Friday, February 20, 2009

Hanif Beranjak Besar


Di usia Hanif yang ke-8 bulan ini, tingkah polahnya makin menggemaskan. Dia udah makin pinter, makin banyak maunya. Udah bisa bete dan marah-marah. Contohnya ketika Ayah atau Bunda lagi bete, dia ikut bete dan nangis-nangis. Kalau nada bicara Ayah, Bunda, atau si Mbak sedikit meninggi, dia juga udah bisa sedih.

Pernah waktu itu Bunda berseru kaget karena baskom berisi air ditumpahkan setengahnya ke lantai oleh Hanif. Padahal sumpah, Bunda nggak bermaksud marah. Bunda cuma berseru kaget. Tapi tiba-tiba Hanif langsung diem, mukanya sedih. Ketika Bunda mulai mengepel dan merapikan baskom tadi, mukanya masih sedih dan masih diem, nggak nerusin main-main lagi. Mungkin kalau udah bisa ngomong, dia bakal ngomong, ”Maaf, Bunda...” ’kali ya. Aduh Sayang, mana bisa Bunda marah sama kamu.

Hanif juga makin rajin mengeksplorasi sekeliling. Udah ngesot cepet banget ke mana-mana. Jadi, karena dia belum bisa merangkak, kalau ngesot dia pake tangan dan perut. Srutt... srutt... tiba-tiba aja udah ke mana. Hihihi, lucuu... ngejar-ngejar Bunda dan si Mbak juga ngesot gitu.

Soal makan, Hanif juga udah mulai rewel. Udah bisa milih pengen makan yang ini, nggak mau yang itu. Tinggal Bunda yang repot, sibuk putar otak menyusun menu yang kira-kira dia mau, tapi tetep tercukupi asupan gizinya.

Meskipun lagi tidur, Hanif juga udah tahu kalau dia lagi ditemeni atau ditinggal. Kalau ada yang nemenin, terbangunnya dia cuma gulung-gulung bentar lalu tidur lagi. Tapi kalau terbangunnya dia pas lagi sendiri, udah deh... tangisan campur teriakan langsung terdengar, hehehe. Pas lagi main-main sama aja, nggak mau ditinggal juga. Pengennya ditemeni teruss.

Senangnya, celotehnya yang udah mulai terdengar sejak dia usia 2-3 bulan, sekarang udah rame banget! Pagi-pagi kalau dia udah bangun dan Bunda masih tidur, dengan semangat empat lima dia narik-narik selimut Bunda sambil berseru-seru, bangunin Bunda. Kalau ada orang ngobrol di dekatnya, dia ikutan juga. Berseru-seru lagi, seakan dia yang diajak ngobrol. Tapi memang Hanif kayaknya seneng ngobrol. Bunda dan si Mbak sering disapa dengan seruan ”Eehh...” lalu diajak ngobrol rame sama dia, entah pakai bahasa apa, hehehe.

Sore kemarin, ketika Bunda ngajak Hanif bermain-main dan dia sedang terkekeh-kekeh riang, Bunda melihat ada putih-putih samar di dasar gusinya. Yippii, Hanif mau tumbuh gigi! Dua gigi seri bawah, tepatnya. Ah, pangeran kecilku udah beranjak besar. Tetap sehat ya, Sayang...

Facebook = Gaul ??

Dari pengamatan pribadi dan hasil ngobrol sana-sini, aku menyimpulkan kalau sekarang ini ada satu parameter tambahan yang menjadi tolok ukur dikatakannya seseorang sebagai makhluk gaul dan eksis, yaitu: akun Facebook. Di mana-mana, tiap kali ada kenalan baru, kalimat yang terlontar adalah, ”Punya Facebook nggak?” :D

Jadiii... entah karena nggak mau ketinggalan arus lingkungan, atau entah karena sekedar penasaran, berbondong-bondonglah orang mendaftar akun Facebook. Seperti kalimat yang terlontar dari kalimat suamiku minggu lalu, ”Yang, bikinin Facebook dongg...” Hahaha, akhirnya ketularan juga.

