Friday, June 20, 2025

Me Time Tanpa Internet? Sudah Pasti “Membaca”!

Sejak aku kecil, membaca sudah menjadi duniaku. Aku tak ingat persisnya mulai usia berapa aku gemar membaca. Namun, aku ingat jelas: masa kecilku kuhabiskan dengan menekuri lembar demi lembar majalah Bobo; komik bergambar macam Nina, Tintin, Asterix, atau Steven Sterk; komik Jepang semisal Candy Candy, Pansy, Mari-chan, atau Doraemon; novel seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, Stop, atau Malory Towers; bahkan novel detektif karya Agatha Christie.

Begitu senangnya aku membaca sehingga pergi ke perpustakaan, toko buku, atau tempat persewaan buku menjadi suatu agenda yang menyenangkan. Aku tak tahu pasti penyebab minat bacaku waktu itu tumbuh dengan pesat. Hal itu mungkin dikarenakan orang tuaku sering membelikan buku dan menyediakan aneka bacaan di rumah.

Beranjak dewasa, aku menyadari bahwa buku adalah jendela dunia. Aku pernah menjadi salah satu kandidat terbaik dalam seleksi yang diadakan oleh sebuah kantor surat kabar di Jakarta ketika mereka mencari calon wartawan baru. Pertanyaan dan tes yang diajukan kebanyakan tentang pengetahuan umum.

Aku yakin kegemaranku membaca rubrik pengetahuan di majalah, membaca koran, dan melihat berita di televisi, turut andil dalam hal itu. Anak yang minat bacanya tinggi cenderung lebih gampang menerima informasi. Tentu pengetahuan mereka juga lebih banyak.

Untuk menulis, mereka tidak akan menemui kesulitan yang berarti karena perbendaharaan kata sudah beragam. Bahkan aku pernah membaca—entah di mana aku lupa—anak yang suka membaca lebih pandai dan lebih kritis, terutama dalam diskusi, dibanding dengan yang tidak suka membaca.

Dulu semasa keluargaku masih berlangganan majalah Bobo, aku gemar sekali membaca serial Pak Janggut dan mengumpulkan sisipan-sisipannya, lalu dibundel menjadi kumpulan tersendiri. Beberapa koleksi buku yang cukup serius kukumpulkan dan kusimpan hingga kini adalah koleksi Tintin, serta novel-novel karya Agatha Christie, Nicholas Sparks, dan Ika Natassa.

Awal mula kecintaanku pada komik Tintin adalah karena sebagai anak kecil dengan keingintahuan yang besar tentang dunia luar, membaca komik Tintin membuatku serasa dibawa bertualang ke tempat-tempat baru. Mungkin dari komik Tintin-lah aku pertama kali membaca nama-nama tempat seperti Tibet, Kongo, dan Azerbaijan.

Novel Agatha Christie adalah novel yang pertama kubaca dan menjadi pemantikku dalam kegemaran membaca novel. Kalau tidak salah ingat, waktu itu aku duduk di kelas 5 atau 6 SD, dan “Pesta Hallowe'en” adalah novel Agatha Christie yang pertama kubawa pulang dari kios persewaan buku.

Setelah membaca hampir semua judul novelnya, lama-lama aku jadi bisa menebak cara berpikir Agatha Christie dalam menentukan siapa tokoh antagonisnya. Meskipun demikian, caranya menulis alur dan membuat penokohan selalu membuatku kagum. Sebagai penulis fiksi, aku banyak belajar dari novel-novelnya.

Membaca karya fiksi selalu menjadi kesenangan buatku, sejak zaman kecil dulu hingga kini sudah menjadi emak beranak lima. Setelah menjadi penulis fiksi (abal-abal, hahaha), membaca karya fiksi seolah menjadi kewajiban untuk menambah ilmu dan memperkaya khazanah. Supaya dapat menulis fiksi dengan baik tentu aku harus mengisi pula asupan dengan banyak membaca karya fiksi.

Saat ini dalam membaca karya fiksi, aku juga mengamati bagaimana penulis membangun unsur-unsur intrinsik seperti membangun tema, menentukan sudut pandang, menciptakan penokohan beserta karakternya, menuliskan alur, menggunakan gaya bahasa, dan memilih latar.

