti air atau jalan aspal. Jadi, pandangan akan lebih teduh dan nyaman, terutama saat berlari pada hari yang cerah.

Perbandingan beberapa merek kacamata olahraga

Alat Pendengar Musik

Bagi sebagian pelari, mendengar musik kala berlari adalah sesuatu yang wajib. Setelah era headphone, headset, earphone berkabel, earphone nirkabel, earbuds, lalu TWS (true wireless stereo), kini yang sedang nge-tren adalah earphone dengan bone conduction.

Penggunaan alat pendengar musik tersebut tentu disesuaikan dengan kenyamanan dan kepraktisan penggunaannya. Ada yang suka memakai earbuds karena pas dengan lubang telinga. Ada yang suka memakai bone conduction karena tidak perlu dimasukkan ke dalam lubang telinga. Ada yang lebih suka wireless dengan alasan mobilitas.

Namun, ada juga yang lebih suka earphone berkabel sepertiku karena tidak perlu di-charge. Meskipun bagi sebagian orang kabelnya dirasa mengganggu, bagiku itu sebuah bentuk proteksi karena ketika sisi yang satu copot, sisi satunya masih menggantung dan masih bisa berfungsi.

Ada banyak kisah dari teman-temanku yang kehilangan alat pendengar musik mereka karena salah satu sisi copot dan masuk ke sungai saat trail run, atau jatuh di jalan saat jogging, atau sekadar hilang sebelah karena jatuh tertidur saat penerbangan.

Apa pun alat pendengar musik yang dipakai, sebaiknya tidak menutup total akses suara terhadap lingkungan sekitar. Ini sangat penting supaya pelari tetap aware dengan suara-suara di sekelilingnya, entah itu suara kendaraan yang lalu lalang, klakson atau sirine, bunyi alarm kereta, atau situasi yang membahayakan seperti penjambret.

Smart Watch

Last but not least, smart watch tentunya menjadi barang wajib yang dipakai oleh para pelari kalcer. Merek yang banyak dipakai adalah Garmin dan Coros. Smart watch ini bukan hanya untuk gaya-gayaan, ya, Mah. Fungsinya ada banyak.

Ketika seorang pelari sudah mulai memperhatikan performa dalam berlari dan sudah memiliki target atau goal dalam latihannya, smart watch sangat berguna sebagai alat bantu. Dengannya kita bisa mengukur pace, mileage, heart rate, power, elevasi dll.

Bahkan smart watch yang dilengkapi dengan GPS built-in sangat membantu seorang pelari sebagai alat navigasi ketika dia harus mengikuti event lari ultra atau lari trail. Hal ini juga sangat berguna bagi penggemar olahraga outdoor lain seperti hiking dan trekking supaya mereka tidak tersesat.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli yang bertema “Tentang Fashion”.

Sunday, July 20, 2025

Sehari dalam Hidupku (2)

Tiga tahun lalu aku pernah menulis tentang tema ini di blog. Ternyata setelah tiga tahun berselang, ada banyak hal yang sudah berubah dalam keseharianku. Aku pindah tempat kerja sehingga hal itu cukup membuat rutinitasku berubah juga.

Pagi Penuh Ketergesaan

Hariku masih diawali dengan pagi yang rusuh. Kini aku harus bangun lebih pagi daripada dulu karena aku harus mengejar commuter line ke arah Jakarta. Saat azan subuh berkumandang, biasanya aku sudah selesai mandi. Setelah memastikan anak-anak bangun, mandi, dan sarapan, aku segera berangkat ke stasiun bersama suami. Biasanya aku memilih naik kereta pukul 06.10 supaya tidak terlalu berdesakan. Bila lewat dari itu, siap-siap saja menjadi pindang pepes di dalam gerbong.

Di dalam kereta, biasanya aku membaca zikir pagi dan suamiku mengaji. Waktu di dalam kereta yang acapkali kami lalui dengan berdiri itu sungguh sayang jika dilewatkan dengan bengong begitu saja. Jika dulu aku mencium punggung tangan suami ketika masing-masing dari kami berangkat bekerja, kini rutinitas itu kulakukan di atas commuter line ketika suamiku turun satu stasiun lebih dulu daripada aku.

Pergi Bekerja

Saat ini tempat kerjaku terletak di salah satu gedung pencakar langit di bilangan Thamrin. Setelah naik ke lantai delapan dan menaruh tas di meja kerja, biasanya aku turun lagi untuk menyempatkan jogging di seputaran Monas dua hingga tiga kali dalam seminggu. Jogging pagi selalu membuatku menguap setelah jam sepuluh pagi, tetapi aku tak punya pilihan waktu lain untuk berlari karena sore hari sudah cukup rusuh untuk mengejar kereta kembali ke arah pulang.

Trotoar seputaran Monas yang nyaman buat jogging

Setelah selesai jogging dan mandi, hal wajib yang kulakukan selanjutnya adalah menyeduh kopi di pantry. Sambil menunggu teko air mendidih, aku memandang belantara gedung pencakar langit di depan jendela kaca besar. Pikiranku pun berkelana.

