Sunday, March 09, 2025

We Bend So We Don’t Break

Di dunia ini, sesuatu yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Manusia sebagai makhluk yang adaptif tentu mengalami penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan situasi dan kondisi, termasuk ketika manusia dihadapkan pada kondisi luar biasa yang memaksanya keluar dari zona nyaman.

Sepanjang hidupku, ada beberapa perubahan yang membawa impak cukup besar, baik lahir maupun batin. Salah duanya adalah ketika aku menghadapi pandemi dan ketika aku pindah meninggalkan kota Bandung yang sudah dua puluh satu tahun kudiami. Yang lebih membuat overwhelmed, keduanya kualami secara bersamaan pada tahun 2021.

Perubahan Akibat Pandemi

Pandemi yang saat itu terjadi secara global memaksa dunia ini berhenti sejenak. Ketika perlahan roda kehidupan mulai berputar kembali setelah kita mengalami lockdown, tentu ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan.

Dari aspek kesehatan, kita diperkenalkan pada perilaku 3M sebagai upaya mencegah sekaligus memutus rantai penularan Covid-19, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Masker kain dapat menurunkan risiko penularan Covid-19 sebesar 45 persen, sedangkan masker bedah mampu menekan penyebaran virus Covid-19 hingga 70 persen.

Sebagai upaya untuk menghindari kerumunan dan mengurangi risiko penularan, sekolah-sekolah dan institusi perguruan tinggi menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Perkantoran merombak sistem kerja menjadi Work From Home (WFH) untuk mencegah karyawannya terpapar Covid-19 ketika berada di kantor maupun di perjalanan. Tak ayal dengan sistem semacam ini, masyarakat dipaksa beralih dari tatap muka ke sistem yang menggunakan platform digital dan memerlukan koneksi internet sebagai imbasnya.

Perubahan ini tentu dialami pula oleh keluarga kami. Masker, cairan pembersih tangan, serta disinfektan menjadi peralatan wajib. Kami menjadi jarang keluar rumah bila tidak ada urusan yang terlalu penting. Kegiatan berbelanja kami lakukan melalui aplikasi belanja daring. Agenda jalan-jalan saat liburan terpaksa harus kami buang jauh-jauh.

Kuota internet kami tingkatkan karena ada tiga anak yang mengikuti PJJ dan dua orang dewasa yang menjalankan WFH. Suasana rumah yang semula sepi di siang hari menjadi ramai oleh suara-suara kami yang tengah mengikuti pertemuan melalui aplikasi komunikasi daring berbasis video. Kami bahkan harus ekstra bersabar karena gangguan-gangguan kecil dari anak-anak sering muncul menghiasi layar komputer saat kami sedang melakukan pertemuan daring.

Di satu sisi, kami bersyukur bisa melewati pandemi sebagai keluarga yang berkumpul bersama. Tentunya ini adalah kebahagiaan karena selama tiga belas tahun pernikahan, aku dan anak-anak terpisah jarak Bandung-Jakarta dengan suamiku.

Namun, di sisi lain, frekuensi bertemu yang semakin meningkat dan kecenderungan anak-anak untuk mulai bosan karena banyak terkurung, mengakibatkan rumah menjadi lebih riuh karena pertengkaran dan perselisihan. Belum lagi jika kami sebagai orang tua kadang kelepasan dan tidak dapat mengontrol diri karena beban pekerjaan, sementara anak-anak sedang susah diatur … wah, rumah rasanya seperti sedang mengalami perang dunia.

Waktu itu aku sempat mengalami panic attack karena kecemasan berlebihan, apalagi di rumah kami ada satu bayi enam bulan dan satu lansia. Kecemasanku mencapai puncaknya ketika suami terinfeksi Covid-19 generasi awal, yang membuatnya harus dirawat inap dan terpisah dengan kami selama dua puluh lima hari.

