Friday, January 19, 2007

Suro

[catatan: bacanya sambil mikir jernih ya, sama sekali bukan bermaksud rasis]

Teman: “Mau datang ke nikahan A*** nggak?”
Aku: ”Kapan?”
Teman: ”Hari ****** tanggal **.”
Aku: ”Nikahnya sama gadis Bandung ya?”
Teman: ”Yup.”
Aku: ”Pantesan. Soalnya kalau orang Jawa, nggak mungkin nikah pas Suro.”

Ah, sial. Lama-lama aku jadi teracuni pola pikir orang Jawa yang ”mengharamkan” pernikahan diadakan di bulan Suro, bulan pertama tahun baru Jawa, atau bulan Muharram dalam kalender Islam. Orang Jawa bilang, Suro itu waktunya prihatin, merenung, alias tapa brata. Jadi tidak sepantasnya diadakan pernikahan yang notabene berbau perayaan. Dulu-dulu aku nggak terlalu peduli lho, tapi sekarang kok jadi rada peduli. Mungkin karena sudah menyangkut agenda pribadi yak, kekekekek. Wah, ini rentan kena syirik nih, kalau mikir hari baik dan hari buruk. Ayo pola pikirnya di-reset. Bismillah, lillahi ta’ala.

Anyway, akhir pekan ini sang waktu kembali bergulir. Tahun baru Islam dan tahun baru Jawa sudah di depan mata. Selamat tahun baru untukmu, Teman.

Thursday, January 18, 2007

Selamat Ya, Pi!


...... Terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada isteri saya, Esha Tatti, yang telah mendampingi saya dalam suka dan duka, yang mungkin lebih banyak dukanya, terutama ketika saya belajar di negeri orang. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada ketiga anak saya, Didik Kurniawan, Yustika Kurniati, dan Mayesti Kurnianingtias, yang selalu menjadi motor semangat bagi saya dalam melaksanakan tugas-tugas saya. Kepada isteri dan ketiga anak saya, saya minta maaf atas tersitanya banyak waktu keluarga, yang saya habiskan untuk kegiatan-kegiatan akademis, yang tidak secara langsung berkaitan dengan kesejahteraan keluarga. ......

Kutipan di atas aku ambil dari pidato pengukuhan Papi yang berjudul Peningkatan Kualitas Pembelajaran Matematika melalui Penilaian yang Efektif *aku ambil paragraf yang ada namaku, hihihi*. Sabtu, 6 Januari 2007, Papi dikukuhkan sebagai guru besar bidang Pendidikan Matematika pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. *ini sekaligus juga catatan buat yang selalu menyebut UNS sebagai Universitas Negeri Solo, jadi yang benar adalah Universitas Sebelas Maret yaaa* Aku nggak bisa bilang apa-apa lagi. Bangga banget yang pasti. Sejak aku kecil, Papi udah jadi role model-ku. Sudah bukan rahasia lagi kalau semangat beliau menuntut ilmu selalu bikin aku kagum *soalnya aku males-malesan, hihihi*. Sayangnya, Papi nih kalau udah nyemplung di dunianya, suka nggak inget waktu, nggak inget istirahat. Ngajar di Solo, Yogya, Madiun... mana bisa nggak capek. Udah gitu, suka bolak-balik ke Jakarta buat rapat Tim Ahli Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Depkdiknas *haduuhhh, kalau aku pasti udah pusinggg*. Selamat ya, Pi! Jangan kebanyakan nerima kerjaan supaya nggak stress. Jangan lupa jaga kesehatan, jangan keseringan mondar-mandir ke luar kota. Inget istirahat, diatur makannya, supaya diabetesnya nggak bermasalah. I love you, Papi!

Sunday, January 14, 2007

Dipalak

Satu pengalaman tak terlupakan sewaktu aku di Jakarta adalah pengalaman dipalak di atas bus kota di jalanan Sudirman. Anak laki-laki itu usianya tak lebih tua dari Yesti, adikku. Namun masya Allah, perilakunya sangat tidak sopan. Minta uang dengan sangat memaksa, dengan tingkah polah yang takkan kulupakan sepanjang hidupku.

Aku sadar, aku tipikal orang yang sulit memaafkan. Termasuk memaafkan perilaku anak itu. Ingin rasanya menarik tangannya dan menasehati panjang lebar soal minta-meminta ini. Bukan masalah uangnya yang aku persoalkan, tapi perbuatannya yang bikin aku muak itu. Pasti aku jauh lebih ridha kalau saja dia meminta dengan lebih sopan.

Jadilah, hari demi hari berlalu dengan usahaku mencoba melupakan peristiwa itu. Aku masih saja tak bisa memaafkan, maka aku berusaha melupakan. Apa daya, bila ingatan dipalak itu kembali muncul, gusar dan geram kembali memenuhi dada ini. Lalu aku jadi kesal bukan main. Kenapa ya, aku sulit sekali memaafkan dan mengikhlaskan?

Mungkin ini pengingatan dari Allah supaya aku lebih sering bersedekah. Adakalanya pengingatan tak selalu menyenangkan memang. But still, I really hate the boy’s behavior. You may be forgetten, Boy… but you will never be forgiven *grrrr*.

Rehat


Apa yang kita cari dari hubungan ini? Penyatuan dua jiwa tak hanya butuh sekedar cinta. Cinta saja tidak cukup. Pun juga materi, yang selama ini kau cari.

Ini pembelajaran sepanjang hayat. Masa yang singkat tak memungkinkan kita saling mengerti, saling memahami. Meskipun kita berpura-pura demikian, sang waktu jualah yang akhirnya membuktikan.

