Menurut WHO, kesehatan mental adalah kondisi saat seorang individu merasa sejahtera, yang ditandai dengan kemampuan untuk mengetahui dan memaksimalkan potensi tersebut, kemampuan untuk mengelola stres kehidupan atau situasi yang menekan, serta kemampuan untuk bekerja secara produktif dan bermanfaat di tempat kerja, keluarga, dan komunitasnya [1].
Yang terjadi pada otak saat stres [1] |
Tiga gangguan mental yang pernah mampir dalam kehidupanku ialah depresi ringan, baby blues, dan gangguan kecemasan. Depresi ringan kualami saat kuliah. Merasa kesulitan menghadapi perkuliahan dan merasa kesepian adalah beberapa penyebab depresiku saat itu. Secara umum, depresi ditandai dengan suasana hati yang selalu sedih, kehilangan motivasi, tidak percaya diri, mudah menangis, khawatir berlebihan, mudah tersinggung, dan cenderung menyakiti diri [1]. Aku membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk kembali bangkit, menumbuhkan self esteem dan self love, serta membangun citra diri yang positif. Aku tidak pergi ke psikolog, tetapi aku mendapat dukungan yang kubutuhkan dari calon suami.
Baby blues kualami setelah melahirkan anak pertama. Gegar terhadap kondisi sebagai ibu baru, ditambah dengan ketakutan, kekhawatiran, dan perilaku dari orang dekat yang terasa mengerdilkan, membuatku dirundung baby blues kala itu. Alhamdulillah sifatnya ringan saja. Pada persalinan-persalinan berikutnya aku sudah tahu trik yang harus kulakukan. Selain menghindari pihak-pihak yang toxic, aku berusaha lebih terhubung dengan diri dan bayi, baik saat hamil maupun setelah melahirkan.
Gangguan kecemasan kualami setelah pandemi hadir. Pada masa awal Covid-19 masuk ke Indonesia, aku dilanda kecemasan berlebihan. Apalagi saat itu aku memiliki bayi yang baru berusia beberapa bulan. Tiap malam kudekap bayi itu sambil berharap Covid-19 tidak pernah mampir ke rumah kami. Qadarullah suamiku terkena Covid-19 juga pada November 2020 sehingga harus dirawat di rumah sakit selama dua puluh lima hari. Meskipun kejadian itu sudah lama berlalu, hingga saat ini aku kadang-kadang masih terkena panick attack.
Gangguan mental bisa sangat mengganggu kehidupan dan aktivitas sehari-hari karena bersifat psikosomatik. Secara morfologi, psikosomatik berasal dari kata psyche (pikiran) dan soma (tubuh). Secara istilah, psikosomatik merupakan keluhan fisik yang diduga disebabkan atau diperparah oleh faktor mental, seperti stres dan rasa cemas [1].
Hubungan emosi dan fisik [2] |
Gejala psikosomatik sebenarnya cukup tricky karena hasil pemeriksaan tubuh seseorang bisa jadi normal, tetapi dia merasakan gejala nyata berupa gangguan fisik. Ini tidak mengherankan karena sejatinya emosi dan fisik manusia itu saling berhubungan dan saling mendukung. Salah satu hipotesis yang dapat menjelaskan gangguan psikosomatik adalah emosi negatif yang dapat memengaruhi sistem otonom tubuh, keseimbangan hormon, serta imunitas tubuh sehingga jika seseorang merasakan emosi negatif yang berlebih, dia akan lebih rentan terkena penyakit [2].
Hormon-hormon kebahagiaan [3] |
Seperti yang pernah kutulis di sini, salah satu cara untuk membuat otak dan mental kita sehat—selain dengan nutrisi—ialah dengan olahraga. Olahraga yang dilakukan dengan tepat dapat merangsang keluarnya hormon-hormon kebahagiaan. Hal inilah yang membuatku konsisten meluangkan waktu untuk berolahraga. Kesibukan yang berkejaran antara urusan domestik dan karir seringkali membuat fisik penat dan pikiran ruwet. Olahraga menjagaku tetap waras sehingga keletihan fisik dan mental dapat berkurang.
Sebagai poin terakhir, kesehatan mental juga dapat terpelihara dengan baik jika kita memperbaiki hubungan dengan Allah. Beberapa kali sesi terapi dengan psikolog tidak membawa hasil, aku malah “sembuh” dengan mengikuti kajian. Memang tidak semua kajian cocok untuk setiap orang, tetapi ada satu kajian yang benar-benar menyadarkanku tentang qadha dan qadar hingga akhirnya membuatku berpasrah kepada Allah. Ketika kita berada di titik nadir, berserah kepada Allah benar-benar memberi ketenangan.
"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, 'Tuhan kami adalah Allah,' kemudian mereka tetap istiqamah, tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati." (Q.S. Al-Ahqaf: 13)