Friday, February 20, 2009

Koperasi

Dialog I
Seseorang: ”Nggak ikut RAT?”
Aku: ”Enggak.”
Seseorang: ”Kenapa?”
Aku: ”Karena nggak ikutan koperasi.”
Seseorang: ”Iya, maksudnya kenapa nggak ikut koperasi?”
(Aku menunduk sambil tersenyum, menyibukkan diri menggulung kabel, tak ingin melangkah ke perdebatan lebih lanjut.)

Dialog II
Seseorang: ”Ayo, RAT-nya udah dimulai. Nanti biar dapat doorprize, ada macem-macem lho.”
Aku: ”Saya nggak ikut koperasi.”
Seseorang: ”Belum daftar?”
Aku: ”Memang nggak akan daftar kok.”
Seseorang: (dengan wajah dimaklum-maklumkan) ”Oooo...”

Dialog III
Seseorang: ”Kenapa sih nggak ikut koperasi?”
Aku: (diem aja, udah males duluan, nggak pengen berdebat)
Seseorang: ”Padahal manfaatnya banyak lho, sekarang bisa dapet pinjaman dalam jumlah lumayan.”
Aku: (masih diem)
Seseorang: ”Yaa... bukan berarti kalau ikut koperasi lantas jadi tukang minjem sih.”
Aku: (tetep diem, soalnya kalau aku buka mulut nanti pasti jadi berdebat)
Seseorang: ”Harusnya kalau anak baru tuh langsung diwajibkan ikut koperasi.”
(Aku merutuk dalam hati. Sudahlah, hentikan saja obrolan ini, please...)

Dialog IV
Seseorang: ”Tadi datang RAT? Dapet doorprize?”
Aku: (menggeleng)
Seseorang: ”Belum ikut koperasi?”
Aku: ”Nggak ikut.”
Seseorang: (sambil tersenyum) ”Oh, ’nggak ikut’ ya, bukan ’belum ikut’...”

Yak, itulah beberapa dialog yang sempat terlontar padaku saat koperasi kantor mengadakan RAT beberapa waktu lalu. Kalau boleh kutuliskan di sini, alasan kenapa aku memilih untuk tidak terlibat dalam koperasi adalah: menghindarkan diri dari riba. Akui sajalah, sistem keuangan di koperasi kantor masih menggunakan sistem bunga kan?

Aku bukan manusia suci, dan sama sekali tidak bermaksud sok suci. Memang, dalam hidup kita di negara Indonesia tercinta ini, menghindari riba sama sekali adalah sesuatu yang bisa dibilang mustahil. Aku juga nggak munafik, karena aku dan suami juga masih punya cicilan kredit yang mesti dibayar ke bank konvensional—sesuatu yang sekarang aku sesali, kenapa dulu nggak ambil KPR syariah saja.

Tiga tahun lalu, aku mulai menerapkan sistem syariah dalam kehidupanku dengan beralih ke Bank Muamalat. Sampai sekarang, aku coba menerapkannya sedikit demi sedikit dalam tiap sendi kehidupan. Kalau sekarang belum bisa syariah secara total, paling tidak aku sudah berusaha sebisa mungkin menghindari riba.

Seseorang di kantor berkata, ”Saya heran kalau masih ada karyawan yang nggak ikut koperasi. Orang lain pada dapet SHU, dapet snack, dapet doorprize... sementara dia enggak.”

Oh come on, yang benar saja. Masa sih pikiran kita sepicik itu? Hanya demi uang SHU, snack, dan doorprize... masa kita mau melacurkan diri ke dalam sistem riba? Benar-benar nggak worth it.

Aku akui, aku bukan orang kaya. Aku juga tidak bergelimang harta. Kadang-kadang aku juga butuh duit. Tapi kalau hal itu membuatku harus meminjam uang dengan sistem riba, na’udzubillahi min dzalik... mending jadi kere aja ’kalee. Masalah KPR konvensional yang sudah telanjur, biarlah dulu—sambil dicoba sekuat tenaga untuk segera melunasinya. Yang penting ke depan aku nggak akan meminjam uang dengan sistem riba lagi, insya Allah.