Pandemi memang berat bagi semua orang. Setiap keluarga memiliki perjuangan masing-masing untuk bisa bertahan. Kebiasaan baru yang bersifat penjagaan kesehatan fisik seperti 3M tentu dibarengi dengan kebiasaan untuk menjaga kesehatan mental. Jika bukan karena pertolongan Allah, kurasa kita semua tak akan survive menghadapi pandemi kala itu.

Meninggalkan Bandung

Aku memang tidak lahir dan tumbuh besar di Bandung, tetapi aku telah menghabiskan lebih dari separuh usiaku di kota itu. Ketika aku pertama kali datang ke Bandung dua puluh lima tahun silam, Kota Kembang berhawa sangat dingin—apalagi untuk ukuran seorang bocah asal Solo sepertiku. Malam-malamku sebagai mahasiswa baru cukup sering berkemul tebal, terutama ketika kemudian aku pindah ke bilangan Bandung bagian utara.

Bandung bagian utara sungguh memesona. Di situ aku mengalami pasang surut dinamika kehidupan kampus, bergulat dengan aktivitas kemahasiswaan, lalu berhasil lulus hidup-hidup dari sana. Aku sempat mengembara sebentar, untuk kemudian kembali dan menetap di situ pascamenikah.

Setelah itu kehidupanku banyak berpusar di Bandung bagian utara. Mulai dari kantor, sekolah anak-anak, rumah sakit, tempat olahraga, tempat belanja … semua kami lakukan di situ. Tidak heran kemudian Bandung menjadi bagian penting dari hidupku, yang menyedot semua cintaku seperti aku mencintai kota kelahiran.

Di Bandung pula aku belajar mencintai lari. Di setiap jalan yang kususuri sambil berlari, di situ tertinggal sekeping kenangan. Tak pernah bosan aku mengukur jarak di jalanan Bandung. Di antara lika-likunya terserak memorabilia yang mengukuhkan betapa cantiknya kota ini.

Bandung juga adalah surga makanan. Jajanan di sini sangat bervariasi. Pilihan tempat makan dan nongkrong beragam. Tempat main pun tak terhitung jumlahnya. Tak lupa juga, dengan banyaknya sarana kajian untuk menimba ilmu agama, selalu ada tempat kembali bagi jiwa-jiwa yang penat dengan kehidupan dunia.

Maka bagiku Bandung adalah tempat pulang, tempat yang kupikir dulu bakal menjadi suaka hingga akhir hayat. Dan ketika takdir akhirnya berkata lain, banyak penyesuaian yang harus aku lakukan.

Berbulan-bulan setelah pindah dari Bandung, aku masih merasa stres. Aku memang bukan tipe orang yang cepat beradaptasi. Meninggalkan zona nyaman adalah masalah yang berat bagiku. Aku juga tidak mudah berteman. Maka masa-masa awal itu kulalui seorang diri sambil berusaha menyamankan hati.

Hal pertama yang kucari apalagi selain tempat lari. Lari adalah my ultimate way untuk meredakan stres. Untungnya rumahku hanya berjarak tiga kilometer saja dari boulevard Bintaro Jaya, yang terkenal dengan sebutan Bintaro Loop untuk track larinya yang sepanjang dua belas kilometer.

Track lari Bintaro Loop

Untungnya lagi, kantorku saat itu terletak di Puspiptek, sebuah kawasan perkantoran yang asri. Jalanannya yang sepi dari lalu-lalang kendaraan dan kawasannya yang memiliki hutan kecil merupakan tempat yang sangat tepat menyalurkan hobiku berlari. Maka dari situlah masa adaptasiku bermula. Hari-hari terasa lebih mudah kulalui. And then everything else started to fall into place.

Penutup

Teori evolusi Darwin menyatakan “alam akan mengadakan seleksi terhadap makhluk yang ada di dalamnya, hanya makhluk hidup yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang dapat bertahan hidup”. Meskipun kontroversial, kurasa teori itu ada benarnya juga.

Maka ketika ditanya: bagaimana kita bertahan menghadapi perubahan? Well, we don’t. Bentuk pertahanan terbaik adalah dengan cara beradaptasi terhadap perubahan itu sendiri, dengan “bending” melakukan apa saja yang kita bisa untuk bertahan hidup.