Situs ini lebih beracun daripada situs jejaring sosial yang pernah populer sebelumnya, seperti Friendster dan Multiply. Di Facebook, orang akan kecanduan narsisme akut karena keranjingan update status, upload foto, kirim comment, dll. Meskipun harus diakui, sistemnya memang lebih canggih dan bisa membuat jaringan pertemanan menjadi lebih ”hidup”.

Buat aku pribadi, ada kisah tersendiri mengenai Facebook ini. Awalnya aku daftar Facebook demi mengintip status orang-orang tertentu. Biasaaa... buat dijadikan bahan bergosip. Ahahahahaii... Lalu tiba-tiba ada kisah lain lagi, terjadi beberapa waktu yang lalu.

Saat itu, di tempat parkir motor, seorang peneliti senior di kantorku tiba-tiba menghampiriku sambil bilang, ”Eh, kamu yang di Facebook itu ya?”

Alamak jangg... Udah setahun aku bekerja di kantor ini, si bapak itu mengenaliku... dari Facebook!! Tuing tuing... Baru ngeh kalau ada makhluk bernama Yustika ya, Pak? Jadiii... si bapak itu tergolong gaul atau malah nggak gaul ya? Hehehehe.

Ah, dasar teknologi. Ramainya orang punya jejaring sosial maya malah kadang bisa membuat mereka teralienasi dari jejaring sosial yang sesungguhnya. Bukan hal yang susah ditemui sekarang, orang saling mengirim pesan dengan Yahoo Messenger padahal mereka duduk di ruangan yang sama. Atau sibuk ber-HP ria dan mengabaikan kehadiran orang lain di sampingnya.

Hmm, kalau sudah begini, tatap muka dan kopi darat memang harus digalakkan juga, biar seimbang. Beda lah rasanya, mengenal kepribadian seseorang lewat dunia digital dengan mengenal kepribadian mereka lewat rangkulan hangat dan senyum mentari. Kuatir juga, kalau sibuk dengan jejaring sosial yang bejibun lewat komputer... nanti malah jadi autis sama sekeliling. Hiiiii...

Koperasi

Dialog I
Seseorang: ”Nggak ikut RAT?”
Aku: ”Enggak.”
Seseorang: ”Kenapa?”
Aku: ”Karena nggak ikutan koperasi.”
Seseorang: ”Iya, maksudnya kenapa nggak ikut koperasi?”
(Aku menunduk sambil tersenyum, menyibukkan diri menggulung kabel, tak ingin melangkah ke perdebatan lebih lanjut.)

Dialog II
Seseorang: ”Ayo, RAT-nya udah dimulai. Nanti biar dapat doorprize, ada macem-macem lho.”
Aku: ”Saya nggak ikut koperasi.”
Seseorang: ”Belum daftar?”
Aku: ”Memang nggak akan daftar kok.”
Seseorang: (dengan wajah dimaklum-maklumkan) ”Oooo...”

Dialog III
Seseorang: ”Kenapa sih nggak ikut koperasi?”
Aku: (diem aja, udah males duluan, nggak pengen berdebat)
Seseorang: ”Padahal manfaatnya banyak lho, sekarang bisa dapet pinjaman dalam jumlah lumayan.”
Aku: (masih diem)
Seseorang: ”Yaa... bukan berarti kalau ikut koperasi lantas jadi tukang minjem sih.”
Aku: (tetep diem, soalnya kalau aku buka mulut nanti pasti jadi berdebat)
Seseorang: ”Harusnya kalau anak baru tuh langsung diwajibkan ikut koperasi.”
(Aku merutuk dalam hati. Sudahlah, hentikan saja obrolan ini, please...)

Dialog IV
Seseorang: ”Tadi datang RAT? Dapet doorprize?”
Aku: (menggeleng)
Seseorang: ”Belum ikut koperasi?”
Aku: ”Nggak ikut.”
Seseorang: (sambil tersenyum) ”Oh, ’nggak ikut’ ya, bukan ’belum ikut’...”