Pemandangan Thamrin dari jendela sebelah pantry

Sembilan belas tahun yang lalu, ketika statusku masih fresh graduate dan tengah berjuang melamar pekerjaan ke sana kemari dengan mengikuti belasan wawancara di ibukota, aku pernah memupuk tekad untuk kelak suatu hari akan menjadi bagian dari para pekerja white collar yang necis, wangi, tampak profesional, dan sibuk berseliweran di bilangan Thamrin-Sudirman. Meskipun tahun-tahun yang berlalu telah membawaku bertualang ke dunia yang berbeda dengan berbagai macam perjalanan, ternyata sampai juga aku di tempat ini.

Saat ini aku bekerja pada suatu direktorat yang mengurusi tentang klirens etik dan perizinan riset. Klirens etik adalah suatu instrumen untuk mengukur keberterimaan secara etik suatu rangkaian proses riset. Klirens etik riset merupakan acuan bagi periset dalam menjunjung tinggi nilai integritas, kejujuran, dan keadilan dalam melakukan riset. Hal ini diperlukan agar periset tidak menemui masalah dalam menjalankan riset dan mempublikasikan hasil risetnya.

Sebagai Ketua Tim pada salah satu bidang klirens etik, tugasku sehari-hari adalah  mengoordinasikan dan memastikan layanan fasilitasi klirens etik berjalan dengan baik. Kami melayani pengajuan usulan klirens etik proposal riset yang dilakukan oleh periset Indonesia dan periset asing yang akan melakukan riset di Indonesia.

Sore dan Malam Hari

Sesampaiku di rumah, biasanya aku beristirahat sebentar sambil bercengkerama dengan anak-anak. Waktu-waktu setelah itu adalah family time. Aku mendampingi anak-anak menyantap makan malam, bermain, belajar, atau menonton televisi.

Peralatan home gym-ku

Waktu selepas petang adalah waktu olahragaku berikutnya, yaitu latihan beban. Alhamdulillah aku memiliki fasilitas home gym yang cukup lengkap untuk ukuran rumah tangga. Supaya terstruktur dan terprogram, aku mengikuti online coaching melalui Lisfit, layanan personal trainer wanita yang sangat memudahkan para perempuan yang susah keluar rumah, untuk tetap sehat dengan berolahraga dari rumah.

Setelah mengantar anak-anak pergi tidur, waktu sebelum tidur kadang kuisi untuk beres-beres, membaca novel, atau menulis. Dengan kegiatan yang melelahkan sepanjang hari, bisa dikatakan kini aku jarang sekali bergadang. Waktu tidur malam menjadi saat yang ditunggu-tunggu karena akhirnya aku bisa meluruskan punggung serta mengistirahatkan fisik dan pikiran.

Friday, June 20, 2025

Me Time Tanpa Internet? Sudah Pasti “Membaca”!

Sejak aku kecil, membaca sudah menjadi duniaku. Aku tak ingat persisnya mulai usia berapa aku gemar membaca. Namun, aku ingat jelas: masa kecilku kuhabiskan dengan menekuri lembar demi lembar majalah Bobo; komik bergambar macam Nina, Tintin, Asterix, atau Steven Sterk; komik Jepang semisal Candy Candy, Pansy, Mari-chan, atau Doraemon; novel seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, Stop, atau Malory Towers; bahkan novel detektif karya Agatha Christie.

Begitu senangnya aku membaca sehingga pergi ke perpustakaan, toko buku, atau tempat persewaan buku menjadi suatu agenda yang menyenangkan. Aku tak tahu pasti penyebab minat bacaku waktu itu tumbuh dengan pesat. Hal itu mungkin dikarenakan orang tuaku sering membelikan buku dan menyediakan aneka bacaan di rumah.

Beranjak dewasa, aku menyadari bahwa buku adalah jendela dunia. Aku pernah menjadi salah satu kandidat terbaik dalam seleksi yang diadakan oleh sebuah kantor surat kabar di Jakarta ketika mereka mencari calon wartawan baru. Pertanyaan dan tes yang diajukan kebanyakan tentang pengetahuan umum.

Aku yakin kegemaranku membaca rubrik pengetahuan di majalah, membaca koran, dan melihat berita di televisi, turut andil dalam hal itu. Anak yang minat bacanya tinggi cenderung lebih gampang menerima informasi. Tentu pengetahuan mereka juga lebih banyak.

Untuk menulis, mereka tidak akan menemui kesulitan yang berarti karena perbendaharaan kata sudah beragam. Bahkan aku pernah membaca—entah di mana aku lupa—anak yang suka membaca lebih pandai dan lebih kritis, terutama dalam diskusi, dibanding dengan yang tidak suka membaca.

Dulu semasa keluargaku masih berlangganan majalah Bobo, aku gemar sekali membaca serial Pak Janggut dan mengumpulkan sisipan-sisipannya, lalu dibundel menjadi kumpulan tersendiri. Beberapa koleksi buku yang cukup serius kukumpulkan dan kusimpan hingga kini adalah koleksi Tintin, serta novel-novel karya Agatha Christie, Nicholas Sparks, dan Ika Natassa.

