Baru saja menulis ini dan re-post ini, pada hari yang sama, aku menghadiri takziyah anak teman sekantor. Teman sekantor ini sudah bapak-bapak, dan anaknya yang meninggal itu berusia sekira dua puluh tahunan.
Sebelumnya aku ingin bercerita sedikit tentang re-post yang ini tadi. Sungguh, aku tersedu membaca baris demi baris dalam tulisan itu. Tak terbayang bagaimana batita itu meregang nyawa di tengah kepapaan, masya Allah. Allah pasti sangat mencintainya sedemikian rupa hingga Ia berkenan mengambilnya dari ayahnya yang miskin. Aku yakin semua itu juga pasti yang terbaik dari Allah.
Semenjak punya anak, mata dan hati ini mudah sekali menangis mendengar kisah-kisah tragis tentang anak-anak. Mulai dari pembantaian anak-anak Palestina dalam serangan Israel beberapa waktu lalu, atau sekedar mendengar berita televisi tentang anak yang meninggal dalam mobil karena kehabisan oksigen, tentang anak-anak penderita gizi buruk, tentang anak yang kakinya dilindaskan kereta api oleh ayah tirinya, dan sederet kisah tragis dan kisah ketidakberuntungan lain tentang anak-anak. Masya Allah…
Kembali ke cerita takziyah teman sekantor tadi. Si anak ini memang sudah lama sakit. Waktu dan biaya juga sudah lama terkuras. Mungkin ini memang yang terbaik dari Allah. Kisah ini dan kisah re-post tadi sama-sama bertutur tentang orang tua yang kehilangan anak. Jadi ingat, dalam sebuah film yang pernah kutonton (yang diangkat dari kisah nyata) tokoh utama yang ditinggal mati anaknya, berkata, “Tidak seharusnya orang tua menguburkan anak mereka.”
Ya, aku sependapat. Yang lazim adalah anak menguburkan orang tua mereka, bukan sebaliknya. Setiap orang tua di dunia ini pasti berharap bisa melihat anaknya hidup bahagia, sehat, dan sukses. Maka kepedihanlah yang timbul bila ternyata si anak pergi mendahului orang tuanya. Keperihanlah yang menyeruak ketika buah hati yang dicintai pergi meninggalkan kita. Bagaimanapun mereka darah daging kita, yang kepadanya kita memuarakan doa dan harapan, yang untuknya kita rela mengorbankan harta dan nyawa, yang padanya kita tak kuasa melihat kesakitan dan sengsara.
Teriring doa setulus hati: “Ya, Allah. Senantiasa berikanlah kepada anak(-anak) hamba kesehatan, keselamatan, perlindungan, dan penjagaan. Jauhkanlah ia dari segala penyakit dan marabahaya. Optimalkanlah pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan, fisik, dan emosinya. Jadikanlah ia qurrota a’yun bagi kami, jadikanlah ia hambamu yang shalih, jadikanlah ia anak yang berbakti pada orang tua. Serta jadikanlah kami orang tua terbaik baginya, dapat memberikan yang terbaik baginya untuk bekal di dunia dan di akhirat. Amin.”
Sebelumnya aku ingin bercerita sedikit tentang re-post yang ini tadi. Sungguh, aku tersedu membaca baris demi baris dalam tulisan itu. Tak terbayang bagaimana batita itu meregang nyawa di tengah kepapaan, masya Allah. Allah pasti sangat mencintainya sedemikian rupa hingga Ia berkenan mengambilnya dari ayahnya yang miskin. Aku yakin semua itu juga pasti yang terbaik dari Allah.
Semenjak punya anak, mata dan hati ini mudah sekali menangis mendengar kisah-kisah tragis tentang anak-anak. Mulai dari pembantaian anak-anak Palestina dalam serangan Israel beberapa waktu lalu, atau sekedar mendengar berita televisi tentang anak yang meninggal dalam mobil karena kehabisan oksigen, tentang anak-anak penderita gizi buruk, tentang anak yang kakinya dilindaskan kereta api oleh ayah tirinya, dan sederet kisah tragis dan kisah ketidakberuntungan lain tentang anak-anak. Masya Allah…
Kembali ke cerita takziyah teman sekantor tadi. Si anak ini memang sudah lama sakit. Waktu dan biaya juga sudah lama terkuras. Mungkin ini memang yang terbaik dari Allah. Kisah ini dan kisah re-post tadi sama-sama bertutur tentang orang tua yang kehilangan anak. Jadi ingat, dalam sebuah film yang pernah kutonton (yang diangkat dari kisah nyata) tokoh utama yang ditinggal mati anaknya, berkata, “Tidak seharusnya orang tua menguburkan anak mereka.”
Ya, aku sependapat. Yang lazim adalah anak menguburkan orang tua mereka, bukan sebaliknya. Setiap orang tua di dunia ini pasti berharap bisa melihat anaknya hidup bahagia, sehat, dan sukses. Maka kepedihanlah yang timbul bila ternyata si anak pergi mendahului orang tuanya. Keperihanlah yang menyeruak ketika buah hati yang dicintai pergi meninggalkan kita. Bagaimanapun mereka darah daging kita, yang kepadanya kita memuarakan doa dan harapan, yang untuknya kita rela mengorbankan harta dan nyawa, yang padanya kita tak kuasa melihat kesakitan dan sengsara.
Teriring doa setulus hati: “Ya, Allah. Senantiasa berikanlah kepada anak(-anak) hamba kesehatan, keselamatan, perlindungan, dan penjagaan. Jauhkanlah ia dari segala penyakit dan marabahaya. Optimalkanlah pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan, fisik, dan emosinya. Jadikanlah ia qurrota a’yun bagi kami, jadikanlah ia hambamu yang shalih, jadikanlah ia anak yang berbakti pada orang tua. Serta jadikanlah kami orang tua terbaik baginya, dapat memberikan yang terbaik baginya untuk bekal di dunia dan di akhirat. Amin.”