Saturday, March 24, 2007

Bangga Menjadi Ibu

Salah satu hal yang paling kusyukuri dengan adanya kemudahan akses internet buatku adalah: bertambahnya wawasan dan lingkungan pertemanan. Desember lalu ketika aku pergi ke book fair di Jakarta Convention Center, aku pulang dengan membawa buku luar biasa bertajuk Kitchen Table Melody: Oh No, Jadi Full Time Mother?

Setelah baca buku itu, keajaiban dimulai :D Aku lalu browsing di internet mencari link-link yang direkomendasikan, sekaligus berkenalan dengan Mbak Agnes, sang pengarang buku, yang kini bermukim di Belanda. Beberapa kali chat lewat YM, akhirnya direkomendasikan-lah diriku untuk bergabung di milis We R Mommies Indonesia *FYI, gabung di milis ini emang harus via rekomendasi alias buddy gets buddy*

Nah, ternyata... We R Mommies emang top markotop. Milis di Yahoogroups ini dibidani oleh model sekaligus pesinetron Monica Oemardi, tepatnya pada 3 Februari 2004. We R Mommies Indonesia juga punya homepage yang berisi berbagai tulisan anggota dan rangkuman diskusi dalam milis. Isinya padat dan berisi. Dari milis dan homepage, kita bisa belajar banyak tentang dunia rumah tangga dan parenting. Termasuk juga resep masakan, tips mengelola keuangan, jualan barang, dan berbagi apapun dengan mommies yang lain. Kalau pengen baca sekilas soal WRM, baca aja di sini.

Guys, jadi ibu itu memang harus smart. Dan siapapun Anda, selama Anda perempuan *laki-laki juga boleh kok*, aku dengan bangga merekomendasikan We R Mommies sebagai referensi menggeluti dunia perempuan yang penuh makna. Sesuai dengan slogan WRM: together we care, ayo kita sama-sama belajar menjadi istri dan ibu yang baik. Dulu aku pernah menulis tentang ini, dan kurasa WRM adalah langkah yang tepat untuk mewujudkan impianku menjadi bunda yang baik buat keluarga. Kemajuan generasi bangsa dimulai dari perbaikan kualitas anak-anak kita, Mommies...

Thursday, March 22, 2007

Percaya

Di hari ulang tahunku yang ke-25, aku bertengkar dengan Mas Catur. Persoalannya sebenarnya sepele sih: cuma masalah gorden. Seperti biasa, setelah pertengkaran, aku merenung. Kayaknya masalah ini jauh lebih dalam daripada masalah gorden deh.

Yap, betul. Masalahnya lebih dari kegusaranku akibat Mas Catur menganggap gampang membawa beberapa perangkat gorden ke Cikarang. Masalahnya lebih dari kekhawatiranku akan tercecernya tali gorden, atau kayu gorden, atau apa lah. Masalahnya lebih dari itu. Masalahnya adalah ketidakpercayaanku padanya.

Sebagai individu yang selama ini terbiasa bekerja sendiri mengatur apapun, terbiasa dengan what-to-do list, terbiasa terorganisir... rasanya masih susah menyerahkan otoritas pada orang lain. Susah banget membiarkan orang lain melakukan hal-hal untuk kita kalau kita tak terbiasa. Apalagi aku tahu kalau Mas Catur bukan tipe orang yang se-terorganisir aku. Selalu ada kekhawatiran ia akan melupakan sesuatu, merusakkan sesuatu, menjatuhkan sesuatu...

Hmm, aku masih dalam proses ternyata. Proses menjadikan hidupku beririsan dengan hidupnya, proses belajar percaya padanya. Ini hal yang signifikan tentu, karena di masa depan, padanya-lah aku akan melabuhkan harapan.

PS: Met ulang tahun yang ke-25 untukmu juga, Sayang. Semoga usiamu barakah, jadi suami dan imam yang shalih. Amin. *Hihihi, aku lebih tua tiga hari yak.*

25 di 15 Maret

”Sayang, met ulang tahun. Semoga selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. I love you, Cintaku.” (Mas Catur, 15/3/07, 00:06)

”Yustika, met ulang tahun, hope you all the best, and make your fairytale comes true, diberi kemudahan dan senantiasa berada dalam limpahan kasih-Nya.” (Yuti, 15/3/07, 04:12)

”Happy bday, Yustica. Udah seperempat abad… Moga panjang umur. Bahagia selalu. Tambah semua yang baek. Tercapai segala yang dipengen. Amin, amin. Ditunggu kadonya, eh maem-maemnya, hehe...” (Icha, 15/3/07, 05:50)

