Saturday, October 25, 2025

Dear John: Sebuah Adaptasi Tentang Cinta, Kerinduan, dan Kehilangan

Poster film diambil dari sini

Apa yang kamu lakukan ketika gadis yang kamu cintai, yang berjanji akan menunggumu pulang dari dinas ketentaraan, ternyata pada akhirnya memutuskan hubungan kalian dan menikah dengan lelaki lain?

Begitulah kondisi sulit yang dihadapi John Tyree, seorang prajurit US Armed Forces setelah memenuhi panggilan negaranya dalam perang di Timur Tengah, yang dikisahkan oleh Nicholas Sparks dalam novelnya “Dear John”.

“Dear John” menceritakan kisah hidup John yang pada masa awal kehidupannya hanya tinggal berdua dengan ayahnya, seorang pengidap Sindrom Asperger. Hal itu sedikit banyak mempengaruhi relasi mereka. John tahu ada yang berbeda dengan ayahnya, tetapi ia tak pernah memahami hal itu.

Perjalanan hidupnya yang rumit membuatnya mendaftar masuk ke US Armed Forces, dan pada suatu masa cuti dari ketentaraan ketika ia pulang ke rumah, ia bertemu dengan seorang gadis bernama Savannah. Dari situlah kisah kemudian berkembang. Savannah mengajarkan John bagaimana memperbaiki hubungan dengan ayahnya, mengajarkannya tentang cinta, patah hati, dan kebahagiaan sejati.

Novel “Dear John” ditulis pada tahun 2006 dan diangkat ke layar lebar pada tahun 2010. Selisih tahun adaptasinya tidak terpaut jauh sehingga bisa dibilang: tidak ada konteks zaman yang berbeda. Meskipun demikian, tentu ada hal-hal menarik yang bisa dikaji dalam proses kreatif adaptasinya. Apakah memang sesuai ekspektasi pembaca novel dan penikmat film? Apakah ada alur, kisah, dan rasa yang berubah?

Dari Segi Penulisan Novel

Sparks berusaha membangun konflik dengan cara seorisinal mungkin tentang alasan mengapa dua orang yang saling mencintai tidak dapat bersatu selamanya. Konflik dalam kisah John dan Savannah ini diaduk-aduk sedemikian rupa sehingga tetap terasa nyata dan tidak mengada-ada. Jadi meskipun ringan dibaca, konfliknya tetap matang.

Novel yang berjumlah 392 halaman ini banyak menggambarkan detail Wilmington, North Carolina sebagai latar. Bagi sebagian orang yang tidak terlalu suka narasi, beberapa bagian penceritaan kota itu mungkin terasa panjang. Namun bagiku, hal ini menunjukkan kepiawaian Sparks dalam menulis deskripsi dan menggambarkan suasana yang sangat membantu pembaca untuk membayangkan konteks cerita. Tidak hanya pada latar, tetapi juga pada bagian-bagian detail lainnya. Penggambaran selalu deskriptif mengenai apa pun dan tidak membosankan, meskipun selalu dilihat dari sudut pandang orang pertama.

Dalam hal penokohan, sungguh aku tak bisa berkata-kata lagi. Sparks selalu keren dalam menciptakan tokoh yang berkarakter. Sudut pandang orang pertama sering dipakai dalam novel, tetapi jarang ada novel romantis yang “aku”-nya adalah seorang laki-laki. John digambarkan sangat manusiawi: meskipun ia tentara–yang identik dengan sosok tangguh–ternyata ia memiliki perasaan yang halus. Ia bisa mellow bahkan menangis, juga clueless jika menyangkut hubungannya dengan Savannah.

Dari segi penggambaran emosi, perasaan John pun tersampaikan dengan baik seolah-olah ia benar-benar sedang curhat dengan pembaca. Hal ini tentu membuat pembaca ikut larut dalam cerita. Aku angkat topi untuk kemampuan Sparks menulis tentang emosi secara mendalam.

Dari sekian banyak novel Nicholas Sparks, “Dear John” ini yang paling baik menurutku. Alih bahasa yang dilakukan Barokah Ruziati bagus dan tanpa cela, tidak seperti salah satu novel Sparks lain yang alih bahasanya acakadut dan bikin geregetan.

Dalam situs pribadinya, Sparks menulis tentang buku ini, “In the end, I was proud of the novel. It is, in many ways, one of my favorites. It is also one that I think will resonate with readers long after the final page is turned.

Ya, dia benar! Aku menangis ketika membaca novel ini, terutama ketika bab-bab akhir. Aku masih ingat, air mata terus mengalir di wajahku. “Dear John” is also my favorite, and it resonated with me long after the final page was turned, even many years later.

Versi Film

Secara umum, kisah, penokohan, alur, serta latar pada film tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan novelnya. Ada beberapa detail yang berubah, seperti misalnya hubungan antarkarakter dan peringkasan cerita, tetapi rasanya hal itu masih dalam taraf wajar mengingat adanya keterbatasan ruang dan waktu dalam proses adaptasi dari novel menjadi film.

Film “Dear John” dibintangi oleh Channing Tatum sebagai John Tyree dan Amanda Seyfried sebagai Savannah Lynn Curtis. Gambaran tentang John dalam benakku cukup sesuai dengan sosok Channing Tatum. Namun, sosok Savannah sangat berbeda dengan imajinasiku, terutama karena Amanda Seyfried berambut pirang sementara dalam novelnya digambarkan memiliki rambut coklat yang indah. Meskipun demikian, menurutku akting Tatum dan Seyfried bisa dibilang mampu menghadirkan karakter yang mirip dengan karakter novel.

