Kamis, 28 Desember 2006
Pukul empat pagi, telepon rumah berdering-dering. Aku yang setengah bangun hanya mampu menangkap selintas percakapan telepon itu, entah Mami atau Papi yang menerima. Meskipun demikian, jelas tertangkap telingaku bahwa telepon dari rumah sakit itu mengabarkan: Eyang Putri telah berpulang.
Jenazah sampai di rumahku sekira pukul enam. Sejak sebelumnya, orang-orang telah sibuk mempersiapkan segala. Aku sendiri yang mengetik dan mencetak surat lelayu itu. Masih dengan kesadaran yang setengah, tentang perpisahan selamanya dengan sosok terkasih itu.
Eyang Putri kami, yang akrab dipanggil dengan sebutan Mbah Uti, telah lama sakit-sakitan. Rasanya sejak Eyang Kakung berpulang 2004 lalu, kondisi fisik dan psikis Mbah Uti semakin menurun. Sensitif, manja, gampang marah, dan gampang menangis jadi perangainya. Tekanan darah tinggi dan penyakit jantung jadi teman karibnya. Lalu terkena stroke-lah beliau, hingga terpaksa dirawat di rumah sakit akhir November lalu.
Sempat pulang dari rumah sakit selama seminggu, Mbah Uti kembali masuk rumah sakit sepulangku dari Jakarta. Dokter bilang, beliau mengalami kejang otak (cerebral) hingga sebagian otaknya berhenti berfungsi. Syaraf bicara pun rusak, hingga komunikasi hanya dilakoni lewat kontak visual. Pun jua usus (atau lambung?) yang mengalami pendarahan karena tak kuat digempur obat. Masya Allah...
Menjelang kepergiannya, Mbah Uti sangat pendiam. Siapapun tahu betapa sakit fisiknya dengan sakit yang demikian, tapi tak sedikitpun beliau mengeluh. Seolah siap dipanggil pergi, beberapa kali --waktu masih bisa bicara-- beliau berkata melihat mendiang Eyang Kakung menunggui beliau di lorong rumah sakit. Rindu yang tak terperi membuat halusinasi? Atau naluri yang memberi indikasi akan kepergian abadi? Entahlah...
Hari itu pukul satu siang, mobil jenazah menderu melewati jalanan Solo. Aku di dalamnya di samping peti jenazah, menebar bunga mawar sepanjang jalan. Aku mengharu biru, melihat banyaknya pelayat yang hadir dan mengantar ke pemakaman. Keinginan Mbah Uti-lah untuk disemayamkan di rumah Sumber --rumahku, yang jadi rumah duka-- seperti mendiang Eyang Kakung. Biar pelayat yang datang banyak, kata beliau. Maklum, Mbah Uti tinggal bersama keluargaku selama hampir 27 tahun, sejak orang tuaku menikah sampai beberapa bulan lalu. Di bulan-bulan terakhir hidupnya, beliau dipindahkan ke rumah Bulik untuk mengintensifkan perawatan.
Lihat, Mbah Uti. Banyak sekali yang mengantarmu pergi. Banyak sekali yang mengirim doa untukmu. Kataku dalam hati, sepanjang jalan sambil menahan air mata.
Rabu, 10 Januari 2007
Hari telah berganti. Kesibukan itu memang telah berakhir, tapi kini justru datang saat yang menyakitkan. Kekosongan merayap pelan, menghunjam kesadaran semu tentang kehadiran Mbah Uti. Kamar Mbah Uti di rumahku memang telah kosong, tapi melihat barang-barang beliau tergeletak ternyata sangat menyakitkan.
Kadang bila aku lupa, aku berujar, ”Oiya, Mbah Uti kan emang nggak menetap di sini lagi. Tinggal pergi ke rumah Bulik dan aku akan bertemu lagi dengan beliau.” sebelum aku akhirnya sadar bahwa perasaan itu hanya semu belaka. Pergi ke rumah Bulik tak akan mengubah apapun, karena kamar Mbah Uti di sana pun telah ditinggalkan pemiliknya. Kamar yang kosong, dengan kain batik, selimut, dan jaket peninggalan beliau.
28 Desember lalu aku masih kebas, karena perhatianku tersita untuk kesibukan pemakaman dan handai taulan yang berdatangan. Kini semuanya tampak nyata. Kesadaran yang menampar tentang kepergian Mbah Uti membawaku pada rasa sakit yang perih, meninggalkan sebongkah rasa kosong di hatiku.
Adalah beliau, yang selalu menjaga waktu aku kecil ditinggal pergi bekerja oleh kedua orang tuaku. Adalah beliau, yang menemani dan mengantarku tumbuh berkembang sampai dewasa. She was there at the proposal, but she isn’t gonna be there at the wedding. Penyesalanku kini, adalah mengapa tak menghabiskan banyak waktu dengan beliau dan bersabar menghadapi beliau di masa-masa akhir … benar-benar cucu yang tak berbakti…
I love you, Mbah Uti… and I miss you so much…