Monday, November 11, 2024

Kengerian dalam Keindahan

Pernah tidak, Anda merasa ketakutan sekaligus putus asa? Aku pernah. Dan kali ini aku ingin membagikan kisahnya pada Anda. Sebenarnya sudah lama aku ingin menulis tentang ini, tetapi seperti biasa … selalu tak ada waktu. Hingga akhirnya Mamah Gajah Ngeblog dengan Mamah Risna dan Mamah Ilma sebagai host, membuat tema tantangan mengenai foto dan ceritanya. Jadi, terpikirlah diriku menulis kisah yang patut dikenang ini.

Berfoto di Pasir Pete. Di hutan lereng belakang itu aku mengalami peristiwa mendebarkan.

Apa yang terlintas di benak Anda ketika melihat foto di atas? Pemandangan yang indah, bukan? Siapa sangka, keriangan ketika memulai trekking tanggal 18 Mei 2023 itu berakhir jauh dari bayangan. Jujur saja, dari 15 kali perjalananku ke Sentul, perjalanan ini adalah yang paling mendebarkan.

Pagi itu aku berangkat dari Bintaro bersama Lala dan Dhyah untuk bergabung bersama rombongan Mamah Gajah Berlari (MGB), ITB Bogor, Elang Salam, dan Gajah Salam (dua terakhir ini adalah komunitas parents Sekolah Alam Bogor yang gemar menjelajah alam). Rencananya kami akan melakukan trekking sekitar 15 kilometer menyusuri rute Pangaduan - Paniisan - Pasir Pete - Pasir Jambe - Gunung Hamerang - Paniisan - Pangaduan.

Kami memulai trekking pukul 06.24 dengan jumlah rombongan sekitar 15-20 orang, aku lupa persisnya. MGB dan ITB Bogor yang belum akrab dengan rute ini sengaja mengekor Elang Salam dan Gajah Salam yang bertugas menjadi pemandu jalan sekaligus sweeper. Awalnya perjalanan berlangsung menyenangkan. Kami sempat berhenti sejenak di Paniisan untuk menikmati kudapan di warung Mang Jajang.

Setelah Pasir Pete, perjalanan sesungguhnya dimulai. Kontur yang menukik tajam hingga ke sungai di dasar lembah menjadi salah satu turning point. Di sini salah satu rekan ITB Bogor mengalami kram kaki parah. Beberapa orang yang kepayahan dipersilakan kembali dan tidak melanjutkan perjalanan karena rute berikutnya di depan sangat menantang berupa tanjakan curam sepanjang 6-7 kilometer.

Setelah beberapa orang memisahkan diri di sungai, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Kami melewati Tanjakan Anton yang terjal, di sini rombongan mulai terpisah jarak sedikit-sedikit karena perbedaan pace. Secara tak sadar, rombongan terbagi menjadi tiga bagian: depan, tengah, dan belakang.

Aku berada di posisi tengah, di mana jarak dengan rombongan depan jauh, ke belakang juga jauh. Lala dan Dhyah yang kerepotan dengan medan berada di bagian belakang bersama Pak Fau, rekan Gajah Salam yang bertugas sebagai sweeper. Sebenarnya aku tidak sendirian banget, di depanku persis masih ada Akira, remaja Sekolah Alam yang gesit dan tangkas. Aku berusaha mengejar dia. Kebetulan dia memakai sepatu gunung, tapak kakinya jelas tercetak di tanah.

Lama-lama aku makin tertinggal. Aku merasa yakin sudah di jalur yang benar karena masih melihat tapak Akira terus ... sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang petani lokal. Di sinilah titik baliknya. Aku mencoba bertanya untuk memastikan bahwa ini jalur yang benar ke Gunung Hamerang, sungguh kaget karena ternyata dia menjawab bukan.

