Tuesday, August 29, 2006

Mohon Doa

Sudah lima hari ini aku sedang sakit: pilek dan batuk cukup berat. Padahal sudah mulai ada di Bandung lagi yang sedang dingin-dinginnya ini. Belum lagi beberapa peristiwa terakhir yang menuntut kesabaran untuk menghadapinya.

Jadi, mohon doanya, ya...

Be Grateful

Just because someone doesn't love you the way you want them to, doesn't mean they don't love you with all they have.

Thursday, August 24, 2006

Perjalanan


Foto di samping diambil dari atas mobil yang sedang melaju menyusuri jalur selatan Pulau Jawa, di daerah Sragen, beberapa kilometer selepas perbatasan Jateng-Jatim. Dua pekan ini aku sedang away dari Bandung. Selain memenuhi panggilan Mami untuk pulang, aku juga butuh suasana yang berbeda dari hari-hari di Bandung yang dipenuhi dengan aktivitas melihat lowongan kerja dan mengirimkan beramplop-amplop surat lamaran.

Hanging around di Solo selama dua pekan, cukuplah melepas kangen pada kota kelahiran ini. Ngeluyur ke Solo Grand Mall, dinner berdua di bazaar makanan di lantai atap Pusat Grosir Solo, jajan di warung srabi dan warung lesehan, beli nasi di gerobak hik, 17-an Agustus di kampung, jalan-jalan pake bus kota dan angkot, sepedaan lewat areal persawahan, sampe renang di Tirtomoyo Jebres. Wuihh, benar-benar romantika...

Selain menikmati suasana, aku juga mengunjungi saudara dan teman yang selama ini terpisah jarak. Yang pertama tentu main ke rumah Rafa sekalian jenguk Mbah Putri. Trus main ke rumah Paklik Bin dekat lapangan Sumber. Tak lupa bantuin arisan di rumah Bulik Titik sekalian ketemu Bulik Anik. Trus main ke Ngawi untuk sowan ke Mbah Putri Ngawi dan ketemu saudara-saudara di sana, sekalian main ke rumah Fatma di dekat alun-alun kota. Yang terakhir, ketemu Lik Wiwin dan Rere.

Sayangnya, keberadaanku di Solo bikin aku meninggalkan sanggar senam aerobik di Bandung. Duh, badan udah mulai pegal-pegal, kangen sama senam. Belum lagi badan yang jadi rada melar karena di Solo cuma makan-tidur, makan-tidur :p

Yup, status sebagai pengangguran emang indah. Bebas nglakuin apa aja, bebas ke mana aja... Kapan-kapan aku pengen jalan-jalan ke mana lagi gitu ah. Mumpung belum kerja.

Pembuktian

You don’t have to prove anything to anyone.

Kalimat itu kudapat ketika ikut training Siaware Desember tahun lalu. Pelajaran yang penting dan benar-benar bikin merenung. Sebuah kesadaran yang menghentak bahwa hidup adalah milik kita sendiri, bukan milik orang lain. Belajar untuk berkata ”stop” atau ”tidak” terhadap orang-orang yang bersikap tidak menyenangkan terhadap kita. Berusaha untuk lepas dari kendali orang lain terhadap hidup kita. Ini hidup kita, maka kita yang mengendalikan. Bukan orang lain.

Selama hidupku, aku selalu merasa harus membuktikan sesuatu. Bukan keinginanku, tentu saja. Sejak SD, tiap kali menerima rapor aku selalu deg-degan. Aku merasa harus membuktikan pada orang tua bahwa aku selalu bisa menjadi nomor satu. Mereka nggak pernah marah atau menuntut secara eksplisit sih, hanya saja kultur di keluarga membuatku merasa seperti itu. Terus berlanjut sampai SMP dan SMU. Parahnya lagi, tiba-tiba tuntutan datang juga dari guru-guru. Kalimat-kalimat seperti ”Wong bapaknya dosen matematika kok gitu aja nggak bisa” atau ”Wong ibunya guru matematika kok gitu aja nggak bisa” mulai sering terdengar.