Dalam hal kesuksesan film, pada akhir pekan pembukaannya, film ini meraup $30.468.614. Hal tersebut membuat film ini menempati posisi pertama di box office, mengalahkan Avatar setelah tujuh minggu bertengger di posisi pertama. Hal itu juga berhasil menjadikan film ini sebagai debut terbaik untuk sebuah film yang diangkat dari novel Nicholas Sparks.

Namun, secara reviu, film ini menerima ulasan yang tidak terlalu bagus. Di Rotten Tomatoes, film ini memiliki skor rata-rata 4,50/10 berdasarkan 137 ulasan. Konsensus kritikus situs web tersebut berbunyi: “Built from many of the same ingredients as other Nicholas Sparks tearjerkers, Dear John suffers from its clichéd framework, as well as Lasse Hallstrom's curiously detached directing.” Metacritic, yang memberikan skor rata-rata 43/100 dari 34 ulasan kritikus film, memberikan nilai “mixed or average”.

Jika ada hal yang sangat menggangguku dari filmnya, itu adalah soal ending. Sparks yang dikenal sebagai spesialis penulis dengan ending tragis dalam novel-novelnya, sebenarnya lebih suka menyebut ending novel ini sebagai bittersweet, sebuah istilah halus untuk sad ending.

Pada ending novel, John akhirnya melepaskan Savannah dan berdamai dengan kenyataan bahwa mereka memang tidak dapat bersama karena Savannah telah menikah ketika John masih menjalani dinas ketentaraan. Tahun-tahun yang terpisah ketika mereka menjalani long distance relationship memperburuk keadaan dan membuat hambar hubungan mereka. Meskipun keduanya saling mencintai, hubungan mereka terpaksa harus kandas ketika hidup keduanya tidak lagi beririsan dan memiliki frekuensi yang sama.

Nah, dalam filmnya, sutradara dan penulis skenario agak maksa ketika mereka mengubah ujung cerita menjadi happy ending. Dikisahkan suami Savannah akhirnya meninggal akibat sakit kanker dan mereka berdua dapat kembali bersama. Ini agak krik krik menurutku, mengingat intensitas emosi penonton yang sudah dibuat termehek-mehek ketika mereka berpisah.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Adaptasi karya film yang diangkat dari buku–sadar atau tidak sadar–selalu membuat kita membandingkan: mana yang lebih baik, buku atau film? Sejauh ini, dari sekian banyak film adaptasi yang pernah kutonton, aku selalu memenangkan buku. Namun, kali ini aku harus mengakui bahwa novel maupun film “Dear John” sama-sama bagus. Proses adaptasinya tidak wow, tetapi juga tidak buruk. Filmnya berhasil mengejawantahkan kisah dalam novel dengan sangat manis. Sukses menjadi film bergenre drama seperti novelnya tanpa sisi dramatis yang berlebihan.

Meskipun demikian, perbedaan ending yang membuatku frustrasi memang harus diakui tampaknya sengaja dibuat untuk memanjakan pasar. Mungkin para penikmat film lebih menyukai happy ending daripada sad ending. Mana ada pemirsa yang rela berderai air mata ketika meninggalkan bioskop, hehehe. Pada akhirnya, perbedaan aspek lintas medium (terutama layar lebar) memang tidak bisa dilepaskan dari urusan pasar yang tunduk pada kapitalisme.

Sudut Pandang Personal

Kembali ke paragraf yang kutulis di awal tulisan ini: apa yang bakal kamu lakukan ketika kehilangan seseorang yang istimewa dalam hidupmu? Yang membuat kisah John menarik untukku adalah karena ia bercerita tentang proses melepaskan dan berdamai setelah kehilangan, yang mana pengalamannya pasti akan berbeda untuk setiap orang.

Ada orang yang berdamai setelah kehilangan dengan cara melupakan. Namun, ada yang justru dengan cara mengenang, seperti John. Dia mengenang segala yang pernah dia miliki bersama Savannah, karena cinta mereka memang (pernah) nyata. Dia mengikhlaskan Savannah demi kebahagiaannya, meskipun sejatinya dia tidak rela. Itu sebuah bentuk pengorbanan yang besar, kurasa.

Pulih bukan berarti sembuh. Pulih artinya tetap bisa melangkah dengan luka akibat kehilangan dan menyadari sepenuhnya bahwa yang kamu lakukan adalah sesuatu yang benar. Love sekebon buat John, the real gentleman yang membuatku bersimpati hingga tersedu-sedu ketika selesai membaca novelnya dua belas tahun silam.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober yang bertema “Menyelami Orisinalitas dalam Adaptasi Karya Lintas Medium”.

Wednesday, September 10, 2025

Kala Senja

Ilustrasi senja di ibu kota, diambil dari sini

Aku menatap ke luar jendela kaca selebar dinding yang membatasi pandanganku dengan langit Jakarta. Jauh di bawah sana, aku dapat melihat orang yang berjejalan di halte Transjakarta sedang menanti bus yang akan membawa mereka pulang ke rumah masing-masing. Sementara di ufuk barat, mentari tengah bersiap-siap menutup hari, pendar ronanya membias awan.

Sejak dulu aku memang pecinta senja. Selalu ada aura magis yang menyelimuti bumi ketika semburat merah petang menghiasi langit. Namun, inspirasi senja tak lagi dapat kureguk bebas sejak aku pindah ke ibu kota, mengingat setiap sore aku masih terkurung di ruang kerja.

