Hal yang paling drastis mengalami perubahan pada masa pandemi ini adalah kehidupan sosial. Betapa tidak … menjaga jarak dan tidak berkerumun adalah dua protokol kesehatan yang harus selalu diterapkan. Dua hal ini menjadi penghalang utama bagi manusia—yang katanya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain—untuk berkumpul dan bersosialisasi secara tatap muka.
Bicara tentang aspek manusia sebagai makhluk sosial, kebutuhan untuk bertemu dan berkumpul dengan orang lain itu sudah mendarah daging dalam filosofi hidup bangsa kita—mumpung masih bulan Agustus, nih … tema kebangsaan masih terasa hangat dalam ingatan. Itulah alasan sila keempat Pancasila dilambangkan dengan kepala banteng. Sekadar informasi, banteng adalah hewan yang suka berkumpul dengan kawanannya sehingga dipandang paling pas untuk menggambarkan “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Sejarah panjang nenek moyang kita yang hidup dalam kerukunan dan gotong royong tentu tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan berkumpul ini.
Untungnya kita sekarang hidup di zaman yang serba dimudahkan oleh teknologi. Meskipun tidak bisa bertatap muka secara langsung, kita masih bisa bertemu melalui aplikasi komunikasi yang menggunakan video dalam berbagai perangkat baik seluler maupun desktop. Dengan adanya internet of things, manusia di zaman milenial ini masih bisa berkumpul secara daring, menatap wajah yang lain, dan menyaksikan ragam ekspresi lawan bicara melalui layar. Hubungan sosial semacam ini tentu pada akhirnya menjadi lazim dilakukan di masa pandemi ini karena kita tidak memiliki pilihan lain.
Ada nilai plus dan minus dari kehidupan sosial yang seperti itu. Nilai plusnya banyak terkait dengan kepraktisan dan kemudahan. Kita tidak perlu pergi menaklukkan jarak keluar rumah untuk bertemu dengan orang lain. Bahkan dalam kondisi berdaster pun kita bisa mengadakan rapat dari pojokan rumah. Namun, beberapa nilai minus juga terpaksa kita rasakan. Terlalu banyak screen time dan paparan gawai pada suatu titik justru dapat menjadikan kita antisosial dan teralienasi dari orang-orang terdekat. Bagi sebagian orang, engagement yang didapat dari jumlah like pada postingan dianggap lebih penting daripada kualitas hubungan pertemanan.
Mari berdoa semoga pandemi ini cepat berakhir agar kita dapat bertemu kembali dan berbagi jabat tangan, pelukan, tawa renyah, tatapan hangat, bahasa tubuh, dan kontak mata yang tak lagi berjarak.
“In a world of algorithms, hashtags, and followers, know the true importance of human connection.” — unknown