Sebagai keturunan Jawa di mana darah Jawa mengalir sangat kental di dalam keluarga besar, aku memimpikan sebuah pernikahan yang sakral dan sarat dengan adat. Saat itu aku berusia dua puluh empat tahun dan sudah enam tahun meninggalkan Solo karena merantau di Bandung.
Koordinasi dengan keluarga besar ternyata penuh dengan dinamika. Aku sebagai generasi muda, meskipun menginginkan acara bernuansa adat, bersikeras mengeliminasi ritual-ritual yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Hal ini tentu memicu pertentangan dengan keluarga besar. Untungnya orang tuaku cukup moderat, jadi beberapa hal akhirnya bisa diakali.
Mencari Hari Baik
Sejak pertama kali membahas persiapan pernikahan dengan orang tua, aku sudah mengutarakan penolakanku terhadap pencarian hari baik untuk Hari-H. Masyarakat Jawa biasanya berpegang pada hitungan Primbon untuk menentukan hari pernikahan. Caranya dengan mencari tahu neptu atau nilai dari hari kelahiran kedua mempelai.
Bila hasil hitungannya baik, maka hajatan dilanjutkan. Namun, bila hitungannya menghasilkan hasil buruk, akan dicarikan hari lain. Perhitungan semacam ini juga banyak didapati di budaya nonmuslim, semisal budaya Tiongkok dengan Feng-Shui.
Dalam budaya Jawa, bulan-bulan seperti Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Syawal, dan Dzulhijjah dianggap sebagai waktu yang baik untuk menikah. Hal ini mencerminkan adanya kepercayaan dan kebiasaan lokal yang masih dipegang oleh sebagian besar masyarakat dalam menentukan hari baik dalam pernikahan.
Banyak ulama masih berbeda pendapat soal pencarian hari baik. Tidak ada yang benar-benar mengatakan bahwa hal ini termasuk syirik, tetapi mencari hari baik dengan didasarkan pada keyakinan akan nasib baik atau buruk pernikahan di masa depan, tentunya rawan menggelincirkan akidah.
Pada awalnya orang tuaku setuju dengan pendapatku. Kami memilih hari pernikahan berdasarkan slot ketersediaan tanggal dari gedung yang akan disewa. Aku sudah bahagia saja waktu itu, kemudian persiapan pernikahan dilanjutkan ke urusan yang lain. Namun, belakangan akhirnya aku mengetahui bahwa orang tuaku juga mengonsultasikan tanggal itu kepada “orang pintar” di bilangan Sriwedari. Duh, pas tahu itu rasanya aku marah sekali. Namun, tak ada lagi yang bisa kuperbuat.
Riasan Pengantin
Riasan dan busana pengantin Solo sebenarnya terbagi menjadi enam jenis dengan pakem yang berbeda-beda, tetapi pakem riasan yang paling jamak digunakan di kalangan generasi muda saat ini adalah pakem Solo Putri.
![]() |
Tata rias dan tata rambut pengantin Solo Putri (gambar dari sini) |
Tata rias wajahnya menggunakan bedak kekuningan, eye shadow coklat dan hijau, blush on, lipstik merah keoranyean, serta paes warna hitam. Paes (hiasan wajah pengantin pada area dahi) terdiri dari: gajahan, pengapit, penitis, godheg, dan alis dengan bentuk mangot.
Sanggul pengantin Solo berbentuk bokor mengkurep yang ditutupi oleh rajutan bunga melati. Sanggul juga dilengkapi dengan bunga melati yang sudah dironce, memanjang dari kepala hingga ke pinggang, terdiri dari bunga bangun tulak, bunga tibo dodo bawang sebungkul, borokan, sisir bunga melati, sintingan, dan ujungnya dihias dengan kuncup bunga cempaka.
Di atas sanggul ditancapkan cundhuk mentul yang biasanya berjumlah ganjil (lima, tujuh, atau sembilan). Angka lima melambangkan lima rukun Islam. Angka tujuh dalam bahasa Jawa adalah “pitu” yang merupakan simbol “pitulungan”, yaitu pertolongan dalam bahasa Indonesia. Angka sembilan melambangkan Wali Songo yang berjumlah sembilan orang.
Sebagai aksesoris, pengantin menggunakan kalung, suweng ronyok, bros sunggun, gelang tretes, cincin ulun-ulun, tanjungan, simyok bunga sokan, serta sepasang centung dan cunduk jungkat.