Yak, itulah beberapa dialog yang sempat terlontar padaku saat koperasi kantor mengadakan RAT beberapa waktu lalu. Kalau boleh kutuliskan di sini, alasan kenapa aku memilih untuk tidak terlibat dalam koperasi adalah: menghindarkan diri dari riba. Akui sajalah, sistem keuangan di koperasi kantor masih menggunakan sistem bunga kan?

Aku bukan manusia suci, dan sama sekali tidak bermaksud sok suci. Memang, dalam hidup kita di negara Indonesia tercinta ini, menghindari riba sama sekali adalah sesuatu yang bisa dibilang mustahil. Aku juga nggak munafik, karena aku dan suami juga masih punya cicilan kredit yang mesti dibayar ke bank konvensional—sesuatu yang sekarang aku sesali, kenapa dulu nggak ambil KPR syariah saja.

Tiga tahun lalu, aku mulai menerapkan sistem syariah dalam kehidupanku dengan beralih ke Bank Muamalat. Sampai sekarang, aku coba menerapkannya sedikit demi sedikit dalam tiap sendi kehidupan. Kalau sekarang belum bisa syariah secara total, paling tidak aku sudah berusaha sebisa mungkin menghindari riba.

Seseorang di kantor berkata, ”Saya heran kalau masih ada karyawan yang nggak ikut koperasi. Orang lain pada dapet SHU, dapet snack, dapet doorprize... sementara dia enggak.”

Oh come on, yang benar saja. Masa sih pikiran kita sepicik itu? Hanya demi uang SHU, snack, dan doorprize... masa kita mau melacurkan diri ke dalam sistem riba? Benar-benar nggak worth it.

Aku akui, aku bukan orang kaya. Aku juga tidak bergelimang harta. Kadang-kadang aku juga butuh duit. Tapi kalau hal itu membuatku harus meminjam uang dengan sistem riba, na’udzubillahi min dzalik... mending jadi kere aja ’kalee. Masalah KPR konvensional yang sudah telanjur, biarlah dulu—sambil dicoba sekuat tenaga untuk segera melunasinya. Yang penting ke depan aku nggak akan meminjam uang dengan sistem riba lagi, insya Allah.

Ibarat orang pakai jilbab lah. Kalau memang belum mampu berjilbab, bukan berarti lantas pakai tank top dan celana pendek ke mana-mana bukan? Kalau memang belum mampu berjilbab, bolehlah nyicil pakai celana panjang dulu, pakai baju lengan panjang dulu. Sambil bertahap, nantinya aurat jadi tertutup seluruhnya. Buatku sistem syariah juga harus begitu. Mulailah nabung di Bank Muamalat dulu—di negara ini, bank syariah yang pembiayaannya paling murni syariah hanya bank ini—, lalu pilih KPR syariah, asuransi syariah, investasi syariah, dst. Lambat laun, segala aspek hidup kita nantinya jadi syariah semua. Kalau belum mampu sekaligus, ya pelan-pelan saja dulu. Jangan lantas yang baik ditinggalkan semuanya.

Sayang, tidak semua orang mau dan mampu berpikiran terbuka untuk menerima sistem syariah. Nggak usah jauh-jauh, suamiku sendiri saja susah minta ampun untuk disuruh pindah ke Bank Muamalat. Alasannya macam-macam, mulai dari aksesnya terbatas (nggak bisa internet banking), layanannya sedikit, ribet ini itulah... bla bla bla. Ya memang, bank syariah memang terhitung masih baru, sistemnya sedang bertumbuh. Jadi kalau ada keterbatasan, wajar dong. Kalau bukan muslim sendiri yang memajukan sistem syariah, siapa lagi?

Sekali lagi, kalau kita memang belum mampu menghindar dari riba sepenuhnya, bukan berarti kita lantas tidak berusaha menghindarinya sedikit demi sedikit bukan? Ayolah, masa nggak malu sama Allah kelak kalau ditanya-tanya di akhirat sana? Apalagi para kepala keluarga tuh. Masa perut anak istri mau dikasih makan dari sesuatu yang haram? Na’udzubillahi min dzalik. Semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan pencerahan.