Ada banyak sekali novel yang menginspirasiku–tentu tak akan cukup aku bahas di sini–tetapi ada satu penulis yang novelnya cukup kaya untuk dipelajari sisi-sisi kepenulisannya. Adalah Nicholas Sparks, seorang penulis yang dikenal sebagai spesialis penulis dengan ending tragis dalam novel-novelnya, yang membuatku terkagum-kagum.

Dia piawai dalam menulis deskripsi dan menggambarkan suasana yang sangat membantu pembaca untuk membayangkan konteks cerita. Tidak hanya pada latar, tetapi juga pada bagian-bagian detail lainnya. Penggambaran selalu deskriptif mengenai apa pun dan tidak membosankan, meskipun selalu dilihat dari sudut pandang orang pertama.

Sparks selalu keren dalam menciptakan tokoh yang berkarakter. Sudut pandang orang pertama sering dipakai dalam novel. Dari segi penggambaran emosi, perasaan tokoh pun tersampaikan dengan baik. Hal ini tentu membuat pembaca ikut larut dalam cerita. Aku angkat topi untuk kemampuan Sparks menulis tentang emosi secara mendalam.

Beberapa judul novelnya tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga koleksiku tidak cukup lengkap (aku lebih suka membaca novel dalam Bahasa Indonesia). Sebagian besar novelnya bahkan tak lagi dicetak ulang oleh Gramedia. Meskipun hanya tujuh judul novelnya yang kumiliki, koleksi ini termasuk koleksi yang kuanggap sangat berharga.

Saat ini aku sedang senang membaca novel-novel Ika Natassa, satu-satunya penulis Indonesia yang seluruh judul novelnya kumiliki. Novel-novelnya bergenre romansa dan beraliran metro pop.

Novel Critival Eleven adalah novel Ika Natassa pertama yang aku baca, dan hingga saat ini masih menjadi novelnya yang paling aku suka. Novel ini menceritakan tentang konflik yang dialami oleh sepasang suami istri, Ale dan Anya, ketika rumah tangga mereka ditimpa badai besar.

Ika Natassa sangat pandai menggarap penokohan. Karakter tokoh-tokoh utama sangat kuat. Hampir semua tokohnya adalah sosok sukses dan profesional dalam hal karir, tapi ternyata secara emosi dan psikis mengalami kebingungan dan masalah dalam hal percintaan.

Narasi dalam tulisan-tulisannya mengalir dengan nyaman, dan tanpa terasa kita sudah dibawa ke akhir cerita. Banyak insight keren dan on point dalam tulisannya, yang seringkali membuatku merenungkan ulang kehidupan (percintaan).

Begitulah, me time favoritku tanpa internet memang sederhana: hanya cukup dengan membaca buku. Namun, aktivitas yang tampak sederhana ini mampu membawaku larut mojok di kamar selama berjam-jam dan somehow membawa keriaan dalam hidupku.

A reader lives a thousand lives before he dies, said Jojen. The man who never reads lives only one.” ― George R.R. Martin, A Dance with Dragons

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni yang bertema “Me Time Tanpa Internet”.

Thursday, May 08, 2025

Unpopular Opinion: Olahraga Nggak Bikin Kurus!

Dulu semasa muda (halah, memangnya sekarang sudah tua, hahaha), ketika jiwa masih labil ingin validasi dari orang lain, betapa seringnya kita terlalu memperhatikan penampilan. Dan seperti layaknya anak muda yang termakan standar kecantikan Indonesia yang katanya cantik itu harus langsing dan putih, tentu kita berlomba-lomba pengen kurus.

Coba ingat-ingat lagi, mungkin banyak di antara kita yang saat itu berolahraga mati-matian demi bisa kurus. Tapi tahukah Anda, bahwa ternyata olahraga nggak bikin kurus? Iya, memang. Yang bikin kurus itu kalau kita nggak makan, hehehe. Pengen tahu lebih lanjut? Yuk, kita bahas satu-satu.

