Ketika pertama kali mulai berlari pada 2015, aku sungguh tak punya ilmu apa pun soal olahraga yang satu ini. Niat untuk berlari awalnya terbersit dari self challenge untuk menaklukkan olahraga yang dulu amat kubenci. Perasaan senang melihat keriaan suami dan teman-temanku saat berlari membawaku pada keinginan untuk ikut menjajal, syukur-syukur bisa menemani suamiku berlari ketika ada race.
Saat itu aku hanya menggunakan sepatu yang ada saja, yang belakangan kutahu merupakan sepatu training belaka, hahaha. Bergabung dengan Mamah Gajah Berlari, aku mulai mendapatkan informasi mengenai pentingnya memilih sepatu lari yang tepat. Setiap sepatu itu memiliki peruntukannya masing-masing. Bahkan dalam kategori sepatu lari pun ada beraneka peruntukan. Berdasarkan tujuan pemakaian, ada sepatu lari untuk daily training, easy run, long run, speedwork (tempo run, interval run, fartlek), race, dan trail run. Berdasarkan tipe kaki, ada sepatu lari yang netral, slim, wide, atau stability shoes untuk flat feet, high arch, supination, dan pronation.
Dalam sebuah training plan yang lengkap, menu latihan seorang pelari sebaiknya mencakup berbagai jenis latihan endurance, easy run, long run, speedwork, serta strength training. Hal ini penting karena berlari tidak sekadar berlari: ada endurance yang harus dibangun dengan long run, ada kapasitas paru-paru yang harus dilatih dengan speedwork, ada otot-otot yang harus diperkuat dengan strength training. Jadi, sudah terbayang berapa jenis sepatu yang harus dimiliki oleh seorang pelari? Hahaha.
Selain itu, memiliki lebih dari satu pasang sepatu ternyata juga sangat dianjurkan. Ketika berlari, kaki kita menerima impak tekanan yang berulang-ulang. Hal ini semakin lama akan membentuk bagaimana otot di kaki bekerja menyerap tekanan. Berlari hanya dengan satu pasang sepatu lari membuat kaki hanya terbiasa pada satu kondisi tertentu. Ketika ada kondisi yang berubah–seperti kondisi jalan, pace, stride, cadence, atau bahkan berat badan–otot di kaki tidak terbiasa dengan kondisi tersebut. Hal ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan kekuatan otot yang membuat otot tidak maksimal menyerap impak saat berlari sehingga berisiko cedera.
Tubuh manusia sebenarnya sangat pintar beradaptasi pada berbagai kondisi. Namun, ketika hanya dilatih pada satu kondisi saja, kemampuan adaptasi tersebut bisa melambat dan respon tubuh menjadi tidak maksimal ketika dihadapkan pada kondisi baru. Menurut @runtothefinish, lari dengan sepatu yang dirotasi melatih kaki untuk merespon pada kondisi yang berbeda-beda sehingga otot kaki jadi lebih siap menyerap impak tekanan saat lari.
Sebagai pelari hore yang berusaha serius berlatih, tentu aku berusaha menerapkan kaidah di atas. Namun, kapasitasku belum seserius atlet atau sekeren pelari-pelari kece sehingga aku merasa belum perlu membeli sepatu-sepatu terbaik di kelasnya. Maklum pace masih lambat banget, malu rasanya bila membeli sepatu mahal sekelas atlet-atlet marathon kenamaan. Levelnya belum sampai situ, cuy. Hahaha. Pilihanku rata-rata jatuh pada jenis-jenis sepatu overall / all rounder, yaitu sepatu yang dapat dipakai untuk semua jenis latihan, meskipun sebenarnya ia juga memiliki kekhasan peruntukan.
Nike Free RN 2017, sepatu lari pertama yang kuperoleh dari hasil berburu garage sale |
Beberapa sepatu lari yang pernah aku pakai:
- Nike Free RN 2017
- Hoka One One Rincon
- Nike Epict React Flyknit
- Adidas Ultraboost 19
- Asics GlideRide 2
- Nike React Infinity Run Flyknit 2
- Hoka One One Rincon 3
Dari semua sepatu di atas, tidak semuanya cocok dan nyaman kupakai. Sampai saat ini, ada dua sepatu yang jadi favorit banget karena terasa nyaman dan plek di kaki, yaitu Hoka One One Rincon dan Nike React Infinity Run Flyknit. Pada tulisan kali ini aku ingin mengulas dua jenis sepatu tersebut, barangkali bermanfaat buat pembaca yang sedang mencari sepatu lari.