*merindukan-adanya-totalitas-sistem-keuangan-syariah-di-negara-ini mode ON*

Wednesday, February 11, 2009

Impian


Aku mengenal sosok Adenita pada awal Desember 2005, dalam sebuah training pengembangan diri yang diadakan di Lembang. Dari awal dia sudah terlihat mencolok, karena ketika acara belum dimulai pun dia sudah berkeliling mengajak peserta berkenalan satu-satu, sementara sebagian besar dari kami masih enggan malu-malu berbaur satu sama lain.

Bersama Bikka, dia menjadi bintang dalam training itu. Bukan sesuatu yang aneh, mengingat dia adalah pribadi yang ceria, ramah, dan menyenangkan. Sayang aku tak pernah benar-benar mengenalnya secara dekat. Pertemuan pertama kami berlanjut dengan perpisahan dan hanya saling kontak di dunia maya: milis, multiply dan facebook.

Sampai akhirnya pada akhir 2008, aku mendengar dia berhasil menerbitkan sebuah novel bertajuk 9 Matahari. Rasa penasaran memaksaku menelusuri deretan buku di Gramedia, hingga akhirnya 9 Matahari menemani malam-malamku setelah itu. Sembari menunggu kantuk, berbaring di samping Hanif yang sudah terlelap.

9 Matahari di-launch dan cetak pertama pada November 2008. Lalu cetak kedua pada Desember 2008. Kenyataan bahwa aku menemukannya di rak best seller Gramedia pada Februari 2009 membawaku pada kesadaran bahwa Ade berhasil menorehkan impiannya dengan sangat gemilang. Menurutku ini spektakuler, mengingat 9 Matahari adalah buku pertamanya. Bravo, Ade!

9 Februari 2009, aku memacu motor ke Landmark Braga. Berharap bisa bertemu Ade di sana. Acara bincang-bincang novel 9 Matahari sudah lama mulai, aku terpaksa terlambat karena jam kantor baru saja usai. Senang akhirnya bisa bertemu Ade juga *dan minta tanda tangan! :D*. Dia tampak tak berubah, tetap ceria, ramah, dan menyenangkan. Hanya memang ada beda, saat ini dia sudah berhasil mewujudkan satu impiannya... dan tampak sangat sukses di mataku *oh, seandainya kalian lihat para penggemarnya sibuk mengantri tanda tangan :)*. Ternyata membahagiakan sekali melihat seorang teman berhasil meraih mimpinya. Ada semangat yang ditularkan: kalau Ade bisa, aku juga bisa!

Aku suka menulis sejak aku duduk di bangku SD. Jauh sebelumnya, aku tahu aku sudah jatuh cinta pada dunia ini sejak aku bisa membaca *aku ingat: aku semangat sekali menanti hari Kamis tiba, hari di mana loper koran mengantar majalah Bobo kesayanganku*. Lalu tiba-tiba saja aku keranjingan menulis puisi dan cerita-cerita pendek. Pelajaran mengarang selalu menjadi pelajaran favoritku, dan surat-surat untuk Papi *yang ketika itu sedang studi di Kanada* lantas dipenuhi dengan puisi-puisi.

Menginjak SMP, majalah sekolah tak pernah luput dari hasil karyaku. Sayangnya ketika SMA semua kegiatan menulis sempat terhenti. Ketika kuliah, rasa dahaga akan menulis semakin menjadi. Di unit kerohanian departemen, unit kerohanian kampus, dan unit kegiatan masjid kampus, posisi favorit tak pernah jauh dari posisi penanggung jawab media, editor, atau staf redaksi.

Ketika aku diterima menjadi pegawai negeri, dua pekerjaan lain juga menanti: satu sebagai editor penerbit terkenal di bilangan Ciracas, Jakarta... dan satu sebagai jurnalis di salah satu harian ibukota. Tapi karena waktu itu aku sedang hamil muda, disertai dengan berbagai pertimbangan lain, aku memilih menjadi pegawai negeri saja. Sampai akhirnya kesibukan bekerja dan kesibukan menjadi bunda mengebiri kegiatan menulisku. Ditambah dengan ”kecelakaan” meleduknya power supply PC yang membuat hard disk rusak dan berakibat hilangnya semua arsip tulisanku... lengkap sudah alasan untuk tak lagi menjajal kemampuan menulisku.