Awal mula kecintaanku pada komik Tintin adalah karena sebagai anak kecil dengan keingintahuan yang besar tentang dunia luar, membaca komik Tintin membuatku serasa dibawa bertualang ke tempat-tempat baru. Mungkin dari komik Tintin-lah aku pertama kali membaca nama-nama tempat seperti Tibet, Kongo, dan Azerbaijan.

Novel Agatha Christie adalah novel yang pertama kubaca dan menjadi pemantikku dalam kegemaran membaca novel. Kalau tidak salah ingat, waktu itu aku duduk di kelas 5 atau 6 SD, dan “Pesta Hallowe'en” adalah novel Agatha Christie yang pertama kubawa pulang dari kios persewaan buku.

Setelah membaca hampir semua judul novelnya, lama-lama aku jadi bisa menebak cara berpikir Agatha Christie dalam menentukan siapa tokoh antagonisnya. Meskipun demikian, caranya menulis alur dan membuat penokohan selalu membuatku kagum. Sebagai penulis fiksi, aku banyak belajar dari novel-novelnya.

Membaca karya fiksi selalu menjadi kesenangan buatku, sejak zaman kecil dulu hingga kini sudah menjadi emak beranak lima. Setelah menjadi penulis fiksi (abal-abal, hahaha), membaca karya fiksi seolah menjadi kewajiban untuk menambah ilmu dan memperkaya khazanah. Supaya dapat menulis fiksi dengan baik tentu aku harus mengisi pula asupan dengan banyak membaca karya fiksi.

Saat ini dalam membaca karya fiksi, aku juga mengamati bagaimana penulis membangun unsur-unsur intrinsik seperti membangun tema, menentukan sudut pandang, menciptakan penokohan beserta karakternya, menuliskan alur, menggunakan gaya bahasa, dan memilih latar.

Ada banyak sekali novel yang menginspirasiku–tentu tak akan cukup aku bahas di sini–tetapi ada satu penulis yang novelnya cukup kaya untuk dipelajari sisi-sisi kepenulisannya. Adalah Nicholas Sparks, seorang penulis yang dikenal sebagai spesialis penulis dengan ending tragis dalam novel-novelnya, yang membuatku terkagum-kagum.

Dia piawai dalam menulis deskripsi dan menggambarkan suasana yang sangat membantu pembaca untuk membayangkan konteks cerita. Tidak hanya pada latar, tetapi juga pada bagian-bagian detail lainnya. Penggambaran selalu deskriptif mengenai apa pun dan tidak membosankan, meskipun selalu dilihat dari sudut pandang orang pertama.

Sparks selalu keren dalam menciptakan tokoh yang berkarakter. Sudut pandang orang pertama sering dipakai dalam novel. Dari segi penggambaran emosi, perasaan tokoh pun tersampaikan dengan baik. Hal ini tentu membuat pembaca ikut larut dalam cerita. Aku angkat topi untuk kemampuan Sparks menulis tentang emosi secara mendalam.

Beberapa judul novelnya tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga koleksiku tidak cukup lengkap (aku lebih suka membaca novel dalam Bahasa Indonesia). Sebagian besar novelnya bahkan tak lagi dicetak ulang oleh Gramedia. Meskipun hanya tujuh judul novelnya yang kumiliki, koleksi ini termasuk koleksi yang kuanggap sangat berharga.

Saat ini aku sedang senang membaca novel-novel Ika Natassa, satu-satunya penulis Indonesia yang seluruh judul novelnya kumiliki. Novel-novelnya bergenre romansa dan beraliran metro pop.

Novel Critival Eleven adalah novel Ika Natassa pertama yang aku baca, dan hingga saat ini masih menjadi novelnya yang paling aku suka. Novel ini menceritakan tentang konflik yang dialami oleh sepasang suami istri, Ale dan Anya, ketika rumah tangga mereka ditimpa badai besar.

Ika Natassa sangat pandai menggarap penokohan. Karakter tokoh-tokoh utama sangat kuat. Hampir semua tokohnya adalah sosok sukses dan profesional dalam hal karir, tapi ternyata secara emosi dan psikis mengalami kebingungan dan masalah dalam hal percintaan.

Narasi dalam tulisan-tulisannya mengalir dengan nyaman, dan tanpa terasa kita sudah dibawa ke akhir cerita. Banyak insight keren dan on point dalam tulisannya, yang seringkali membuatku merenungkan ulang kehidupan (percintaan).

Begitulah, me time favoritku tanpa internet memang sederhana: hanya cukup dengan membaca buku. Namun, aktivitas yang tampak sederhana ini mampu membawaku larut mojok di kamar selama berjam-jam dan somehow membawa keriaan dalam hidupku.

A reader lives a thousand lives before he dies, said Jojen. The man who never reads lives only one.” ― George R.R. Martin, A Dance with Dragons

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni yang bertema “Me Time Tanpa Internet”.

Thursday, May 08, 2025

Unpopular Opinion: Olahraga Nggak Bikin Kurus!

