Monday, November 11, 2024

Kengerian dalam Keindahan

Pernah tidak, Anda merasa ketakutan sekaligus putus asa? Aku pernah. Dan kali ini aku ingin membagikan kisahnya pada Anda. Sebenarnya sudah lama aku ingin menulis tentang ini, tetapi seperti biasa … selalu tak ada waktu. Hingga akhirnya Mamah Gajah Ngeblog dengan Mamah Risna dan Mamah Ilma sebagai host, membuat tema tantangan mengenai foto dan ceritanya. Jadi, terpikirlah diriku menulis kisah yang patut dikenang ini.

Berfoto di Pasir Pete. Di hutan lereng belakang itu aku mengalami peristiwa mendebarkan.

Apa yang terlintas di benak Anda ketika melihat foto di atas? Pemandangan yang indah, bukan? Siapa sangka, keriangan ketika memulai trekking tanggal 18 Mei 2023 itu berakhir jauh dari bayangan. Jujur saja, dari 15 kali perjalananku ke Sentul, perjalanan ini adalah yang paling mendebarkan.

Pagi itu aku berangkat dari Bintaro bersama Lala dan Dhyah untuk bergabung bersama rombongan Mamah Gajah Berlari (MGB), ITB Bogor, Elang Salam, dan Gajah Salam (dua terakhir ini adalah komunitas parents Sekolah Alam Bogor yang gemar menjelajah alam). Rencananya kami akan melakukan trekking sekitar 15 kilometer menyusuri rute Pangaduan - Paniisan - Pasir Pete - Pasir Jambe - Gunung Hamerang - Paniisan - Pangaduan.

Kami memulai trekking pukul 06.24 dengan jumlah rombongan sekitar 15-20 orang, aku lupa persisnya. MGB dan ITB Bogor yang belum akrab dengan rute ini sengaja mengekor Elang Salam dan Gajah Salam yang bertugas menjadi pemandu jalan sekaligus sweeper. Awalnya perjalanan berlangsung menyenangkan. Kami sempat berhenti sejenak di Paniisan untuk menikmati kudapan di warung Mang Jajang.

Setelah Pasir Pete, perjalanan sesungguhnya dimulai. Kontur yang menukik tajam hingga ke sungai di dasar lembah menjadi salah satu turning point. Di sini salah satu rekan ITB Bogor mengalami kram kaki parah. Beberapa orang yang kepayahan dipersilakan kembali dan tidak melanjutkan perjalanan karena rute berikutnya di depan sangat menantang berupa tanjakan curam sepanjang 6-7 kilometer.

Setelah beberapa orang memisahkan diri di sungai, rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Kami melewati Tanjakan Anton yang terjal, di sini rombongan mulai terpisah jarak sedikit-sedikit karena perbedaan pace. Secara tak sadar, rombongan terbagi menjadi tiga bagian: depan, tengah, dan belakang.

Aku berada di posisi tengah, di mana jarak dengan rombongan depan jauh, ke belakang juga jauh. Lala dan Dhyah yang kerepotan dengan medan berada di bagian belakang bersama Pak Fau, rekan Gajah Salam yang bertugas sebagai sweeper. Sebenarnya aku tidak sendirian banget, di depanku persis masih ada Akira, remaja Sekolah Alam yang gesit dan tangkas. Aku berusaha mengejar dia. Kebetulan dia memakai sepatu gunung, tapak kakinya jelas tercetak di tanah.

Lama-lama aku makin tertinggal. Aku merasa yakin sudah di jalur yang benar karena masih melihat tapak Akira terus ... sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang petani lokal. Di sinilah titik baliknya. Aku mencoba bertanya untuk memastikan bahwa ini jalur yang benar ke Gunung Hamerang, sungguh kaget karena ternyata dia menjawab bukan.

Dia menawarkan diri untuk mengantar ke jalur (yang menurut dia) Gunung Hamerang sambil berkata, “Ini jalurnya udah lama nggak dibersihkan, jadi ketutup rumput tebal”. Sambil sangsi aku mengulang bertanya lagi, dan dia tetap keukeuh. Malah dengan tegas dia mengatakan bahwa pekan sebelumnya ada dua rombongan yang salah jalan juga sepertiku. Padahal dalam hati aku tidak yakin juga karena jalurnya penuh dengan semak-semak.

Setelah petani itu pergi, aku mencoba mengikuti jalur yang dia tunjukkan. Makin lama jalur makin hilang dan pepohonan makin rimbun. Akhirnya aku memutuskan untuk putar balik, tetapi jalan mana yang tadi kulalui pun sudah tak jelas ke arah mana. Dengan panik, aku berputar-putar tak tentu arah.

Saking tebalnya semak-semak, bahkan tanah yang dipijak pun tidak kelihatan. Ternyata aku menuju ke lereng dan beberapa saat kemudian terperosok ke bawah. Aku merasa panik sekali. Aku mencoba merambat naik karena kemiringannya curam, tetapi merosot terus. Aku berusaha menggapai sambil berpegangan pada pepohonan, tetapi tetap tidak bisa naik karena terlalu curam. Naik lagi, merosot lagi, begitu saja terus.

Beberapa kali aku tertahan merosot karena tersangkut pohon (salah satunya adalah pohon berduri yang membuat tangan dan badanku baret-baret), akhirnya aku berhenti sejenak berusaha mengatur napas. Aku mencoba berteriak-teriak juga barangkali ada orang, tetapi sunyi. Sampai di titik ini, aku sudah hampir menangis.

