Tuesday, September 12, 2006

Bangga Jadi Orang Solo

Sepanjang pekan lalu, tanggal 1-7 September, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Solo tengah punya hajat menggelar Bengawan Solo Festival (BSF) 2006. *Sayangnya aku malah sedang ada di Bandung.* BSF dibuka dengan karnaval wayang dari Stadion Sriwedari menuju Balaikota Solo. Partisipasi lebih dari 30 peserta sanggar, kelompok wayang, dan kelompok seni dari 20 kota di Jateng dan luar Jateng serta animo masyarakat untuk menyaksikannya menjadi bukti bahwa spirit wayang masih tetap eksis. Kreasi wayang yang ditampilkan pun beragam, mulai dari wayang orang tradisional Solo, wayang jazz Baluwarti, wayang lesung Karanganyar, kethek ogleng Wonogiri, kuda lumping Kendal, dongrek condro Madiun, sampai seniman wayang dari Jerman.

Penyelenggaraan pameran budaya BSF 2006 juga diawali dengan pemutaran film Opera Jawa karya Garin Nugroho di Grand Theatre, Solo Grand Mall. Yang lebih membanggakan lagi, alasan Garin membawa filmnya ke Solo adalah karena BSF dinilai penting bagi Solo, mengingat kota ini sangat menonjol di bidang seni pertunjukan. *Du du du du, bangga dong...*

Sejak lama Solo sudah didengung-dengungkan sebagai kota budaya. Ini petikan dari situs tentang sejarah kota Solo, “The reason why Solo is called Kota Budaya (A Town of Cultural Greatness) is that in the past it was one of the Javanese cultural centres. This has led to the preserving attitude towards all forms of Javanese culture and traditions in Surakarta, including old architectural works. It has developed from the awareness of the fact that the town has a rich variety of architectural and traditional heritages, such as traditional, European, modern, and post-modern architecture. Two of these (traditional and European) have been of primary importance in creating Surakarta’s modern identity.”

Kalau bicara tentang Solo dan nafas Jawanya, maka siap-siap saja mendengar tentang sejarah panjang sebuah kota. “The history of Surakarta began when Sunan Paku Buwana II ordered Tumenggung Honggowongso, Tumenggung Mangkuyudo, and the Dutch Army Commander J. A. B Van Hohendorff to find the location to set up the new capital city of the Mataram Kingdom. After considering physical and non-physical factors, in 1746 AD (or 1671 of Javanese calendar) a village near Bengawan river called Sala was chosen. Since then, Sala has turned into Surakarta Hadiningrat and continued developing.

Under the Giyanti treaty, 13 February 1755, the Islamic Mataram Kingdom was divided into Surakarta and Yogyakarta. Under the Salatiga treaty, the Surakarta Kingdom was divided into Kasunanan and Mangkunegaran.

From the historical facts, the development of Surakarta was very much affected by the roles of the Kasunanan goverment, Mangkunegaran government, Vastenburg Fort as the centre for the Dutch close surveilence on the Surakarta Kingdom, and Pasar Gede Hardjanagara market as the town’s centre of economy. The roles of those places had formed the cultural area with the Kasunanan Kingdom as the centre. Further development continued around this region to this day.” Untuk lebih jelasnya, klik di sini.

Aku juga pernah menulis tentang sentimen yang kurasakan tentang suasana Solo yang kental kebersahajaan, kedamaian, dan kejawaan, yang senantiasa membuat aku rindu. Baca di sini.


Tiba-tiba jadi pengen pulang lagi...

No comments:

Post a Comment