Sempat merasa sangat letih, aku masih ingat ketika kelas dua SMU aku berdoa agar diberi kapasitas intelektual yang biasa-biasa saja, supaya orang tidak menaruh harapan yang terlalu tinggi kepadaku. Belakangan doa ini dikabulkan Allah ketika aku kuliah :p Tapi tuntutan ternyata tidak berhenti, mengingat seakan di jidatku tertempel label ITB. Maka hidup pun berlanjut dengan segepok pembuktian-pembuktian yang jelas sangat tidak menyenangkan.

You were born with all your baggage.

Itu kata Oprah di salah satu show-nya. Aku tahu. Tapi tetap saja tidak menyenangkan ketika pilihan-pilihan dalam hidup kita dibuat oleh orang lain tanpa mempertimbangkan perasaan kita, semata-mata atas nama kebaikan (entah kebaikan menurut siapa). Rasanya seperti beban yang bertambah-tambah. Seperti ketika Mami tidak mengizinkanku ikut kelas karate waktu SMP, atau ikut kelompok pecinta alam waktu SMU, atau yang terbaru tempo hari, ketika Mami dan Papi tidak menyetujui kepergianku ke Cibitung untuk memenuhi panggilan tes kerja di salah satu industri manufaktur di sana. Padahal aku udah 24 tahun. Katanya udah disuruh mandiri, tapi kok nggak boleh memutuskan hidupku sendiri. Aneh. Untung aja masalah pasangan hidup nggak ikut dipilihkan oleh mereka.

Nah, tentang masalah pekerjaan sendiri, banyak pendapat yang serasa dipaksakan. Mami pengen aku kerja kantoran yang indoor dan di depan komputer karena Mami ngrasa itu lebih pantas buat perempuan, daripada harus di lapangan. Papi nggak pengen aku punya pekerjaan yang eight to five biar nggak terlalu banyak ninggalin rumah. Bapak pengen aku kerja dulu sebelum menikah. Mas Catur pengen aku kerja di Jakarta. Coba, masalah pekerjaan aja, banyak keinginan yang minta diakomodir. Tinggal aku yang pusing. Kapan aku bisa benar-benar menjalankan kehidupan yang aku inginkan?

Sekali lagi, ini bukan hanya masalah boleh atau tidak boleh. Lebih besar dari itu, ini adalah mengenai hidup kita yang diputuskan dan dikendalikan oleh orang lain. Ini tentang self esteem dan self dignity. Tidak heran kenapa aku punya kepercayaan diri yang begitu rendah. Siaware menamparku dengan kenyataan yang tidak pernah benar-benar kusadari sebelumnya, bahwa akar permasalahanku dalam memandang hidup berkaitan dengan hubunganku dengan orang tua dan orang-orang terdekat.

Kutipan kalimat dari program Mind, Body, and Soul di Metro TV Sabtu kemarin juga sedikit menamparku, tentang menghargai diri sendiri karena diri kita unik dan tiada duanya. Membandingkan diri dengan orang lain dan sibuk menilai orang lain hanya membuang energi dan waktu. Alih-alih demikian, ”Stay focus on your dreams. Stay focus on your goals of life. Don’t let anyone interfere with your dreams.

So, I don’t have to prove anything to anyone, right? I wish I could.

[Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengeluh. I have a beautiful life and I never regret it. Hanya bertanya-tanya, apakah banyak orang merasakan hal yang sama.]

Ke Dufan


Foto ini diambil oleh Mas Catur sesaat sebelum naik wahana halilintar di Dufan. Sabtu, 5 Agustus lalu, kami main ke Dufan untuk pertama kalinya. Naik mobil senggol, kincir angin, kora-kora, halilintar, dan pontang-panting.

It was lots of fun. Meski cerahnya Jakarta membuat kami kepanasan, pengalaman masuk Dufan pertama kali ini menyisakan kenangan tersendiri. Termasuk mabok --pusing dan hampir muntah-- setelah turun dari pontang-panting :p

Weekend yang sangat menyenangkan (ma kasih ya, Mas...).