Aku menggapai botol minum dan minum beberapa kali, lalu mencoba berpikir. Aku memeriksa fitur track back di jam Garmin, tetapi mau mengikuti itu pun susah karena jalan tertutup semua. Ketika aku duduk di dahan pohon sambil rehat menjernihkan pikiran, sayup-sayup terdengar suara gemericik air. Akhirnya terbersit ide: kalau naik tidak bisa, mungkin aku turun ke sungai saja.

Saat berangkat tadi aku ingat kami menyeberang sungai. Siapa tahu aku bisa menemukan titik tempat menyeberang tadi. Atau kalaupun tidak, aku berharap dengan mengikuti alur sungai, aku bakal menemui kampung dan orang yang bisa ditanya. Perjalanan menuju sungai ternyata tidak gampang karena airnya bahkan tidak terlihat ada di sebelah mana. Ya sudah, aku mencoba merosot terus menembus rerimbunan lereng.

Ketika akhirnya menemukan sungai, aku langsung mencemplungkan diri. Jalur di kanan-kiri sungai tidak bisa dilalui. Satu-satunya jalan adalah masuk ke jalur air. Ketika mengecek track back di jam Garmin, arahnya sesuai dengan aliran air. Begitulah akhirnya, sekitar 1,5 kilometer aku berjalan di air.

Sungai penuh batu-batu dan pohon besar. Berkali-kali terpeleset dan terantuk batu, aku juga bermanuver melangkahi pohon-pohon besar yang melintang di sungai. Pinggang ke bawah sudah basah semua karena berkali-kali tercebur.

Saat berjalan di sungai itu aku mengirim pesan di grup Whatsapp kalau aku tersasar. Aku takut banget membuat yang lain khawatir, padahal ternyata tidak ada yang menyadari kalau aku menghilang, hahaha. Rombongan depan mengira aku bersama rombongan belakang, vice versa.

Aku mengirim pesan di sungai pukul 09.49. Sekitar pukul 11.00 lebih, aku akhirnya menemukan jalur trekking lagi, tepat di tempat di mana tadi kami menyeberang. Hampir pukul 12.00 pesanku baru terkirim di grup Whatsapp dan dibalas oleh Teh Mae dari Elang Salam. Saat itu posisiku sudah kembali menanjak, hampir sampai Pasir Pete lagi. Ternyata balasanku tak kunjung terkirim akibat susah sinyal, jadi Teh Mae tidak tahu jika aku sudah dekat Paniisan.

Di tanjakan selepas Pasir Pete, akhirnya aku bertemu Pak Azhar yang sedang mencari keberadaanku. Karena pesanku berbunyi “Insya Allah mau nyoba balik ke Paniisan”, beliau berasumsi bahwa aku pulang melewati rute berangkat tadi, yang mana 100% benar. Terlihat sekali kelegaan di wajah beliau saat beliau bilang “Alhamdulillah” dengan sangat kencang. Duh, aku jadi merasa bersalah karena sudah membuat orang lain khawatir.

Ketika aku sampai di Paniisan diiringi Pak Azhar, Lala dan Dhyah yang sedang menyantap makan siang menyambutku dengan heboh. Rombongan yang tersisa juga ikut menghampiri, sementara sebagian besar rombongan yang lain sudah pulang. Aku tak kuasa berkata-kata. Yang ada hanyalah rasa lelah secara batin dan fisik, meskipun aku lega sudah bisa kembali menemukan rombongan.

Hingga sekarang, perjalanan hari itu masih meninggalkan “sisa”. Jari tengah tangan kiriku yang waktu itu cedera karena ototnya tertarik ketika bergelantungan di pohon, masih terasa belum pulih sepenuhnya.

Moral Of The Story

Jika aku bisa memetik pelajaran, dunia pendakian bukanlah sesuatu yang main-main. Meskipun hampir semua orang memujiku karena terlihat berani dan bisa berpikir jernih untuk mengikuti alur sungai, sejatinya di atas sana aku merasa ketakutan setengah mati. Dalam masa tersasar itu aku sempat terpikir, sampai berapa lama aku bisa pulang ke rumah. Ini baru skala Sentul ya, yang “hanya” berskala bukit, belum gunung sungguhan.

Entah apa jadinya kalau aku tersasar di gunung sungguhan seperti Naomi yang hilang di Gunung Slamet selama tiga hari (anak itu sangat hebat, insting survival-nya jalan). Meskipun mengalami kisah yang mendebarkan, setelah kejadian hari itu, aku sama sekali tidak kapok. Teman-teman yang lain bahkan sampai geleng-geleng kepala ketika sesampai di rumah aku sudah mengirim pesan “next ke mana lagi kita?”, hahaha.

Yup, mungkin sudah secinta itu aku dengan trekking dan hiking. Sepanjang tahun lalu saja aku 12 kali pergi ke Sentul, dapat dikatakan hampir tiap bulan. Tahun ini frekuensinya agak berkurang, tetapi tahun ini aku berprogres dengan mendaki gunung sungguhan: Gunung Sindoro, Gunung Gede, dan insya Allah Gunung Slamet akhir bulan ini.

