Pernah mendengar kutipan “jadi ibu tidak boleh sakit”? Kutipan tersebut menggambarkan dengan tepat bagaimana peran seorang ibu dalam keluarga. Kita sudah sering menyaksikan betapa hebatnya seorang ibu mengurus keluarga dan mengurus rumah. Dengan tangannya yang serba bisa, ibu mengurus keperluan suami dan anak, menyiapkan makanan, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, dan kadang masih sibuk dengan urusan karir atau urusan sosial di masyarakat. Dengan kondisi yang seperti itu, kesehatan dan kewarasan ibu menjadi sangat penting. Karena jika seorang ibu tidak sehat, entah itu fisik atau mentalnya, kehidupan sebuah keluarga akan menjadi timpang.
Jika kondisi ibu tidak prima, bagaimana dia bisa mengurus
keluarga dengan baik? Seorang ibu yang bahagia akan menghasilkan keluarga yang
bahagia. Oleh karena itu, self care is not selfish. Waktu seorang ibu untuk
menyeimbangkan dirinya menjadi sebuah kebutuhan. Hal ini memerlukan dukungan
dari pihak internal keluarga: yang paling dekat tentu suami dan anak-anak, atau
bisa juga dari kerabat. Namun, ketika dukungan pihak internal tidak ada—misalnya karena suami sibuk bekerja—para ibu bisa beralih mencari dukungan
eksternal seperti daycare, asisten rumah tangga, atau pengasuh untuk “kabur” sejenak dari
rutinitas domestik.
Terkait dukungan internal, aku sangat mengapresiasi para
suami yang memberi kesempatan istrinya untuk recharge diri, entah itu sekadar
menjalankan hobi di dalam rumah atau pergi ke luar rumah untuk refreshing.
Lebih penting daripada itu, selain menyediakan waktu untuk meng-handle urusan
domestik kala istrinya sedang tidak ada, aku juga memberi sepuluh jempol untuk
para suami yang memiliki kepekaan tinggi mengenai kapan istrinya membutuhkan
me time. Aku punya seorang teman yang suaminya sangat memahami dia: ketika dia mulai
rungsing karena mood-nya jelek, suaminya segera mengambil alih
urusan rumah dan anak-anak, lalu mempersilakan temanku ini untuk mengambil
me time. Tindakan seperti ini mungkin
terasa sederhana, tetapi sejatinya berperan besar dalam menumbuhkan cinta dan keharmonisan
rumah tangga.
Lalu bagaimana dengan aku? Seperti apa me time yang biasa
kulakukan? Dan dukungan seperti apa yang kudapatkan? Aku memang cenderung tidak bisa diam dan senantiasa sibuk
beraktivitas sejak zaman mahasiswa dulu. Ketika sudah berkeluarga, kebiasaan
untuk hidup aktif tidak pernah memudar. Seperti yang pernah kuceritakan di
sini, dukungan suami justru memberi andil untuk mendorongku berperan aktif di
luar rumah dan melakukan hobi yang aku suka. Me time yang biasa aku lakukan
tentu berkisar di seputar kegiatan berolahraga, hahaha … sebut saja senam
aerobik, yoga, berlari, hingga fitness di gym. Sementara hobi yang sering aku
lakukan ketika diam di rumah adalah menulis—kebanyakan adalah karya fiksi.
Selain suami yang bersedia dititipi anak-anak ketika aku
berolahraga, dukungan luar biasa juga aku dapatkan dari tanteku dan pengasuh.
Merekalah yang sehari-hari ketempuhan untuk menjaga dan mengawasi anak-anak ketika aku bekerja.
Jujur … aku tak bisa membayangkan bila mereka tak ada. Momen ketika pengasuh
mudik biasanya menjadi momok tersendiri. Don’t get me wrong, aku sangat
menikmati kebersamaan dengan anak-anak. Hanya saja … ketika pengasuh tidak ada,
urusan empat anak sungguh menyita waktu dan membuatku tak bisa meluangkan waktu
untuk me time, bahkan sekadar berolahraga sebentar ke luar rumah.
Aku menyadari, sesungguhnya diri ini tidak ada apa-apanya
bila tidak ada dukungan dari orang-orang terdekat. Kesempatan untuk melejitkan
potensi tidak akan bisa dilakukan kalau tidak ada kewarasan diri. Dengan
kewarasan inilah seorang ibu bisa mengutuhkan dirinya sehingga bisa memberi
dengan maksimal untuk keluarga dan masyarakat. Semoga amal kebaikan suami,
anak-anak, tanteku, dan pengasuh dalam mendukung kewarasanku memperoleh balasan
kebaikan dari-Nya, dan membawa keberkahan dalam keluarga kami.