”Met milad, Yus. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah! Dan tetap istiqomah memperbaiki diri… semangat! Walaikumsalam.” (Fatimah, 15/3/07, 05:56)

”I wish that Allah would hold you tight, not just to make you feel alright, but for you to have all the best things in LIFE! Happy birthday, Mbak Yus…” (Citra, 15/3/07, 06:20)

”Met ultah yo, tambah dewasa wae, wis arep dadi manten.” (Mbak Titik, 15/3/07, 06:56)

“Yustika, met milad ke-25 ya, semoga barokah umurmu, dimudahkan dalam segala urusan, termasuk… (ehm ehm ;p). Luv u.” (Ilma, 15/3/07, 07:33)

“Ukhti, met milad. Semoga Allah senantiasa menyertai setiap amal anti dengan keridhoan dan keberkahannya.” (Kiki, 15/3/07, 09:30)

“Ass. Selamat ulang tahun, Yustika. Semoga dikaruniai usia yang berkah, kehidupan yang penuh berkah, dan dimudahkan dalam segala urusan. Semoga Allah senantiasa kasih yang terbaik buatmu.” (Mbak Ida, 15/3/07, 13:07)

”Hai, met ultah ya, Mbakyu. Tambah tuwo, tambah ayu, tambah kewen (?), tambah cool, tambah sing apik-apik. Semoga apa yang kaucita-citakan dalam hidupmu segera terkabul dan semoga dikau bahagia selalu. Muah-muah.” (Nur, 15/3/07, 14:05)

”Happy bday, Yus... Moga di usia yang baru ini selalu dalam lindungan Allah dan terus diberi petunjuk oleh-Nya. Mmm, dah ketemu jodoh kok ya, kalo gitu moga cepat menyempurnakan setengah dien hehe.” (Ratna, 15/3/07, 18:41)

”Ika, happy belated bday, sori banget telat hehe, moga panjang umur, moga rencana nikahnya lancar (kapan to? ;-)), doa yang lain milih sendiri ya, moga Allah mengabulkan doa-doamu, amiin...” (Mbak Yeni, 16/3/07, 12:15)

”Hi, Yus. Asswrwb. Wingi ulang taon ta. Slamet ae yak. Sori telat. -ditunggu undangane-” (Bayu, 16/3/07, 12:58)

”Ass. Met milad ya. Moga tambah dewasa, tambah sholihah, dan usiamu barokah. Cepet dapat jodoh yang sholih juga ya... amin (afwan rada telat).” (Fatma, 18/3/07, 14:58)

”Ass Yus, happy bday ya. Sori telat, bener-bener baru bisa sms, moga-moga tambah ayu, jadi istri shalihah, disayang suami, enteng rejeki, trus bagi-bagi, hehe. Pokoke best wishes for you, Sist…” (Ika Mulatsih, 17/3/07, 16:51)

“Amin… Nuwun ya… Met milad juga ke-25, sori telat. Moga banyak barokah di umur ini :-)” (Naning, 20/3/07, 15:27)

PS: Terima kasih juga untuk Tommy, Daru, Ulfa, Zaki, dan Mbak Dini yang tak ketinggalan mengirim doa :)

Ayo Berenang...

Wah, akhirnya... setelah sekian lama, jadi juga aku beli baju renang muslimah. Bukan karena apa-apa sih, soalnya di Solo, cari baju renang muslimah itu rada susah. Stoknya sedikit dan hanya beberapa toko aja yang menjual. Waktu itu aku udah beberapa kali muter-muter tapi nggak dapat-dapat. Di mana-mana habis dan pihak toko nggak bisa menjanjikan kapan stok berikutnya datang.

Padahal aku butuh baju renang itu... secara aku hobi banget berenang. Selama ini aku cukup capek cari-cari kolam renang yang menyediakan waktu dan kolam khusus untuk perempuan. Dulu di Bandung, kalau mau berenang, kubela-belain naik sepeda motor selama hampir satu jam sampai ke Al Ma’sum, Cileunyi. Perjalanan pulang pergi hampir dua jam. Sampai di kost biasanya langsung tidur karena kecapekan.

Sebenarnya di Solo ada sih kolam renang milik PDAM yang menyediakan hari Selasa dan Jumat khusus untuk perempuan. Tapi beberapa waktu lalu sebagian kolam ini dialihfungsikan menjadi tempat penampungan air untuk persediaan air wilayah Mojosongo. Hiks, sedih. Masih bisa berenang sih di kolam yang tersisa. Tapi... males banget.

