“It is how we respond to suffering that makes us yogis in the world. One thing that I've learned is that there is no right way to deal with grief. Some people feel it right away, some people never get over it, some people run from it until they're ready. Eventually even the toughest times bring us all closer to the seed of awakening and wisdom that comes from an open, strong heart and that carries us through whatever hardship we face with wings of faith.” (Kino MacGregor)
Rasanya masih seperti mimpi. Kadang aku masih merasa hamil, dan butuh waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa aku tak lagi berbadan dua. Kehamilan keempat yang harus berakhir pada minggu ke-14 ini menorehkan lubang besar di dalam hatiku. A big hole that cannot be filled by anything and makes me feel so empty.
Aku menyadari bahwa diriku hamil pada minggu pertama bulan Maret 2015. Beberapa hari sebelumnya aku sudah melakukan tes kehamilan dengan hasil negatif. Tapi aku sudah merasa kemungkinan besar aku hamil. Dan benar saja, tes kehamilan kedua menampakkan hasil positif. Kehamilan yang memang sudah kunantikan, meskipun hampir tak percaya ia datang begitu cepat setelah setahun sebelumnya mengalami keguguran karena janin tidak berkembang.
Strip dua di awal Maret 2015 |
Aku dan suamiku sudah lebih siap kali ini dibanding tahun lalu. Aku menyambut kehamilan keempat ini dengan sukacita, berharap akan melahirkan bayi perempuan. Begitu tahu kalau aku hamil, aku langsung menghentikan semua aktivitas olahraga. Pada usia kehamilan minggu ke-4 aku mengalami flek. Beberapa kali berkunjung ke dokter kandungan dan mendapat obat penguat, lalu sempat juga bedrest, namun flek tak kunjung berhenti. Aku sudah pasrah akan mengalami keguguran lagi. Namun takdir berkata lain, janin berkembang dengan baik dan pada minggu ke-9, flek berhenti. Aku kembali bergembira dan merasa lebih kuat. Kondisi janin sangat bagus dan aku merasa ia akan bertahan sampai saatnya lahir nanti.
Sabtu, 2 Mei 2015. Minggu ke-13, sepuluh hari sebelum ia pergi. |
Senin, 11 Mei 2015
Hari-hari berlalu hingga akhirnya hari itu tiba. Senin itu aku bangun pagi dan mendapati flek di pakaian dalam. Kesibukan pagi memaksaku abai sejenak, hingga kemudian aku merasa ada yang berbeda. Perut bagian bawah terasa sakit seperti nyeri kala haid. Dan ketika aku tiba di kantor, setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan, sepanjang pagi itu aku hanya berbaring karena mulas tak kunjung hilang. Menjelang tengah hari, flek kecoklatan itu telah berubah menjadi merah segar seperti darah. Seketika aku panik, dan setelah menjemput Dek Abi, aku bergegas pergi ke rumah sakit.
Dokter mengatakan aku mengalami kontraksi. Lewat USG, kondisi janin terdeteksi baik dan masih aktif bergerak. Dokter memberiku obat anti kontraksi dan menyuruhku bedrest di rumah. Dia juga bilang, kalau aku tak mau bedrest, bisa-bisa aku dirawat inap untuk diberikan obat anti kontraksi melalui infus. “Obatnya cuma satu, Bu. Istirahat,” demikian katanya. Maka aku pun pulang dan hanya tiduran saja di rumah.
Menjelang maghrib mulas menghebat. Rasanya seperti mulas akan bersalin. Ketika puncak gelombang kontraksi datang, aku sampai meremas-remas sprei saking sakitnya. Suami masih dalam perjalanan Papua-Jakarta. Telepon genggamnya mati, padahal aku butuh saran untuk bertindak. Mami menyarankanku untuk segera pergi ke rumah sakit. Aku mengulur waktu sejenak, berharap mulas mereda. Tapi ternyata mulas masih menghebat dengan jarak kontraksi per 6-7 menit. Akhirnya sekitar pukul 21.00 aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Aku pergi sendiri dengan taksi setelah mencium anak-anak dan mendengar Hanif berkata, “Aku sayang Bunda”. Di dalam taksi yang meluncur membelah jalanan yang mulai sepi, aku terus mengelus perut dan bergumam pada dedek bayi, “Please be safe, please be safe”.
