Wednesday, August 31, 2005

Duh...

Ck ck ck... Solo kisruh lagi. Konflik antara dua Paku Buwono XIII meruncing lagi. Padahal udah setahun lho…

Kenapa sih, Solo-ku jadi berubah? Orang-orangnya tak lagi berkepala dingin, gampang banget tersulut gara-gara sesuatu yang harusnya bisa diselesaikan dengan cara yang lebih manis. Kenapa pula bertengkar gara-gara hal keduniawian?

Kalo kayak gitu caranya, gimana Solo mau maju? Petinggi-petinggi yang katanya adiluhung harus mampu jadi contoh rakyatnya dong. Istana tak lagi punya pengaruh, tak lagi punya tempat di hati rakyat. Malu banget sama Jogja, padahal konstruksi sosio kulturalnya hampir sama.

Duh, Solo-ku…

Thursday, August 25, 2005

Dialog

Hati: “Pengen nanya…”

Rasio: “Nanya apa?”

Hati: “Apakah ketika kita membuka diri pada orang lain, kita harus membuka diri sepenuhnya?”

Rasio: “Maksudmu gimana?”

Hati: “Maksudku, ketika kita memutuskan untuk berbagi dengan orang, apakah lantas kita akan kehilangan ruang untuk sendiri?”

Rasio: “Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?”

Hati: “Mmm... kenapa ya? Mungkin karena belakangan ini aku merindukan ruang untuk sendiri.”

Rasio: ”Lalu?”

Hati: ”Yah, rasanya seperti kehilangan ruang untuk sendiri. Aku selalu merasa nyaman dengan ruang itu. Ketika aku berada di sana, rasanya seperti merdeka dari segala bentuk ikatan. Bebas melakukan apa saja. Tak peduli orang berkata apa.”

Rasio: “Oh, I see. Lantas ada orang yang membuatmu keluar dari ruang itu, gitu?”

Hati: ”Yup. Banyak orang bilang, kesendirian itu jangan terlalu dibiasain. Mereka juga bilang, aku harus mulai belajar percaya dan berbagi dengan orang lain. Karena, kata mereka, biar gimanapun aku nggak bisa hidup sendiri.”

Rasio: ”Lho, betul itu. Masa selamanya kamu bakal hidup sendiri? Aku nggak akan bicara soal manusia sebagai makhluk sosial, itu terlalu klasik. Tapi rasain sendiri deh, bukankah dunia terasa lebih indah kalau kita berbagi dengan orang?”

Hati: ”Nggak juga. Aku justru ngerasa nggak nyaman kalau orang terlalu banyak tahu tentang diriku, tentang apa yang aku rasain.”

Rasio: ”Oh ya? Lalu gimana kalau suatu saat kamu butuh orang untuk bicara? Bukankah itu artinya kamu juga butuh didengar? Butuh curhat?”

Hati: ”Ya, adakalanya emang seperti itu. Tapi kebutuhan itu seringkali tercukupi lewat perbincangan dengan jiwa. Kalaupun aku berbagi dengan orang, itu bukan untuk sesuatu yang esensial. Hanya sesuatu di permukaan.”

Rasio: ”Nggak pernah mencoba punya temen dekat yang bisa kamu percayai dan kamu ngerasa nyaman berbagi dengannya?”

Hati: ”Nope. Udah jadi bagian dari sejarah, bahwa aku selalu terluka oleh orang-orang yang semula kuanggap dekat. Lambat laun aku tak lagi bisa percaya siapapun kecuali diriku sendiri.”

Rasio: “Wah, kamu punya masalah kalau gitu.”

Hati: “Oh ya? Aku nggak ngerasa punya masalah tuh. Justru masalah muncul ketika aku ngerasa terlalu banyak berbagi sama orang.”

Rasio: “Berbagi sama orang kok jadi masalah?”

