Selasa, 12 Juni 2007
Hari ini aku cabut gigi. Ini gigi geraham depan yang udah mati dan rusak parah. Mahkota giginya udah nggak ada, tinggal lubang aja. Harusnya udah dicabut sejak zaman kuda gigit besi, tapi aku selalu males. Tadinya sih aku pede aja. Toh sejak aku kelas satu SMP, aku udah sering bolak-balik ke dokter gigi *waktu itu aku pakai kawat gigi jadi harus rajin kontrol*.
Kesan pertama lihat dokternya: wah, kok nggak simpatik banget. Perasaanku udah nggak enak aja. Ternyata kejadian deh, saat-saat menyeramkan itu datang juga. Selama hampir sejam, gigiku diongkek-ongkek dan ditarik-tarik. Sempat patah beberapa kali, sempat tambah dosis suntik biusnya sampai tiga kali *bayangkan: tiga kali!*, darahnya sampai menetes ke jilbabku.
Karena tingkat kesulitannya lumayan tinggi, dokternya tambah bete. Masak cabut gigi pasien sambil berkeluh kesah, mana bisa pasiennya tenang. Karena dia bete, narik-nariknya makin nggak manusiawi. Aku yang udah capek mengelojot dan menggeram *sakit banget, tau* akhirnya cuma bisa terduduk lemas. Disuruh menelengkan kepala dan membuka mulut lebih lebar pun aku nggak mau. Udah males.
Setelah cuilan gigi yang bikin dokter itu bete bisa diambil, aku pun lega luar biasa. Sambil bersungut-sungut aku ninggalin kursi ”penyiksaan”. Eh lha kok dokternya bilang sambil dongkol, ”Lain kali kalau cabut gigi nggak usah nunggu sampai separah itu.”
Oalah, Pak Pak... udah nggak bikin tenang pasien, udah nyiksa pasien, lha kok masih marah-marah sama pasien. Males banget ke situ lagi. Nggak lagi deh.
Oh betapa aku merindukan dokter gigi kesayanganku di Balongan, yang meskipun laki-laki, beliau bisa ramah, sabar, lembut, dan kata-katanya menenangkan. Beliau pasti udah sepuh banget sekarang *masih buka praktek nggak ya?*
No comments:
Post a Comment