Tuesday, August 24, 2010

Aku, Hanif, dan Minat Baca

Sejak aku kecil, membaca sudah menjadi duniaku. Aku tak ingat persisnya mulai usia berapa aku gemar membaca. Yang aku ingat, masa kecilku kuhabiskan dengan menekuri lembar demi lembar majalah Bobo; komik bergambar macam Nina, Tintin, Asterix, atau Steven Sterk; komik Jepang semisal Candy Candy, Pansy, Mari-chan, atau Doraemon; novel seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, Stop, atau Malory Towers; bahkan novel detektif karya Agatha Christie. Begitu senangnya aku membaca, hingga pergi ke toko buku atau tempat persewaan buku menjadi suatu agenda mingguan yang menyenangkan.

Aku masih ingat, semasa aku SD, perpustakaan tak pernah luput dari kunjunganku. Penjaga perpustakaan sampai hafal. Rajin sekali aku meminjam buku-buku di sana di mana sebagian besar koleksinya waktu itu masih didominasi oleh buku-buku terbitan Balai Pustaka.

Aku tak tahu mengapa minat bacaku waktu itu tumbuh dengan pesat bagai tanaman di atas sebidang lahan subur. Mungkin karena orang tuaku sering membelikan buku dan menyediakan aneka bacaan di rumah. Atau mungkin karena terinspirasi oleh Papi yang kelihatannya juga gemar membaca. Atau mungkin karena lingkungan teman di rumah dan sekolah yang sama-sama suka membaca.

Beranjak dewasa, aku lebih dari sadar bahwa buku adalah jendela dunia. Aku pernah menjadi salah satu kandidat terbaik dalam seleksi yang diadakan oleh sebuah kantor surat kabar di Jakarta ketika mereka mencari calon wartawan baru. Pertanyaan dan tes yang diajukan seputar pengetahuan umum. Aku yakin itu antara lain karena aku sejak dulu suka sekali membaca rubrik pengetahuan di majalah Bobo, lalu ketika remaja aku mulai suka membaca koran dan melihat berita di televisi.

Aku prihatin dengan minat baca masyarakat Indonesia yang masih terbilang minim. Terjadi lompatan budaya yang tidak semestinya, dari budaya-dengar (audio) langsung ke budaya-lihat (visual). Itulah mengapa televisi menjadi penghibur rakyat nomer satu, sementara di sisi lain stasiun televisi masa kini lebih banyak menyajikan tayangan sampah *pasang jempol besar-besar bagi stasiun yang tidak.

Setelah budaya-dengar, seharusnya kita masuk pada budaya-baca. Ini yang terjadi di negara-negara Barat di mana minat baca mereka begitu tinggi. Lah orang-orang kita, belum masuk ke budaya-baca malah langsung lompat ke budaya-lihat. Akibatnya, susah sekali menumbuhkan minta baca anak-anak yang sudah telanjur jatuh hati pada televisi.

Anak yang minat bacanya tinggi cenderung lebih gampang menerima informasi. Tentu pengetahuan mereka juga lebih banyak. Untuk menulis, mereka tidak akan menemui kesulitan yang berarti karena perbendaharaan kata sudah beragam. Bahkan aku pernah membaca—entah di mana aku lupa, anak yang suka membaca lebih pandai dan lebih kritis, terutama dalam diskusi, dibanding dengan yang tidak suka membaca.

Karena menyadari hal-hal tersebut di atas, aku bertekad ingin selalu menimbulkan minat baca pada anak. Eksperimen pertama kulakukan pada adik: apa benar usaha membombardir anak dengan buku akan bisa menjadikan anak suka membaca?

Sejak adikku berusia tujuh tahun, aku selalu rutin menghadiahinya buku ketika dia berulang tahun. Mulai dari buku bergambar sampai akhirnya novel tebal ketika dia sudah beranjak remaja. Ternyata benar, dia tumbuh menjadi seseorang yang gemar membaca. Waktu aku kuliah, masa-masa mudik selalu kuisi dengan agenda pergi ke toko buku bersamanya. Dia sudah berhasil menamatkan novel Harry Potter yang setebal bantal dalam waktu dua hari ketika ia belum lagi lulus SD. Lalu ketika SMP, dia mulai suka membaca koran. Pengetahuannya bertambah, kemampuan menulisnya juga bertambah. Dan aku tak bisa lebih bangga, dia masuk dalam jajaran anak-anak pintar di kelasnya.