Hati: ”Ya. Ketika kita membuka diri pada orang, tak bisa dipungkiri akan timbul keterkaitan emosi dengan orang itu. Timbul perasaan mempercayai dan dipercayai. Kalau hal itu berlangsung terus menerus, akan timbul semacam ketergantungan yang adiktif dengan orang yang bersangkutan. Lantas kita akan merasa rindu untuk selalu berbagi dengannya. Dan, boom! Tiba-tiba tanpa kita sadari, orang itu sudah tahu diri kita luar-dalam, lahir-batin.”

Rasio: ”Itu namanya kedekatan. Bukankah hal itu menceriakan, menghangatkan?”

Hati: ”Bagiku tidak. Ceria dan hangat itu kan cuma di permukaan. Justru kita akan sakit banget kalau ternyata orang seperti itu tiba-tiba mengkhianati kita, padahal antara kita dan dia sudah tak ada lagi sekat.”

Rasio: ”Ah, kamu terlalu skeptis.”

Hati: ”Bukan skeptis. Luka hati paling menyakitkan justru datang dari orang-orang dekat, orang-orang yang selama ini kita labuhkan asa padanya, orang-orang yang kita kira bisa kita percayai. Dan bukan cuma itu. Bagiku, ketergantungan juga menyebalkan. Kita jadi susah ke mana-mana sendiri, ngerasa nggak utuh tanpa orang itu, ngerasa takut kehilangan. Jadi nggak mandiri. Nggak banget.”

Rasio: “Mmm...”

Hati: “Aku paling benci tergantung sama orang. Dan buatku, merindukan seseorang yang dekat dengan kita, bikin kita malah nggak bisa ngapa-ngapain, kangen melulu. Itulah sebabnya aku nggak pernah melibatkan diriku terlalu dalam dengan orang lain.”

Rasio: ”Lalu gimana halnya dengan pasangan hidup? Bukankah suatu saat nanti kamu juga bakal menikah? Bukankah pasangan kamu nanti bakal jadi orang dekatmu?”

Hati: “Ya, tentu. Itu hal yang tak bisa dihindari. Hanya saja, terhadap pasangan hidup kita sekalipun, kita berhak memutuskan hal apa yang bisa kita bagi dan hal apa yang kita pengen simpan sendiri. Dia nggak berhak menuntut kita membuka diri kita sepenuhnya. Kita berhak atas ruang untuk sendiri.”

Rasio: “Ck ck ck... segitunya kamu.”

Hati: “Tentu saja. Bagiku, hak untuk tidak berbicara sama besarnya dengan hak untuk bicara. Bukan manusia namanya kalau dia nggak punya privasi. Bukankah tiap manusia berhak atas kebebasan dan keleluasaan pribadi? Bodoh sekali orang yang nggak bisa paham akan hal itu.”

Rasio: ”Iya sih. Cuma, menurutku kamu terlalu mengagungkan kesendirian.”

Hati: “Bukan mengagungkan kesendirian. Hanya memilih untuk tidak terlalu dekat sama orang. Karena kedekatan berarti ketergantungan. Dan ketergantungan bikin kita kecanduan. It sucks!”

Rasio: ”Dasar paranoid.”

Hati: (tertawa penuh kemenangan).

Tuesday, August 23, 2005

My Spiritual Advisers



Satu hal yang paling menyenangkan dari kehidupan mahasiswa adalah: ada banyak sekali kesempatan untuk memperkaya ilmu dan mengembangkan pola pikir. Tak hanya ilmu dalam artian materi kuliah, melainkan juga ilmu tentang hidup dan kehidupan.

Sejak duduk di bangku kuliah dan mengecap status menjadi mahasiswa, saya kerap bertemu dengan orang-orang yang menurut saya hebat. Mereka mengajarkan nilai-nilai, memberi masukan-masukan berharga, serta meluruskan cara pandang saya akan sesuatu. Hidup jadi terasa lebih bernas.

