[ditulis sambil menghela nafas dalam-dalam]
Hari ini aku kembali menghadapi cercaan tentang pilihanku berkarir, untuk pertama kalinya setelah sekian lama tidak dicerca dengan cercaan serupa. Mereka yang mencerca beralasan, tempat setiap perempuan berkeluarga adalah di rumah. Perempuan berkeluarga yang multifungsi tidak bisa maksimal memberi untuk anak dan suaminya.
Bukannya aku tak tahu ya. Bahkan sebenarnya cercaan itu klise, karena hal semacam itu sudah menjadi pemikiranku sejak lama. Bagi yang jarang mengikuti sepak terjangku di blog ini mungkin tak terlalu tahu masa-masa kritis dulu saat aku menghadapi dilema antara berkarir atau tetap menjadi stay-at-home mom. Tapi yang jelas, pada awalnya aku berkarir adalah untuk mengabulkan harapan suami tentang memiliki istri bekerja, meskipun setengah mati aku ingin di rumah saja. Waktu demi waktu berlalu, aku pisah kota dengan suami, punya anak, dan here I am... tetap menjalani pilihan menjadi perempuan bekerja, lengkap dengan segala konsekuensinya.
Nikmatkah hidupku? Pendewasaan bertumbuh dan aku tak lagi menyalahkan siapapun. Nikmat atau tidak nikmat itu bukan urusanku, karena urusanku hanyalah bagaimana berusaha menjalani hidup ini sebaik mungkin, sebermanfaat mungkin, sembari terus mensyukuri nikmat Gusti Allah, sekecil apapun.
Maka ketika ada orang nyinyir berkomentar, padahal tidak tahu bagaimana pastinya isi rumah tanggaku, kok rasanya sedikit mengelus dada ya. Sudah pasti aku menjalani pilihan ini setelah berpikir panjang, bukan keputusan serta merta. Lagipula aku juga tidak pernah usil mengurusi—apalagi mencerca—pilihan perempuan-perempuan lain untuk bekerja atau tetap tinggal di rumah saja. Berkarir atau memilih menjadi stay-at-home mom menurutku sama mulianya, asal ditempatkan sebagaimana mestinya. Apa pula yang mesti diperdebatkan?
Hari ini aku kembali menghadapi cercaan tentang pilihanku berkarir, untuk pertama kalinya setelah sekian lama tidak dicerca dengan cercaan serupa. Mereka yang mencerca beralasan, tempat setiap perempuan berkeluarga adalah di rumah. Perempuan berkeluarga yang multifungsi tidak bisa maksimal memberi untuk anak dan suaminya.
Bukannya aku tak tahu ya. Bahkan sebenarnya cercaan itu klise, karena hal semacam itu sudah menjadi pemikiranku sejak lama. Bagi yang jarang mengikuti sepak terjangku di blog ini mungkin tak terlalu tahu masa-masa kritis dulu saat aku menghadapi dilema antara berkarir atau tetap menjadi stay-at-home mom. Tapi yang jelas, pada awalnya aku berkarir adalah untuk mengabulkan harapan suami tentang memiliki istri bekerja, meskipun setengah mati aku ingin di rumah saja. Waktu demi waktu berlalu, aku pisah kota dengan suami, punya anak, dan here I am... tetap menjalani pilihan menjadi perempuan bekerja, lengkap dengan segala konsekuensinya.
Nikmatkah hidupku? Pendewasaan bertumbuh dan aku tak lagi menyalahkan siapapun. Nikmat atau tidak nikmat itu bukan urusanku, karena urusanku hanyalah bagaimana berusaha menjalani hidup ini sebaik mungkin, sebermanfaat mungkin, sembari terus mensyukuri nikmat Gusti Allah, sekecil apapun.
Maka ketika ada orang nyinyir berkomentar, padahal tidak tahu bagaimana pastinya isi rumah tanggaku, kok rasanya sedikit mengelus dada ya. Sudah pasti aku menjalani pilihan ini setelah berpikir panjang, bukan keputusan serta merta. Lagipula aku juga tidak pernah usil mengurusi—apalagi mencerca—pilihan perempuan-perempuan lain untuk bekerja atau tetap tinggal di rumah saja. Berkarir atau memilih menjadi stay-at-home mom menurutku sama mulianya, asal ditempatkan sebagaimana mestinya. Apa pula yang mesti diperdebatkan?