Rumus Turun Berat Badan

Secara umum, yang membuat kita kehilangan berat badan adalah ketika tubuh kita berada dalam keadaan defisit kalori. Gampangnya, defisit kalori terjadi bila jumlah kalori yang dikeluarkan lebih besar daripada jumlah kalori yang masuk. Caranya bisa dengan menjaga asupan makan, memperbanyak aktivitas olahraga, atau kombinasi keduanya.

Seperti yang pernah kutulis di sini, dalam hal penurunan berat badan, olahraga hanya berperan 20% saja. Sisanya diatur dengan menjaga asupan makan. Ada banyak aliran diet di dunia ini. Pemilihan diet yang paling tepat tentu harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing tubuh. Kita juga harus memperhatikan kebutuhan kalori harian. Jangan sampai demi defisit kalori, kita mengorbankan kebutuhan energi tubuh.

Hal yang jamak terjadi pada orang-orang yang pengen kurus adalah sembarangan mengurangi makan. Bisa saja mereka berdalih mengurangi makan besar, tapi ternyata seharian ngemil cemilan yang tinggi kalori. Atau sembarangan mengurangi porsi makan dan frekuensi makan sehingga kalori yang masuk terlampau sedikit. Akibatnya malah lemes dan metabolisme tubuh makin menurun.

Weight Loss atau Fat Loss?

Kalau kita menurunkan berat badan secara serampangan seperti yang kutulis di atas, berat badan tentu akan turun. Tapi rata-rata yang terjadi adalah weight loss, bukan fat loss. Lalu apa bedanya?

Ketika weight loss terjadi, penurunan berat badan meliputi penurunan semua komponen tubuh, termasuk air, lemak, maupun otot. Pernah melihat orang yang berlari memakai jaket sauna? Ya jelas berat badan mereka akan turun, lha wong kadar air dalam tubuh menghilang banyak akibat keringat keluar berlebihan. Ini malah bisa meningkatkan risiko heat stroke.

Kehilangan lemak dan otot terlalu banyak juga mengurangi estetika penampilan. Pernah lihat orang kurus setipis papan setrikaan? Orang yang terlalu lean, selain nggak curvy (ya ini soal selera, sih), massa ototnya juga ikut menipis. Padahal otot adalah investasi masa depan.

Nah, di sini akhirnya olahraga berperan penting. Supaya berat badan turun tetapi tidak menghilangkan massa otot, yang seharusnya dilakukan adalah fat loss. Dalam kondisi fat loss, hanya persentase lemak yang berkurang, massa otot sebisa mungkin dipertahankan supaya tidak berkurang.

Jadi olahraga nggak bikin kurus? Enggak kalau yang dipilih adalah fat loss. Olahraga–dalam hal ini adalah latihan beban–membuat otot menjadi aktif sehingga metabolisme tubuh akan meningkat dan membantu pembakaran lemak menjadi lebih efektif.

Otot itu sebenarnya adalah mesin pembakar lemak alami yang dimiliki tubuh. Latihan beban sangat membantu meningkatkan massa otot dan menurunkan kadar lemak. Berat badan bisa jadi tetap atau meningkat jika massa otot membesar, tetapi lingkar-lingkar tubuh akan mengecil.

Ah, tapi aku olahraga jadi kurus tuh!

Ya balik lagi, penurunan berat badannya bener nggak? Massa ototnya ikut turun nggak? Habis berhenti olahraga, berat badan jadi naik lagi nggak?

Memang orang-orang kita ini masih banyak yang harus diluruskan pemahamannya. Kita harus memandang olahraga sebagai kebutuhan pokok tubuh yang harus ditunaikan supaya sehat dan bugar, bukan sebagai cara untuk kurus. Bukan juga sebagai pembenaran untuk membakar kalori akibat makan terlalu banyak. Nggak gitu konsepnya, cuy.

Lalu Bagaimana Cara Untuk Kurus?