Beberapa penghuni kantor di lantai delapan ini melambaikan tangan padaku dari balik kaca transparan. Meskipun aku tak dapat mendengar ucapan mereka, dari gerak bibir mereka aku paham bahwa mereka tengah berpamitan. Beberapa dari mereka akan segera bergabung dengan keriuhan halte di bawah, yang lain akan meramaikan jalanan ibu kota dengan mobil pribadi, ojol, atau taksol, sebagian larut dalam gegas untuk menumpangi commuter line.

Kehidupan ibu kota memang keras: tiap orang berkejaran dengan waktu mulai subuh hingga malam, mengorbankan waktu, tenaga, bahkan kesehatan untuk mengejar mimpi dan pundi-pundi rezeki. Mungkin hal itu jugalah yang menjadi alasan keberadaanku di sini.

“Belum pulang, Kak?” Sebuah suara yang diikuti dengan paras jelita muncul dari balik pintu. Rara, mahasiswi yang sedang magang di kantor ini, menatapku dengan pandangan bertanya. Di tangannya ada setumpuk berkas, raut wajahnya memancarkan kelelahan.

“Dokumen yang harus kuperiksa?” Aku mengedikkan kepala ke arah berkas-berkas itu. Dia mengangguk sambil tersenyum, kemudian berjalan menuju sudut meja. Dia sudah hafal di mana dia harus meletakkan benda-benda.

“Ra, jangan capek-capek ya. Sudah magrib, pulang sana.” Aku memandang gadis itu. Meskipun letih, semangat masih jelas tergambar di wajahnya. Sama seperti yang banyak kutemui ketika aku melangkahkan kaki di bilangan Sudirman ini, kompleks perkantoran bergengsi yang menjadi tempat kerja impian banyak anak muda.

“Kak, tadi aku ketemu Pak Evan. Beliau titip pesan, kalau pekerjaan sudah selesai, katanya Kakak disuruh menghubungi beliau,” kata Rara sebelum menghilang dari balik pintu. Aku mengangguk, lalu kembali menekuri layar laptop. Namun sejujurnya, pikiranku sudah melayang ke mana-mana.

“Selamat pagi, perkenalkan nama saya Adrian Evano. Panggil Evan saja, ya,” begitu kalimat yang diucapkannya ketika kami pertama kali bertemu.

“Azalea Pratista, dipanggil Lea,” balasku berusaha sopan.

Sebagai penghuni baru di kantor ini, cukup sulit bagiku untuk langsung menghafalkan nama orang-orang yang kutemui, tetapi tidak dengan sosoknya. Perannya selaku manajer health, safety, and environment di perusahaan manufaktur tempatku bekerja cukup menonjol. Kepribadiannya ramah dan peduli, pekerjaannya selalu rapi, dan dia senantiasa tegas dan berwibawa dalam menjalankan tugasnya sebagai penyambung informasi perusahaan dengan pihak HSE di lokasi proyek maupun di unit lain.

Menurut kasak-kusuk Rara, tak sedikit perempuan di kantor ini yang menaruh hati pada Evan. Aku tentu tidak heran, mengingat ketampanannya memang berbanding lurus dengan prestasinya. Sebagian dari mereka sering mengajaknya makan siang atau sekadar nongkrong di kedai kopi, tetapi dia selalu menampik dengan alasan sibuk bekerja. Aku hanya bisa terkikik ketika Rara menceritakan itu semua. Kuanggap itu sebagai hiburan, karena memikirkan laki-laki adalah hal paling terakhir yang ada di pikiranku.

Bertahun-tahun aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Aku berusaha menyibukkan diri dengan beban kerja dan perjalanan dinas, membangun karier, serta berusaha mandiri untuk menghidupi diri, Ibu, dan adikku di Bandung sana. Malam demi malam yang dingin di Kota Kembang kulalui dengan mengambil lembur, berharap kesibukan kerja akan mampu mengusir sepi dan lara hati.

Enam tahun lalu, cintaku dihancurkan berkeping-keping oleh seorang lelaki. Senja kala itu, aku memergokinya tengah berjalan beriringan dengan seorang perempuan, lengkap dengan belaian mesra dan gandeng tangan yang erat. Peristiwa itu membuat pamor senja sedikit tercoreng di mataku.

Aku tak pernah menceritakannya pada Ibu. Yang beliau tahu, aku memutuskan pertunangan dan membatalkan rencana pernikahan secara tiba-tiba. Beliau tak perlu tahu betapa porak-porandanya hatiku, sama seperti ketika Bapak meninggalkan beliau bertahun-tahun silam.

Promosi menjadi manajer quality assurance di kantor pusat membawa perjalananku sampai ke Jakarta. Di satu sisi, aku merasa senang karena dapat membungkus luka yang tersisa dan kabur dari pertanyaan Ibu yang senantiasa menghujani tentang kapan aku akan mengakhiri masa lajang. Namun, di sisi lain aku juga pilu karena merindukan Ibu, adikku, dan kota kelahiran. Tinggal di Jakarta seringkali menggerus kewarasan. Aku merasa tidak punya waktu untuk sejenak melambat dan kadang hal itu membuatku merasa sedikit gila.