Dulu semasa muda (halah, memangnya sekarang sudah tua, hahaha), ketika jiwa masih labil ingin validasi dari orang lain, betapa seringnya kita terlalu memperhatikan penampilan. Dan seperti layaknya anak muda yang termakan standar kecantikan Indonesia yang katanya cantik itu harus langsing dan putih, tentu kita berlomba-lomba pengen kurus.

Coba ingat-ingat lagi, mungkin banyak di antara kita yang saat itu berolahraga mati-matian demi bisa kurus. Tapi tahukah Anda, bahwa ternyata olahraga nggak bikin kurus? Iya, memang. Yang bikin kurus itu kalau kita nggak makan, hehehe. Pengen tahu lebih lanjut? Yuk, kita bahas satu-satu.

Rumus Turun Berat Badan

Secara umum, yang membuat kita kehilangan berat badan adalah ketika tubuh kita berada dalam keadaan defisit kalori. Gampangnya, defisit kalori terjadi bila jumlah kalori yang dikeluarkan lebih besar daripada jumlah kalori yang masuk. Caranya bisa dengan menjaga asupan makan, memperbanyak aktivitas olahraga, atau kombinasi keduanya.

Seperti yang pernah kutulis di sini, dalam hal penurunan berat badan, olahraga hanya berperan 20% saja. Sisanya diatur dengan menjaga asupan makan. Ada banyak aliran diet di dunia ini. Pemilihan diet yang paling tepat tentu harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing tubuh. Kita juga harus memperhatikan kebutuhan kalori harian. Jangan sampai demi defisit kalori, kita mengorbankan kebutuhan energi tubuh.

Hal yang jamak terjadi pada orang-orang yang pengen kurus adalah sembarangan mengurangi makan. Bisa saja mereka berdalih mengurangi makan besar, tapi ternyata seharian ngemil cemilan yang tinggi kalori. Atau sembarangan mengurangi porsi makan dan frekuensi makan sehingga kalori yang masuk terlampau sedikit. Akibatnya malah lemes dan metabolisme tubuh makin menurun.

Weight Loss atau Fat Loss?

Kalau kita menurunkan berat badan secara serampangan seperti yang kutulis di atas, berat badan tentu akan turun. Tapi rata-rata yang terjadi adalah weight loss, bukan fat loss. Lalu apa bedanya?

Ketika weight loss terjadi, penurunan berat badan meliputi penurunan semua komponen tubuh, termasuk air, lemak, maupun otot. Pernah melihat orang yang berlari memakai jaket sauna? Ya jelas berat badan mereka akan turun, lha wong kadar air dalam tubuh menghilang banyak akibat keringat keluar berlebihan. Ini malah bisa meningkatkan risiko heat stroke.

Kehilangan lemak dan otot terlalu banyak juga mengurangi estetika penampilan. Pernah lihat orang kurus setipis papan setrikaan? Orang yang terlalu lean, selain nggak curvy (ya ini soal selera, sih), massa ototnya juga ikut menipis. Padahal otot adalah investasi masa depan.

Nah, di sini akhirnya olahraga berperan penting. Supaya berat badan turun tetapi tidak menghilangkan massa otot, yang seharusnya dilakukan adalah fat loss. Dalam kondisi fat loss, hanya persentase lemak yang berkurang, massa otot sebisa mungkin dipertahankan supaya tidak berkurang.

Jadi olahraga nggak bikin kurus? Enggak kalau yang dipilih adalah fat loss. Olahraga–dalam hal ini adalah latihan beban–membuat otot menjadi aktif sehingga metabolisme tubuh akan meningkat dan membantu pembakaran lemak menjadi lebih efektif.

Otot itu sebenarnya adalah mesin pembakar lemak alami yang dimiliki tubuh. Latihan beban sangat membantu meningkatkan massa otot dan menurunkan kadar lemak. Berat badan bisa jadi tetap atau meningkat jika massa otot membesar, tetapi lingkar-lingkar tubuh akan mengecil.

Ah, tapi aku olahraga jadi kurus tuh!

Ya balik lagi, penurunan berat badannya bener nggak? Massa ototnya ikut turun nggak? Habis berhenti olahraga, berat badan jadi naik lagi nggak?

Memang orang-orang kita ini masih banyak yang harus diluruskan pemahamannya. Kita harus memandang olahraga sebagai kebutuhan pokok tubuh yang harus ditunaikan supaya sehat dan bugar, bukan sebagai cara untuk kurus. Bukan juga sebagai pembenaran untuk membakar kalori akibat makan terlalu banyak. Nggak gitu konsepnya, cuy.

Lalu Bagaimana Cara Untuk Kurus?

Menurut Dan Go, seorang fitness coach, ada lima cara untuk kurus dengan cara fat loss:

  1. Defisit kalori
  2. Berjalan 15.000 langkah setiap hari
  3. Latihan beban
  4. Menjaga asupan makan dengan diet tinggi protein
  5. Menjaga asupan makan dengan makanan yang nutrient-dense

Kata Dan Go lagi, olahraga kardio terlalu overrated untuk dianggap sebagai cara paling mudah dan paling cepat untuk kurus. Rata-rata yang terjadi adalah weight loss tadi, karena kardio mengambil energi dari lemak dan otot. Maka dari itu, otot harus di-maintain lewat latihan beban.