Ibarat orang pakai jilbab lah. Kalau memang belum mampu berjilbab, bukan berarti lantas pakai tank top dan celana pendek ke mana-mana bukan? Kalau memang belum mampu berjilbab, bolehlah nyicil pakai celana panjang dulu, pakai baju lengan panjang dulu. Sambil bertahap, nantinya aurat jadi tertutup seluruhnya. Buatku sistem syariah juga harus begitu. Mulailah nabung di Bank Muamalat dulu—di negara ini, bank syariah yang pembiayaannya paling murni syariah hanya bank ini—, lalu pilih KPR syariah, asuransi syariah, investasi syariah, dst. Lambat laun, segala aspek hidup kita nantinya jadi syariah semua. Kalau belum mampu sekaligus, ya pelan-pelan saja dulu. Jangan lantas yang baik ditinggalkan semuanya.

Sayang, tidak semua orang mau dan mampu berpikiran terbuka untuk menerima sistem syariah. Nggak usah jauh-jauh, suamiku sendiri saja susah minta ampun untuk disuruh pindah ke Bank Muamalat. Alasannya macam-macam, mulai dari aksesnya terbatas (nggak bisa internet banking), layanannya sedikit, ribet ini itulah... bla bla bla. Ya memang, bank syariah memang terhitung masih baru, sistemnya sedang bertumbuh. Jadi kalau ada keterbatasan, wajar dong. Kalau bukan muslim sendiri yang memajukan sistem syariah, siapa lagi?

Sekali lagi, kalau kita memang belum mampu menghindar dari riba sepenuhnya, bukan berarti kita lantas tidak berusaha menghindarinya sedikit demi sedikit bukan? Ayolah, masa nggak malu sama Allah kelak kalau ditanya-tanya di akhirat sana? Apalagi para kepala keluarga tuh. Masa perut anak istri mau dikasih makan dari sesuatu yang haram? Na’udzubillahi min dzalik. Semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan pencerahan.

*merindukan-adanya-totalitas-sistem-keuangan-syariah-di-negara-ini mode ON*

4 comments:

  1. ...nabung di Bank Muamalat dulu—di negara ini, bank syariah yang pembiayaannya paling murni syariah hanya bank ini—
    => atas asumsi sendiri ya?? dari sisi sebelah mana disebut murni syariah dan bank syariah lain gk murni syariah?? kan klo mau diliat jangan cuma dari sisi pembiayaannya aja,, tp jg dari sisi modal, SDM, sampe pendanaannya ^_^. ada undang2nya kok dari BI -sebagai bank sentral- setiap lembaga keuangan yang berbasis syariah HARUS memenuhi syarat2 yang ketat untuk menentramkan kita bahwasanya lembaga keuangan tersebut BENAR berbasis syariah. pembahasannya sudah banyak,, bs di-google ;)

    sip lah tentang memasyarakatkan sistem syariah dalam kehidupan sehari-hari. ayo kita dukung bersamaaa!!!

    ReplyDelete
  2. lhoooo citraaaaa...
    asumsi ini justru kudapat dari omonganmu beberapa waktu yang lalu. waktu itu kamu kan bilang kalo yang paling syariah itu bank muamalat dan bank syariah mandiri, cuma saja bsm masih nggak bisa kepisah sepenuhnya dari bank mandiri. maaf deh kalo pengertian yang kutangkap malah salah. maklum, aku kan percaya saja sama lulusan S2 MM unpad, nggak taunya malah jadi salah ya?

    dengan ini, tulisanku diralat. ma kasih.

    ReplyDelete
  3. oh ya?? berarti itu waktu aku masih belum dapet info dan ilmu yang cukup, ato klo gk waktu itu mksdku adalah Bank Umum Syariah-BUS- (karena klo yg lain pada saat itu masih berstatus Unit Usaha Syariah-UUS-, yang berarti masih berada dalam bayang2 induknya, walopun untuk kegiatan operasionalnya gk ada pencampuran antara sistem syariah dan sistem konvensionalnya,, jd gk ada halangan untuk kita semua bertransaksi dengan UUS ini).


    klo gitu aku minta maaf dan meralat deh omonganku yang dulu (sekaligus menegaskan bahwa aku juga masih dalam tahap belajar, dan gelar apapun itu gk menjamin aku langsung bisa menjadi ahli terpercaya dalam bidang tertentu ^.^ *yah walopun akyu berharap nanti bisa jadi seorang ahli sih,, tp untuk saat ini belum laah*)


    ayyoo bersemangatt ;)

    ReplyDelete
  4. Bingung dgn perdebatan kalian berdua hahaha...

    Tapi, aku jg merindukan-adanya-totalitas-sistem-keuangan-syariah-di-negara-ini ^_^

    ReplyDelete