Beberapa hal yang mungkin dapat menjadi pembelajaran:

  • Terapkan buddy system dan pendamping rombongan dengan benar. Jika rombongan terbagi menjadi beberapa bagian, harus ada salah satu yang paham rute.
  • Jika Anda terpisah dari rombongan depan dan posisi berada di tengah sendirian sepertiku, lebih baik diam saja menunggu rombongan belakang sampai karena ada sweeper yang paham rute.
  • Trust your instinct. Jika ragu dengan jalur yang aneh, lebih baik tidak usah diteruskan.
  • Jika tersasar, jangan panik. Meskipun pada prakteknya susah, tetapi kita harus tetap tenang supaya dapat berpikir jernih.
  • Jika tersesat, ada baiknya mencari aliran sungai dan menyusurinya (dengan alasan yang sudah aku tulis di atas).
  • Beli jam Garmin yang ada fitur track back-nya. Just kidding, hahaha. Maksudku, lengkapi diri Anda dengan peralatan yang mumpuni dalam pendakian. Misal: kompas (sekarang sudah terintegrasi di smartwatch), jas hujan, logistik/perbekalan, dll. Intinya adalah peralatan yang memungkinkan Anda dapat bertahan hidup di gunung, termasuk HT untuk berkomunikasi.
  • Jangan lupa untuk senantiasa berzikir, agar kita terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan November yang bertema “Foto dan Ceritanya”.

Monday, October 07, 2024

Tak Berani Bermimpi

Alkisah delapan belas tahun yang lalu, ada seorang fresh graduate yang tengah berjuang melamar pekerjaan ke sana kemari dan mengikuti belasan wawancara di ibukota. Saat itu, ketika memandangi gedung-gedung pencakar langit di bilangan Sudirman-Thamrin dan para pekerja white collar yang necis, wangi, dan tampak profesional sibuk berseliweran, fresh graduate itu memupuk tekad untuk kelak suatu hari akan menjadi bagian dari mereka.

Delapan belas tahun kemudian, fresh graduate itu berkantor di lantai delapan sebuah gedung pencakar langit milik sebuah lembaga pemerintah di salah satu sudut Jalan Thamrin, hanya berjarak lima ratus meter saja dari Monas. Meskipun kini mimpinya terwujud, masih ada ruang kosong dalam hatinya. Nyatanya tahun-tahun yang berlalu telah membawanya bertualang ke dunia yang berbeda dan membelokkannya dari impiannya dulu.

Kini ketika setiap pagi ia membuat kopi di pantry dan memandang belantara gedung pencakar langit di depan jendela kaca besar, pikirannya berkelana.

What I Used to Dream

Yup, fresh graduate itu adalah aku. Takdir kehidupan selepas lulus membawaku jauh dari Sudirman-Thamrin karena diterima bekerja sebagai ASN dan ditempatkan di Bandung. Awalnya aku menggeluti dunia yang tak jauh berbeda dengan latar belakang pendidikanku, tetapi minat dan jalur karir akhirnya membawaku ke dunia yang sama sekali baru: quality assurance.

Hampir sepuluh tahun mengurusi quality assurance di sebuah lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) ketenaganukliran membuatku jatuh cinta dengan dunia sistem manajemen. Nuklir adalah salah satu hal yang sangat spesifik dan quality assurance terhadapnya tidak main-main. Kepatuhan terhadap persyaratan standar sistem manajemen, peraturan yang bersifat nasional maupun internasional, perundang-undangan yang berlaku, dan persyaratan yang diminta oleh pemangku kepentingan, menjadi hal mutlak.

Sebagai orang yang perfeksionis dan cenderung strict kalau menyangkut kepatuhan terhadap peraturan, aku merasa cocok menggeluti bidang ini. Aku menikmati proses mengaudit dan diaudit, melakukan pengukuran berbasis sistem manajemen, mengecek check list dan mengevaluasi kinerja sistem manajemen, serta sederet hal lain yang menjadi makananku sehari-hari.

Aku sungguh menikmati mengembangkan potensi di bidang ini. Berbagai sertifikasi kuikuti dan beberapa lisensi terkait sistem manajemen kuperoleh, bahkan ada yang bertaraf internasional. Aku juga sering menjadi narasumber dan pengajar untuk berbagi ilmu mengenai dunia sistem manajemen.

Dulu kukira aku akan selamanya berkutat di bidang ini hingga pensiun. Aku bahkan punya mimpi untuk menjadi konsultan setelah pensiun, juga mimpi untuk pergi ke berbagai belahan dunia karena pekerjaan ini. Namun, apa yang terjadi? All my dreams had gone in a blink of eye. Without warning, without preparation, without a proper goodbye.

Life Changes, So Do People

Hidup membawaku “terdampar” di sini pada akhirnya. Sambil menyesap secangkir kopi di depan jendela kaca besar pada suatu pagi, aku berpikir bahwa Tuhan sesungguhnya Maha Pemurah. Dia mengabulkan mimpiku belasan tahun silam, meskipun saat ini bukan itu lagi yang kuinginkan.

Pergilah ke mana hati membawamu, kata Susanna Tamaro. Namun, saat ini aku hanya bisa pergi ke mana hidup membawaku. Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan ini yang bertema “Hari Tua” sungguh membuatku kalut. Seperti kata Mamah Meta, ini tema yang berat. Sangat berat buatku, karena aku tak tahu akan seperti apa bayangan hari tuaku.

Tak Berani Bermimpi

Belajar dari apa yang kujalani setahun ini, bisa dibilang kini aku tak lagi berani bermimpi apa-apa. Harapan tentu ada seperti orang-orang pada umumnya, misalnya: melihat anak-anak beranjak dewasa dan hidup sukses, menjadi lansia yang sehat, mandiri, dan tidak merepotkan anak cucu, atau melakukan hal-hal yang disukai ketika pensiun.