Menurut Dan Go, seorang fitness coach, ada lima cara untuk kurus dengan cara fat loss:

  1. Defisit kalori
  2. Berjalan 15.000 langkah setiap hari
  3. Latihan beban
  4. Menjaga asupan makan dengan diet tinggi protein
  5. Menjaga asupan makan dengan makanan yang nutrient-dense

Kata Dan Go lagi, olahraga kardio terlalu overrated untuk dianggap sebagai cara paling mudah dan paling cepat untuk kurus. Rata-rata yang terjadi adalah weight loss tadi, karena kardio mengambil energi dari lemak dan otot. Maka dari itu, otot harus di-maintain lewat latihan beban.

Kardio membakar lemak saat olahraganya dilakukan. Sementara latihan beban yang menaikkan massa otot, akan membakar lemak bahkan setelah olahraganya selesai dilakukan, karena fungsi alami otot sebagai pembakar lemak tadi. Dengan syarat: asupan tinggi proteinnya dicukupi, waktu rest dan recovery juga dicukupi.

Jangan lantas berpikir kalau olahraga kardio tidak penting dilakukan. Sangat penting malah, untuk menjaga fungsi jantung, otak, dan paru-paru. Namun, kalau bicara soal fat loss, ya tetap latihan beban lah yang paling tepat untuk menjaga metabolisme tubuh dan menyeimbangkan komposisi tubuh.

Penutup

Jadi, olahraga itu bikin kurus apa enggak? Sekali lagi, yuk diperbaiki mindset-nya. Kita berolahraga bukan karena pengen kurus, tapi karena pengen tetap sehat, bugar, dan mandiri sampai tua. Kalau pengen kurus, ya lebih ke jaga makan ya gaess yaa …

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Mei yang bertema “Pendapat Tak Populer/Unpopular Opinion”.

Wednesday, April 30, 2025

Bertekuk Lutut Pada Takdir

Kita adalah pejalan yang sering salah mengira peta. Merasa tahu arah, merasa bisa memilih jalan, tapi pada akhirnya tersadar bahwa kaki kita hanya melangkah sejauh yang diizinkan oleh takdir. Ada yang kita kejar habis-habisan, namun tetap menjauh. Ada yang kita hindari mati-matian, tapi justru semakin mendekat.

Mungkin di antara langkah-langkah yang kita ambil, ada doa-doa yang diam-diam dikabulkan dengan cara yang tidak kita harapkan. Mungkin di antara perpisahan yang kita sesali, ada pertemuan yang telah disiapkan jauh sebelum kita menginginkannya.

Kita boleh memohon, boleh mengiba, boleh menentang sekeras yang kita mampu. Tapi jika bukan takdirmu, sekuat apa pun kamu menggenggam, ia tetap akan terlepas. Jika itu takdirmu, meski kau berlari sejauh mungkin, ia akan tetap menemukanmu.

Pada akhirnya, kita hanya bertekuk lutut pada takdir. Menyerah bukan karena lelah, tapi karena paham bahwa apa yang harus menjadi milik kita, akan datang dengan sendirinya. Dan apa yang bukan untuk kita, akan pergi meski sudah kita perjuangkan dengan segenap nyawa.

[Dikutip dari "Menjalani Takdir Tuhan, Sama Sepertimu" hal. 100, Instagram @goresanpenatuhan]

Monday, April 14, 2025

Pernikahan Adat Jawa-ku: Mencari Titik Temu Antara Tradisi, Keyakinan, dan Modernitas

Sebagai keturunan Jawa di mana darah Jawa mengalir sangat kental di dalam keluarga besar, aku memimpikan sebuah pernikahan yang sakral dan sarat dengan adat. Saat itu aku berusia dua puluh empat tahun dan sudah enam tahun meninggalkan Solo karena merantau di Bandung.

Koordinasi dengan keluarga besar ternyata penuh dengan dinamika. Aku sebagai generasi muda, meskipun menginginkan acara bernuansa adat, bersikeras mengeliminasi ritual-ritual yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Hal ini tentu memicu pertentangan dengan keluarga besar. Untungnya orang tuaku cukup moderat, jadi beberapa hal akhirnya bisa diakali.

Mencari Hari Baik

Sejak pertama kali membahas persiapan pernikahan dengan orang tua, aku sudah mengutarakan penolakanku terhadap pencarian hari baik untuk Hari-H. Masyarakat Jawa biasanya berpegang pada hitungan Primbon untuk menentukan hari pernikahan. Caranya dengan mencari tahu neptu atau nilai dari hari kelahiran kedua mempelai.