Kardio membakar lemak saat olahraganya dilakukan. Sementara latihan beban yang menaikkan massa otot, akan membakar lemak bahkan setelah olahraganya selesai dilakukan, karena fungsi alami otot sebagai pembakar lemak tadi. Dengan syarat: asupan tinggi proteinnya dicukupi, waktu rest dan recovery juga dicukupi.

Jangan lantas berpikir kalau olahraga kardio tidak penting dilakukan. Sangat penting malah, untuk menjaga fungsi jantung, otak, dan paru-paru. Namun, kalau bicara soal fat loss, ya tetap latihan beban lah yang paling tepat untuk menjaga metabolisme tubuh dan menyeimbangkan komposisi tubuh.

Penutup

Jadi, olahraga itu bikin kurus apa enggak? Sekali lagi, yuk diperbaiki mindset-nya. Kita berolahraga bukan karena pengen kurus, tapi karena pengen tetap sehat, bugar, dan mandiri sampai tua. Kalau pengen kurus, ya lebih ke jaga makan ya gaess yaa …

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei yang bertema “Pendapat Tak Populer/Unpopular Opinion”.

Wednesday, April 30, 2025

Bertekuk Lutut Pada Takdir

Kita adalah pejalan yang sering salah mengira peta. Merasa tahu arah, merasa bisa memilih jalan, tapi pada akhirnya tersadar bahwa kaki kita hanya melangkah sejauh yang diizinkan oleh takdir. Ada yang kita kejar habis-habisan, namun tetap menjauh. Ada yang kita hindari mati-matian, tapi justru semakin mendekat.

Mungkin di antara langkah-langkah yang kita ambil, ada doa-doa yang diam-diam dikabulkan dengan cara yang tidak kita harapkan. Mungkin di antara perpisahan yang kita sesali, ada pertemuan yang telah disiapkan jauh sebelum kita menginginkannya.

Kita boleh memohon, boleh mengiba, boleh menentang sekeras yang kita mampu. Tapi jika bukan takdirmu, sekuat apa pun kamu menggenggam, ia tetap akan terlepas. Jika itu takdirmu, meski kau berlari sejauh mungkin, ia akan tetap menemukanmu.

Pada akhirnya, kita hanya bertekuk lutut pada takdir. Menyerah bukan karena lelah, tapi karena paham bahwa apa yang harus menjadi milik kita, akan datang dengan sendirinya. Dan apa yang bukan untuk kita, akan pergi meski sudah kita perjuangkan dengan segenap nyawa.

[Dikutip dari "Menjalani Takdir Tuhan, Sama Sepertimu" hal. 100, Instagram @goresanpenatuhan]

Monday, April 14, 2025

Pernikahan Adat Jawa-ku: Mencari Titik Temu Antara Tradisi, Keyakinan, dan Modernitas

Sebagai keturunan Jawa di mana darah Jawa mengalir sangat kental di dalam keluarga besar, aku memimpikan sebuah pernikahan yang sakral dan sarat dengan adat. Saat itu aku berusia dua puluh empat tahun dan sudah enam tahun meninggalkan Solo karena merantau di Bandung.

Koordinasi dengan keluarga besar ternyata penuh dengan dinamika. Aku sebagai generasi muda, meskipun menginginkan acara bernuansa adat, bersikeras mengeliminasi ritual-ritual yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Hal ini tentu memicu pertentangan dengan keluarga besar. Untungnya orang tuaku cukup moderat, jadi beberapa hal akhirnya bisa diakali.

Mencari Hari Baik

Sejak pertama kali membahas persiapan pernikahan dengan orang tua, aku sudah mengutarakan penolakanku terhadap pencarian hari baik untuk Hari-H. Masyarakat Jawa biasanya berpegang pada hitungan Primbon untuk menentukan hari pernikahan. Caranya dengan mencari tahu neptu atau nilai dari hari kelahiran kedua mempelai.

Bila hasil hitungannya baik, maka hajatan dilanjutkan. Namun, bila hitungannya menghasilkan hasil buruk, akan dicarikan hari lain. Perhitungan semacam ini juga banyak didapati di budaya nonmuslim, semisal budaya Tiongkok dengan Feng-Shui.

Dalam budaya Jawa, bulan-bulan seperti Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Syawal, dan Dzulhijjah dianggap sebagai waktu yang baik untuk menikah. Hal ini mencerminkan adanya kepercayaan dan kebiasaan lokal yang masih dipegang oleh sebagian besar masyarakat dalam menentukan hari baik dalam pernikahan.

Banyak ulama masih berbeda pendapat soal pencarian hari baik. Tidak ada yang benar-benar mengatakan bahwa hal ini termasuk syirik, tetapi mencari hari baik dengan didasarkan pada keyakinan akan nasib baik atau buruk pernikahan di masa depan, tentunya rawan menggelincirkan akidah. 

