Monday, October 07, 2024

Tak Berani Bermimpi

Alkisah delapan belas tahun yang lalu, ada seorang fresh graduate yang tengah berjuang melamar pekerjaan ke sana kemari dan mengikuti belasan wawancara di ibukota. Saat itu, ketika memandangi gedung-gedung pencakar langit di bilangan Sudirman-Thamrin dan para pekerja white collar yang necis, wangi, dan tampak profesional sibuk berseliweran, fresh graduate itu memupuk tekad untuk kelak suatu hari akan menjadi bagian dari mereka.

Delapan belas tahun kemudian, fresh graduate itu berkantor di lantai delapan sebuah gedung pencakar langit milik sebuah lembaga pemerintah di salah satu sudut Jalan Thamrin, hanya berjarak lima ratus meter saja dari Monas. Meskipun kini mimpinya terwujud, masih ada ruang kosong dalam hatinya. Nyatanya tahun-tahun yang berlalu telah membawanya bertualang ke dunia yang berbeda dan membelokkannya dari impiannya dulu.

Kini ketika setiap pagi ia membuat kopi di pantry dan memandang belantara gedung pencakar langit di depan jendela kaca besar, pikirannya berkelana.

What I Used to Dream

Yup, fresh graduate itu adalah aku. Takdir kehidupan selepas lulus membawaku jauh dari Sudirman-Thamrin karena diterima bekerja sebagai ASN dan ditempatkan di Bandung. Awalnya aku menggeluti dunia yang tak jauh berbeda dengan latar belakang pendidikanku, tetapi minat dan jalur karir akhirnya membawaku ke dunia yang sama sekali baru: quality assurance.

Hampir sepuluh tahun mengurusi quality assurance di sebuah lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) ketenaganukliran membuatku jatuh cinta dengan dunia sistem manajemen. Nuklir adalah salah satu hal yang sangat spesifik dan quality assurance terhadapnya tidak main-main. Kepatuhan terhadap persyaratan standar sistem manajemen, peraturan yang bersifat nasional maupun internasional, perundang-undangan yang berlaku, dan persyaratan yang diminta oleh pemangku kepentingan, menjadi hal mutlak.

Sebagai orang yang perfeksionis dan cenderung strict kalau menyangkut kepatuhan terhadap peraturan, aku merasa cocok menggeluti bidang ini. Aku menikmati proses mengaudit dan diaudit, melakukan pengukuran berbasis sistem manajemen, mengecek check list dan mengevaluasi kinerja sistem manajemen, serta sederet hal lain yang menjadi makananku sehari-hari.

Aku sungguh menikmati mengembangkan potensi di bidang ini. Berbagai sertifikasi kuikuti dan beberapa lisensi terkait sistem manajemen kuperoleh, bahkan ada yang bertaraf internasional. Aku juga sering menjadi narasumber dan pengajar untuk berbagi ilmu mengenai dunia sistem manajemen.

Dulu kukira aku akan selamanya berkutat di bidang ini hingga pensiun. Aku bahkan punya mimpi untuk menjadi konsultan setelah pensiun, juga mimpi untuk pergi ke berbagai belahan dunia karena pekerjaan ini. Namun, apa yang terjadi? All my dreams had gone in a blink of eye. Without warning, without preparation, without a proper goodbye.

Life Changes, So Do People

Hidup membawaku “terdampar” di sini pada akhirnya. Sambil menyesap secangkir kopi di depan jendela kaca besar pada suatu pagi, aku berpikir bahwa Tuhan sesungguhnya Maha Pemurah. Dia mengabulkan mimpiku belasan tahun silam, meskipun saat ini bukan itu lagi yang kuinginkan.

Pergilah ke mana hati membawamu, kata Susanna Tamaro. Namun, saat ini aku hanya bisa pergi ke mana hidup membawaku. Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini yang bertema “Hari Tua” sungguh membuatku kalut. Seperti kata Mamah Meta, ini tema yang berat. Sangat berat buatku, karena aku tak tahu akan seperti apa bayangan hari tuaku.

Tak Berani Bermimpi

Belajar dari apa yang kujalani setahun ini, bisa dibilang kini aku tak lagi berani bermimpi apa-apa. Harapan tentu ada seperti orang-orang pada umumnya, misalnya: melihat anak-anak beranjak dewasa dan hidup sukses, menjadi lansia yang sehat, mandiri, dan tidak merepotkan anak cucu, atau melakukan hal-hal yang disukai ketika pensiun.

Aku pernah menulis tentang harapan masa tuaku di sini dan sini. Aku juga ingin menikmati masa pensiun dengan traveling, masih tetap berlari dan mengikuti marathon race, bahkan meneruskan kesenanganku mendaki gunung.

Namun, secara spesifik aku tak tahu harus bermimpi apa untuk diriku sendiri. Seorang teman secara tak sengaja pernah memberi “tamparan” buatku ketika ia memasang instastory di bawah ini:

If you don’t know what to pursue in life right now. Pursue yourself.

It hit me like a lightning strike. And then I cried like a baby. Bahkan untuk pursue myself, aku merasa seperti tak punya kendali. Iya, aku memang tak lagi berani bermimpi. Seperti yang kutulis di atas: it can all be gone in a blink of eye. Jadi, aku hanya akan menjalani hari-hariku ke depan dengan sebaik-baiknya. Tentang hari tua, biar Tuhan saja yang memutuskan.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober yang bertema “Hari Tua”.

5 comments:

  1. Ya memang beda mimpi baru lulus kuliah dan 10-20 tahun kemudian ya teh. Apalagi habis nikah, udah bergeser prioritasnya

    ReplyDelete
  2. Tetep bermimpi, dalam artian doa teh. Diiringi ikhtiar, tentunya. Bismillah 🤗

    ReplyDelete
  3. Kayaknya kebanyakan dari kita related deh. Tidak semua orang dapat pekerjaan sesuai bidangnya. Jalan hidup akan membawa kita ke jalan yang tidak disangka-sangaka. Kita hanya bisa menjalaninyasebaik yang kita bisa. Selanjutnya biar Allah saja yang tetapkan, baiknya bagaimana. Tetap percaya ketetapanNya adalah yang terbaik

    ReplyDelete
  4. Bermimpi efeknya sedahsyat itu ya teh, sebaliknya kalau lagi ga ada impian spt kehabisan bahan bakar..
    Moga teteh bisa menemukan mimpi baru,.

    ReplyDelete
  5. Mendalam sekali Teh Yustika perjalanan emosionalnya, dari mimpi besar yang sempat terwujud hingga ketidakpastian di masa mendatang. Menyentuh bagaimana hidup seringkali membawa kita ke jalur yang tak pernah dibayangkan, dan ketakutan akan masa depan membuat berhenti bermimpi....

    ReplyDelete