Bila hasil hitungannya baik, maka hajatan dilanjutkan. Namun, bila hitungannya menghasilkan hasil buruk, akan dicarikan hari lain. Perhitungan semacam ini juga banyak didapati di budaya nonmuslim, semisal budaya Tiongkok dengan Feng-Shui.

Dalam budaya Jawa, bulan-bulan seperti Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Syawal, dan Dzulhijjah dianggap sebagai waktu yang baik untuk menikah. Hal ini mencerminkan adanya kepercayaan dan kebiasaan lokal yang masih dipegang oleh sebagian besar masyarakat dalam menentukan hari baik dalam pernikahan.

Banyak ulama masih berbeda pendapat soal pencarian hari baik. Tidak ada yang benar-benar mengatakan bahwa hal ini termasuk syirik, tetapi mencari hari baik dengan didasarkan pada keyakinan akan nasib baik atau buruk pernikahan di masa depan, tentunya rawan menggelincirkan akidah. 

Pada awalnya orang tuaku setuju dengan pendapatku. Kami memilih hari pernikahan berdasarkan slot ketersediaan tanggal dari gedung yang akan disewa. Aku sudah bahagia saja waktu itu, kemudian persiapan pernikahan dilanjutkan ke urusan yang lain. Namun, belakangan akhirnya aku mengetahui bahwa orang tuaku juga mengonsultasikan tanggal itu kepada “orang pintar” di bilangan Sriwedari. Duh, pas tahu itu rasanya aku marah sekali. Namun, tak ada lagi yang bisa kuperbuat.

Riasan Pengantin

Riasan dan busana pengantin Solo sebenarnya terbagi menjadi enam jenis dengan pakem yang berbeda-beda, tetapi pakem riasan yang paling jamak digunakan di kalangan generasi muda saat ini adalah pakem Solo Putri.

Tata rias dan tata rambut pengantin Solo Putri (gambar dari sini)

Tata rias wajahnya menggunakan bedak kekuningan, eye shadow coklat dan hijau, blush on, lipstik merah keoranyean, serta paes warna hitam. Paes (hiasan wajah pengantin pada area dahi) terdiri dari: gajahan, pengapit, penitis, godheg, dan alis dengan bentuk mangot.

Sanggul pengantin Solo berbentuk bokor mengkurep yang ditutupi oleh rajutan bunga melati. Sanggul juga dilengkapi dengan bunga melati yang sudah dironce, memanjang dari kepala hingga ke pinggang, terdiri dari bunga bangun tulak, bunga tibo dodo bawang sebungkul, borokan, sisir bunga melati, sintingan, dan ujungnya dihias dengan kuncup bunga cempaka.

Di atas sanggul ditancapkan cundhuk mentul yang biasanya berjumlah ganjil (lima, tujuh, atau sembilan). Angka lima melambangkan lima rukun Islam. Angka tujuh dalam bahasa Jawa adalah “pitu” yang merupakan simbol “pitulungan”, yaitu pertolongan dalam bahasa Indonesia. Angka sembilan melambangkan Wali Songo yang berjumlah sembilan orang.

Sebagai aksesoris, pengantin menggunakan kalung, suweng ronyok, bros sunggun, gelang tretes, cincin ulun-ulun, tanjungan, simyok bunga sokan, serta sepasang centung dan cunduk jungkat.

Tadinya aku berniat memakai perias pengantin Jawa yang sangat terkenal di Solo, sebut saja namanya Bu M. Beliau ini njawani banget. Riasannya halus, khas pengantin Solo. Pengalaman beliau juga sudah bertahun-tahun. Namun, beliau ternyata keukeuh riasannya harus sesuai dengan pakem Jawa dan keberatan jika hasil riasannya “ditutup” jilbab. Lho bagaimana, kan akunya berjilbab, masa iya harus membuka jilbab.