“Kamu tidak suka Jakarta?” tanya Evan pada suatu siang. Saat itu aku sedang berjongkok memeriksa ban mobil kantor yang tiba-tiba kempes dalam perjalanan kami menuju Karawang untuk mengecek site pendirian pabrik baru. Perjalanan itu adalah kesekian kali aku bekerja sama dengannya dalam satu tim.

Aku menoleh sekilas ke arahnya, sebelum berseru kepada sopir, “Pak, panggil bengkel saja, ya. Tampaknya ban mobil bocor.”

Evan mengulangi lagi pertanyaannya ketika kami duduk di bangku sebuah warung sembari menanti pihak bengkel datang. Aku memandangnya. “Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

“Entah. Kulihat kamu selalu tinggal di kantor sampai larut malam. Datang paling awal, pulang paling akhir. Nggak pernah ikut jalan sama teman-teman,” jawabnya.

Aku bertanya lagi, “Apa yang menarik dari sebuah kota yang panas, bising, berdebu, dan penuh polusi?”

Dia tertawa. Tangannya mengulurkan sebotol teh dingin. “Minumlah dulu, wajahmu merah karena kepanasan.”

Aku membuka botol dan meneguk secercah kesegaran. “Aku kangen Bandung,” kataku.

“Yah, setiap orang dihadapkan pada risiko dalam setiap langkah kehidupan. Tinggal di Bandung mungkin lebih nyaman, tapi karirmu akan begitu-begitu saja. Seperti halnya manajemen risiko keselamatan dan kesehatan kerja, semua potensi bahaya dan risiko dikalkulasi, lalu dimitigasi dan dikendalikan. Ada risiko yang masih bisa diterima. Nah, itu yang kita kendalikan dampaknya.”

Aku memandangnya sambil setengah tertawa. “Jadi kita sedang kuliah tentang manajemen risiko di tengah jalanan desa antah berantah?”

Evan terbahak hingga kelihatan susunan giginya yang rapi. “Bukan begitu. Maksudku, dalam hidup ini ada banyak hal yang berjalan tidak sesuai harapan. Itu yang disebut risiko kehidupan. Tapi di balik itu semua, tentu ada hikmah dari promosimu ke Jakarta. Karir naik, gaji juga mengikuti kan?”

“Beban kerja dan tanggung jawabnya juga tidak sedikit,” kilahku.

“Oh, itu jelas,” seru Evan, “tapi kamu juga bisa mencari hal-hal yang membahagiakan dari kehidupan Jakarta. Sebuah alasan di mana suatu hari nanti kamu akan merasa beruntung telah berada di sini.”

Aku hanya mengangkat bahu, belum sepenuhnya menyadari makna kalimatnya.

Proyek pendirian pabrik baru itu memakan sumber daya yang tidak sedikit. Pekan demi pekan kami habiskan untuk mengawasi perencanaan dan pelaksanaannya. Rapat-rapat berlangsung maraton hingga larut malam. Pada suatu akhir hari yang melelahkan, Evan mengajakku berjalan menyusuri Jalan Sudirman di waktu petang. Aku sendiri tak tahu pasti mengapa dengan mudah aku mengiyakan ajakannya.

“Kamu tahu kenapa aku suka Jakarta?” tanya Evan. Aku menggeleng.

Dia melanjutkan lagi, “Kota ini adalah simbol perjuangan dan perubahan. Dinamikanya memang keras, tapi somehow membuat orang-orang di dalamnya menjadi tangguh. Siapa yang tidak bergegas akan tergilas, itulah cara kehidupan mengajari kita akan makna kerja keras.”

Aku manggut-manggut. Setelah sekian lama aku tak merasakan keindahan senja, sore itu menjadi semacam muara bagiku untuk kembali menikmati kemolekannya. Jakarta yang ramai dan bising seakan memendar dalam cahaya jingga. Berkawan sepoinya angin, aku mengurai rindu. Bersama temaramnya sinar surya yang kembali ke peraduan, hatiku menunduk khusyuk dalam syahdu.

Aku menarik napas dalam dengan mata terpejam. “Sudah lama aku tak merasakan indahnya senja seperti ini.”

Ketika aku membuka mata, kudapati Evan tengah menatapku. Binar sandyakala memantul dari matanya. “Kamu suka senja?”

Aku mengangguk sambil berucap, “Pada senja aku menemukan damai. Membuatku berpikir positif, bahwa apa pun yang kulalui hari itu memiliki akhir yang indah sehingga rasa syukurlah yang kurasakan saat menutup hari. Sayangnya aku tak bisa sering-sering menikmati senja sekarang ini. Pekerjaanku tak pernah selesai sebelum magrib.”

Evan terdiam cukup lama. Sejurus kemudian dia berkata, “Oke, mulai besok, kalau pekerjaanmu belum selesai, kita bawa laptopmu ke rooftop. Kamu bisa rampungkan di sana sambil melihat senja. Ada bangku-bangku di ujung helipad yang bisa kita pakai duduk.” Aku terbelalak. Laki-laki ini sungguh penuh kejutan.

Sepanjang jalan kami mengobrol tentang banyak hal. Untuk pertama kalinya setelah enam tahun, aku tak lagi membenamkan diri dalam lubang tak berkesudahan. Kupikir kehidupan Jakarta yang berkejaran, ternyata hati dan pikiranku yang kelelahan. Malam itu, mata dan hatiku terbuka. Semuanya terlihat berbeda.