Bahwa cinta akhirnya akan memudar, itu pasti. Hanya setia yang akan bawa kita sampai penghujung nanti. Setia yang merasuk sukma dan mendarah daging, hingga cinta menjelma menjadi persahabatan dan ikatan sehidup semati.

Saat ini kita butuh berhenti sejenak. Mata kita buta oleh cinta, dan kadang kita kehilangan arah karenanya. Kita butuh saling mengerti. Kita butuh percaya-mempercayai. Sekira sebentar, moga jenak-jenak ini makin mengekalkan janji dan mimpi kita.

Duka

Kamis, 28 Desember 2006

Pukul empat pagi, telepon rumah berdering-dering. Aku yang setengah bangun hanya mampu menangkap selintas percakapan telepon itu, entah Mami atau Papi yang menerima. Meskipun demikian, jelas tertangkap telingaku bahwa telepon dari rumah sakit itu mengabarkan: Eyang Putri telah berpulang.

Jenazah sampai di rumahku sekira pukul enam. Sejak sebelumnya, orang-orang telah sibuk mempersiapkan segala. Aku sendiri yang mengetik dan mencetak surat lelayu itu. Masih dengan kesadaran yang setengah, tentang perpisahan selamanya dengan sosok terkasih itu.

Eyang Putri kami, yang akrab dipanggil dengan sebutan Mbah Uti, telah lama sakit-sakitan. Rasanya sejak Eyang Kakung berpulang 2004 lalu, kondisi fisik dan psikis Mbah Uti semakin menurun. Sensitif, manja, gampang marah, dan gampang menangis jadi perangainya. Tekanan darah tinggi dan penyakit jantung jadi teman karibnya. Lalu terkena stroke-lah beliau, hingga terpaksa dirawat di rumah sakit akhir November lalu.

Sempat pulang dari rumah sakit selama seminggu, Mbah Uti kembali masuk rumah sakit sepulangku dari Jakarta. Dokter bilang, beliau mengalami kejang otak (cerebral) hingga sebagian otaknya berhenti berfungsi. Syaraf bicara pun rusak, hingga komunikasi hanya dilakoni lewat kontak visual. Pun jua usus (atau lambung?) yang mengalami pendarahan karena tak kuat digempur obat. Masya Allah...

Menjelang kepergiannya, Mbah Uti sangat pendiam. Siapapun tahu betapa sakit fisiknya dengan sakit yang demikian, tapi tak sedikitpun beliau mengeluh. Seolah siap dipanggil pergi, beberapa kali --waktu masih bisa bicara-- beliau berkata melihat mendiang Eyang Kakung menunggui beliau di lorong rumah sakit. Rindu yang tak terperi membuat halusinasi? Atau naluri yang memberi indikasi akan kepergian abadi? Entahlah...

Hari itu pukul satu siang, mobil jenazah menderu melewati jalanan Solo. Aku di dalamnya di samping peti jenazah, menebar bunga mawar sepanjang jalan. Aku mengharu biru, melihat banyaknya pelayat yang hadir dan mengantar ke pemakaman. Keinginan Mbah Uti-lah untuk disemayamkan di rumah Sumber --rumahku, yang jadi rumah duka-- seperti mendiang Eyang Kakung. Biar pelayat yang datang banyak, kata beliau. Maklum, Mbah Uti tinggal bersama keluargaku selama hampir 27 tahun, sejak orang tuaku menikah sampai beberapa bulan lalu. Di bulan-bulan terakhir hidupnya, beliau dipindahkan ke rumah Bulik untuk mengintensifkan perawatan.

Lihat, Mbah Uti. Banyak sekali yang mengantarmu pergi. Banyak sekali yang mengirim doa untukmu. Kataku dalam hati, sepanjang jalan sambil menahan air mata.

Rabu, 10 Januari 2007

Hari telah berganti. Kesibukan itu memang telah berakhir, tapi kini justru datang saat yang menyakitkan. Kekosongan merayap pelan, menghunjam kesadaran semu tentang kehadiran Mbah Uti. Kamar Mbah Uti di rumahku memang telah kosong, tapi melihat barang-barang beliau tergeletak ternyata sangat menyakitkan.

Kadang bila aku lupa, aku berujar, ”Oiya, Mbah Uti kan emang nggak menetap di sini lagi. Tinggal pergi ke rumah Bulik dan aku akan bertemu lagi dengan beliau.” sebelum aku akhirnya sadar bahwa perasaan itu hanya semu belaka. Pergi ke rumah Bulik tak akan mengubah apapun, karena kamar Mbah Uti di sana pun telah ditinggalkan pemiliknya. Kamar yang kosong, dengan kain batik, selimut, dan jaket peninggalan beliau.

28 Desember lalu aku masih kebas, karena perhatianku tersita untuk kesibukan pemakaman dan handai taulan yang berdatangan. Kini semuanya tampak nyata. Kesadaran yang menampar tentang kepergian Mbah Uti membawaku pada rasa sakit yang perih, meninggalkan sebongkah rasa kosong di hatiku.

Adalah beliau, yang selalu menjaga waktu aku kecil ditinggal pergi bekerja oleh kedua orang tuaku. Adalah beliau, yang menemani dan mengantarku tumbuh berkembang sampai dewasa. She was there at the proposal, but she isn’t gonna be there at the wedding. Penyesalanku kini, adalah mengapa tak menghabiskan banyak waktu dengan beliau dan bersabar menghadapi beliau di masa-masa akhir … benar-benar cucu yang tak berbakti…

I love you, Mbah Uti… and I miss you so much