Aku memutuskan mencari perias lain sambil menanyakan referensi ke teman-teman, akhirnya aku menemukan salon muslimah Aufa. Periasnya bernama Mbak Tatik. Beliau lebih gampang dilobi dan diajak kompromi, jadi enak. Beliau mengakomodasi keinginanku lewat serangkaian diskusi serta fitting baju dan jilbab. Akhirnya jadilah riasan pengantin yang meskipun berjilbab, nuansa jawanya sangat kental.

Tata riasku: adat Jawa, tetapi tetap berjilbab

Kebaya Pengantin

Karena menginginkan pernikahan yang sarat dengan nuansa Jawa, tadinya aku hendak memakai kebaya pengantin tradisional Solo yang berwarna hitam dengan desain yang sesuai pakem. Modelnya berbentuk kebaya panjang, berbahan beludru warna hitam, berhiaskan sulaman warna keemasan atau bordir benang emas dengan motif merak.

Kebaya pengantin tradisional Solo (gambar dari sini)

Namun, kata ibuku, sekarang generasi muda sudah jarang memakai itu karena terkesan kuno. Akhirnya aku menurut saja dengan pendapat beliau untuk memakai kebaya pengantin modern dengan payet-payet dan gaya desain yang lebih kekinian. Untuk bawahan, aku memakai kain tradisional (jarik) dengan motif yang sesuai pakem, yaitu motif Sidomukti. Motif ini melambangkan kehidupan yang makmur dan dicintai banyak orang.

Mahar dan Peningset

Peningset atau serah-serahan adalah pemberian dari pihak mempelai pria. Berasal dari kata singset yang artinya ”mengikat”, peningset berarti hadiah yang menjadi pengikat hati antara dua keluarga. Secara adat Jawa, peningset biasanya terdiri atas: satu set daun sirih yang disebut Suruh Ayu, beberapa helai kain jarik dengan motif batik yang berbeda, kain bahan untuk kebaya, ikat pinggang tradisional yang disebut stagen, buah-buahan (terutama pisang), sembako (beras, ketan, gula, garam, minyak goreng, bumbu dapur), perhiasan, dan sejumlah uang sebagai sumbangsih dari pihak mempelai pria.

Aku dulu cuma meminta mahar kalung. Dalam pertimbanganku, waktu itu dia baru meniti karir. Aku tidak merasa perlu dibawakan bermacam-macam peningset, tetapi rupanya tradisi ini tidak dapat dielakkan. Konon dianggap tidak patut jika keluarga mempelai pria tidak membawakan barang-barang ini. Ya sudahlah, yang penting aku tidak meminta macam-macam. Terserah sesuai dengan kemampuan mereka saja.

Acara Resepsi

Orang tuaku ingin sebuah resepsi yang kental dengan adat Jawa, jadi segala susunan acara, bahasa pengantar, sampai cara duduk tamu, semuanya disesuaikan dengan adat resepsi pengantin Solo tradisional. Semua tamu duduk di kursinya masing-masing, sementara makanan disajikan oleh para sinoman secara berurutan: makanan pembuka, makanan inti, lalu makanan penutup. Para tamu datang dan pulang bersamaan. Selama acara dilangsungkan, semua tamu duduk menyaksikan sambil menyantap hidangan.

Tata cara menyajikan makanan untuk para tamu, yang kini sudah banyak ditinggalkan, padahal sebenarnya sesuai dengan sunnah karena makan dan minum sambil duduk (gambar dari sini)

Dengan model acara seperti ini, maka pengisi acara harus dipersiapkan secara matang. Beda sekali dengan acara prasmanan atau standing party di mana para tamu datang dan pergi sehingga pengisi acara tidak terlalu diindahkan. Orang tuaku meminta tolong teman-teman pamanku dari STSI / ISI Solo untuk menjadi protokol dan pengisi acara, mulai dari tata upacara adat, musik gamelan live, tarian tradisional, sampai bahasa pengantar–bahasa Jawa halus tingkat tinggi yang bahkan aku pun tak paham artinya. Semua personel protokoler memakai pakaian adat Jawa lengkap.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan April yang bertema “Tradisi Lokal yang Masih Dilestarikan”.