Dua dari orang-orang hebat itu adalah Yuti dan Zaki. Syukurlah mereka menjadi bagian dari hidup saya. Meskipun jarang berdiskusi lewat tatap muka, saya selalu merasa dekat karena senantiasa merutinkan diri membaca tulisan-tulisan mereka. Tulisan-tulisan itu membuat saya merenungkan berbagai hal, untuk kemudian diambil hikmahnya. Ingin benar saya mencontoh mereka yang selalu memandang hidup dengan cara yang positif. Dari mereka saya juga belajar tentang perenungan yang panjang atas hakikat hidup dan kesejatian pencarian.

Thanks to both of you, Guys! You are my inspirations.

Monday, August 22, 2005

Anak Komputer

Beberapa waktu lalu, film Matrix kembali diputer di TV. Seperti biasa, anak-anak kos langsung ngariung di ruang tengah. Ada yang nonton karena Keanu-nya, karena nggak ada kerjaan, atau karena emang pengen nonton. Kalau aku sih, emang suka film ini. Selain paling keren dibanding dua yang lain dari rangkaian triloginya, film ini membawa ide yang cukup kreatif dalam membangun konsep cerita.

Habis nonton, anak-anak ramai berceloteh mengungkapkan persepsinya masing-masing tentang Matrix. Namanya juga persepsi, tentu sarat dengan subjektivitas. Hehe, obrolan tentang persepsi ini sebenarnya aku yang menyulut. Habis pengen tahu, sejauh apa anak-anak mengapresiasi film ini.

Buatku, konsep Matrix nyambung sama kuliah Arsitektur Komputer. Analoginya bisa dijelaskan dengan cukup gamblang. Dunia matrix yang digambarkan dalam film merupakan interface antara dunia manusia dan dunia mesin. Dengan kode-kode digital yang melewati kanal-kanal informasi, manusia bisa berinteraksi dengan mesin. Jadi, diagramnya seperti ini: manusia <=> matrix sebagai interface <=> mesin. Nah, lalu Oracle yang dalam film digambarkan sebagai seorang wanita peramal, adalah operating system-nya. Makanya nggak aneh kalau dia serba tahu. Dia kan yang mengatur sistem interface-nya. Lalu, peran God (atau entah siapa disebutnya, pokoknya yang berjanggut dan berpakaian putih-putih) dalam Matrix Revolution bisa dianalogikan sebagai prosesornya, karena dia yang mengawasi, mengetahui, sekaligus memegang kendali seluruh sistem. Jadi selama ini, dalam mengapresiasi trilogi Matrix, aku memandangnya lewat kacamata yang kental dengan nuansa kuliah.

Rupa-rupanya, ada temen yang sependapat denganku. Hanya saja, menurut dia Oracle itu bukan operating system, melainkan data base. Makanya dia serba tahu, karena emang dia bagian yang nyimpen segala informasi. Trus si God itu yang jadi operating system-nya. Dia nggak mungkin jadi prosesor, karena cara kerjanya nggak mutlak. Toh dalam satu adegan, dia memberi kesempatan pada Neo untuk memilih. Aku manggut-manggut. Kayaknya pendapat temenku ini lebih masuk akal daripada versiku. Okelah, aku setuju. Tapi kalau begitu, siapa yang jadi prosesornya? Bagian mana yang menganalogikan si prosesor? Hehe, aku malah jadi bertanya-tanya sendiri, belum bisa menemukan penjelasan yang tepat. Maklum, kuliah sistem mikroprosesor belum lulus-lulus juga nih.