Akhirnya dapat deh baju ini. Rada mahal, tapi menurutku worth it. Lha apalah artinya mahal dibanding nggak bisa menyalurkan hobi berenang. Bagi yang belum pernah tahu, model baju renang muslimah tu berupa terusan rok panjang (tapi ya nggak panjang-panjang amat, kira-kira selutut), jadi nggak ketat di badan. Trus juga ada jilbabnya, bahannya sama kayak bajunya. Pokoknya gaya lah :))

Jadi kesimpulannya: ayooo berenanggg...

Thursday, March 15, 2007

XL

Tulisan ini bukan bermaksud promosi lho, cuma berbagi keceriaan aja :D

Sekarang ini aku bener-bener tergila-gila sama kartu Bebas-nya XL. Sampai aku bela-belain pakai dua nomer yang dua-duanya sama-sama GSM prabayar. Yang pertama adalah SimPati. Nomer ini udah kumiliki sejak pertama aku punya ponsel. Keluarga besarku hampir semuanya ber-SimPati-ria, jadi sayang kalau nomer ini kubuang karena sesama SimPati ada tarif hematnya.

Nomerku yang kedua ya XL Bebas ini. Kumiliki sejak pertengahan 2005 lalu, makin hari kok rasanya makin jatuh cinta aja, hehehe. Kelebihan kartu ini adalah paket-paket murahnya yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Aku ambil paket SMS Xtra yang punya kelebihan berupa gratis 100 sms per hari sesama XL. Gratiss tiss... asyik banget nggak tuh...

Kelebihan lainnya:

  • Tiap Sabtu dan Minggu bisa telepon ke sesama XL dengan tarif Rp 1000 per 2 menit pertama dan Rp 250 per 30 detik berikutnya.
  • Ada tarif ngirit untuk telepon ke sesama XL Rp 149 per 30 detik dari pukul 23:00 sampai pukul 07:00.
  • Tarif telepon Rp 25 per detik ke semua operator ke seluruh nusantara sepanjang hari.

Eitss, tapi ingat-ingat, paket-paket promo yang menggiurkan itu biasanya ada masa berlakunya. Biasanya 3-6 bulan. Tapi jangan khawatir, kadang-kadang diperpanjang kok. Atau diganti dengan paket-paket promo lain yang tak kalah serunya.

Lagipula, XL sekarang kan lagi improving, biar jaringannya makin luas dan kualitas sambungannya makin bening. Jadi aku sih yakin aja kalau dia nantinya bakal jadi operator terbaik kedua setelah Telkomsel.

Monday, March 12, 2007

Bunda

Seberapa penting sosok seorang bunda buatku? Mmm, entah bagaimana menjawabnya. Benar sih, kalau dijawab penting. Tapi aku tidak bahagia dengan hubunganku dengan bundaku, karena hubungan kami sama sekali tidak hangat. Bahkan kadang-kadang aku menganggap hubungan ini hanya seperti formalitas belaka.

Dalam hidupku, sejak aku kecil, aku selalu melewati masa-masa krusial seorang diri. Tanpa sosok bunda, apalagi teman. Lho, emang bundaku ke mana? Ada sih, tapi sibuk bekerja. Setiap kali pulang, ia sudah terlalu lelah untuk berakrab-akrab dengan anak-anaknya, hingga kedekatan, kehangatan, diskusi, dan ruang berbagi itu hampir tak pernah ada.

Ketika aku SD, aku sering tampil menari di panggung kesenian. Setiap anak pergi diantar, ditemani, dan pulang bersama bundanya masing-masing. Di ruang ganti, setiap anak mengenakan pakaian tradisional dan melipatnya kembali dibantu para bundanya. Di panggung, ketika mereka menari, bundanya menyaksikan dari depan panggung atau mengintip-ngintip dari belakang panggung dengan mata berbinar. Aku? Sendirian, tentu.

Ketika aku SMP, aku dikucilkan oleh teman-teman sepermainan di sekolah. Aku merasa sangat sedih hingga tampak murung berhari-hari. Bundaku hanya memberiku tambahan uang saku karena dikiranya kurang materi lah yang bikin aku murung dan minder dengan teman-temanku. Padahal bukan itu intinya. Melewati hari-hari bertemu dengan teman-teman yang menyebalkan, aku lalui seorang diri.