Hoka One One Rincon
Yang paling juara dari Rincon adalah harga dan bobotnya. Rincon adalah sepatu keluaran Hoka One One yang paling low budget. Rincon versi pertama berbobot sangat ringan (218 gram) dan versi terbaru (versi ketiga) malah berbobot lebih ringan lagi (210 gram). Meskipun ditujukan untuk pemakaian speed training, Rincon juga cocok untuk daily run, easy run, dan long run.
Sepatu Rincon pertamaku: warna Heather Rose |
Menempuh ratusan kilometer bersama Rincon Heather Rose |
Bagian atasnya cukup breathable karena materialnya menggunakan mesh upper, bagian depannya cenderung wide, tipe arch support-nya untuk tipe kaki netral, lebih cocok untuk pelari yang landing-nya bertipe forefoot/midfoot strike, dan paling cocok untuk medan road running.
Satu-satunya kekurangan Rincon adalah durability. Sol kakinya cepat sekali aus meskipun pemakaiannya normal (tidak berlebihan) sehingga lifetime mileage-nya tak akan sampai 600 km seperti sepatu kebanyakan. Aku pernah terpeleset beberapa kali ketika sedang memakai Rincon karena masih juga kugunakan meskipun mileage-nya sudah 800-an km. Yah, memang masalah yang dicari-cari sendiri ini sih karena solnya sudah aus sekali, hahaha.
Hoka One One Rincon 3 warna Blue Glass, sepatu Rincon kedua yang kumiliki |
Pada akhirnya aku membeli Rincon 3 sebagai ganti, dan menurutku versi terbaru ini lebih empuk dibandingkan versi pertama. Selain lebih nyaman, konon Rincon 3 juga lebih stabil dan lebih tahan lama dibandingkan seri-seri sebelumnya.
Heel to toe drop: 5 mm
Forefoot height: 24 mm
Heel height: 29 mm
Nilai keseluruhan dari Run Repeat:
- 90 (superb) untuk Rincon
- 88 (great) untuk Rincon 3
Nike React Infinity Run Flyknit 2
Yang paling aku sukai dari React Infinity adalah kemampuannya untuk nge-locked kaki saat dipakai. Jadi rasanya plek banget di kaki bagaikan diselimuti. Peruntukan sepatu ini adalah untuk daily running dan long run. Tidak seperti “saudaranya” Nike Vaporfly atau Alphafly yang memang ditujukan untuk speed training dan race, React Infinity memiliki spesifikasi yang pas sekali untuk daily running: cushion-nya terasa empuk dan nyaman, lebih responsif dibanding Nike Epic React (karena lebih mentul-mentul) tetapi masih stabil untuk sekadar dipakai berjalan kaki.
Nike React Infinity Run Flyknit 2 warna Black, sepatu paling favorit |
Seperti yang aku kutip dari Run Repeat: “it's not going to make you run fast, but it does offer a smooth, easy, soft and cushioned ride”. That’s why cocok buat pelari hore macam aku, yang lebih butuh sepatu yang durable dan nyaman untuk pace pelan, dan lebih suka berlatih endurance daripada speed.
Sama seperti Rincon, bagian atas React Infinity ini cukup breathable karena materialnya menggunakan knit upper, bagian depannya cenderung slim (sehingga lebih baik membeli satu nomor lebih besar dibandingkan ukuran biasa), tipe arch support-nya untuk tipe kaki netral, lebih cocok untuk pelari yang landing-nya bertipe forefoot/midfoot strike dan heel strike, serta paling cocok untuk medan road running.
Half Marathon kedua bersama React Infinity kesayangan |
Meskipun beratnya 302 gram (lebih berat daripada Rincon dan Epic React yang biasa kupakai), aku hampir tidak menemukan kekurangan lain dari React Infinity ini. Berat segitu masih bearable buatku, masih jauh lebih ringan daripada sepatu-sepatu Ad*d*s. Yes I’m a satisfied customer, hahaha. Oleh karena itu, sepatu ini adalah sepatu yang paling sering kupakai. Baru tujuh bulan, mileage-nya sudah hampir 600 km … dan solnya masih baik-baik saja.
Heel to toe drop: 7 mm
Forefoot height: 24 mm
Heel height: 33 mm
Nilai keseluruhan dari Run Repeat: 86 (great)
Baiklah, sepertinya sudah cukup yaa ulasan sepatu lari favoritku. Semoga bermanfaat. Ingat: yang penting bukan hanya sepatunya, melainkan juga konsisten latihan larinya, hehehe.
*Tulisan ini dibuat dalam rangka "Nulis Kompakan Mamah Gajah Ngeblog" bulan Mei 2022 dengan tema "Review Produk"