Aku pernah menulis tentang harapan masa tuaku di sini dan sini. Aku juga ingin menikmati masa pensiun dengan traveling, masih tetap berlari dan mengikuti marathon race, bahkan meneruskan kesenanganku mendaki gunung.

Namun, secara spesifik aku tak tahu harus bermimpi apa untuk diriku sendiri. Seorang teman secara tak sengaja pernah memberi “tamparan” buatku ketika ia memasang instastory di bawah ini:

If you don’t know what to pursue in life right now. Pursue yourself.

It hit me like a lightning strike. And then I cried like a baby. Bahkan untuk pursue myself, aku merasa seperti tak punya kendali. Iya, aku memang tak lagi berani bermimpi. Seperti yang kutulis di atas: it can all be gone in a blink of eye. Jadi, aku hanya akan menjalani hari-hariku ke depan dengan sebaik-baiknya. Tentang hari tua, biar Tuhan saja yang memutuskan.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober yang bertema “Hari Tua”.

Monday, September 09, 2024

Solo atau Surakarta?

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September mengajak para Mamah untuk menulis tentang nama. Tadinya aku hendak bercerita mengenai kisah-kisah di balik nama anak-anakku, yang sangat bervariasi temanya mulai dari Bahasa Arab, Bahasa Sansekerta, hingga western. Namun, kupikir-pikir lagi, bisa jadi ada beberapa Mamah yang akan menulis cerita serupa.

Maka kali ini aku ingin menulis mengenai dua nama yang disematkan pada kota kelahiranku. Dua nama yang seringkali membuat bingung masyarakat awam ini sarat dengan tradisi, budaya, dan kisah sejarah. Hitung-hitung menjadi kisah pelengkap dari tulisanku pada Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan lalu.

Solo dan Surakarta adalah nama yang merujuk pada satu kota yang sama, yaitu Kota Surakarta di Provinsi Jawa Tengah. Surakarta adalah nama resmi secara administratif pemerintahan, sedangkan Solo adalah nama informal yang lebih populer–mungkin semacam nama panggilan begitu ya, kalau diibaratkan dengan nama orang, hehehe.

Sejak Zaman Kerajaan

Kisah mengenai dua nama ini bermula pada zaman kekuasaan Paku Buwono II. Seperti yang kutulis di sini, Kerajaan Mataram Islam versi terakhir berkedudukan di Kasunanan Kartasura dengan Amangkurat IV sebagai penguasa Mataram periode 1719–1726. Pangeran Prabasuyasa, putra Amangkurat IV yang diangkat oleh Belanda menjadi raja setelah ayahnya wafat dan kemudian bergelar Susuhunan Paku Buwono II, memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta setelah terjadi Geger Pecinan.

Geger Pecinan Kartasura merupakan konflik politik 1740-1743 yang diawali dari kekerasan terhadap etnis Tionghoa di Batavia (Jakarta) oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Konflik melebar dengan penyerbuan pasukan etnis Tionghoa yang bergabung dengan pasukan pribumi Jawa menyerang benteng keraton Mataram Kartasura, ibu kota Kerajaan Mataram Islam saat itu, karena bersekutu dengan Belanda.

Pasukan Mataram Islam tidak mampu mengimbangi kekuatan pasukan gabungan Jawa-Tionghoa yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. Sunan Kuning adalah putra dari Raden Kajoran, seorang bangsawan Mataram Islam yang memiliki darah Tionghoa.

Pasukan Sunan Kuning berhasil menguasai benteng Belanda di Kartasura dan mengepung keraton pada 20 Juni 1742. Mereka menuntut Paku Buwono II untuk menyerahkan tahta kepada Sunan Kuning dan mengakui kemerdekaan Jawa-Tionghoa dari Belanda. Paku Buwono II menolak tuntutan tersebut dan melarikan diri ke Ponorogo bersama keluarganya.

Dengan bantuan Belanda, Paku Buwono II akhirnya berhasil mengusir pemberontak dari Kartasura pada 1743. Meskipun Keraton Kartasura berhasil direbut kembali, kondisi keraton sudah rusak parah. Paku Buwono II yang menganggap keraton sudah kehilangan kesuciannya, kemudian memindahkan lokasi keraton ke lokasi yang baru pada tahun 1745. Ia merasa tidak nyaman dan tidak aman tinggal di Kartasura yang sudah pernah dikuasai musuh.

Jejak peninggalan Keraton Kartasura, gambar dari sini

Belakangan Kartasura menjadi kota yang sepi dan terlantar setelah ditinggalkan oleh Paku Buwono II. Keraton Kartasura yang rusak akibat Geger Pecinan tidak pernah dibangun kembali, melainkan dijadikan pemakaman oleh Paku Buwono III.

Berdasarkan pertimbangan Tumenggung Hanggawangsa, Tumenggung Mangkuyudha, dan J.A.B. van Hohendorff, pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan 10 kilometer ke arah timur mendekati Sungai Bengawan Solo. Lokasi tersebut berada di Desa Sala, dinamakan demikian karena di daerah tersebut dulunya terdapat banyak pohon Sala. Desa Sala merupakan desa perdikan (desa yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah pusat pada zaman kerajaan) yang dipimpin oleh seorang kiai bernama Ki Gede Sala atau biasa disebut Kiai Sala.