Ketika aku SMA, aku mulai tidak percaya dengan teman perempuan (dari pengalaman masa SMP) sehingga aku banyak bergaul dengan teman laki-laki. Beberapa kali aku bermasalah dengan mereka (you know lah) *bahkan satu di antaranya sangat parah*, aku juga lalui seorang diri.

Ketika aku kuliah, aku sempat depresi karena kesulitan mengikuti perkuliahan. Telepon-telepon interlokal dari bunda yang kadang-kadang datang, hanya formalitas menanyakan kabar dan nilai-nilai perkuliahan. Telepon makin sering datang ketika orang tua mendapat surat sakti dari Pak Eniman tentang batas DO kalau aku nggak berhasil. Tapi ya cuma itu, selebihnya... aku lalui seorang diri.

Ternyata benar apa kata orang tentang hubungan dua orang yang saling berdekatan, pasti akan saling melihat kejelekan masing-masing dengan sangat mudah. Namun beda bila mereka berjauhan, yang diingat pasti cuma kebaikan-kebaikan dan ruang rindu yang tercipta.

Aku dan bundaku juga begitu. Sejak aku pulang ke Solo Desember lalu, sering sekali kami bertengkar. Bunda kecewa sama aku, aku juga kecewa sama bunda. Setiap hari diserangnya aku dengan siksaan verbal. Dan sungguh, barut luka verbal itu jauh lebih dalam daripada luka fisik, karena siksaan verbal itu menyerang jiwa. Dan lukaku makin bertambah-tambah mengingat hubungan kami sebelumnya tidak pernah hangat. Bunda terluka, aku juga terluka. Kini hubungan kami seperti mencapai titik nadir ketika pagi tadi bunda menolak untuk bicara denganku.

Bagi bundaku, anak kesayangan adalah sosok kakakku yang selalu tampak sempurna di matanya. Selalu baik dan tidak tercela, mungkin karena jauh di Bandung sana. Sementara buat ayahku, anak kesayangan berarti adikku. Adikku itu bener-bener daddy’s little girl. Lalu aku? Sendirian, tentu.

Aku sudah terlalu sering menjalani hidupku seorang diri. Tanpa sosok bunda, apalagi teman. Tapi tetap tak menyangka kalau hal ini begitu menyakitkan. Kalau sudah begitu, aku jadi berharap-harap akan tiba masanya aku pergi dari rumah ini.

Kini hubungan kami tak akan pernah sama lagi.

*Kisah hidupku membawaku pada satu muara: tekad untuk memberikan yang terbaik buat anak-anakku kelak. Segala yang aku punya: waktu, kasih sayang, kedekatan, kehangatan... apapun yang diperlukan agar mereka bisa berkata bahwa bunda mereka adalah bunda terbaik di dunia... meski itu berarti aku harus menjadi seorang ibu rumah tangga sekalipun.*

Favorite Quote

Should you be worry about your partner, it is not the thing he tells you, but the thing he hides from you.

(Mbak Andian)

Jurnalis

Killing the Messenger, demikian judul hasil studi sebuah lembaga independen di Inggris *sayang aku lupa nama lembaganya* tentang kematian jurnalis di seluruh dunia yang mencapai angka seribu selama satu dekade terakhir. Yang menarik, kematian para kuli tinta ini sebagian besar bukan terjadi di daerah konflik di luar negara mereka, melainkan di daerah aman di dalam negeri.

Sudah jamak ternyata... di berbagai belahan dunia ini, profesi jurnalistik yang menyentil-nyentil pemerintahan sensitif akhirnya berujung pada pembunuhan atau kematian. Pembunuhan dirasa gampang bagi para algojo itu sebab mereka tahu, pengadilan yang adil dan tuntas sering tak berpihak pada jurnalis. Masih ingat kisah wartawan Udin yang sampai kini tak tentu penyelesaiannya?

Terlepas dari hasil studi itu, beberapa waktu lalu aku sempat speechless ketika M. Guntur dari SCTV dan Suherman dari Lativi menjadi bukti nyata mahalnya harga sebuah profesi jurnalistik. Begitulah. Penghargaan terdalam yang tak pernah berkurang selalu aku persembahkan buat para jurnalis sejak bertahun-tahun silam, pada suatu masa ketika aku menyadari bahwa profesi ini bukanlah profesi main-main. Penghargaan yang melebihi standing ovation dan gelar bergengsi, karena meskipun upahnya sedikit, misi mereka sungguh mulia: mengantarkan pesan (baca: berita) untuk kita sampai titik penghabisan.