Pada awalnya orang tuaku setuju dengan pendapatku. Kami memilih hari pernikahan berdasarkan slot ketersediaan tanggal dari gedung yang akan disewa. Aku sudah bahagia saja waktu itu, kemudian persiapan pernikahan dilanjutkan ke urusan yang lain. Namun, belakangan akhirnya aku mengetahui bahwa orang tuaku juga mengonsultasikan tanggal itu kepada “orang pintar” di bilangan Sriwedari. Duh, pas tahu itu rasanya aku marah sekali. Namun, tak ada lagi yang bisa kuperbuat.

Riasan Pengantin

Riasan dan busana pengantin Solo sebenarnya terbagi menjadi enam jenis dengan pakem yang berbeda-beda, tetapi pakem riasan yang paling jamak digunakan di kalangan generasi muda saat ini adalah pakem Solo Putri.

Tata rias dan tata rambut pengantin Solo Putri (gambar dari sini)

Tata rias wajahnya menggunakan bedak kekuningan, eye shadow coklat dan hijau, blush on, lipstik merah keoranyean, serta paes warna hitam. Paes (hiasan wajah pengantin pada area dahi) terdiri dari: gajahan, pengapit, penitis, godheg, dan alis dengan bentuk mangot.

Sanggul pengantin Solo berbentuk bokor mengkurep yang ditutupi oleh rajutan bunga melati. Sanggul juga dilengkapi dengan bunga melati yang sudah dironce, memanjang dari kepala hingga ke pinggang, terdiri dari bunga bangun tulak, bunga tibo dodo bawang sebungkul, borokan, sisir bunga melati, sintingan, dan ujungnya dihias dengan kuncup bunga cempaka.

Di atas sanggul ditancapkan cundhuk mentul yang biasanya berjumlah ganjil (lima, tujuh, atau sembilan). Angka lima melambangkan lima rukun Islam. Angka tujuh dalam bahasa Jawa adalah “pitu” yang merupakan simbol “pitulungan”, yaitu pertolongan dalam bahasa Indonesia. Angka sembilan melambangkan Wali Songo yang berjumlah sembilan orang.

Sebagai aksesoris, pengantin menggunakan kalung, suweng ronyok, bros sunggun, gelang tretes, cincin ulun-ulun, tanjungan, simyok bunga sokan, serta sepasang centung dan cunduk jungkat.

Tadinya aku berniat memakai perias pengantin Jawa yang sangat terkenal di Solo, sebut saja namanya Bu M. Beliau ini njawani banget. Riasannya halus, khas pengantin Solo. Pengalaman beliau juga sudah bertahun-tahun. Namun, beliau ternyata keukeuh riasannya harus sesuai dengan pakem Jawa dan keberatan jika hasil riasannya “ditutup” jilbab. Lho bagaimana, kan akunya berjilbab, masa iya harus membuka jilbab.

Aku memutuskan mencari perias lain sambil menanyakan referensi ke teman-teman, akhirnya aku menemukan salon muslimah Aufa. Periasnya bernama Mbak Tatik. Beliau lebih gampang dilobi dan diajak kompromi, jadi enak. Beliau mengakomodasi keinginanku lewat serangkaian diskusi serta fitting baju dan jilbab. Akhirnya jadilah riasan pengantin yang meskipun berjilbab, nuansa jawanya sangat kental.

Tata riasku: adat Jawa, tetapi tetap berjilbab

Kebaya Pengantin

Karena menginginkan pernikahan yang sarat dengan nuansa Jawa, tadinya aku hendak memakai kebaya pengantin tradisional Solo yang berwarna hitam dengan desain yang sesuai pakem. Modelnya berbentuk kebaya panjang, berbahan beludru warna hitam, berhiaskan sulaman warna keemasan atau bordir benang emas dengan motif merak.

Kebaya pengantin tradisional Solo (gambar dari sini)

Namun, kata ibuku, sekarang generasi muda sudah jarang memakai itu karena terkesan kuno. Akhirnya aku menurut saja dengan pendapat beliau untuk memakai kebaya pengantin modern dengan payet-payet dan gaya desain yang lebih kekinian. Untuk bawahan, aku memakai kain tradisional (jarik) dengan motif yang sesuai pakem, yaitu motif Sidomukti. Motif ini melambangkan kehidupan yang makmur dan dicintai banyak orang.

Mahar dan Peningset

Peningset atau serah-serahan adalah pemberian dari pihak mempelai pria. Berasal dari kata singset yang artinya ”mengikat”, peningset berarti hadiah yang menjadi pengikat hati antara dua keluarga. Secara adat Jawa, peningset biasanya terdiri atas: satu set daun sirih yang disebut Suruh Ayu, beberapa helai kain jarik dengan motif batik yang berbeda, kain bahan untuk kebaya, ikat pinggang tradisional yang disebut stagen, buah-buahan (terutama pisang), sembako (beras, ketan, gula, garam, minyak goreng, bumbu dapur), perhiasan, dan sejumlah uang sebagai sumbangsih dari pihak mempelai pria.