We bend so we don't break. It's the only way to stay sane and to stay alive.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret yang bertema “Seni Bertahan Menghadapi Perubahan”.

Tuesday, February 04, 2025

Membangun Kebiasaan

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini mengambil tema “Kebiasaan atau Rutinitas”. Tema yang menarik, kurasa. Mengingat biasanya di awal tahun, orang-orang sibuk membuat resolusi tentang sesuatu dan mulai berniat untuk melakukan kebiasaan baik yang mendukung resolusinya.

Apa sih “kebiasaan itu”? Menurut KBBI, artinya adalah (1) sesuatu yang biasa dikerjakan dan sebagainya; (2) pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh seorang individu dan yang dilakukannya secara berulang untuk hal yang sama. Pendek kata, jika seseorang sudah memiliki kebiasaan tentang sesuatu, dia akan melakukannya dengan rutin, effortless, dan spontan. Spontan maksudnya terjadi otomatis tanpa perlu dipikirkan sebelumnya.

Nah, karena kebiasaan mempengaruhi spontanitas, kita tentunya harus sadar diri dong untuk menjadikan hal-hal baik sebagai kebiasaan. Jadi, ketika kita bersikap spontan, hanya hal-hal baik yang keluar dari lisan dan perbuatan. Misalnya memperbanyak istigfar ketika terkejut. Jadi, bila suatu saat kita terkaget-kaget karena sesuatu, kita akan spontan berucap “Astaghfirullah” dan bukan “Eh, ayam ayam ayam”.

Aku pernah baca–lupa entah di mana–bahwa kebiasaan juga mempengaruhi perasaan dan kecenderungan. Contoh paling gampang adalah soal makanan. Kebanyakan dari kita pasti lebih familiar dengan menu makanan nusantara, maka hal tersebut akan mempengaruhi preferensi kita dalam hal selera. Tentu kita akan memilih rasa yang paling “dekat” dengan menu sehari-hari–bahkan ketika kita sedang bepergian sekalipun–karena hal itu berkaitan dengan kebiasaan.

Mulai dari Niat

Oktober tahun lalu, aku mengajak suamiku melaksanakan Medical Check Up (MCU) mandiri di salah satu laboratorium. Biasanya aku mendapat fasilitas ini dari kantor, tetapi karena mulai tahun kemarin aku pindah direktorat, aku kehilangan fasilitas itu. Berbeda dengan suami, dia memang tidak mendapat fasilitas serupa dari kantornya.

Hasil MCU-ku semuanya baik seperti tahun-tahun sebelumnya. Seperti sudah dapat diduga, karena aku bisa dibilang tidak mengubah pola makan dan pola hidup aktif yang sudah rutin kujalani. Bagaimana dengan suamiku? Hasil MCU-nya “merah” semua.

Sebagai pekerja korporat yang cukup sibuk, ia sering menjalani dinas luar kota dan rapat-rapat hingga malam. Dulu ia orang pertama yang mengajakku berlari, tetapi lama-kelamaan kesibukan menggerus waktunya. Selain tak lagi rutin berolahraga, ia juga tak terlalu menjaga pola makan karena sering makan di luar.

Setelah syok dengan hasil MCU, ia pun berkonsultasi dengan dokter gizi dan dokter spesialis penyakit dalam. Dalam waktu sekejap saja, ia mengubah pola hidupnya secara drastis. Ia kembali rutin berlari tiga kali dalam seminggu. Setiap hari berjalan kaki sejauh lima kilometer dari Stasiun Palmerah ke kantornya di bilangan Gatot Subroto.

Jaga makannya lebih “gila” daripada olahraganya. Tak lagi makan gorengan dan hidangan bersantan, mengurangi asupan karbohidrat dan tepung-tepungan, mengurangi minuman bergula dan makanan manis, cemilan hanya berupa buah potong. Padahal sebelumnya, minuman manis dan gorengan seolah menjadi hal yang melekat pada kesehariannya.