Dalam Bahasa Jawa, huruf Jawa 'o' dan 'a' memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Tanda baca dan pelafalannya berbeda. Jika Sala dilafalkan dengan 'a' seperti pada kata 'lontong', Solo dilafalkan dengan 'o' seperti pada kata 'koko'. Lalu mengapa pelafalan Sala berubah menjadi Solo? Konon katanya orang-orang Belanda kesulitan melafalkan Sala dengan huruf 'a' dan mengubahnya menjadi huruf 'o'.

Keraton Surakarta Hadiningrat, gambar dari sini

Desa Sala kemudian menjadi pusat kerajaan dengan berdirinya Keraton Surakarta Hadiningrat yang merupakan bentuk paling baru dari kerajaan turunan Mataram. Akibat Perjanjian Giyanti pada era Paku Buwono III, kerajaan terpecah menjadi dua: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kemudian akibat Perjanjian Salatiga, wilayah Surakarta terbagi lagi menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegaran. Hal ini menjadikan Kota Solo pada masa itu menjadi kota dengan dua administrasi.

Pada Masa Kemerdekaan

Kekuasaan politik Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kadipaten Mangkunegaran berakhir setelah berdirinya Republik Indonesia. Selama 10 bulan pascaproklamasi, Solo berstatus sebagai Daerah Istimewa Surakarta (DIS), daerah setingkat provinsi.

Selanjutnya, karena berkembangnya gerakan antimonarki di Surakarta serta adanya kerusuhan penculikan dan pembunuhan pejabat-pejabat DIS, pada tanggal 16 Juni 1946 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunegaran. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara menjadi rakyat biasa di masyarakat dan keraton diubah menjadi sekadar pusat pengembangan seni dan budaya Jawa.

Kemudian Solo ditetapkan menjadi tempat kedudukan dan residen yang membawahi Karesidenan Surakarta (Residentie Soerakarta) dengan luas daerah mencapai 5.677 km persegi. Karesidenan Surakarta terdiri dari daerah-daerah Kota Praja Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sukowati (sekarang bernama Kabupaten Sragen), Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Boyolali.

Karesidenan Surakarta dihapuskan pada tanggal 4 Juli 1950, lalu Surakarta menjadi kota di bawah administrasi Provinsi Jawa Tengah. Semenjak berlakunya UU Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta, secara resmi Kota Surakarta menjadi daerah berstatus kota otonom. Hingga kini tanggal 16 Juni diperingati sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta.

Penutup

Mengingat sejarah panjang di balik dua nama antara Solo dan Surakarta, ternyata tidak sesimpel kalimat Shakespeare “Apalah arti sebuah nama”, bukan? Sejatinya setiap nama yang ada di dunia ini–nama apa pun itu–pasti memiliki kisah di baliknya. Bisa jadi hanya kisah personal yang merupakan romansa pribadi, atau bisa jadi malah merupakan kisah sejarah yang berpengaruh langsung terhadap dinamika sebuah negara.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September yang bertema “Kisah di Balik Nama”.

Sunday, August 04, 2024

Keturunan Raja-Raja Jawa

Sejak dahulu aku paham bahwa darah Jawa mengalir sangat kental di dalam keluarga besarku. Namun, baru pada usia dewasa aku mengetahui bahwa di dalam keluarga kami ternyata mengalir darah biru dari sebuah kerajaan yang memiliki latar belakang panjang dalam sejarah.

Surat asal-usul nenek buyutku

Gambar di atas adalah foto yang kuperoleh dari grup Whatsapp trah Suradi Siswosuhardjo, keluarga besarku dari garis ibu. Suradi adalah nama kakekku, sementara nenekku bernama Suharsi. Pada gambar di atas, panah oranye adalah nama nenek buyutku, ibu dari nenekku, yang kalau dirunut ke atas masih merupakan keturunan dari Sultan Hamengkubuwono I. Gambar di bawah ini adalah pohon silsilah Sultan Hamengkubuwono I dari para raja-raja Jawa zaman dahulu.

Di masa lalu, raja-raja di tanah Jawa dikenal gemar memamerkan silsilah atau asal-usul garis keturunannya sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan. Babad Tanah Jawi yang dikumpulkan di masa pemerintahan Raja Paku Buwono I pada awal abad ke-18 hingga masa pemerintahan Paku Buwono III, dipercaya oleh beberapa ahli merupakan salah satu sarana yang digunakan kerajaan untuk keperluan legitimasi tersebut.

Babad Tanah Jawi [1] adalah sebuah buku tentang legenda sejarah dan kisah pohon keluarga dan hubungan antara raja dan penguasa Jawa. W.L. Olthof, seorang sejarawan Belanda, menyusun buku ini dari aksara Jawa kuno pada tahun 1941. Seperti yang kita ketahui bersama, banyak naskah beraksara Jawa kuno kini ada di Belanda, hasil dari beberapa ratus tahun pendudukan kolonialisme di negeri ini–meskipun masa sekian ratus tahun ini sebenarnya masih debatable. Buku ini kini telah diterjemahkan oleh sejarawan Indonesia, H.R Sumarsono.

Teks asli Babad Tanah Jawi memuat silsilah raja-raja Jawa dari Nabi Adam hingga tahun 1647, dewa-dewi dalam agama Hindu, tokoh-tokoh dalam Mahabharata, Cerita Panji Masa Kediri, Masa Kerajaan Pajajaran, Masa Majapahit hingga Masa Demak yang kemudian dilanjutkan lagi dengan silsilah Kerajaan Pajang, Mataram dan berakhir pada masa Kartasura.