Sunday, March 09, 2025

We Bend So We Don’t Break

Di dunia ini, sesuatu yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri. Manusia sebagai makhluk yang adaptif tentu mengalami penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan situasi dan kondisi, termasuk ketika manusia dihadapkan pada kondisi luar biasa yang memaksanya keluar dari zona nyaman.

Sepanjang hidupku, ada beberapa perubahan yang membawa impak cukup besar, baik lahir maupun batin. Salah duanya adalah ketika aku menghadapi pandemi dan ketika aku pindah meninggalkan kota Bandung yang sudah dua puluh satu tahun kudiami. Yang lebih membuat overwhelmed, keduanya kualami secara bersamaan pada tahun 2021.

Perubahan Akibat Pandemi

Pandemi yang saat itu terjadi secara global memaksa dunia ini berhenti sejenak. Ketika perlahan roda kehidupan mulai berputar kembali setelah kita mengalami lockdown, tentu ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan.

Dari aspek kesehatan, kita diperkenalkan pada perilaku 3M sebagai upaya mencegah sekaligus memutus rantai penularan Covid-19, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Masker kain dapat menurunkan risiko penularan Covid-19 sebesar 45 persen, sedangkan masker bedah mampu menekan penyebaran virus Covid-19 hingga 70 persen.

Sebagai upaya untuk menghindari kerumunan dan mengurangi risiko penularan, sekolah-sekolah dan institusi perguruan tinggi menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Perkantoran merombak sistem kerja menjadi Work From Home (WFH) untuk mencegah karyawannya terpapar Covid-19 ketika berada di kantor maupun di perjalanan. Tak ayal dengan sistem semacam ini, masyarakat dipaksa beralih dari tatap muka ke sistem yang menggunakan platform digital dan memerlukan koneksi internet sebagai imbasnya.

Anak sulung sedang mengikuti PJJ

Upacara di masa lockdown

Perubahan ini tentu dialami pula oleh keluarga kami. Masker, cairan pembersih tangan, serta disinfektan menjadi peralatan wajib. Kami menjadi jarang keluar rumah bila tidak ada urusan yang terlalu penting. Kegiatan berbelanja kami lakukan melalui aplikasi belanja daring. Agenda jalan-jalan saat liburan terpaksa harus kami buang jauh-jauh.

Kuota internet kami tingkatkan karena ada tiga anak yang mengikuti PJJ dan dua orang dewasa yang menjalankan WFH. Suasana rumah yang semula sepi di siang hari menjadi ramai oleh suara-suara kami yang tengah mengikuti pertemuan melalui aplikasi komunikasi daring berbasis video. Kami bahkan harus ekstra bersabar karena gangguan-gangguan kecil dari anak-anak sering muncul menghiasi layar komputer saat kami sedang melakukan pertemuan daring.

Di satu sisi, kami bersyukur bisa melewati pandemi sebagai keluarga yang berkumpul bersama. Tentunya ini adalah kebahagiaan karena selama tiga belas tahun pernikahan, aku dan anak-anak terpisah jarak Bandung-Jakarta dengan suamiku.

Namun, di sisi lain, frekuensi bertemu yang semakin meningkat dan kecenderungan anak-anak untuk mulai bosan karena banyak terkurung, mengakibatkan rumah menjadi lebih riuh karena pertengkaran dan perselisihan. Belum lagi jika kami sebagai orang tua kadang kelepasan dan tidak dapat mengontrol diri karena beban pekerjaan, sementara anak-anak sedang susah diatur … wah, rumah rasanya seperti sedang mengalami perang dunia.

Waktu itu aku sempat mengalami panic attack karena kecemasan berlebihan, apalagi di rumah kami ada satu bayi enam bulan dan satu lansia. Kecemasanku mencapai puncaknya ketika suami terinfeksi Covid-19 generasi awal, yang membuatnya harus dirawat inap dan terpisah dengan kami selama dua puluh lima hari.

Pandemi memang berat bagi semua orang. Setiap keluarga memiliki perjuangan masing-masing untuk bisa bertahan. Kebiasaan baru yang bersifat penjagaan kesehatan fisik seperti 3M tentu dibarengi dengan kebiasaan untuk menjaga kesehatan mental. Jika bukan karena pertolongan Allah, kurasa kita semua tak akan survive menghadapi pandemi kala itu.