Aku dulu cuma meminta mahar kalung. Dalam pertimbanganku, waktu itu dia baru meniti karir. Aku tidak merasa perlu dibawakan bermacam-macam peningset, tetapi rupanya tradisi ini tidak dapat dielakkan. Konon dianggap tidak patut jika keluarga mempelai pria tidak membawakan barang-barang ini. Ya sudahlah, yang penting aku tidak meminta macam-macam. Terserah sesuai dengan kemampuan mereka saja.

Acara Resepsi

Orang tuaku ingin sebuah resepsi yang kental dengan adat Jawa, jadi segala susunan acara, bahasa pengantar, sampai cara duduk tamu, semuanya disesuaikan dengan adat resepsi pengantin Solo tradisional. Semua tamu duduk di kursinya masing-masing, sementara makanan disajikan oleh para sinoman secara berurutan: makanan pembuka, makanan inti, lalu makanan penutup. Para tamu datang dan pulang bersamaan. Selama acara dilangsungkan, semua tamu duduk menyaksikan sambil menyantap hidangan.

Tata cara menyajikan makanan untuk para tamu, yang kini sudah banyak ditinggalkan, padahal sebenarnya sesuai dengan sunnah karena makan dan minum sambil duduk (gambar dari sini)

Dengan model acara seperti ini, maka pengisi acara harus dipersiapkan secara matang. Beda sekali dengan acara prasmanan atau standing party di mana para tamu datang dan pergi sehingga pengisi acara tidak terlalu diindahkan. Orang tuaku meminta tolong teman-teman pamanku dari STSI / ISI Solo untuk menjadi protokol dan pengisi acara, mulai dari tata upacara adat, musik gamelan live, tarian tradisional, sampai bahasa pengantar–bahasa Jawa halus tingkat tinggi yang bahkan aku pun tak paham artinya. Semua personel protokoler memakai pakaian adat Jawa lengkap.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan April yang bertema “Tradisi Lokal yang Masih Dilestarikan”.

Sunday, March 09, 2025

We Bend So We Don’t Break

Di dunia ini, sesuatu yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Manusia sebagai makhluk yang adaptif tentu mengalami penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan situasi dan kondisi, termasuk ketika manusia dihadapkan pada kondisi luar biasa yang memaksanya keluar dari zona nyaman.

Sepanjang hidupku, ada beberapa perubahan yang membawa impak cukup besar, baik lahir maupun batin. Salah duanya adalah ketika aku menghadapi pandemi dan ketika aku pindah meninggalkan kota Bandung yang sudah dua puluh satu tahun kudiami. Yang lebih membuat overwhelmed, keduanya kualami secara bersamaan pada tahun 2021.

Perubahan Akibat Pandemi

Pandemi yang saat itu terjadi secara global memaksa dunia ini berhenti sejenak. Ketika perlahan roda kehidupan mulai berputar kembali setelah kita mengalami lockdown, tentu ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan.

Dari aspek kesehatan, kita diperkenalkan pada perilaku 3M sebagai upaya mencegah sekaligus memutus rantai penularan Covid-19, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Masker kain dapat menurunkan risiko penularan Covid-19 sebesar 45 persen, sedangkan masker bedah mampu menekan penyebaran virus Covid-19 hingga 70 persen.

Sebagai upaya untuk menghindari kerumunan dan mengurangi risiko penularan, sekolah-sekolah dan institusi perguruan tinggi menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Perkantoran merombak sistem kerja menjadi Work From Home (WFH) untuk mencegah karyawannya terpapar Covid-19 ketika berada di kantor maupun di perjalanan. Tak ayal dengan sistem semacam ini, masyarakat dipaksa beralih dari tatap muka ke sistem yang menggunakan platform digital dan memerlukan koneksi internet sebagai imbasnya.

Anak sulung sedang mengikuti PJJ

Upacara di masa lockdown

Perubahan ini tentu dialami pula oleh keluarga kami. Masker, cairan pembersih tangan, serta disinfektan menjadi peralatan wajib. Kami menjadi jarang keluar rumah bila tidak ada urusan yang terlalu penting. Kegiatan berbelanja kami lakukan melalui aplikasi belanja daring. Agenda jalan-jalan saat liburan terpaksa harus kami buang jauh-jauh.

Kuota internet kami tingkatkan karena ada tiga anak yang mengikuti PJJ dan dua orang dewasa yang menjalankan WFH. Suasana rumah yang semula sepi di siang hari menjadi ramai oleh suara-suara kami yang tengah mengikuti pertemuan melalui aplikasi komunikasi daring berbasis video. Kami bahkan harus ekstra bersabar karena gangguan-gangguan kecil dari anak-anak sering muncul menghiasi layar komputer saat kami sedang melakukan pertemuan daring.

Di satu sisi, kami bersyukur bisa melewati pandemi sebagai keluarga yang berkumpul bersama. Tentunya ini adalah kebahagiaan karena selama tiga belas tahun pernikahan, aku dan anak-anak terpisah jarak Bandung-Jakarta dengan suamiku.