Dulu ketika mengetahui bahwa nenekku masih ada kaitannya dengan keluarga kerajaan, kupikir kerajaan yang dimaksud adalah Kasunanan Surakarta karena keluarga besar kami berdomisili di Solo, meskipun leluhurnya sempat tinggal di Ngawi. Ternyata kami lebih dekat dengan garis keturunan Sultan Hamengkubuwono dari Kesultanan Yogyakarta.

Dari hasil ngobrol dengan teman-teman SMA-ku, Kesultanan Yogyakarta sejatinya adalah kerajaan sempalan yang lahir dari pemberontakan karena garis asli dari Kerajaan Mataram Islam sebenarnya adalah Kasunanan Surakarta. Mereka meledekku sebagai keturunan pemberontak, hahaha. Lantas, bagaimana sebenarnya kisah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta ini?

Jika dilihat dari gambar kedua di atas, Kerajaan Mataram Islam versi terakhir berkedudukan di Kasunanan Kartasura dengan Amangkurat IV sebagai penguasa Mataram periode 1719–1726. Tiga putra Amangkurat IV di antaranya adalah Pangeran Arya Mangkunegara (putra sulung), Pangeran Prabasuyasa (kelak bergelar Susuhunan Paku Buwono II), dan Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono I).

Pangeran Arya Mangkunegara seharusnya menjadi penguasa Mataram sebagai penerus dari Amangkurat IV. Namun, lantaran kerap menentang Belanda dan difitnah oleh Patih Danureja, dia diasingkan ke Ceylon, Sri Lanka dan meninggal dunia di Cape Town, Afrika Selatan [2]. Pangeran Arya Mangkunegara memiliki seorang putra bernama Raden Mas Said atau dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.

Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said sama-sama merasa berhak mendapatkan bagian dari kekuasaan Kasunanan Kartasura setelah Amangkurat IV wafat. Namun, Belanda justru menaikkan Pangeran Prabasuyasa sebagai raja. Pangeran Prabasuyasa kemudian bergelar Susuhunan Paku Buwono II (1745–1749) dan memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta. Inilah yang membuat Kasunanan Surakarta berdiri sebagai bentuk paling baru dari kerajaan turunan Mataram.

Raden Mas Said lantas mengobarkan perlawanan terhadap Belanda untuk menuntut haknya sebagai pewaris kuasa Mataram. Dia pernah menduduki suatu daerah bernama Sukawati, sekarang Sragen. Bukan hanya Raden Mas Said yang merasa berhak atas tahta, Pangeran Mangkubumi juga berhasrat serupa. Pangeran Mangkubumi sempat menemui pejabat Belanda di Semarang pada 1746 dan meminta agar dirinya diangkat menjadi raja, tetapi permintaan itu ditolak. Penolakan itu membuat Pangeran Mangkubumi marah dan bergabung dengan Raden Mas Said untuk bersama-sama melawan Paku Buwono II dan Belanda.

Setelah Paku Buwono II wafat pada 20 Desember 1749, Belanda mengangkat putra mendiang Paku Buwono II, yaitu Raden Mas Suryadi menjadi raja Kasunanan Surakarta bergelar Susuhunan Paku Buwono III. Sepeninggal Paku Buwono II, perlawanan terhadap Belanda dan Surakarta semakin meningkat. Pangeran Mangkubumi memimpin pasukannya dari sebelah timur Surakarta, sedangkan angkatan perang pimpinan Raden Mas Said menyerang dari utara.

Belanda yang merasa kewalahan kemudian menjalankan siasat adu domba antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Utusan Belanda menghubungi Pangeran Mangkubumi secara diam-diam. Mereka menjanjikan separuh wilayah Mataram yang dikuasai oleh Paku Buwono III kepada Pangeran Mangkubumi jika bersedia menghentikan perlawanannya.

Pada 13 Februari 1755, Belanda dan Pangeran Mangkubumi bertemu. Pertemuan inilah yang menghasilkan Perjanjian Giyanti, yang disebut juga dengan Babad Palihan Nagari [3]. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti yang saat ini terletak di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, dekat Karanganyar, Jawa Tengah.

Naskah Perjanjian Giyanti, sumber dari Google

Perjanjian Giyanti merupakan kesepakatan yang intinya membagi Mataram menjadi dua bagian. Berdasarkan perjanjian itu, kawasan milik Mataram di sebelah timur Sungai Opak dikuasai oleh Paku Buwono III dengan kedudukan tetap berada di Surakarta, sedangkan wilayah yang berada di sebelah barat menjadi milik Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi kemudian mendeklarasikan berdirinya kerajaan baru bernama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dia menjadi raja pertama dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I. Pangeran Mangkubumi akhirnya melepaskan diri dari Raden Mas Said.

Lantas, apa yang terjadi dengan Raden Mas Said? Dia akhirnya menjadi musuh bersama antara Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Namun dalam perjalanannya, Raden Mas Said akhirnya memperoleh jatah atas campur tangan Belanda setelah menandatangani Perjanjian Salatiga dengan Belanda pada 17 Maret 1757. Melalui perjanjian tersebut, dia diberikan hak untuk memiliki bagian dari timur Mataram, yang kemudian menjadi Kadipaten Mangkunegaran. Dia kemudian bergelar sebagai Mangkunegara I.

Perjanjian Giyanti kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan Hamengkubuwono I dan Paku Buwono III di Lebak, Jatisari pada 15 Februari 1755. Dalam pertemuan ini dibahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas tentang perbedaan identitas kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda.

Pembahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini kemudian adalah Sultan Hamengkubuwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram. Sementara itu, Paku Buwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta. Mungkin inilah sebabnya, orang lebih mengenal Keraton Yogyakarta sebagai penerus kerajaan Mataram Islam karena lebih "membawa" budaya Mataram.

Seiring berjalannya waktu, wilayah Kesultanan Yogyakarta mengalami pasang surut. Utamanya, terkait dengan pengaruh pemerintah kolonial, baik Belanda maupun Inggris. Pada 20 Juni 1812, ketika Inggris berhasil menyerang dan memasuki keraton, Sultan Hamengkubuwono II dipaksa turun tahta. Sebagai penggantinya, Sultan Hamengkubuwono III dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya untuk diberikan kepada Pangeran Notokusumo (putra Hamengkubuwono I) yang diangkat oleh Inggris sebagai Adipati Paku Alam I.

Maka jangan heran jika hari ini ada dua keraton di Solo, yaitu Keraton Surakarta dan Keraton Mangkunegaran, serta ada dua keraton di Jogja, yaitu Keraton Yogyakarta dan Keraton Pakualaman. Semua keraton itu berasal dari root yang sama, yaitu kerajaan Mataram Islam [4].

Demikianlah kisah panjang sejarah yang mengalir di dalam keluargaku. Idenya terpantik oleh tema tantangan Mamah Gajah Ngeblog yang digawangi oleh Mamah Andra, dan aku elaborasi setelah melihat-lihat foto di galeri grup Whatsapp keluarga besar.

Kini aku memahami sepenuhnya mengapa unggah-ungguh di keluargaku sangat dijunjung tinggi. Sejak kecil kami diwajibkan bisa berbahasa krama inggil bila berbicara dengan orang tua, dan harus siap-siap kena marah bila salah memilih diksi, hahaha. Belum lagi jika bicara tentang kebiasaan kakekku membaca buku-buku beraksara jawa dan menyimpan keris-keris pusaka.

Meskipun kini keluarga besar kami lebih proletar dan tak lagi saklek dengan tradisi karena rata-rata menikah dengan rakyat jelata, aku bisa dengan bangga menyatakan bahwa leluhur kami terdahulu berasal dari keturunan raja-raja Jawa.

Sumber:
[1] Babad Tanah Jawi: Mulai Dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647, W.L. Olthof (1941), alih bahasa oleh H.R. Sumarsono.
[2] Sejak Indische sampai Indonesia, Sartono Kartodirdjo (2005).
[3] Sejarah Kanjeng Sultan Hamengkubuwana IX, Purwadi (2006).
[4] Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga, Sri Wintala Achmad (1964).

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus yang bertema “Sejarah Indonesia dari Sisi yang Berbeda”.

Tuesday, July 09, 2024

Buku: Koleksi Sepanjang Masa

Semenjak aku kecil, aku kerap berganti-ganti koleksi. Koleksi pertamaku adalah gantungan kunci karena waktu itu aku sangat terkesan dengan beraneka gantungan kunci oleh-oleh papiku sepulang menempuh S2 di Kanada. Di mataku sebagai anak kecil, gantungan-gantungan itu lucu-lucu sekali. Sejak saat itu, aku mulai mengumpulkan berbagai macam gantungan kunci dari berbagai daerah, sebagiannya merupakan oleh-oleh dari teman dan saudara ketika mereka melancong. Sayangnya, semua koleksi itu kusimpan di rumah orang tuaku di Solo sehingga aku tak dapat memajang fotonya di sini.

Sebagaimana anak perempuan di zaman itu, aku juga pernah mengoleksi lembaran loose leaf. Gambarnya bagus-bagus dan lucu-lucu. Saking menariknya, aku sampai tak tega menulis di atas lembaran-lembaran itu. Cukup dielus-elus dan dipandangi saja, atau sesekali ditukar dengan koleksi teman. Entah ke mana sekarang perginya lembaran-lembaran itu.

Ilustrasi koleksi loose leaf, foto diambil dari sini

Beranjak remaja lalu dewasa, koleksiku beralih menjadi koleksi buku dan komik dari pengarang favorit. Dulu semasa keluargaku masih berlangganan majalah Bobo, aku gemar sekali membaca serial Pak Janggut dan mengumpulkan sisipan-sisipannya, lalu dibundel menjadi kumpulan tersendiri. Sayangnya ketika aku kuliah di luar kota, koleksi Pak Janggut-ku ikut diloakkan oleh mamiku bersama majalah-majalah lawas yang memenuhi gudang. Sedih sekali rasanya waktu itu. Untung sekarang koleksi itu sudah tergantikan dengan serial Pak Janggut dalam bentuk PDF, yang kuunduh dari tautan seorang teman.

Serial Pak Janggut, foto diambil dari sini

Beberapa koleksi buku yang cukup serius kukumpulkan dan kusimpan hingga kini adalah koleksi Tintin, novel-novel karya Agatha Christie, dan novel-novel karya Nicholas Sparks.

Komik Tintin, Serial Petualangan Pembuka Jendela Dunia

Siapa yang tidak kenal dengan Tintin? Rasanya setiap anak 90-an pasti mengenalnya. Komik Tintin adalah serial yang diciptakan oleh Hergé, seorang penulis komik dari Belgia, yang menceritakan petualangan seorang wartawan Belgia muda bernama Tintin. Dia memiliki seekor anjing setia bernama Snowy/Milo/Milou dan beberapa kawan yang bergantian muncul dalam kisah-kisahnya, seperti misalnya Kapten Haddock, Profesor Lakmus/Kalkulus, serta Dupont dan Dupond/Thomson dan Thompson.