Meninggalkan Bandung

Aku memang tidak lahir dan tumbuh besar di Bandung, tetapi aku telah menghabiskan lebih dari separuh usiaku di kota itu. Ketika aku pertama kali datang ke Bandung dua puluh lima tahun silam, Kota Kembang berhawa sangat dingin—apalagi untuk ukuran seorang bocah asal Solo sepertiku. Malam-malamku sebagai mahasiswa baru cukup sering berkemul tebal, terutama ketika kemudian aku pindah ke bilangan Bandung bagian utara.

Bandung bagian utara sungguh memesona. Di situ aku mengalami pasang surut dinamika kehidupan kampus, bergulat dengan aktivitas kemahasiswaan, lalu berhasil lulus hidup-hidup dari sana. Aku sempat mengembara sebentar, untuk kemudian kembali dan menetap di situ pascamenikah.

Setelah itu kehidupanku banyak berpusar di Bandung bagian utara. Mulai dari kantor, sekolah anak-anak, rumah sakit, tempat olahraga, tempat belanja … semua kami lakukan di situ. Tidak heran kemudian Bandung menjadi bagian penting dari hidupku, yang menyedot semua cintaku seperti aku mencintai kota kelahiran.

Di Bandung pula aku belajar mencintai lari. Di setiap jalan yang kususuri sambil berlari, di situ tertinggal sekeping kenangan. Tak pernah bosan aku mengukur jarak di jalanan Bandung. Di antara lika-likunya terserak memorabilia yang mengukuhkan betapa cantiknya kota ini.

Bandung juga adalah surga makanan. Jajanan di sini sangat bervariasi. Pilihan tempat makan dan nongkrong beragam. Tempat main pun tak terhitung jumlahnya. Tak lupa juga, dengan banyaknya sarana kajian untuk menimba ilmu agama, selalu ada tempat kembali bagi jiwa-jiwa yang penat dengan kehidupan dunia.

Maka bagiku Bandung adalah tempat pulang, tempat yang kupikir dulu bakal menjadi suaka hingga akhir hayat. Dan ketika takdir akhirnya berkata lain, banyak penyesuaian yang harus aku lakukan.

Berbulan-bulan setelah pindah dari Bandung, aku masih merasa stres. Aku memang bukan tipe orang yang cepat beradaptasi. Meninggalkan zona nyaman adalah masalah yang berat bagiku. Aku juga tidak mudah berteman. Maka masa-masa awal itu kulalui seorang diri sambil berusaha menyamankan hati.

Hal pertama yang kucari apalagi selain tempat lari. Lari adalah my ultimate way untuk meredakan stres. Untungnya rumahku hanya berjarak tiga kilometer saja dari boulevard Bintaro Jaya, yang terkenal dengan sebutan Bintaro Loop untuk track larinya yang sepanjang dua belas kilometer.

Track lari Bintaro Loop

Untungnya lagi, kantorku saat itu terletak di Puspiptek, sebuah kawasan perkantoran yang asri. Jalanannya yang sepi dari lalu-lalang kendaraan dan kawasannya yang memiliki hutan kecil merupakan tempat yang sangat tepat menyalurkan hobiku berlari. Maka dari situlah masa adaptasiku bermula. Hari-hari terasa lebih mudah kulalui. And then everything else started to fall into place.

Jalanan Puspiptek yang nyaman untuk dijadikan track lari

Penutup

Teori evolusi Darwin menyatakan “alam akan mengadakan seleksi terhadap makhluk yang ada di dalamnya, hanya makhluk hidup yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang dapat bertahan hidup”. Meskipun kontroversial, kurasa teori itu ada benarnya juga.

Maka ketika ditanya: bagaimana kita bertahan menghadapi perubahan? Well, we don’t. Bentuk pertahanan terbaik adalah dengan cara beradaptasi terhadap perubahan itu sendiri, dengan “bending” melakukan apa saja yang kita bisa untuk bertahan hidup.

We bend so we don't break. It's the only way to stay sane and to stay alive.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Maret yang bertema “Seni Bertahan Menghadapi Perubahan”.