Thursday, August 17, 2006

Pilihan dan Kesempatan


Ketika kita berada di tempat yang tepat pada saat yang tepat, itulah KESEMPATAN.

Ketika kita bertemu dengan seseorang yang membuat kita tertarik, itu bukan pilihan. Itu suatu KESEMPATAN.

Bertemu dalam suatu peristiwa bukanlah pilihan, itu adalah KESEMPATAN.

Bila kita kemudian memutuskan untuk mencintai orang tersebut, bahkan dengan segala kekurangannya, itu bukan kesempatan, itu adalah PILIHAN.

Ketika kita memilih untuk bersama dengan seseorang walau apapun yang terjadi, itu adalah suatu PILIHAN.

Bahkan ketika kita menyadari bahwa masih banyak orang lain yang lebih menarik, lebih pandai, lebih kaya daripada pasangan pilihan kita, dan tetap memilih untuk terus mencintainya, itulah PILIHAN.

Perasaan cinta, simpati, tertarik, datang bagaikan kesempatan kepada kita. Tetapi sesungguhnya cinta sejati yang abadi adalah suatu PILIHAN. Pilihan yang kita lakukan.

Berbicara tentang pasangan jiwa, ada suatu kutipan dari film yang mungkin sangat tepat: ”Nasib membawa kita bersama, tetapi tetap bergantung pada kita bagaimana membuat segalanya berhasil.”

Pasangan jiwa bisa benar-benar ada. Dan bahkan sangat mungkin ada seseorang yang diciptakan hanya untukmu. Tetapi tetap berpulang kepada dirimu untuk melakukan PILIHAN apakah engkau ingin melakukan sesuatu untuk mendapatkannya, atau tidak.

Kita mungkin secara kebetulan bertemu pasangan jiwa kita, tetapi mencintainya dan tetap bersama pasangan jiwa kita adalah PILIHAN yang harus kita lakukan.

Kita ada di dunia ini bukan untuk mencari seseorang yang sempurna untuk dapat kita cintai, tetapi... untuk BELAJAR mencintai orang yang tidak sempurna dengan CARA YANG SEMPURNA.

[dikutip dari mailist]

Keinginan

Di postingan yang lalu, aku nulis tentang betapa aku enggak punya keinginan. Hmmm, dahsyat ya, betapa asa yang meredup kadang bisa membunuh semangat hidup seseorang. Aku sebenarnya enggak pengen kayak gitu. You see, dari dulu aku selalu berpendapat kalau orang yang nggak punya harapan (dan itu berarti keinginan) tidak sepantasnya hidup. Buat apa hidup kalau enggak punya harapan? Harapanlah yang membuat kita terus hidup. Ini kalimat favorit yang kukutip dari kata-kata Anne Frank. Malu enggak sama dia? Di tengah-tengah gelombang holocaust-nya Hitler, anak sekecil dia mampu memandang hidup dengan bijak. Mampu menjaga semangat bertahan hidup meski enggak tahu apakah bisa menghirup udara esok hari. Pengen punya semangat hidup seperti itu, yang bisa melecut kita untuk terus berbuat, untuk terus berkarya.

Maka sekarang aku ingin merumuskan beberapa keinginan yang dimulai dari sekeping asa tentang penghidupan dan kehidupan yang lebih baik.

Aku ingin menikah. Meski visi misiku tentang pernikahan nggak bisa kutuangkan di sini (it’s too personal), aku benar-benar ingin menikah. Kadang memang gamang. Kadang aku merasa ketakutanku melebihi kewajaran. Lalu sambil mencari-cari justifikasi, aku membela kegamangan dengan sukarela. Bodoh memang. Tapi aku rasa itu cuma bagian dari kepribadian melankolisku yang selalu pesimis dan khawatir berlebihan.

