Sabtu, 6 November 2004, pukul 07.30. Saya tengah berbincang santai dengan seorang teman di selasar depan tempat wudhu putri di Salman, sembari menunggu adik-adik mentor berkumpul. Tiba-tiba datang seorang teman lain dengan mata berkaca-kaca, “Teh, doakan ya. Semalam Kak Sigit Elektro meninggal…” Saya tertegun tak percaya. Ini lagi bercanda ya? Kok saya --yang nota bene sejurusan dengan Sigit-- tidak tahu?
Sabtu, 6 November 2004, pukul 07.37. Ada sms masuk dari teman sejurusan saya, “Innalillahi wa inna ilaihi roojiun. telah pulang ke hadapan Allah saudara kita Sigit F (EL ‘01) td mlm. mohon doakan beliau dan tolong sebarkan. jazakillah.” Tak kurang selama dua jam berikutnya, rentetan sms dengan kabar senada berebut masuk ke inbox saya. Saya semakin tertegun. Ini bukan main-main. Ini bukan bercanda. Lalu air mata saya menitik ketika seorang adik kelas sejurusan dengan serta merta memeluk saya begitu mendengar kabar serupa.
Sabtu, 6 November 2004, pukul 14.30. Saya memandang rintik-rintik hujan di luar jendela bis yang tengah melaju menuju Brebes, kota kelahiran Sigit. Lintasan-lintasan kenangan menyeruak, membuncahkan rasa perih yang tak mampu saya lukiskan. Sementara rintik hujan semakin menderas, menderas pulalah air yang meloncati kedua pipi saya. Ada rasa tak percaya, ada rasa tak rela…
“Yus, udah nyoblos?” kata Sigit mengingatkan ketika kami bertemu pada Senin, 1 November 2004, di tangga jurusan. Saya mengiyakan sambil lalu. Saat itu memang sedang masa pencoblosan pemilu Ketua HME. Tak pernah menyangka bahwa kalimat tersebut adalah kalimat terakhir yang saya dengar darinya. Hari itu juga, saat saya melihatnya di barisan jamaah shalat ashar di Salman, saya tak pernah menyangka pula, bahwa saat itu adalah saat terakhir kali saya melihatnya.
Di mata saya, Sigit identik dengan pengingatan. Setiap detik darinya adalah pengingatan. Tiap kali bertemu, tak pernah lupa tausiyah-tausiyahnya bertebaran menyejukkan, mengingatkan kami akan hakikat kehidupan. Bahkan saat pertemuan terakhir dengannya, ia masih saja mengingatkan saya agar tak kehilangan hak suara pada pemilu Ketua HME tahun ini. Ia seorang teman yang luar biasa, sekaligus rekan kerja yang hebat.
Sabtu, 6 November 2004, pukul 18.15. Sebuah keluarga yang ramah dan sederhana menyambut saya dan teman-teman. Potret kesedihan tak terkira akibat kehilangan dua orang tersayang --Sigit dan ayahanda-- tampak jelas membayang ketika kami melangkah satu-satu memasuki rumah bercat putih itu. Sembari tergugu, ibunda Sigit menuturkan kisahnya kepada kami.
Kepergian Sigit begitu istimewa. Malam sebelum ia pergi adalah malam ke-23 bulan Ramadhan. Menurut penuturan seorang teman yang menyertai perjalanannya, malam itu ia habiskan dengan tilawah Al Qur’an. Selepas subuh pada Sabtu, 6 November 2004, beberapa saat setelah sang ibunda menghampirinya di ruang ICU, Sigit menghembuskan nafas terakhir setelah mengucap, “Allah…” Bahkan sejak malam sebelumnya sampai saat kepergiannya, sang ibunda tak henti-hentinya mencium wangi bunga melati semerbak memenuhi udara…
Kepulangan Sigit adalah jua untuk menuntaskan rindu sang ibunda. Tiga tahun di Taruna Nusantara dan tiga tahun menggeluti aktivitas kampus yang penuh dinamika, membuatnya senantiasa jauh dari rumah. Kepulangan demi kepulangan sering disinggahinya hanya sebentar, membuat sang ibunda tak bisa berlama-lama melepas rindu. Siapa menyangka, kepulangan kali ini adalah untuk yang terakhir kali. Seolah-olah ia berkata, “Sigit pulang, Bu. Dan nggak akan pergi-pergi lagi.”
Sebuah pengingatan yang sangat berbekas di hati saya yang juga anak rantau, tentang sebuah aktivitas yang sering dianggap sepele: pulang. Jauh dari rumah, kita terlalu asyik berkutat dengan hal-hal yang kita anggap lebih penting. Sementara di rumah, orang tua --terutama ibunda-- sedang berkubang dalam kerinduan dan pengharapan akan sukses kita. Padahal tak kalah penting, kita meluangkan waktu sejenak untuk pulang, untuk kembali bergelung di pelukan ibunda. Selamanya kita tetap kanak-kanak ibunda. Biarkan binar-binar bahagianya menyambut kepulangan kita. Biarkan decak-decak gembiranya mendengarkan kisah-kisah kita. Biarkan lembut sayangnya membelai jiwa kita. Biarkan desah harunya memaknai kedewasaan kita. Maka pulanglah, sebelum tak ada lagi kesempatan buat kita untuk pulang, sebelum kepulangan itu tinggal kepulangan abadi.
When every boat has sailed away
And every path is marked and paved
When every road has had its say
Then I'll be bringing you back home to stay
When every town looks just the same
When every choice gets hard to make
When every map is put away
Then I'll be bringing you back home to stay
Ahad, 7 November 2004, pukul 00.30. Bis yang saya tumpangi menggerung mendaki tanjakan dalam perjalanan kembali ke Bandung. Saya masih juga terisak, merasakan kepedihan atas kehilangan seorang mujahid dakwah. Seharusnya tidak secepat ini ia pergi. Seharusnya ia masih di sini, merenda mimpi-mimpi bersama barisan kami. Seharusnya masih banyak kebaikan yang mampu ia sebarkan pada semesta. Seharusnya canda garingnya masih merenyahkan tawa-tawa kami. Seharusnya masih banyak hal yang mampu ia tunaikan. Seharusnya… seharusnya… beribu kata ‘seharusnya’ menjejali benak saya, bercampur dengan basah air mata membuat saya pusing kepala.
Rela tak rela, kami harus rela. Toh ia bukan milik kami. Toh ia milik Pencipta-nya. Ketidakpercayaan itu, ketidakrelaan itu… sedikit menguap ketika kami menyadari indah kepergiannya.
Sigit Firmansyah. Nama yang akan lekat abadi dalam hati. Selamat jalan, Akhi. Masih jua tak percaya kau telah pergi. Berbahagialah, mungkin Allah telah menyiapkan untukmu seorang bidadari di surga-Nya…