Di IGD Kebidanan, para perawat dengan sigap dan ramah menanganiku. Dokter kandungan yang dikontak akhirnya meresepkan obat anti kontraksi lewat infus, obat ini dosisnya lebih tinggi dibanding obat oral. Beruntung seorang teman datang malam itu dan membantuku mengurus registrasi rawat inap, serta membawakanku minum dan cemilan ringan. Terima kasihku untukmu, Mbak cantik. Semoga Allah membalas kebaikanmu dengan pahala yang berlipat. Setelah diberi obat infus, kontraksi mereda namun masih ada. Pada pukul 00.35, aku dipindah ke kamar rawat inap.
Selasa, 12 Mei 2015
Menjelang pukul 03.00 suami datang, mencium keningku lalu beranjak tidur di sofa. Aku maklum, dia pasti letih. Aku melanjutkan tidur kembali. Sekitar pukul 07.00 dokter datang. Pada saat itu aku memang sudah merasa lebih baik. Aku dapat tidur dengan nyenyak karena kontraksi sudah mereda. Meskipun tak bisa kupungkiri, rasa mulas itu masih sedikit ada. Tampaknya saat itu dokter memutuskan untuk mengganti obat anti kontraksi dengan jenis lain yang dosisnya lebih rendah, karena beranggapan aku sudah membaik. Masih lewat infus tentu saja. Dalam kurun waktu itu, secara rutin perawat memeriksa detak jantung janin dan mendapati kondisinya baik.
Beberapa saat setelah obat diganti, aku kembali merasakan mulas yang kian lama kian menghebat. Makin lama makin sakit dan frekuensinya menjadi lebih sering. Gelombang kontraksi makin rapat hingga menjadi per 3 menit. Rasanya persis seperti akan bersalin. Puncaknya pun tiba. Pukul 10.00 lebih, pada suatu puncak kontraksi yang cukup sakit, tiba-tiba aku merasa ada cairan cukup banyak keluar, mengalir dari bagian bawah tubuhku hingga membasahi pakaian dan sprei. Dengan panik suamiku memanggil perawat. Dua orang perawat datang tergopoh-gopoh, dan setelah memeriksa, salah seorang dari mereka berkata, “Ini ketubannya pecah”. Dokter kandungan pun segera dikontak, sementara para perawat terus mengobservasiku.
Duniaku seakan runtuh ketika akhirnya perawat memberitahu kami bahwa bayiku tak dapat dipertahankan lagi. Mereka mendapati aku sudah mengalami bukaan tiga, dan cepat atau lambat bayiku akan keluar. Mekanismenya mirip sekali dengan persalinan. Sejak ketuban pecah, para perawat kesulitan mendeteksi detak jantung janin. Aku tak tahu bagaimana keadaannya, dan aku dihadapkan pada kenyataan bahwa aku harus merelakan kepergiannya.
Setelah itu aku dibawa ke ruang bersalin untuk mempersiapkan persalinan. Dokter memutuskan aku diberi semacam obat untuk memacu kontraksi agar jalan lahir semakin membuka. Mereka akan menungguku bersalin secara normal dan bayi keluar secara alami. Saat itu, posisi bayi sudah ada di jalan lahir dan detak jantungnya tak lagi terdengar. Menjelang maghrib, dokter membantuku bersalin. Bayi keluar dengan mudah dalam sekali mengejan, dalam kondisi meninggal tentu saja. Plasenta tak bisa langsung keluar, maka mereka menunggu selama beberapa jam sebelum akhirnya dokter memutuskan untuk dilakukan tindakan kuretase keesokan harinya.
Malam itu di ruang bersalin aku menatapnya. He was just so tiny, so innocent. Sosoknya sudah hampir sempurna laksana bayi, hanya saja dalam ukuran mini. Jenis kelaminnya laki-laki, jari-jari kaki dan tangannya pun sudah lengkap. My poor son, dia pasti tak memilih untuk dilahirkan dalam kondisi demikian. I really really feel sorry for him. Malam itu juga suami membawanya pulang untuk dimandikan dan dikafani.
Rabu, 13 Mei 2015
Keesokan harinya aku didorong menuju ruang bedah untuk dikuret. Aku pernah mengalaminya setahun lalu, jadi aku tahu bahwa aku akan dibius total dan tak akan merasakan apapun. Tak ada kekhawatiran sedikit pun soal tindakan kuretase ini. Pikiranku justru melayang kepada bayiku. Ketika aku dikuret untuk mengeluarkan sisa plasenta, jenasahnya dikebumikan. Dalam sunyi, dalam keheningan. Hanya ada suamiku, papiku, dan Pak Ustadz. He went straight to heaven insya Allah.