Tadinya aku berniat memakai perias pengantin Jawa yang sangat terkenal di Solo, sebut saja namanya Bu M. Beliau ini njawani banget. Riasannya halus, khas pengantin Solo. Pengalaman beliau juga sudah bertahun-tahun. Namun, beliau ternyata keukeuh riasannya harus sesuai dengan pakem Jawa dan keberatan jika hasil riasannya “ditutup” jilbab. Lho bagaimana, kan akunya berjilbab, masa iya harus membuka jilbab.
Aku memutuskan mencari perias lain sambil menanyakan referensi ke teman-teman, akhirnya aku menemukan salon muslimah Aufa. Periasnya bernama Mbak Tatik. Beliau lebih gampang dilobi dan diajak kompromi, jadi enak. Beliau mengakomodasi keinginanku lewat serangkaian diskusi serta fitting baju dan jilbab. Akhirnya jadilah riasan pengantin yang meskipun berjilbab, nuansa jawanya sangat kental.
![]() |
Tata riasku: adat Jawa, tetapi tetap berjilbab |
Kebaya Pengantin
Karena menginginkan pernikahan yang sarat dengan nuansa Jawa, tadinya aku hendak memakai kebaya pengantin tradisional Solo yang berwarna hitam dengan desain yang sesuai pakem. Modelnya berbentuk kebaya panjang, berbahan beludru warna hitam, berhiaskan sulaman warna keemasan atau bordir benang emas dengan motif merak.
![]() |
Kebaya pengantin tradisional Solo (gambar dari sini) |
Namun, kata ibuku, sekarang generasi muda sudah jarang memakai itu karena terkesan kuno. Akhirnya aku menurut saja dengan pendapat beliau untuk memakai kebaya pengantin modern dengan payet-payet dan gaya desain yang lebih kekinian. Untuk bawahan, aku memakai kain tradisional (jarik) dengan motif yang sesuai pakem, yaitu motif Sidomukti. Motif ini melambangkan kehidupan yang makmur dan dicintai banyak orang.
Mahar dan Peningset
Peningset atau serah-serahan adalah pemberian dari pihak mempelai pria. Berasal dari kata singset yang artinya ”mengikat”, peningset berarti hadiah yang menjadi pengikat hati antara dua keluarga. Secara adat Jawa, peningset biasanya terdiri atas: satu set daun sirih yang disebut Suruh Ayu, beberapa helai kain jarik dengan motif batik yang berbeda, kain bahan untuk kebaya, ikat pinggang tradisional yang disebut stagen, buah-buahan (terutama pisang), sembako (beras, ketan, gula, garam, minyak goreng, bumbu dapur), perhiasan, dan sejumlah uang sebagai sumbangsih dari pihak mempelai pria.
Aku dulu cuma meminta mahar kalung. Dalam pertimbanganku, waktu itu dia baru meniti karir. Aku tidak merasa perlu dibawakan bermacam-macam peningset, tetapi rupanya tradisi ini tidak dapat dielakkan. Konon dianggap tidak patut jika keluarga mempelai pria tidak membawakan barang-barang ini. Ya sudahlah, yang penting aku tidak meminta macam-macam. Terserah sesuai dengan kemampuan mereka saja.
Acara Resepsi
Orang tuaku ingin sebuah resepsi yang kental dengan adat Jawa, jadi segala susunan acara, bahasa pengantar, sampai cara duduk tamu, semuanya disesuaikan dengan adat resepsi pengantin Solo tradisional. Semua tamu duduk di kursinya masing-masing, sementara makanan disajikan oleh para sinoman secara berurutan: makanan pembuka, makanan inti, lalu makanan penutup. Para tamu datang dan pulang bersamaan. Selama acara dilangsungkan, semua tamu duduk menyaksikan sambil menyantap hidangan.
![]() |
Tata cara menyajikan makanan untuk para tamu, yang kini sudah banyak ditinggalkan, padahal sebenarnya sesuai dengan sunnah karena makan dan minum sambil duduk (gambar dari sini) |
Dengan model acara seperti ini, maka pengisi acara harus dipersiapkan secara matang. Beda sekali dengan acara prasmanan atau standing party di mana para tamu datang dan pergi sehingga pengisi acara tidak terlalu diindahkan. Orang tuaku meminta tolong teman-teman pamanku dari STSI / ISI Solo untuk menjadi protokol dan pengisi acara, mulai dari tata upacara adat, musik gamelan live, tarian tradisional, sampai bahasa pengantar–bahasa Jawa halus tingkat tinggi yang bahkan aku pun tak paham artinya. Semua personel protokoler memakai pakaian adat Jawa lengkap.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan April yang bertema “Tradisi Lokal yang Masih Dilestarikan”.