Kalau denger soal temen lain yang udah sukses dan hidup mereka yang tampak lempeng banget, kok rasa-rasanya jadi ngerasa belum punya apa-apa ya. Denger si A sekarang kerja di Indosat, si B di Ericsson, si C keterima kerja di BI, si D udah nulis buku, bla bla bla... haduhhh, serasa manyun aja jadinya.
Hari-hari ini ketika aku serasa stuck dengan kesibukan mempersiapkan the big day, dikelilingi oleh tumpukan suvenir yang belum terbungkus dan tumpukan undangan yang belum dilabeli serta rasa kemeng di lengan akibat imunisasi TT kemarin, aku jadi manyun lagi. Beberapa teman yang udah kerja, ketika mereka menikah, dengan santainya baru pulang dua atau tiga hari sebelum hari H. Pengen deh kayak mereka yang tinggal nikah aja karena segala sesuatu udah ada orang lain yang ngurusin.
Huaaaa, kok malah jadi mellow begini sih. Nggak nyangka kalau mau nikah itu bisa jadi stres banget. Berat badanku sekarang turun jadi 43-44 kg. Ngeliat makanan aja sekarang jadi males, sesuatu yang nggak pernah kebayang karena dulu-dulu tu aku selalu suka makan. Udah gitu mulai muncul deh sindrom pranikah: pertengkaran-pertengkaran kecil dengan orang tua dan calon suami tentang hal-hal yang bisa jadi tampak remeh. Kayak misalnya tentang letak kursi pengantin, tentang pembungkusan suvenir yang nggak selesai-selesai *karena kalau aku udah bete biasanya aku anggurin aja, hehehe*, tentang upacara adat pas nikah, bla bla bla. Makin puyeng aja.
Lalu tiba-tiba serasa ada palu godam memukul kepala. Duengg wengg wengg... *pake echo, hihihi*
Palu godamnya berkata: Yustikaaaa, kok jadi pengeluh banget sih sekarang??? Malu-maluin aja nih. Katanya dari dulu pengen nikah???
Hmmm, iya ya. Harusnya aku jadi the happiest person on earth sekarang ya. Pencarian pangeran udah berakhir, dongengnya udah mau sampai ke kisah pernikahan. Sayangnya, kehidupan nyata tu nggak semulus fairytale yang tinggal “and they live happily ever after”. Iya, mana ada kisah Cinderella yang bertengkar sama pangeran masalah gorden, atau kisah Putri Aurora yang berdebat dengan ibu permaisuri tentang letak dekorasi bunga. Hihihi, enggak banget deh.
Nah, sekarang tinggal masalah sudut pandang aja. Dinikmati aja lah segala kesibukan ini. Sambil tak henti bersyukur atas karunia Allah yang tak terhitung. Manusia emang begitu: nggak pernah puas dan selalu minta lebih. Selalu menganggap rumput tetangga lebih hijau. Nggak sadar kalau sebenarnya udah diberi banyak banget sama Allah. Nggak pengen jadi manusia yang seperti itu ya, Allah.
Kalau ngerasa capek, alhamdulillah aja karena itu berarti aku masih punya tenaga untuk ngerjain ini itu. Kalau sekarang aku masih belum jadi apa-apa dan belum berhasil kayak teman-teman lain, alhamdulillah aja karena itu berarti aku masih punya banyak waktu di rumah untuk belajar banyak hal: belajar masak, baca-baca soal parenting, atau menjalin kehangatan dengan keluarga sebelum aku diboyong pergi oleh sang pangeran. Toh ke depannya, tinggal di rumah bukan berarti aku nggak bisa berhasil. Tinggal perannya aja kan yang berbeda. Berhasil di perannya masing-masing, aku rasa itu yang terpenting.
So, aku bersyukur untuk:
- Kesehatan yang diberikan Allah kepadaku dan orang-orang yang aku cintai.
- Kelancaran dan kemudahan dalam mempersiapkan the big day.
- Rumah mungil yang telah menunggu di Cikarang yang --meskipun KPRnya masih dicicil-- insya Allah udah jadi milik kami.
Resolusiku sekarang: tiap hari bangun dengan senyuman, berusaha memupuk keikhlasan dan kenikmatan bersyukur, dan menemukan hal-hal baru untuk ditambahkan ke dalam daftar “aku-bersyukur-untuk” milikku.
wah... bagus banget tulisannya...
ReplyDeleteselamat ya...
selamat bersibuk-sibuk ria juga