Pada para pekerja yang tengah menanti bus untuk pulang, aku melihat binar harapan karena sebentar lagi mereka akan bersua keluarga. Beberapa orang yang berlari melintas di area Senayan dan sekelompok orang yang bersorak-sorak di stadion softball mengajariku bahwa seberapapun kerasnya bekerja, kita tetap harus meluangkan waktu untuk self-care. Pada orang-orang yang berkumpul di kedai kopi atau tempat makan, aku memahami pentingnya membangun relasi dan kehangatan di dunia nyata.

Senja hampir saja berlalu ketika ketukan halus terdengar di pintu dan membuyarkan lamunanku. Kudongakkan kepala dan kulihat Evan sudah berdiri di sana dengan senyum yang memesona. “Rooftop?” tanyanya.

Aku tertawa sambil menggeleng. “Rasanya tak perlu, pekerjaanku sudah selesai.”

“Oke, kalau begitu … nasi goreng Jalan Sabang?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk dan membalas senyumnya. Setelah membereskan berkas-berkas yang tadi kuperiksa, aku mematikan laptop dan menyambut uluran tangan Evan. Tangan itulah yang menggenggam jemariku dengan hangat di atas jembatan Semanggi, ketika kami menikmati kerlap-kerlip lampu ibu kota pada suatu malam selepas menyusuri Jalan Sudirman. Aku menatap matanya lekat. Kurasa aku sudah menemukan alasan yang membuatku merasa beruntung telah berada di sini.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan September yang bertema “ROMANTISME”.

Sunday, August 24, 2025

Latihan Kekuatan: Antara Mesin dan Alat Portabel

Ketika tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan ini mengambil tema tentang pembahasan teknologi dari sudut pandang apakah memerdekakan atau menjajah, aku sempat kebingungan akan menulis apa. Menurut KBBI, teknologi adalah (1) metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis; ilmu pengetahuan terapan, (2) keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.

Pertanyaan besar dari tantangan: apakah semua teknologi yang ada dalam keseharian kita selalu menjadi alat yang memerdekakan/membebaskan, atau kita pernah merasa terjajah/disulitkan setelah adanya teknologi tersebut?

Kebetulan minggu lalu aku habis mengikuti pelatihan Certified Fitness Instructor, di mana salah satu bahasannya adalah gerakan latihan kekuatan menggunakan mesin dan alat portabel. Ini tentu menarik, karena dibahas juga mana yang lebih efektif. Langsung terpantik ide untuk menulis soal ini. Apakah penggunaan (teknologi) mesin ini dalam dunia kebugaran lebih memerdekakan, atau justu lebih menjajah (dalam artian membuat kita lebih bergantung)?

Sebagai gambaran, mesin yang digunakan untuk latihan kekuatan biasanya berupa multi-stationery machine, plate loaded machine, selectorized machine, cable machine, atau cardio machine semacam treadmill, elliptical, bike, dan rower. Sementara alat portabel biasanya berupa barbell, plates, dumbbell, kettlebell, clubbell, medicine ball, wall ball, slam ball, swiss ball, sand bell, resistance band, battle rope, suspension training, steel mace, bosu, equalizer, dan stepper.

Fixed Motion

Penggunaan mesin dalam latihan kekuatan sering disebut sebagai fixed motion. Hal ini disebabkan karena pola geraknya sudah ditentukan dan bersifat monoton. Sebagian besar mesin untuk latihan kekuatan didesain untuk menyederhanakan teknik dan memudahkan kita dalam melatih otot secara spesifik–misalnya mesin yang dirancang untuk melatih otot dada, bahu, punggung, tangan, kaki, atau perut. Hal ini membuat pemula lebih cepat dalam mempelajari cara menggunakannya. 

Karena posisi, pola, arah pergerakan mesin sudah ditentukan, otot utama yang menjadi target dapat bekerja lebih optimal tanpa banyak mengaktivasi otot-otot pendukung yang berperan untuk menstabilkan gerakan. Dengan demikian, akumulasi tingkat kelelahan dalam melatih otot tertentu akan makin rendah dan kita akan lebih mudah mempertahankan kualitas gerakan selama set berlangsung.

Dalam konteks hipertrofi (latihan yang menarget peningkatan ukuran serat otot), stabilitas itu berperan penting supaya ketika melakukan gerakan sampai failure, yang terjadi adalah muscular failure, bukan technical failure. Nah, technical failure ini bisa diminimalkan dengan penggunaan mesin sebagai alat bantu untuk menstabilkan gerakan (contoh kasusnya dapat dilihat di sini).

Bagi kita yang yang menerapkan program split training berdasarkan kelompok otot, penggunaan mesin kerap menjadi pilihan karena memberikan kontrol yang lebih baik dalam melatih kelompok otot dengan beban yang berat, bahkan untuk gerakan compound–gerakan yang melibatkan banyak kelompok otot dan lebih dari satu persendian–sekalipun.

Free Motion

Latihan kekuatan menggunakan alat portabel yang mudah dibawa dan dipindahkan disebut free motion atau free weight. Penggunaan alat portabel memungkinkan pergerakan lebih bebas dalam melakukan exercise.

Gerakan dengan alat portabel lebih dinamis dan melibatkan otot pendukung, terutama otot inti (core), untuk menstabilkan pergerakan saat melatih otot utama yang menjadi target. Koordinasi tubuh menjadi lebih menantang dibandingkan dengan jika kita menggunakan mesin. Teknik dalam variasi gerakannya seringkali kompleks bagi pemula, sehingga diperlukan pembimbing untuk mempelajari gerakannya.

Mana yang Lebih Baik?