Aku ingin punya rumah mungil yang bersih dan indah, dengan tiga anak yang lucu-lucu, shalih dan shalihah. Aku ingin punya pekerjaan yang tidak mengharuskanku banyak meninggalkan rumah, yang bisa membuatku leluasa menyambut suami dan anak-anak kala mereka pulang dari kantor atau sekolah. Di rumah itu nantinya, aku ingin punya taman bunga (melati dan mawar harus ada!) dan halaman belakang tempat anak-anak berkejaran dan bermain bola atau bermain layang-layang bersama ayahnya.

Aku ingin terus menulis. Meski saat ini aku belum menghasilkan sesuatu yang berarti, aku tahu aku tak bisa berhenti. Menulis membuatku damai. Menulis membuatku merasakan banyak hal. Enggak tahu pengen nulis apa, pokoknya aku pengen terus menulis. Yang enggak penting pun jadilah, siapa tahu dari yang enggak penting itu, muncul sesuatu yang berarti.

Baru sekelumit keinginan. Masih akan menyusul yang lain. Teruslah berharap, teruslah bermimpi... karena harapan selalu ada bagi mereka yang selalu mencari.

Posesif

Uughh! Pengen misuh-misuh. Rasanya pengennn banget marah. Enggak tahu kenapa rasanya full of anger gini. Keterlaluan! Kenapa sih dia nggak bisa ngerti???

Kalau ada yang bisa ditonjok, dibanting, diinjek, dipukul, ditendang... kayaknya lumayan bisa bikin lega.

Gw marahhhhhh.... dan gw pengenn nangissss...

Paranoid


Entah kenapa hari-hari ini rasanya malessss banget. Mau ngapa-ngapain males. Tiap hari melototin jobsdb.com dan karir.com, lama-lama jengah juga. Pengen ngelakuin sesuatu yang bisa nambah semangat, tapi nggak tahu apa.

Dunia kerja serasa masih jauuuhhhh banget jaraknya. Nggak kebayang sama sekali. Jadi inget Maya yang berkeluh, ”Kok males kerja yaaa...” padahal dia udah keterima di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Huaaaahhhh... masih pengen bermalas-malasan di kost. Melakukan sesuatu yang disuka: bangun siang-siang, mandi siang-siang (gila, Bandung belakangan ini kok jadi dingin banget!), makan nggak teratur, ngemil suka-suka, baca buku dan koran sampai belekan, chatting dan browsing sampai mata pedes, tidur sampai mata berkantung saking lamanya, huehehehe... Aduh, mana bisa ritme hidup sedemikian indah seperti itu kalau udah kerja.

Selain itu, Sodara-Sodara... kayaknya kemalasan psikis berbuntut pula ke fisik. Gara-gara males makan, lama-lama lihat makanan aja udah pengen muntah. Ini gara-gara males makan doang, atau karena diet yang kebablasan ya? Sekarang lihat mie ayam, coklat, atau es durian juga enggak selera. Heran bangettt... Bingung... Seumur-umur, baru kali ini aku males banget makan. Alhasil, badan juga jadi lemes. Senam aja sekarang gampang ngos-ngosan, padahal biasanya sampai BL dan pendinginan pun aku masih oke-oke aja. Duh, apa yang terjadi...

Gamang, gamang, gamang. Menatap semuanya jadi gamang. Jujur aja pengen rasanya punya gairah dan motivasi untuk melakukan sesuatu. Tapi belakangan ini semua keinginan tampak menguap. Yang tersisa cuma males. Enggak tahu lagi sekarang, sebenarnya keinginanku apa. Kerja aja juga nggak tahu pengen kerja apa.

Menikah? Hmmmm, jadi gamang banget. Apa sih menikah? Buat apa orang menikah? Apa tujuan orang menikah? Kenapa orang menikah? Karena cinta? Kalau iya, makan aja tuh cinta. Cinta bikin kenyang nggak sampai tujuh turunan? Menikah... sama dengan mencintai satu orang aja selama sisa hidup kita? Bisa nggak? Tahan nggak hidup sama orang itu sampai akhir hayat?

Huaaahhhh, enggak tahu kenapa aku jadi nulis kayak gini. Lama-lama rasanya jadi paranoid...