Kawan Lama

Pulang dari mengantar adik ke tempat les sore itu, tak dinyana aku bertemu dengan kawan lama: Zulvia. Pandanganku yang menangkap sosoknya sekelebat di pinggir jalan membuatku refleks mengerem motor secara mendadak. Untung nggak ketabrak dari belakang. Ngeri juga kalau ngebayangin yang serem-serem *Yustikaaaa, jangan sembrono di jalan raya!!*.

Akhirnya kami berdua ngobrol di pinggir jalan :) dengan posisi Zulvia berdiri dan aku duduk di atas sadel. Temenku yang kini bekerja sebagai PNS di BLK (di bawah naungan Depnaker) itu terlihat lebih dewasa. Ia tampak ceria bertemu denganku, sama-sama nggak nyangka. Hmm, kalau dipikir-pikir, mungkin ada enam tahun kami nggak saling ketemu.

Dia adalah teman pertama yang kukenal ketika aku masuk STT Telkom tahun 2000 lalu. Perkenalan terjadi di kamar Asrama Putri F.302 karena kami memang sekamar. Sama-sama kuliah di jurusan Teknik Informatika membuat kami sering membahas pelajaran bareng, terutama mata kuliah Algoritma Pemrograman dan Kalkulus *masih inget banget!*.

Pertemuan singkat itu diakhiri dengan tuker-tukeran nomer ponsel dan janji untuk saling kontak. Ketika aku melaju kembali di atas motor, tanpa sadar aku tersenyum... teringat kembali masa-masa kuliah di STT Telkom bertahun-tahun silam. Duh, yang namanya romantisme masa lalu...

”I Love You, Bro...”

”Gak po2. He3. Adik kecilku dah mau nikah...”

Begitu bunyi sms dari kakak lelakiku tersayang pada awal pekan ketiga Februari lalu, setelah sesaat sebelumnya aku bermellow-mellow padanya, bilang kangen pengen hang out bareng seperti tahun-tahun lampau saat kedekatan dengannya begitu nyata. Sekaligus bilang minta maaf padanya karena kedekatan itu menjadi seperti berabad jaraknya setelah Mas Catur hadir.

Kakakku itu Mas Didik namanya, berusia satu setengah tahun lebih tua dariku. Dia adalah anak tertua dan menjadi satu-satunya anak lelaki dalam keluarga. Pembawaannya tenang khas orang phlegmatis, humoris dan menceriakan lingkungan sekitar, supel dalam pergaulan, namun cenderung tertutup bila menyangkut masalah pribadi. Sebagai kakak dari dua adik yang semuanya perempuan, dia tipe orang yang sangat bertanggung jawab, tipe kakak yang penyayang dan sangat care sama adik-adiknya. Sebagai anak pun, dia tipe anak yang berbakti dan sangat penurut pada orang tua, pokoknya tipe anak yang diinginkan semua orang tua.

Namun jangan salah, meski dengan orang tua sangat penurut, bukan berarti dia seorang anak mami yang lembek. Justru di luar rumah dia sangat sangat supel, mudah bergaul, banyak kawan, dan sangat ”jantan”, hehehe. Nggak heran banyak teman perempuan yang sering curhat padanya atau minta tolong diantar-jemput ke mana-mana. Udah gitu, kakakku itu juga tipe gentleman lho (promosi, hihihi). Tipe lelaki yang kalau jalan selalu berusaha berada di sisi kanan perempuan untuk melindunginya dari arus lalu lintas, membukakannya pintu, mengantarnya pulang, dan seabrek sifat-sifat gentle lainnya. Tentu aku tahu persis karena aku udah mengalaminya sendiri tiap kali jalan sama dia. Tipe gentleman yang harus dicontoh tiap lelaki (bahkan Mas Catur sekalipun!).

Karena usia yang tidak berselisih jauh denganku, bisa dibilang kami tumbuh bersama. Semasa SMP dan SMA, kami juga kadang sampai pinjem-pinjeman baju, maklum waktu itu aku rada-rada tomboy. Kami menjadi sangat dekat setelah sama-sama kuliah di STT Telkom. Mungkin karena sama-sama jauh dari rumah dan sama-sama tinggal di Bandung, kami jadi sering banget curhat-curhatan dan pergi bareng ke mana-mana. Wis pokoknya hampir kayak pasangan setia, udah kayak orang pacaran, sampai temen-temen kami banyak yang nggak percaya kalau kami kakak-adik.

