Thursday, February 21, 2008

Meniti Asa

So here I am. Kembali berada di Bandung, kota yang mewarnai hidupku sejak delapan tahun silam. Segalanya berbeda sekarang. Aku bukan lagi mahasiswa. Kini aku seorang istri, calon ibu, dan tentu saja... orang yang mencari penghidupan.

Aku tak tahu apa yang membawaku kembali ke sini. Nasib, peruntungan, takdir, ataukah keinginan orang lain? Tak pernah terpikir sedikit pun untuk menjalani kehidupan seperti ini. Jauh dari orang tua, jauh dari sanak saudara, bahkan jauh dari suami, belahan jiwa yang padanya kulabuhkan segalanya. Hanya Allah dan buah hati dalam perut ini saja yang menemani.

Banyak orang bilang aku beruntung. Memang susah mencari pekerjaan sekarang ini. Lalu bahagiakah aku? Aku tidak tahu. Ada saat di mana perasaanku mencapai titik nadir. Merasa menjadi martir demi keinginan orang lain. Hanya prasangka baik pada-Nya saja yang membuatku bertahan. Meskipun, kalau boleh jujur, bukan kehidupan seperti ini yang aku harapkan.

Mungkin ini bagian dari proses pendewasaan. Serasa mendengar buah hati ini berseru, ”Bunda harus kuat!”

Iya, Nak... Bunda harus kuat. Meski air mata menggenangi pelupuk, meski kekhawatiran menggoyahkan asa, meski malam-malam terasa panjang dalam penantian. Terima kasih, Nak... atas penghiburan yang menyenangkan, ketika Bunda merasakanmu bergerak-gerak dalam perut Bunda. Bunda jadi sadar kalau Bunda tidak sendiri. Kita hadapi ini sama-sama ya, Nak.

So here I am. Kembali menapaki jalanan kota Bandung. Selalu ada tanya tak berkesudahan: apakah semua ini layak untuk dijalani? Hanya sang waktu yang akan menjawab.

4 comments:

  1. Hugs, Yustika.. yang sabar, ya.. Insya Allah selalu diberi kekuatan!

    ReplyDelete
  2. sabar ya yus...semangat ya..atinya dienak2in ya..*hugs*

    ReplyDelete
  3. (Sekali lagi) maaf ya atas komentar ini. Dari postingan-postingan terdahulu, bukankah kamu sudah cukup bahagia tinggal bersama suamimu di Cikarang dan hidup sebagai ibu rumah tangga? Kenapa sekarang kamu malah bekerja di Bandung? Aku yakin, sebelum kamu memutuskan hidup berjauhan dengan suamimu, kamu sudah mempertimbangkan masak-masak akan resiko yang akan kamu hadapi.

    "Faidza 'azamta fatawakkal 'alallah" (apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah). Kamu sudah berani mengambil keputusan itu, sekarang kamu harus berani menjalaninya.

    Bukankah akan menjadi kenangan yang lebih indah, jika kesedihan diikuti dengan ketegaran?

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete