“Iya, Bu. Sebentar lagi aku ke rumah sakit. Ini masih rampungin kerjaan dulu.” Aku menutup sambungan telepon dari Ibu, lalu menghela napas.
Ini kali kedua bulan ini Bapak dirawat karena penyakit jantungnya. Biaya rumah sakit yang cukup fantastis memang ditanggung asuransi, sayangnya tidak semuanya. Beberapa jenis obat yang mahal harus ditebus dari kocek sendiri. Aku membuka aplikasi mobile banking dan mengecek saldonya. Seharusnya masih cukup, batinku.
Mataku masih tertumbuk pada layar ponsel ketika notifikasi pesan dari istriku masuk. “Pa, tagihan uang buku Kakak dan Adik sudah ada, nih. Paling lambat dibayar tanggal dua puluh,” tulisnya. Aku menghela napas lagi.
Sebagai kepala keluarga, aku harus berlaku setegar karang. Adakalanya tubuh ini remuk redam dihempas kesibukan dan kebutuhan, tetapi roda kehidupan harus terus kukayuh dengan lancar. Pergi dari rumah saat pagi buta dan kembali ke rumah kala langit gelap, membuatku rindu akan sosok istri dan anak-anakku. Aku sedih tak bisa meluangkan banyak waktu untuk mereka. Namun, aku tentu akan lebih sedih jika tak mampu menghadirkan kehidupan yang layak.
Setiap hari aku pulang dalam keadaan letih, tetapi keluargaku tak perlu tahu segala lelah yang teramat sangat. Tubuh selalu berteriak meminta rehat. Pusing kepala kadang terasa menyengat. Namun, lebih sering kuabaikan saja karena aku lebih memilih tertawa dan bercanda dengan keluarga.
Seolah semua itu belum cukup, sebagai anak tunggal tentu aku harus memikirkan kehidupan orang tuaku. Sandwich generation, mereka bilang. Suatu keadaan yang memaksaku lebih keras bekerja untuk memenuhi tanggung jawab pada keluarga.
Siang itu suasana kantor seperti prahara, tetapi aku tak bisa ambil peduli. Akan kupikirkan itu nanti. Aku harus segera ke rumah sakit untuk menebus obat Bapak. Jika tidak segera diminum, Bapak akan merasakan sakit di dadanya lebih lama. Aku menyetop taksi dengan tergesa-gesa.
Malam telah larut ketika aku tiba di rumah. Penat melanda seluruh tubuh, tetapi kuurungkan niat beristirahat karena istriku meminta waktu untuk bercengkerama berdua. Kukabulkan saja permintaan itu, sambil tak lupa kuhadirkan senyum termanis untuknya. Aku tahu dia juga lelah mengurus rumah, sementara dulu kuminta dia dari ayahnya bukan untuk kuajak hidup susah. Istriku yang bermata pijar itu tak perlu tahu segala kendala. Tak juga berita PHK yang siang tadi kuterima.
No comments:
Post a Comment