Pulang, kenangan, dan kerinduan. Tiga kata tak terpisahkan yang senantiasa mendesak-desak ruang rasa tiap kali kembali ke suatu tempat yang kita anggap rumah. Karena tiga kata itu pula yang membedakan pengembaraan dan keberlabuhan, kelelahan dan kenyamanan, keterasingan dan kebersamaan.
Hari-hari ini ketika aku berkesempatan mengitari kota Solo kembali, ada sebongkah rasa haru membuncah. Solo masih sedamai yang dulu. Solo masih tetap menjadi kota yang tak pernah tidur, dengan banyaknya warung angkringan bertebaran di seantero kota. Di situ orang-orang berkumpul melepas penat sambil bertukar pikiran, bercanda, dan wedangan, juga sesekali mencomot kikil goreng atau tempe bacem.
Solo juga masih sesederhana yang dulu. Meskipun resto-resto beken mulai membuka gerai-gerai baru, orang-orang masih suka pergi beramai-ramai ke warung lesehan di pinggir-pinggir jalan. Di Solo, beberapa warung pinggir jalan malah lebih beken dibanding resto-resto beken, seperti warung sate Pak Manto dan Mbok Galak, warung tenda sepanjang Kota Barat, warung susu segar asli Boyolali, warung masakan ayam di Purwosari, warung nasi liwet di bilangan Keprabon, atau warung gudeg ceker di beberapa tempat lain. Orang-orang harus berebut tempat dan mengantri lama kalau ingin bersantap di tempat-tempat itu.
Desing-desing akrab bahasa Jawa medok yang selama ini asing di perantauan, dapat dengan mudah ditemui di berbagai penjuru kota Solo. Kesopanan dan kehalusan bahasa yang menjadi ciri orang Solo selalu membuatku merindukan kota ini habis-habisan. Bukan merupakan hal yang aneh lagi ketika seorang sopir angkot atau sopir bus kota berbahasa krama kepada penumpangnya. Sapaan-sapaan seperti “Badhe tindak pundi, Mbak?” atau “Mandhap mriki, Mbak?” menjadi biasa bertebaran di dalam angkot dan bus kota. Bahkan aku pernah tercengang-cengang ketika membayar angkot, kakek tua yang menyopirinya tersenyum mengangguk sambil berkata, “Nggih. Maturnuwun, Mbak.”
Bicara tentang Solo juga berarti bicara tentang sejarah panjang sebuah kota. Sejak lama Solo didengung-dengungkan sebagai Kota Budaya karena dulunya merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa. Hal ini menyebabkan timbulnya kesadaran untuk melestarikan segala bentuk budaya dan tradisi Jawa di Solo, termasuk karya arsitektur kuno. Solo memiliki keragaman arsitektural seperti arsitektur tradisional, Eropa, modern, dan postmodern. Dua di antaranya (tradisional dan Eropa) sangat penting dalam menciptakan identitas modern Kota Solo.
Berfoto di Keraton Kasunanan bersama teman-teman komunitas lari |
Sejarah Solo—yang nama resminya adalah Surakarta—bermula ketika Sunan Paku Buwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso, Tumenggung Mangkuyudo, dan Panglima Tentara Belanda J. A. B Van Hohendorff untuk mencari lokasi untuk mendirikan ibu kota baru Kerajaan Mataram. Setelah mempertimbangkan faktor fisik dan nonfisik, pada tahun 1746 M (atau 1671 penanggalan Jawa) dipilih sebuah desa di dekat sungai Bengawan bernama Sala. Sejak saat itu, Sala berubah menjadi Surakarta Hadiningrat dan terus berkembang.