Dalam waktu sebulan setelah MCU pertama, ia kembali cek ke laboratorium. Semua angka-angka merah itu sudah kembali normal, Saudara-Saudara! Berkat pola hidupnya yang berubah, lingkar perutnya juga jauh menyusut. Kini bahkan ia berlari lebih kencang daripada aku dan mendaki gunung lebih kuat daripada biasanya. Bravo, Pak Suami!

Di puncak Gunung Slamet, gunung tertinggi di Jawa Tengah, bersama Pak Suami

Apa yang ingin kukatakan dari kisah di atas adalah … semua kebiasaan berawal dari niat. Istri yang berceramah bertahun-tahun enggak ngaruh, karena tidak ada niat dari dalam. Nah, ketika niat itu muncul, langsung wus wus … semua berubah tanpa dipaksa, rutin berjalan secara effortless.

Kagum sih pada suamiku. Aku sendiri dulu tidak sedrastis itu membangun kebiasaan pola hidup sehat dan aktif. Sekarang aku sering menggodanya dengan melambai-lambaikan sepotong gorengan di depan mukanya. Tahan godaan dong dia, cuma disenyumin saja itu gorengan, hahaha.

Rumus Mengubah Kebiasaan

Dalam suatu kajian Ustaz Weemar yang pernah kuikuti, beliau memaparkan bahwa rumus mengubah kebiasaan itu ada dua: latihan dan repetisi. Latihan diperlukan supaya kita bisa, sedangkan repetisi diperlukan supaya kita terbiasa.

Banyak orang meyakini bahwa waktu yang diperlukan untuk membentuk sebuah kebiasaan baru adalah empat puluh hari, di antaranya Kelly McGonigal yang menulis buku 40 Days to Positive Change atau Tommy Newberry yang menulis buku 40 Days to a Joy-Filled Life. Dari situ dapat disimpulkan, minimal kita berlatih dan melakukan repetisi selama empat puluh hari untuk membentuk sebuah kebiasaan.

Bagaimana dengan waktu yang diperlukan untuk mengubah kebiasaan lama? Memang tidak ada angka yang pasti, tetapi Ustaz Weemar dalam kajiannya menyebutkan bahwa hal tersebut membutuhkan waktu sekitar satu tahun. Hal ini tentu tergantung pada kedalaman tingkat kebiasaannya.

Karena meninggalkan kebiasaan lama itu lebih susah daripada membangun kebiasaan baru, jangan sekali-kali deh kita mencoba melakukan hal-hal yang tidak baik. Karena ketika kebiasaan buruk sudah terbentuk, dia akan mengalahkan akal. Contoh paling gampang adalah kebiasaan merokok. Sudah tahu tidak baik, tetapi tetap dilakukan.

Harus Konsisten

Selain latihan dan repetisi, hal terpenting dalam membentuk kebiasaan adalah sifat istikamah. Menurut KBBI, “istikamah” adalah sikap teguh pendirian dan selalu konsisten. Dalam hal kebaikan, istikamah dapat diartikan tetap konsisten pada jalan yang benar dengan progres kebiasaan yang terus naik (tidak datar) sehingga hari esok lebih baik daripada hari ini.

Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai sekalian manusia. Kerjakanlah amalan-amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan. Dan sungguh, amalan yang paling dicintai oleh Allah yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit." (H.R. Bukhari dan Muslim)

Rutin jogging mengelilingi Monas 2-3 kali seminggu sebelum mulai bekerja

Aku ingin cerita sedikit soal bagaimana aku bisa rutin berolahraga. Jadi, beberapa waktu lalu, seorang teman bertanya, "Pernah nggak, merasa males untuk latihan?"

"Sering!" jawabku.

Malas itu sangat manusiawi. Namun, balik lagi ke faktor WHY yang menjadi titik awal kita memulai semua ini, dan balik lagi ke GOAL yang sudah kita tetapkan untuk dicapai. Biasanya malas itu cuma di awal sesi latihan saja. Begitu sudah mulai ganti baju, pakai sepatu ... ya sudah, sisanya gampang, faktor yang lain mengikuti.