Setelah aku pindah kuliah ke ITB pun, kami masih dekat. Meski frekuensinya berkurang, kami masih pergi dan main bareng. Padahal jarak Bandung kota dan Dayeuhkolot nggak bisa dibilang dekat. Dia masih setia menyambangi kosku di Dago dan Sekeloa, mengantarku ke mana-mana, main bareng, pergi ke Majelis Percikan Iman bareng, dll.

Dulu aku sempat berpikir, saking dekatnya kami, apa jadinya kalau akhirnya dia kelak menikah dan ”meninggalkan” aku seorang diri. Pasti akan sedih dan sangat kehilangan rasanya. Membayangkannya saja aku udah ngerasa sedih. Eh, tak tahunya malah aku duluan yang ”mengkhianati”nya. Sejak kehadiran Mas Catur, sedikit demi sedikit semua berubah.

Akhir pekan yang biasanya selalu kuhabiskan bersama Mas Didik, lambat laun menghilang dan bergeser menjadi akhir pekan bersama Mas Catur. Kalau ada keperluan ke mana-mana, tanpa sadar aku jadi lebih mengandalkan Mas Catur untuk mengantarku. Hiks hiks, sekarang kalau mengingatnya, aku jadi merana, sedih sekali rasanya. Kenapa aku nggak menghabiskan lebih banyak waktu bersama kakakku tersayang selagi sempat? Kenapa tidak pernah terpikir bagaimana perasaannya selama ini?

Sekarang kalau kutanya, paling-paling dia cuma senyum-senyum saja sambil bilang ”nggak apa-apa” seperti petikan sms di atas. Duh, memang penyesalan itu datangnya selalu belakangan ya, tapi detik ini perasaanku tetap saja sedih dan merasa bersalah.

Meski di keluargaku kami jarang mengekspresikan rasa sayang lewat kata-kata, dalam hatiku aku selalu merasa ingin berkata bahwa aku sungguh menyayanginya. Dia kakak terbaik di dunia, yang selalu ada saat aku butuh, tak pernah henti untuk peduli *hiks hiks, kok mataku jadi berkaca-kaca*.

Kami memang masih dekat dan saling peduli, tapi tentu jauh berbeda dibanding dulu. Kini dia sudah bekerja di kota yang berlainan dan aku pun disibukkan dengan berbagai urusan. Aku tahu kata-kata saja tak akan pernah cukup untuk menebus kedekatan yang terurai, tapi sungguh... ingin sekali berucap maaf sekaligus berterima kasih padanya karena telah menjadi kakak terbaik di dunia. I LOVE YOU, BRO...

Wednesday, March 07, 2007

Awet Muda :)

Dialog I
Pamanku: ”Ini keponakan saya (sambil memperkenalkan aku pada Ibu A). Kemarin habis lulus dari ITB.”
*Duh, aku tuh selalu sedih kalau ketahuan dari ITB. Ngerasa nggak bisa apa-apa. Cuma nama almamater aja yang kedengaran besar, tapi kompetensiku nol besar :( *
Ibu A: “Lhooo, udah lulus kuliah to... Masih kecil kok udah lulus kuliah…”
Aku: (tersenyum kecut sambil manggut-manggut)

Dialog II
Bapak B: “Buat siapa undangannya dipesan? Buat situ (sambil menunjuk aku)?”
Aku: “Iya, Pak…”
Bapak B: “Keliatannya masih muda kok udah mau nikah?”
Aku: “Waduh, Pak. Saya udah hampir 25 ini.”
Bapak B: “Oya? Berarti awet muda dong.”
Aku: (tersenyum kecut sambil manggut-manggut)

Dialog III
Budhenya Mas Catur: ”Yang mana calonmu?”
Mas Catur: “Yang itu (sambil menunjuk aku).”
Budhenya Mas Catur: ”Lho kok masih kecil?”
Mas Catur: (tersenyum kecut sambil manggut-manggut)

Kekekek, kok banyak juga ya… yang mengira aku masih kecil :) padahal Maret ini usiaku udah seperempat abad. Ya alhamdulillah, berarti aku awet muda. Padahal aku kan udah mengecap bangku kuliah selama enam tahun *kenyang nggak tuh*, padahal aku kan lebih tua tiga hari dari Mas Catur… Lumayan lah dibilang masih kecil. Berarti aku awet muda kan ya, kekekekek.