Penggunaan mesin dianggap lebih aman untuk latihan kekuatan karena pola gerakannya stabil dan mengurangi risiko kesalahan teknik. Di sisi lain, penggunaan alat portabel lebih unggul dalam meningkatkan koordinasi, aktivasi otot inti, dan kontrol motorik secara keseluruhan.

Dalam konteks apakah mesin–sebagai salah satu bentuk teknologi–memerdekakan atau menjajah? Jawabnya: tergantung, harus dilihat lagi konteksnya karena baik mesin maupun alat portabel memiliki plus minus masing-masing.

Bagi seseorang yang memiliki privilese untuk pergi ke gym dengan bebas, penggunaan mesin bisa jadi memerdekakan, karena ia dapat melatih gerakan dengan menyasar otot yang lebih spesifik. Dan karena ia tidak perlu memikirkan faktor-faktor lain untuk mendukung gerakan–seperti misalnya faktor tumpuan, exercise yang dilakukan bisa lebih stabil.

Namun, bagi emak-emak yang rempong dan susah keluar rumah, penggunaan home gym dengan alat portabel tentu lebih memerdekakan. Ia tak perlu bergantung pada penggunaan mesin karena bisa memanfaatkan alat portabel yang tentu lebih murah. Tekniknya memang lebih kompleks, tetapi ia juga bisa sekaligus belajar meningkatkan koordinasi gerakan.

Penting untuk dipahami bahwa otot tidak dapat membedakan apakah stimulus berasal dari mesin, alat portabel, atau beban tubuh sendiri. Selama teknik dan intensitasnya sesuai, masing-masing modalitas dapat memberikan hasil yang optimal.

Oleh karena itu, bagi seseorang yang sudah mulai rutin latihan kekuatan, sebaiknya ia menyeimbangkan penggunaan mesin dan alat portabel. Jangan terlalu sering menggunakan salah satu saja. Bagaimanapun juga, keduanya dibutuhkan untuk saling melengkapi dalam mencapai tujuan kebugaran kita.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus yang bertema “Teknologi: Memerdekakan atau Menjajah?”.

Friday, July 25, 2025

Pelari Kalcer: Antara Hobi, Olahraga, dan Fesyen

"Kalcer" adalah istilah gaul dalam bahasa Indonesia yang merupakan serapan dari kata "culture" dalam bahasa Inggris, yang berarti budaya. Dalam konteks anak muda, kalcer merujuk pada orang atau gaya hidup yang mengikuti tren dan perkembangan budaya populer, fesyen, musik, dan gaya hidup terkini.

Dalam dunia lari rekreasional, dikenal pula istilah pelari kalcer. Kadang yang dimaksud adalah orang yang saat ini terbawa arus jadi menggiati olahraga lari karena sedang hype alias ikut-ikutan tren–meskipun hal itu sebenarnya nggak apa-apa juga–atau bisa juga yang dimaksud adalah pelari yang menonjolkan gaya berpakaian dan penampilan (fesyen) saat berlari, seringkali dengan perlengkapan lari terbaru dan bermerek.

Sepatu

Pelari kalcer menggunakan sepatu yang dipilih tidak hanya untuk performa lari, tetapi juga untuk menunjang penampilan yang stylish dan sesuai dengan tren terkini. Rata-rata mereka akan melakukan survei terlebih dahulu sebelum membeli sepatu, melalui diskusi di komunitas lari atau situs-situs yang kontennya mengulas mengenai kualitas sepatu lari.

Mereka akan mencari sepatu-sepatu keluaran terbaru dengan teknologi terkini yang diklaim mampu meningkatkan performa lari. Beberapa di antaranya dibanderol dengan harga cukup tinggi yang pasti akan bikin orang-orang yang tidak suka lari mengerutkan dahi, hahaha.

Teknologi terkini itu mencakup cushion, traction atau grip, bobot sepatu, fleksibilitas, stabilitas, breathability, toebox, durabilitas, dan responsivitas. Seperti yang pernah kutulis di sini, sepatu lari itu ada banyak sekali ragamnya, beda-beda tergantung peruntukannya. Meskipun stylish, jangan sampai salah pakai sepatu. Alih-alih keren, pelari malah bisa cedera jika memakai sepatu yang tidak sesuai peruntukannya.

Baju dan Celana

Zaman dulu, kita sering mendengar jargon bahwa lari adalah olahraga yang paling murah. Jargon itu bisa ya, bisa tidak untuk zaman now. Selain sepatu yang harganya berjuta-juta, jersey lari kini juga harganya cukup fantastis.

Beda dengan orang-orang dulu yang cukup berlari dengan kaos katun saja, para pelari kalcer rata-rata memakai jersey lari berbahan dry fit dengan kain yang breathable. Jenis kain seperti ini membantu penguapan keringat secara maksimal sehingga tidak tertahan lama di material dan riskan membuat masuk angin.

Selain pemilihan bahan, mereka juga rajin memadupadankan outfit supaya terlihat cakep. Tren baju lari pun mulai beragam, dari baju kutung dengan celana pendek hingga baju yang lebih modest dipakai para muslimah, seperti jilbab, baju panjang (bahkan sekarang juga ada tunik buat lari!), dan rok celana.

Outfit lari sebenarnya banyak juga yang murah–tetapi tidak murahan. Hanya dengan beberapa ratus ribu kita sudah bisa mendapatkan outfit lari berkualitas. Namun, dengan makin ramainya industri olahraga zaman sekarang, produsen berlomba-lomba membuat outfit yang wow.