Di tengah perbincangan seru itu, ada juga temen yang garuk-garuk kepala. “Kok kalian mikirnya rumit gitu sih? Aku nggak pernah kepikir yang kayak gitu. Nonton mah nonton aja.” Hehe, namanya juga persepsi. Dalam hal ini, persepsiku cukup dipengaruhi oleh kuliah. Weiss, akhirnya ada juga aura-aura sebagai anak komputer :p

Bicara soal kuliah, semester ini masih full banget. Gimana TA-nya ya? Bagi Zaki, TA berarti Tugas Asyik. Bagi Yuti, TA berarti Tugas Ariani. Lah, kalau bagiku, TA berarti apa ya? Tugas Abstrak ’kali ya? Habis nggak pernah konkret, huehehehehe. Ah, kebanyakan becanda ni. Padahal udah masanya harus mulai serius. Kalau udah masuk ranah serius, rasanya dunia kok jadi kelihatan item-putih doang...

Sunday, August 21, 2005

Ve dan Semester Baru

Kemarin benerin si Ve ke Kawasaki pusat di Sukarno-Hatta. Wah, habisnya banyak juga: 199.500 repes. Itu buat ganti kaca reflektor, ganti kaca spion kanan, beli accu, plus benerin rem. Jadi malah ketauan kalo ternyata bagian-bagian lain juga butuh perbaikan. Aduh, kapan-kapan aja deh. Udah habis hampir 200 ribu repes gitu. Pulang dari bengkel malah jadi sedih. Bukannya ngerasa lebih baik, aku malah ngerasa Ve jadi punya banyak masalah. Aduuuuhhhh...

Besok udah mulai kuliah lagi. Semester baru, semangat baru. Eh, semangat baru? Iya gitu? Aku pernah baca di Intisari, katanya intuisi itu berbatas tipis dengan realita. Jadi kalau kita punya afirmasi yang secara sadar atau tanpa sadar kita tanamkan berulang-ulang ke diri kita, maka realita yang terjadi akan mengikuti afirmasi itu, karena afirmasi telah berubah menjadi intuisi. Hehe, bingung tak? Pokoknya mah, positive thinking aja. Afirmasi negatif akan membuat realita ikut jadi negatif, afirmasi positif akan membuat realita ikut jadi positif.

Jadi kalau aku terus-terusan bilang cita-cita lulus Maret itu berat, mungkin bakal nggak jadi lulus Maret beneran gitu? Meskipun berat beneran, berarti harus bikin afirmasi positif nih. Oke Yus, kamu pasti bisa. Padahal semester ini masih 20 SKS. Huahahaha, ini mah, afirmasi positif yang skeptis. Mungkin aku harus bikin teori baru tentang mimpi yang jadi realita :p

Saturday, August 20, 2005

Fe

Bicara soal Ve tempo hari, aku jadi pengen bicara soal Fe juga. Lho, Fe itu siapa lagi? :) Fe itu kompie-ku, kependekan dari felicity (kebahagiaan yang besar). Kebiasaan memberi nama pada benda-benda yang dekat dengan kita, ternyata menambah rasa sayang pada benda-benda yang bersangkutan. Sudah sejak lama aku menamai boneka-boneka yang memenuhi kamarku (yang paling baru namanya Furry (karena bulunya lembut banget!), pemberian dari seseorang). Kini giliran motor dan kompie-ku kunamai.

Balik ke Fe, kompie-ku itu bener-bener bawa kebahagiaan yang besar. Thanks to Papi, yang dengan gampang meluluskan keinginanku untuk punya kompie sendiri sejak awal tahun 2002 lalu. Segala hal jadi jauh lebih mudah sejak Fe hadir. Kalau diperhatikan, program yang paling sering digunakan ternyata Winamp dan Microsoft Office. Ya iyalah, kan paling seneng nulis sambil dengerin musik :) Pokoknya Winamp itu wajib.