Namun, di sisi lain, frekuensi bertemu yang semakin meningkat dan kecenderungan anak-anak untuk mulai bosan karena banyak terkurung, mengakibatkan rumah menjadi lebih riuh karena pertengkaran dan perselisihan. Belum lagi jika kami sebagai orang tua kadang kelepasan dan tidak dapat mengontrol diri karena beban pekerjaan, sementara anak-anak sedang susah diatur … wah, rumah rasanya seperti sedang mengalami perang dunia.

Waktu itu aku sempat mengalami panic attack karena kecemasan berlebihan, apalagi di rumah kami ada satu bayi enam bulan dan satu lansia. Kecemasanku mencapai puncaknya ketika suami terinfeksi Covid-19 generasi awal, yang membuatnya harus dirawat inap dan terpisah dengan kami selama dua puluh lima hari.

Pandemi memang berat bagi semua orang. Setiap keluarga memiliki perjuangan masing-masing untuk bisa bertahan. Kebiasaan baru yang bersifat penjagaan kesehatan fisik seperti 3M tentu dibarengi dengan kebiasaan untuk menjaga kesehatan mental. Jika bukan karena pertolongan Allah, kurasa kita semua tak akan survive menghadapi pandemi kala itu.

Meninggalkan Bandung

Aku memang tidak lahir dan tumbuh besar di Bandung, tetapi aku telah menghabiskan lebih dari separuh usiaku di kota itu. Ketika aku pertama kali datang ke Bandung dua puluh lima tahun silam, Kota Kembang berhawa sangat dingin—apalagi untuk ukuran seorang bocah asal Solo sepertiku. Malam-malamku sebagai mahasiswa baru cukup sering berkemul tebal, terutama ketika kemudian aku pindah ke bilangan Bandung bagian utara.

Bandung bagian utara sungguh memesona. Di situ aku mengalami pasang surut dinamika kehidupan kampus, bergulat dengan aktivitas kemahasiswaan, lalu berhasil lulus hidup-hidup dari sana. Aku sempat mengembara sebentar, untuk kemudian kembali dan menetap di situ pascamenikah.

Setelah itu kehidupanku banyak berpusar di Bandung bagian utara. Mulai dari kantor, sekolah anak-anak, rumah sakit, tempat olahraga, tempat belanja … semua kami lakukan di situ. Tidak heran kemudian Bandung menjadi bagian penting dari hidupku, yang menyedot semua cintaku seperti aku mencintai kota kelahiran.

Di Bandung pula aku belajar mencintai lari. Di setiap jalan yang kususuri sambil berlari, di situ tertinggal sekeping kenangan. Tak pernah bosan aku mengukur jarak di jalanan Bandung. Di antara lika-likunya terserak memorabilia yang mengukuhkan betapa cantiknya kota ini.

Bandung juga adalah surga makanan. Jajanan di sini sangat bervariasi. Pilihan tempat makan dan nongkrong beragam. Tempat main pun tak terhitung jumlahnya. Tak lupa juga, dengan banyaknya sarana kajian untuk menimba ilmu agama, selalu ada tempat kembali bagi jiwa-jiwa yang penat dengan kehidupan dunia.

Maka bagiku Bandung adalah tempat pulang, tempat yang kupikir dulu bakal menjadi suaka hingga akhir hayat. Dan ketika takdir akhirnya berkata lain, banyak penyesuaian yang harus aku lakukan.

Berbulan-bulan setelah pindah dari Bandung, aku masih merasa stres. Aku memang bukan tipe orang yang cepat beradaptasi. Meninggalkan zona nyaman adalah masalah yang berat bagiku. Aku juga tidak mudah berteman. Maka masa-masa awal itu kulalui seorang diri sambil berusaha menyamankan hati.

Hal pertama yang kucari apalagi selain tempat lari. Lari adalah my ultimate way untuk meredakan stres. Untungnya rumahku hanya berjarak tiga kilometer saja dari boulevard Bintaro Jaya, yang terkenal dengan sebutan Bintaro Loop untuk track larinya yang sepanjang dua belas kilometer.

Track lari Bintaro Loop

Untungnya lagi, kantorku saat itu terletak di Puspiptek, sebuah kawasan perkantoran yang asri. Jalanannya yang sepi dari lalu-lalang kendaraan dan kawasannya yang memiliki hutan kecil merupakan tempat yang sangat tepat menyalurkan hobiku berlari. Maka dari situlah masa adaptasiku bermula. Hari-hari terasa lebih mudah kulalui. And then everything else started to fall into place.

Jalanan Puspiptek yang nyaman untuk dijadikan track lari

Penutup

Teori evolusi Darwin menyatakan “alam akan mengadakan seleksi terhadap makhluk yang ada di dalamnya, hanya makhluk hidup yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang dapat bertahan hidup”. Meskipun kontroversial, kurasa teori itu ada benarnya juga.

Maka ketika ditanya: bagaimana kita bertahan menghadapi perubahan? Well, we don’t. Bentuk pertahanan terbaik adalah dengan cara beradaptasi terhadap perubahan itu sendiri, dengan “bending” melakukan apa saja yang kita bisa untuk bertahan hidup.

We bend so we don't break. It's the only way to stay sane and to stay alive.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret yang bertema “Seni Bertahan Menghadapi Perubahan”.