Koleksi komik Tintin, foto diambil dari sini

Sebagai anak kecil dengan keingintahuan yang besar tentang dunia luar, membaca komik Tintin membuatku serasa dibawa bertualang ke tempat-tempat baru. Mungkin dari komik Tintin-lah aku pertama kali membaca nama-nama tempat seperti Tibet, Kongo, dan Azerbaijan.

Kisah Tintin menampilkan petualangan dengan berbagai elemen, mulai dari fantasi, misteri, politik, hingga sains fiksi, dengan tetap dibumbui oleh humor. Hal ini bisa dibilang cukup wow karena komik ini dibuat pada era Perang Dunia. Sungguh sangat visioner dan melampaui imajinasi pada zaman itu, terutama tentang kisah-kisah ekspedisi Tintin ke bulan yang bahkan pada masa itu belum pernah terjadi.

Dari 24 seri Tintin, sepertinya hanya sekitar 5-6 buku yang tidak kumiliki. Saking ngefans-nya aku dengan komik ini, Museum Hergé di Brussels menjadi salah satu destinasi wisata yang masuk ke dalam bucket list. Semoga suatu hari nanti aku bisa berkunjung ke sana.

Novel Agatha Christie, Novel Pertamaku

Novel Agatha Christie adalah novel yang pertama kubaca dan menjadi pemantikku dalam kegemaran membaca novel. Kalau tidak salah ingat, waktu itu aku duduk di kelas 5 atau 6 SD, dan “Pesta Hallowe'en” adalah novel Agatha Christie yang pertama kubawa pulang dari kios persewaan buku.

Foto diambil dari sini

Tidak seperti Hergé yang menulis Petualangan Tintin dari hasil riset, novel-novel Agatha Christie banyak melibatkan pengalaman pribadi dan kehidupannya sehari-hari. Latar belakangnya sebagai perawat membantunya memiliki pengetahuan soal cairan-cairan mematikan yang dapat digunakan sebagai senjata pembunuh. Perjalanannya melawat ke berbagai tempat dan negara juga menjadi inspirasi untuk menulis kisah-kisah dalam novelnya.

Karya-karya Agatha Christie yang paling terkenal bercerita tentang detektif fiksi Hercule Poirot dan Miss Marple, dua tokoh favoritku. Setelah membaca hampir semua judul novelnya, lama-lama aku jadi bisa menebak cara berpikir Agatha Christie dalam menentukan siapa tokoh antagonisnya. Meskipun demikian, caranya menulis alur dan membuat penokohan selalu membuatku kagum. Sebagai penulis fiksi, aku banyak belajar dari novel-novelnya.

Novel Nicholas Sparks, Bukti Bahwa Pria Bisa Romantis

Membaca karya fiksi selalu menjadi kesenangan buatku, sejak zaman kecil dulu hingga kini sudah menjadi emak beranak lima. Setelah menjadi penulis fiksi (abal-abal, hahaha), membaca karya fiksi seolah menjadi kewajiban untuk menambah ilmu dan memperkaya khazanah. Supaya dapat menulis fiksi dengan baik tentu aku harus mengisi pula asupan dengan banyak membaca karya fiksi.

Saat ini dalam membaca karya fiksi, aku juga mengamati bagaimana penulis membangun unsur-unsur intrinsik seperti membangun tema, menentukan sudut pandang, menciptakan penokohan beserta karakternya, menuliskan alur, menggunakan gaya bahasa, dan memilih latar. Ada banyak sekali novel yang menginspirasiku–tentu tak akan cukup aku bahas di sini–tetapi ada satu penulis yang novelnya cukup kaya untuk dipelajari sisi-sisi kepenulisannya.

Gambar diambil dari sini

Adalah Nicholas Sparks, seorang penulis yang dikenal sebagai spesialis penulis dengan ending tragis dalam novel-novelnya, yang membuatku terkagum-kagum. Dia piawai dalam menulis deskripsi dan menggambarkan suasana yang sangat membantu pembaca untuk membayangkan konteks cerita. Tidak hanya pada latar, tetapi juga pada bagian-bagian detail lainnya. Penggambaran selalu deskriptif mengenai apa pun dan tidak membosankan, meskipun selalu dilihat dari sudut pandang orang pertama.

Sparks selalu keren dalam menciptakan tokoh yang berkarakter. Sudut pandang orang pertama sering dipakai dalam novel, tetapi jarang ada novel romantis yang “aku”-nya adalah seorang laki-laki. Tokohnya digambarkan sangat manusiawi. Dari segi penggambaran emosi, perasaan tokoh pun tersampaikan dengan baik. Hal ini tentu membuat pembaca ikut larut dalam cerita. Aku angkat topi untuk kemampuan Sparks menulis tentang emosi secara mendalam.

Beberapa judul novelnya tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga koleksiku tidak cukup lengkap (aku lebih suka membaca novel dalam Bahasa Indonesia). Sebagian besar novelnya bahkan tak lagi dicetak ulang oleh Gramedia. Meskipun hanya tujuh judul novelnya yang kumiliki, koleksi ini termasuk koleksi yang kuanggap sangat berharga.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli yang bertema “Koleksi”.