Sayang, Fe kemarin kena virus. Udah gitu, Norton 2004 yang installer-nya pinjeman dari temen, ternyata trial version. Setelah expired, di-uninstall nggak bersih-bersih juga. Nggak tahu kenapa (ada yang bisa bantuin?). Wuih, nggak pantes banget jadi anak komputer. Habis ternyata aku gaptek juga :p

Friday, August 19, 2005

Damai di Kuta

Sebulan telah berlalu semenjak kaki ini menapak Kuta. Rangkaian perjalanan meninggalkan banyak kisah, tapi tak ada yang sebanding dengan damai yang kurasa malam itu di tepian Kuta.

Malam itu, menjelang tengah malam, Kuta menitipkan damai yang luar biasa ke dalam tiap penjuru relung hatiku. Cahaya yang berpendar warna-warni sepanjang jalan tak mampu menghalau sepi dan gulita yang merayapi Kuta. Daun-daun pohon yang melambai seolah meningkahi debur ombak di kejauhan. Kemilau bintang turut berdendang bersama sinar bulan di balik kapas awan yang bergeser pelan. Gelak tawa dan suara kecipak air mengiringi langkah tiga sobatku yang sedang berlarian.

Tapi aku tidak bersama mereka, meski ragaku nyata ada. Kakiku yang tak beralas memang tengah merasai lembut pasir Kuta, tapi jiwaku sibuk melayang bersama simfoni alam. Jantungku berdenyut bersama debur ombak yang memecah keheningan. Mataku mengerjap bersama cahaya bulan, yang dengan perlahan membuatku berkaca-kaca. Nafasku berhembus bersama belaian angin malam yang melantunkan orkes sunyi. Sementara telingaku menangkap suara seseorang yang tengah kurindu di seberang. Malam itu, segala ego rebah musnah. Hanya ada satu hasrat: menyatu dengan damai suasana.

Sungguh, tak mampu aku lukiskan malam itu dengan sebenar-benarnya. Lautan kata-kata takkan pernah cukup menggambarkan lautan damai yang berlimpah-limpah mengaliri hatiku. Ingin benar aku kembali ke sana, kembali berbagi damai dengan semesta Kuta menjelang tengah malam.

Wednesday, August 10, 2005

Kura-Kura

Seorang teman mengatakan bahwa saya mirip kura-kura. Saya tak pernah betul-betul menyadarinya sampai ia berkata demikian.

Seekor kura-kura senantiasa berjalan lambat-lambat dengan segala kesendiriannya. Kadang ia berhenti sejenak untuk mengamati sekitar, kemudian kembali melanjutkan pengembaraan dalam keterasingan. Ia bahagia bertemu dengan air. Ia bahagia bertemu dengan sesamanya. Namun, ketika ia terluka, ia akan sepenuhnya menarik diri dari dunia luar, dari hal-hal yang dirasa melukainya. Ia akan mengurung diri rapat-rapat dalam tempurungnya, hingga orang lain tak tahu apa yang dirasakannya di dalam sana.

Pun bagi saya, dunia luar selalu memberi sensasi-sensasi tak terbayangkan. Melukai dan dilukai. Mencintai dan dicintai. Melupakan dan dilupakan. Ternyata butuh perenungan yang panjang, untuk sekedar memahami hidup...

[Apakah itu sebabnya, kura-kura sering berusia puluhan hingga ratusan tahun?]

Tuesday, August 09, 2005

Ve

Ve terluka lagi! Kali ini bukan salahku. Saat menungguku di pinggir jalan, Ve-ku yang malang tersenggol motor orang. Lalu jatuh dengan suksesnya.

Bukan main terkejutnya aku kala mendapatinya tertunduk sedih dengan wajah berantakan. Aduh, makin compang-camping saja penampilannya. Bikin aku merana melihatnya.

Ve-ku sayang, bersabarlah. Kelak akan kubawa kau ke tempat orang yang bisa membuatmu cantik kembali.

(Ve adalah motorku tersayang. Kependekan dari velocity. Kaca lampu depan, kaca spion, dan kaca helmnya pecah berantakan ketika jatuh di parkir Landmark Braga kemarin. Untung dapat kompensasi ganti rugi.)