Aku bilang ke teman itu, "Kita sendiri yang susun training plan-nya (dengan pendampingan coach, tentu), kita sendiri yang tetapin waktunya, kita sendiri yang daftar race ... masa iya mau bolos latihan dan ingkar sama diri sendiri?"

Jangan dikira aku ini pelari cepat. Bisa dibilang pelari siput malah. Pace easy run di angka 8. Pace race 10K dan Half Marathon di angka 7. Namun meski siput, bisa dibilang aku jarang bolos latihan.

Aku percaya konsisten dan disiplin ini akan membuahkan hasil, sekecil dan selambat apa pun progresnya. Dijalani saja dengan sabar semua prosesnya. It doesn't matter how fast or slow you run ... once you run, you're a runner.

Balik ke pertanyaan temanku tadi, usahakan tetap konsisten mematuhi jadwal latihan yang telah kita susun. Kalau tiap latihan menunggu motivasi, ya siap-siap saja tidak pernah latihan, hehehe.

Motivation is what gets you started. But consistency is what keeps you going. Consistency means showing up, even if you don't want to. Pace siput pun nggak apa-apa, karena excellence does not mean consistently being great, but great at being consistent.

Mulai Aja Dulu!

Seringkali kita berpikir terlalu rumit untuk memulai suatu kebiasaan. Dalam hal lari, misalnya, kita berpikir untuk bisa lari kencang terlebih dulu, berpikir untuk punya sepatu lari dulu, dll. Padahal tidak demikian.

Tidak ada yang salah, kok, memulai dengan run + walk + run. Tidak ada yang salah juga, jika kita belum punya sepatu lari. Pakai saja yang ada. Yang penting, mulai aja dulu.

Ketika aku pertama mulai berlari, aku hanya bisa jogging sepanjang 2K saja. Sepatu yang kupakai saat itu pun “hanya” sepatu training, bukan sepatu lari.

Dalam hal yoga, banyak juga orang yang enggan memulai karena merasa dirinya tidak lentur (ya makanya kita yoga biar tubuh kita lentur). Tidak usah berpikir harus punya matras yang bagus, tidak usah melirik-lirik teman sebelah yang sudah bisa melakukan berbagai pose yang fancy. Yang penting, mulai aja dulu.

Percaya atau tidak, matras pertamaku harganya cuma 100 ribuan karena cari diskonan, bahannya gampang mrudul pula, hahaha. Jangankan pose akrobatik, pose-pose backbend dan arm balances pun banyak yang aku tidak bisa, wkwkwk.

Kalau mau sedikit tips untuk memulai, beberapa hal di bawah ini mungkin bermanfaat.

  • Tentukan motivasi pribadi yang menjadi alasan utama mengapa kamu melakukan hal itu. Dalam kasus suamiku di atas, motivasi utamanya adalah ingin hidup lebih sehat karena merasa jalan hidup masih panjang, masih harus membiayai orang tua dan anak-anak yang masih kecil-kecil, dan ingin membersamai keluarga sampai tua dalam keadaan sehat dan bugar.
  • Lakukan kebiasaan yang paling kamu sukai. Dengan melakukan hal yang kamu sukai, tentu kamu tidak akan berat untuk memulai.
  • Buat target yang mudah dicapai. Bagi sebagian orang, target membuat mereka lebih termotivasi dan bersemangat.
  • Dan yang terpenting adalah: mulai aja dulu. Ojo kakehan dipikir.

Penutup

Membangun kebiasaan memang erat kaitannya dengan komitmen dan disiplin. More discipline, less excuses. Mohon maaf jika contoh-contoh dalam tulisan ini banyak bercerita tentang kebiasaan berolahraga ya, karena saat ini … itulah salah satu kebiasaan yang secara effortless sudah rutin kami lakukan.

Satu kalimat terakhir tentang membangun kebiasaan: berpikir besar, mulai dari yang kecil, dan mulai dari sekarang.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Februari yang bertema “Kebiasaan atau Rutinitas”.