Sebut saja merek Tracksmith yang jersey larinya seharga Rp 1-2 juta, atau 2XU yang compression tights-nya seharga Rp 2-3 juta. Okelah, mereka memang mengklaim produknya dibuat dengan teknologi (heat transfer lah, muscle stamp lah) yang berasal dari hasil riset bertahun-tahun.

Yang lebih wow lagi adalah tren baju lari bolong-bolong. Konon baju lari semacam ini merupakan inovasi dalam dunia pakaian olahraga yang bertujuan untuk meningkatkan ventilasi dan kenyamanan saat berlari. Misalnya Men’s Dri-FIT ADV Short-Sleeve Running Top dari Nike yang dijual seharga Rp 1,2 juta, atau MothTech™ dari Satisfy Running yang ventilasi strategisnya dibuat di bagian tubuh atas yang rentan panas.

Gambar diambil dari sini

Gambar diambil dari sini

Topi dan Visor

Aksesoris berikutnya yang kerap dipakai pelari kalcer adalah penutup kepala, mulai dari slayer, topi, hingga visor. Saat ini banyak topi dari produsen olahraga yang nyaman dipakai saat berlari karena ringan, breathable, dan berbahan quick dry yang gampang banget kering setelah kuyub oleh keringat.

Ada yang diberi tanda atau logo reflektif supaya bersinar ketika dipakai berlari di malam hari. Ada yang dibuat dengan teknologi anti UV. Ada juga yang dibuat dengan lubang belakang untuk pelari wanita yang rambut panjangnya sering dikuncir tinggi (pony tail).

Beberapa visor dibanderol dengan harga yang lumayan. Visor 2XU yang banyak sekali varian warnanya itu dijual seharga Rp 300-400 ribu. Visor Alo Yoga bahkan dijual seharga Rp 1,2 juta. Kalau soal kenyamanan sih tiap orang beda-beda, ya … karena ada yang suka memakai penutup kepala, ada yang tidak.

Visor Alo Yoga

Kacamata

Bukan pelari kalcer namanya jika berlari tanpa kacamata. Pada dasarnya, kacamata sangat diperlukan untuk melindungi mata dari paparan sinar matahari yang bisa meningkatkan risiko katarak dan menurunnya fungsi mata. Kacamata juga bisa melindungi mata dari debu dan kotoran selama lari. Namun, kacamata pelari kini juga mulai bergeser menjadi tools untuk fesyen penuh gaya.

Pelari kalcer Indonesia banyak menggunakan kacamata lari merek Goodr, Duraking, atau Eiger. Harganya cukup terjangkau dan memiliki banyak varian, mulai dari jenis lensa, warna lensa, bentuk frame, bahan frame, hingga warna frame. Teknologinya diklaim no slip, no bounce, polarized, dan dilengkapi dengan UV protection.

Apa bedanya UV protection dengan polarized? Keduanya sama-sama mampu melindungi mata dari sinar matahari. Perbedaan utamanya, lensa dengan UV protection melindungi mata dari sinar UV yang berbahaya. Sementara lensa polarized mengurangi silau yang disebabkan oleh pantulan cahaya pada permukaan seperti air atau jalan aspal. Jadi, pandangan akan lebih teduh dan nyaman, terutama saat berlari pada hari yang cerah.

Perbandingan beberapa merek kacamata olahraga

Alat Pendengar Musik

Bagi sebagian pelari, mendengar musik kala berlari adalah sesuatu yang wajib. Setelah era headphone, headset, earphone berkabel, earphone nirkabel, earbuds, lalu TWS (true wireless stereo), kini yang sedang nge-tren adalah earphone dengan bone conduction.

Penggunaan alat pendengar musik tersebut tentu disesuaikan dengan kenyamanan dan kepraktisan penggunaannya. Ada yang suka memakai earbuds karena pas dengan lubang telinga. Ada yang suka memakai bone conduction karena tidak perlu dimasukkan ke dalam lubang telinga. Ada yang lebih suka wireless dengan alasan mobilitas.

Namun, ada juga yang lebih suka earphone berkabel sepertiku karena tidak perlu di-charge. Meskipun bagi sebagian orang kabelnya dirasa mengganggu, bagiku itu sebuah bentuk proteksi karena ketika sisi yang satu copot, sisi satunya masih menggantung dan masih bisa berfungsi.

Ada banyak kisah dari teman-temanku yang kehilangan alat pendengar musik mereka karena salah satu sisi copot dan masuk ke sungai saat trail run, atau jatuh di jalan saat jogging, atau sekadar hilang sebelah karena jatuh tertidur saat penerbangan.

Apa pun alat pendengar musik yang dipakai, sebaiknya tidak menutup total akses suara terhadap lingkungan sekitar. Ini sangat penting supaya pelari tetap aware dengan suara-suara di sekelilingnya, entah itu suara kendaraan yang lalu lalang, klakson atau sirine, bunyi alarm kereta, atau situasi yang membahayakan seperti penjambret.

Smart Watch

Last but not least, smart watch tentunya menjadi barang wajib yang dipakai oleh para pelari kalcer. Merek yang banyak dipakai adalah Garmin dan Coros. Smart watch ini bukan hanya untuk gaya-gayaan, ya, Mah. Fungsinya ada banyak.

Ketika seorang pelari sudah mulai memperhatikan performa dalam berlari dan sudah memiliki target atau goal dalam latihannya, smart watch sangat berguna sebagai alat bantu. Dengannya kita bisa mengukur pace, mileage, heart rate, power, elevasi dll.