Dia menawarkan diri untuk mengantar ke jalur (yang menurut dia) Gunung Hamerang sambil berkata, “Ini jalurnya udah lama nggak dibersihkan, jadi ketutup rumput tebal”. Sambil sangsi aku mengulang bertanya lagi, dan dia tetap keukeuh. Malah dengan tegas dia mengatakan bahwa pekan sebelumnya ada dua rombongan yang salah jalan juga sepertiku. Padahal dalam hati aku tidak yakin juga karena jalurnya penuh dengan semak-semak.

Setelah petani itu pergi, aku mencoba mengikuti jalur yang dia tunjukkan. Makin lama jalur makin hilang dan pepohonan makin rimbun. Akhirnya aku memutuskan untuk putar balik, tetapi jalan mana yang tadi kulalui pun sudah tak jelas ke arah mana. Dengan panik, aku berputar-putar tak tentu arah.

Saking tebalnya semak-semak, bahkan tanah yang dipijak pun tidak kelihatan. Ternyata aku menuju ke lereng dan beberapa saat kemudian terperosok ke bawah. Aku merasa panik sekali. Aku mencoba merambat naik karena kemiringannya curam, tetapi merosot terus. Aku berusaha menggapai sambil berpegangan pada pepohonan, tetapi tetap tidak bisa naik karena terlalu curam. Naik lagi, merosot lagi, begitu saja terus.

Beberapa kali aku tertahan merosot karena tersangkut pohon (salah satunya adalah pohon berduri yang membuat tangan dan badanku baret-baret), akhirnya aku berhenti sejenak berusaha mengatur napas. Aku mencoba berteriak-teriak juga barangkali ada orang, tetapi sunyi. Sampai di titik ini, aku sudah hampir menangis.

Aku menggapai botol minum dan minum beberapa kali, lalu mencoba berpikir. Aku memeriksa fitur track back di jam Garmin, tetapi mau mengikuti itu pun susah karena jalan tertutup semua. Ketika aku duduk di dahan pohon sambil rehat menjernihkan pikiran, sayup-sayup terdengar suara gemericik air. Akhirnya terbersit ide: kalau naik tidak bisa, mungkin aku turun ke sungai saja.

Saat berangkat tadi aku ingat kami menyeberang sungai. Siapa tahu aku bisa menemukan titik tempat menyeberang tadi. Atau kalaupun tidak, aku berharap dengan mengikuti alur sungai, aku bakal menemui kampung dan orang yang bisa ditanya. Perjalanan menuju sungai ternyata tidak gampang karena airnya bahkan tidak terlihat ada di sebelah mana. Ya sudah, aku mencoba merosot terus menembus rerimbunan lereng.

Ketika akhirnya menemukan sungai, aku langsung mencemplungkan diri. Jalur di kanan-kiri sungai tidak bisa dilalui. Satu-satunya jalan adalah masuk ke jalur air. Ketika mengecek track back di jam Garmin, arahnya sesuai dengan aliran air. Begitulah akhirnya, sekitar 1,5 kilometer aku berjalan di air.

Sungai penuh batu-batu dan pohon besar. Berkali-kali terpeleset dan terantuk batu, aku juga bermanuver melangkahi pohon-pohon besar yang melintang di sungai. Pinggang ke bawah sudah basah semua karena berkali-kali tercebur.

Saat berjalan di sungai itu aku mengirim pesan di grup Whatsapp kalau aku tersasar. Aku takut banget membuat yang lain khawatir, padahal ternyata tidak ada yang menyadari kalau aku menghilang, hahaha. Rombongan depan mengira aku bersama rombongan belakang, vice versa.

Aku mengirim pesan di sungai pukul 09.49. Sekitar pukul 11.00 lebih, aku akhirnya menemukan jalur trekking lagi, tepat di tempat di mana tadi kami menyeberang. Hampir pukul 12.00 pesanku baru terkirim di grup Whatsapp dan dibalas oleh Teh Mae dari Elang Salam. Saat itu posisiku sudah kembali menanjak, hampir sampai Pasir Pete lagi. Ternyata balasanku tak kunjung terkirim akibat susah sinyal, jadi Teh Mae tidak tahu jika aku sudah dekat Paniisan.