Selesai dikuret, di tengah-tengah pening yang masih melanda, aku memeriksa telepon genggam. Suami mengirim foto sebuah pusara mungil yang ditaburi dengan bunga. Diberinya caption: makam dedek Muhammad Firdaus Martono. Ah, bayiku sudah diberi nama rupanya.
Makam dedek Muhammad Firdaus Martono |
Now What?
Seminggu telah berlalu. Di hadapan semua orang aku tampak tegar, tapi di malam-malam yang sunyi air mataku menetes. I miss my baby so much. I feel like I love him more and more, even when he's gone.
The worst thing is: it’s just me and my grief, I have no one to talk to. Not even my husband. Kami jarang membicarakan perasaan kami secara terbuka, dia bukan tipe orang yang seperti itu. Dia tak tampak sedih karena katanya dia sudah ikhlas. Yah, bukan berarti aku tidak bisa ikhlas. Hanya saja, ada kekosongan dan kehampaan yang aku rasa, yang tak bisa kudeskripsikan dan kurasa juga tak akan mudah dimengerti oleh orang lain.
Alasan mengapa aku tak membicarakan hal ini dengan orang lain juga adalah kekhawatiran mengenai pandangan mereka. Sebagian dari mereka mungkin menganggap ini bukan kehilangan yang besar, ia hanyalah janin berusia beberapa bulan. Sebagian dari mereka berkata “Let it go”, atau “Ikhlasin aja”, dan aku khawatir mereka beranggapan aku tak punya keimanan jika aku terlalu lebay berduka cita. But still, this is a great loss for me, and it’s the hardest moment in my life.
Yang membuatku merasa semakin nyesek adalah kenyataan bahwa sampai detik terakhir, kondisi bayiku masih bagus—tidak seperti tahun lalu yang memang berhenti berkembang. Sampai sesaat sebelum ketuban pecah, jantungnya masih berdetak normal dan ia masih aktif bergerak. Hanya karena ketuban pecah, ia menjadi kehilangan lingkungan tempat hidup, dan kemudian ia tak mampu bertahan.
Aku sedang terus berusaha menata hati untuk menerima semua kejadian ini sebagai bagian dari takdir-Nya. Kalau mau menyalahkan seseorang, aku bisa saja menyalahkan keputusan dokter menurunkan dosis obat anti kontraksi sehingga membuat mulasku menghebat kembali dan membuat ketuban pecah. Tapi bukan di situ masalahnya. Kalaupun waktu itu aku lolos dari kontraksi, mungkin suatu hari kontraksi akan berulang kembali—karena rahimku tidak cukup kuat, begitu kata dokter. Atau kalau mau menyalahkan diri sendiri juga bisa, karena aku sempat mengendarai motor sehari sebelum kontraksi—kalau memang itu penyebabnya. Meskipun ketika kuingat-ingat lagi, Sabtu-Minggu itu aku santai sekali: tidak bepergian jauh, tidak mengerjakan aktivitas yang berat, melainkan hanya menemani anak-anak menghabiskan akhir pekan di rumah. Jadi kurasa, memang ini semua adalah bagian dari takdir-Nya. Menyalahkan seseorang, atau diriku sendiri, atau keadaan, tidak akan membuat bayiku hidup kembali.
Never thought in million years that I would have my kid’s tomb to visit. Rest in peace ya, Dek. Di surga tentu lebih enak dan nyaman dibanding bersama Bunda. You'll always be loved, you'll always be remembered. Aku yakin suatu hari nanti waktu akan menyembuhkanku. In the meantime, biarkan aku berduka dan mengenangnya…
“Bunda kangen sama kamu, Dek. Bunda kangen hoek-hoek lagi, sambil mikir makanan apa yang bisa masuk hari itu. Bunda kangen elus-elus perut dengan kamu ada di dalamnya. Bunda kangeenn sekali.
Sedang apa kamu di sana, Dek? Kangen juga kah sama Bunda? Tumbuh sehat dan kuat di sana ya. Bunda menantikan saat itu, saat di mana kamu akan menjemput Bunda di pintu surga-Nya. I love you and I miss you so much.”
No comments:
Post a Comment