Bahkan smart watch yang dilengkapi dengan GPS built-in sangat membantu seorang pelari sebagai alat navigasi ketika dia harus mengikuti event lari ultra atau lari trail. Hal ini juga sangat berguna bagi penggemar olahraga outdoor lain seperti hiking dan trekking supaya mereka tidak tersesat.

Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juli yang bertema “Tentang Fashion”.

Sunday, July 20, 2025

Sehari dalam Hidupku (2)

Tiga tahun lalu aku pernah menulis tentang tema ini di blog. Ternyata setelah tiga tahun berselang, ada banyak hal yang sudah berubah dalam keseharianku. Aku pindah tempat kerja sehingga hal itu cukup membuat rutinitasku berubah juga.

Pagi Penuh Ketergesaan

Hariku masih diawali dengan pagi yang rusuh. Kini aku harus bangun lebih pagi daripada dulu karena aku harus mengejar commuter line ke arah Jakarta. Saat azan subuh berkumandang, biasanya aku sudah selesai mandi. Setelah memastikan anak-anak bangun, mandi, dan sarapan, aku segera berangkat ke stasiun bersama suami. Biasanya aku memilih naik kereta pukul 06.10 supaya tidak terlalu berdesakan. Bila lewat dari itu, siap-siap saja menjadi pindang pepes di dalam gerbong.

Di dalam kereta, biasanya aku membaca zikir pagi dan suamiku mengaji. Waktu di dalam kereta yang acapkali kami lalui dengan berdiri itu sungguh sayang jika dilewatkan dengan bengong begitu saja. Jika dulu aku mencium punggung tangan suami ketika masing-masing dari kami berangkat bekerja, kini rutinitas itu kulakukan di atas commuter line ketika suamiku turun satu stasiun lebih dulu daripada aku.

Pergi Bekerja

Saat ini tempat kerjaku terletak di salah satu gedung pencakar langit di bilangan Thamrin. Setelah naik ke lantai delapan dan menaruh tas di meja kerja, biasanya aku turun lagi untuk menyempatkan jogging di seputaran Monas dua hingga tiga kali dalam seminggu. Jogging pagi selalu membuatku menguap setelah jam sepuluh pagi, tetapi aku tak punya pilihan waktu lain untuk berlari karena sore hari sudah cukup rusuh untuk mengejar kereta kembali ke arah pulang.

Trotoar seputaran Monas yang nyaman buat jogging

Setelah selesai jogging dan mandi, hal wajib yang kulakukan selanjutnya adalah menyeduh kopi di pantry. Sambil menunggu teko air mendidih, aku memandang belantara gedung pencakar langit di depan jendela kaca besar. Pikiranku pun berkelana.

Pemandangan Thamrin dari jendela sebelah pantry

Sembilan belas tahun yang lalu, ketika statusku masih fresh graduate dan tengah berjuang melamar pekerjaan ke sana kemari dengan mengikuti belasan wawancara di ibukota, aku pernah memupuk tekad untuk kelak suatu hari akan menjadi bagian dari para pekerja white collar yang necis, wangi, tampak profesional, dan sibuk berseliweran di bilangan Thamrin-Sudirman. Meskipun tahun-tahun yang berlalu telah membawaku bertualang ke dunia yang berbeda dengan berbagai macam perjalanan, ternyata sampai juga aku di tempat ini.

Saat ini aku bekerja pada suatu direktorat yang mengurusi tentang klirens etik dan perizinan riset. Klirens etik adalah suatu instrumen untuk mengukur keberterimaan secara etik suatu rangkaian proses riset. Klirens etik riset merupakan acuan bagi periset dalam menjunjung tinggi nilai integritas, kejujuran, dan keadilan dalam melakukan riset. Hal ini diperlukan agar periset tidak menemui masalah dalam menjalankan riset dan mempublikasikan hasil risetnya.

Sebagai Ketua Tim pada salah satu bidang klirens etik, tugasku sehari-hari adalah  mengoordinasikan dan memastikan layanan fasilitasi klirens etik berjalan dengan baik. Kami melayani pengajuan usulan klirens etik proposal riset yang dilakukan oleh periset Indonesia dan periset asing yang akan melakukan riset di Indonesia.

Sore dan Malam Hari

Sesampaiku di rumah, biasanya aku beristirahat sebentar sambil bercengkerama dengan anak-anak. Waktu-waktu setelah itu adalah family time. Aku mendampingi anak-anak menyantap makan malam, bermain, belajar, atau menonton televisi.

Peralatan home gym-ku

Waktu selepas petang adalah waktu olahragaku berikutnya, yaitu latihan beban. Alhamdulillah aku memiliki fasilitas home gym yang cukup lengkap untuk ukuran rumah tangga. Supaya terstruktur dan terprogram, aku mengikuti online coaching melalui Lisfit, layanan personal trainer wanita yang sangat memudahkan para perempuan yang susah keluar rumah, untuk tetap sehat dengan berolahraga dari rumah.

Setelah mengantar anak-anak pergi tidur, waktu sebelum tidur kadang kuisi untuk beres-beres, membaca novel, atau menulis. Dengan kegiatan yang melelahkan sepanjang hari, bisa dikatakan kini aku jarang sekali bergadang. Waktu tidur malam menjadi saat yang ditunggu-tunggu karena akhirnya aku bisa meluruskan punggung serta mengistirahatkan fisik dan pikiran.