Tak dapat kupungkiri, hadirnya 9 Matahari membawa harapan baru bagiku. Yah, ada semacam perasaan tertantang untuk kembali menulis *meskipun selama ini tetep nulis juga sih, lewat blog*. Ditambah juga dengan tawaran dari seorang teman untuk ikut mengelola sebuah klub menulis yang sedang dirintisnya. Masya Allah, Dia menjadikan segalanya bukan kebetulan semata. Mungkin ini semacam pengingatan baru dari-Nya, tentang sebuah kemampuan yang tak pernah benar-benar kugali.

Maka, hari-hariku terasa bersemangat kembali. Thanks Ade, for inspiring me. Bangga benar menjadi temanmu. Keep shining!

Keterangan foto: Adenita (nomor dua dari kanan) saat launching novel 9 Matahari, diambil dari sini.

Tuesday, February 03, 2009

Pernikahan


Pernikahan itu sebuah perjalanan hidup yang teramat panjang... dan terkadang melelahkan. Pernikahan itu bukan sebuah tujuan, melainkan suatu awal. Ada masa di mana pernikahan terasa seperti dongeng yang penuh dengan kidung mesra, tapi biasanya hal itu hanya bertahan dalam waktu kurang dari dua tahun. Selebihnya? Perjuangan panjang untuk saling berlapang dada.

Pasangan kita bukan manusia sempurna, juga keluarganya. Pada masa awal pernikahan, kesadaran akan hal ini berbatas tipis dengan euforia gending pelaminan. Lalu pada saatnya kesadaran itu benar-benar menjadi sebuah kesejatian kesadaran, masya Allah... lagi-lagi sebuah perjuangan panjang untuk berlapang dada. Menerima pasangan kita dan keluarganya sebagai suatu ”paket jadi” memang bukan perkara mudah. Ada kekecewaan, ada keengganan, ada takjub, juga ada syukur.

Satu hal yang sukar dilalui adalah ketika rumput tetangga tampak lebih hijau. Tak selalu memerlukan masa pernikahan yang bertahun-tahun. Tak selalu terjadi pada pasangan berumur. Maka ketika hal itu melanda, tak ada yang bisa dilakukan kecuali mensyukuri apa yang diberikan Allah kepada kita.

Seorang teman berkata, carilah pasangan dengan siapa kita sangat menikmati percakapan. Karena seiring dengan berjalannya waktu, seiring dengan memudarnya cinta, that’s the only thing that matters. Seiring dengan berlalunya tahun, cinta akan berubah menjadi persahabatan. Dan sahabat yang baik juga adalah pendengar yang baik, bukan? Tempat kita mencurahkan segala, mendiskusikan hidup, dan rekan bertukar pikiran. Mungkin tak ada lagi debar-debar kasmaran dengannya seperti dulu, tapi paling tidak kita merasa dia adalah seseorang yang membuat hidup kita lengkap.

Hanya pasangan luar biasa yang bisa mempertahankan percikan asmara itu sampai akhir. Pelukan, belaian, kecupan, dan kalimat ”I love you” mungkin terasa picisan bagi sebagian orang, tapi siapa sangka hal-hal itulah yang membuat bara cinta tak pernah padam, hal-hal itulah yang memberi energi untuk sebuah kehidupan cinta yang menggairahkan. Maka ketika hal-hal itu tak lagi ada, rumah tangga akan kering dan hampa. Rumah tangga menjelma menjadi sebuah rutinitas belaka, yang sangat membosankan untuk diceritakan, apalagi dilakoni.

Dalam sebuah episode kehidupan bernama pernikahan, aku hanyalah seorang pemula. Seorang pemula yang tentu tak bisa mengandalkan keberuntungan belaka (beginner’s luck = keberuntungan pemula). Kalau sampai saat ini aku masih sering terkaget-kaget, mengelus dada, atau menahan rasa, mungkin itu hanyalah permulaan saja. Satu hal yang harus diingat, bahwa pelajaran bersyukur dan berlapang dada ini adalah pelajaran sepanjang hayat, takkan pernah berhenti sampai kita mati.