Di tanjakan selepas Pasir Pete, akhirnya aku bertemu Pak Azhar yang sedang mencari keberadaanku. Karena pesanku berbunyi “Insya Allah mau nyoba balik ke Paniisan”, beliau berasumsi bahwa aku pulang melewati rute berangkat tadi, yang mana 100% benar. Terlihat sekali kelegaan di wajah beliau saat beliau bilang “Alhamdulillah” dengan sangat kencang. Duh, aku jadi merasa bersalah karena sudah membuat orang lain khawatir.

Ketika aku sampai di Paniisan diiringi Pak Azhar, Lala dan Dhyah yang sedang menyantap makan siang menyambutku dengan heboh. Rombongan yang tersisa juga ikut menghampiri, sementara sebagian besar rombongan yang lain sudah pulang. Aku tak kuasa berkata-kata. Yang ada hanyalah rasa lelah secara batin dan fisik, meskipun aku lega sudah bisa kembali menemukan rombongan.

Hingga sekarang, perjalanan hari itu masih meninggalkan “sisa”. Jari tengah tangan kiriku yang waktu itu cedera karena ototnya tertarik ketika bergelantungan di pohon, masih terasa belum pulih sepenuhnya.

Moral Of The Story

Jika aku bisa memetik pelajaran, dunia pendakian bukanlah sesuatu yang main-main. Meskipun hampir semua orang memujiku karena terlihat berani dan bisa berpikir jernih untuk mengikuti alur sungai, sejatinya di atas sana aku merasa ketakutan setengah mati. Dalam masa tersasar itu aku sempat terpikir, sampai berapa lama aku bisa pulang ke rumah. Ini baru skala Sentul ya, yang “hanya” berskala bukit, belum gunung sungguhan.

Entah apa jadinya kalau aku tersasar di gunung sungguhan seperti Naomi yang hilang di Gunung Slamet selama tiga hari (anak itu sangat hebat, insting survival-nya jalan). Meskipun mengalami kisah yang mendebarkan, setelah kejadian hari itu, aku sama sekali tidak kapok. Teman-teman yang lain bahkan sampai geleng-geleng kepala ketika sesampai di rumah aku sudah mengirim pesan “next ke mana lagi kita?”, hahaha.

Yup, mungkin sudah secinta itu aku dengan trekking dan hiking. Sepanjang tahun lalu saja aku 12 kali pergi ke Sentul, dapat dikatakan hampir tiap bulan. Tahun ini frekuensinya agak berkurang, tetapi tahun ini aku berprogres dengan mendaki gunung sungguhan: Gunung Sindoro, Gunung Gede, dan insya Allah Gunung Slamet akhir bulan ini.

Beberapa hal yang mungkin dapat menjadi pembelajaran:

  • Terapkan buddy system dan pendamping rombongan dengan benar. Jika rombongan terbagi menjadi beberapa bagian, harus ada salah satu yang paham rute.
  • Jika Anda terpisah dari rombongan depan dan posisi berada di tengah sendirian sepertiku, lebih baik diam saja menunggu rombongan belakang sampai karena ada sweeper yang paham rute.
  • Trust your instinct. Jika ragu dengan jalur yang aneh, lebih baik tidak usah diteruskan.
  • Jika tersasar, jangan panik. Meskipun pada prakteknya susah, tetapi kita harus tetap tenang supaya dapat berpikir jernih.
  • Jika tersesat, ada baiknya mencari aliran sungai dan menyusurinya (dengan alasan yang sudah aku tulis di atas).
  • Beli jam Garmin yang ada fitur track back-nya. Just kidding, hahaha. Maksudku, lengkapi diri Anda dengan peralatan yang mumpuni dalam pendakian. Misal: kompas (sekarang sudah terintegrasi di smartwatch), jas hujan, logistik/perbekalan, dll. Intinya adalah peralatan yang memungkinkan Anda dapat bertahan hidup di gunung, termasuk HT untuk berkomunikasi.
  • Jangan lupa untuk senantiasa berzikir, agar kita terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan November yang bertema “Foto dan Ceritanya”.