Berdasarkan perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Berdasarkan perjanjian Salatiga, Kerajaan Surakarta dibagi menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran. Dari fakta sejarah, perkembangan Surakarta sangat dipengaruhi oleh peran pemerintah Kasunanan, pemerintah Mangkunegaran, Benteng Vastenburg sebagai pusat pengawasan ketat Belanda terhadap Kerajaan Surakarta, dan Pasar Gede Hardjonagoro sebagai pusat perekonomian kota. Peran tempat-tempat tersebut telah membentuk kawasan budaya dengan Kerajaan Kasunanan sebagai pusatnya. Pengembangan kota berlanjut di sekitar wilayah ini hingga hari ini.
Perempatan yang menghubungkan Balai Kota, Pasar Gede, Benteng Vastenburg, dan Keraton Kasunanan |
Sayangnya, tidak selamanya Solo bersikap stagnan. Kerinduanku pada kota ini sedikit menipis kala menyadari adanya perubahan-perubahan signifikan. Solo jadi seperti kehilangan karakteristik khasnya: pusat-pusat perbelanjaan megah dibangun di sana sini; gaya hidup masyarakat lambat laun telah menggeliat menjadi lebih konsumtif dan borjuis; sikap masyarakat yang cenderung nrimo mulai berubah menjadi lebih egois, semau gue, dan sulit diatur (masih ingat bagaimana Solo luluh lantak saat kerusuhan Mei 1998?); jumlah sepeda dan sepeda motor mulai tersisih oleh banyaknya mobil berseliweran; atau yang paling menyedihkan, lunturnya kebanggaan berbahasa Jawa di kalangan generasi muda (terutama usia pelajar). Aku sering geleng-geleng kepala menyaksikan mereka lebih merasa akrab berbincang dengan bahasa Indonesia. Tak ada salahnya memang, tetapi kalau lantas mereka mulai meninggalkan bahasa Jawa sama sekali, pasti ada yang salah dengan “kejawaannya”. Jangankan berbahasa krama kepada orang tua, berbicara Jawa dengan teman sebaya saja mereka masih terbata-bata. Ckckck …
Tak dapat dipungkiri, industri gaya hidup telah sukses merambah Solo. Restoran dan kafe bertebaran dalam berbagai bentuk, menyaingi warung lesehan dan angkringan yang sudah lebih dulu merakyat. Salah satu mal besar di jalan protokol kota bahkan dengan bangga memasang slogan ”lifestyle center” dengan huruf besar-besar. Di dalamnya berderet gerai-gerai semacam gerai bakery bermerek dagang nasional, kafe kopi, distro, plus gerai-gerai belanja-barang-mahal lainnya.
Ketika aku berkesempatan jalan-jalan di dalam mal-mal megah yang kini ada beberapa buah di kota ini, aku merasa bak berada di Bandung atau Jakarta. Di ibu kota, mal-mal semacam ini sudah menjadi pemandangan yang sangat biasa. Beberapa belas tahun lalu, mal seperti ini bisa dibilang jarang ada di Solo. Kalaupun ada, rasanya dulu sepi pembeli. Bandingkan dengan tempat-tempat belanja yang lebih proletar, seperti Luwes, Matahari Singosaren, Pusat Perbelanjaan Beteng, atau Pasar Klewer. Belum lagi kalau kita bicara soal pergaulan dan tata cara berpakaian. Betapa jamaknya sekarang aku melihat celana pendek dan tank top bertebaran.
Yah, berubah atau tidak berubah, Solo masih tetap kota kelahiranku. Meskipun kedamaian dan kebersahajaan sedikit demi sedikit mulai terkikis, aku berharap masih ada nilai-nilai adiluhung bertahan dari generasi ke generasi. Aku tahu Solo tidak berubah sendirian. Mungkin demikian juga halnya dengan kota-kota lain di tanah Jawa yang dulu tampak sangat proletar dan tradisional. Berpuluh-puluh tahun ke depan saat Solo (mungkin sudah) kehilangan wajah aslinya, aku akan tetap punya kenangan manis tentang kejawaan, kedamaian, dan kesederhanaannya. Dan kenangan itu pulalah yang akan selalu membawaku menjejakkan kaki kembali di kota ini.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli yang bertema “Tentang Daerah Asal”.