Eksperimen kedua kulakukan pada Hanif :)

Well, ini sebenarnya bukan lagi eksperimen, melainkan suatu tindakan yang didasarkan pada kesadaran nyata tentang pentingnya menumbuhkan minat baca pada anak. Sejak Hanif berusia enam bulan, ia mulai rutin kubelikan buku. Mulai dari softbook, boardbook, sampai buku-buku bergambar yang lebih beraneka ragam. Aku dan pengasuhnya sering mengadakan sesi-baca-buku. Di usia Hanif yang dua tahun sekarang ini, dia sudah mulai bisa memahami jalan cerita. Maka biasanya setelah bercerita, kami mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan untuk menguji seberapa jauh pemahamannya. Atau kadang-kadang kami menyuruhnya bercerita dengan kalimatnya sendiri.

Aku rasa kebiasaan membaca sudah mulai menjadi kebiasaan yang tertanam pada diri Hanif. Sebelum tidur, sesaat sebelum naik ke tempat tidur, dia akan memastikan barang-barang favoritnya sudah dibawa serta: mobil-mobilan favoritnya, dan tentu saja: buku pilihannya untuk malam itu. Dengan gembira dia akan membuka-buka buku lalu bercerita tentang halaman tertentu dengan antusias—tentu dengan bahasanya sendiri. Jika minta dibacakan, dia akan duduk manis di pangkuanku setelah sebelumnya menyodorkan buku padaku. Hmm, buah dari usahaku selama ini demi menjadikannya anak yang suka membaca, alhamdulillah sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit.

Tapi perjalanan ini masih panjang. Masih jauh dari berpuas diri. Untuk tumbuh-kembang-minat-baca ini aku tetap optimis bisa. Insya Allah ingin membuat perpustakaan kecil-kecilan di rumah dalam rangka mendukungnya. Nah, untuk tumbuh-kembang aspek yang lain, aku masih belajar :)

Yosh, parenting is really never easy, yet it’s so exciting.

Friday, July 23, 2010

Rumah Mungil Kami

Setelah melalui pemikiran panjang selama berbulan-bulan—hampir dua tahun, akhirnya tibalah kami pada keputusan itu: menjual rumah mungil kami di Cikarang. Memang sejak aku pindah menetap di Bandung, ada selintas pertimbangan untuk mengontrakkan rumah itu, mengingat suami bekerja di Jakarta dan terlalu capek kalau harus pulang-pergi setiap hari. Hanya saja, rasanya terlalu sayang mengalihkannya ke orang lain. Bagaimana kalau orang itu tak mau merawat rumah kami dengan baik? Khawatir malah jadi rusak. Juga masih terlalu sayang membayangkan kami (terutama aku) tak bisa mengunjunginya kembali sewaktu-waktu kalau ia sudah ditempati orang lain.

How can I not love that house much? Ialah istana pertama kami yang dibeli dengan keringat sendiri, tempat kami menguntai harapan di masa awal pernikahan. Rumah itu betul-betul penuh kenangan. Dapurnya yang berlantai keramik merah marun adalah tempatku belajar meracik masakan untuk suami, ruang tengahnya yang putih adalah tempat kami menghabiskan malam dengan berbincang dan menonton televisi, taman depannya adalah arena kencan kami lewat kegiatan berkebun dan menanam bunga, kain gordennya yang berwarna-warni adalah gorden yang kupilih dengan sepenuh hati. Duh, kangen sekali aku pada rumah itu.

Lingkungan kompleks juga mantap benar. Keamanan sangat terjamin karena sistemnya cluster dengan satu pintu yang dijaga oleh satpam 24 jam, dan mereka tak henti berkeliling kompleks melakukan patroli. Dengan model rumah tanpa pagar, sistem ini sangat aman untuk meletakkan mobil dan motor di luar.

Di dalam kompleks juga terdapat deretan ruko yang sangat lengkap. Mau cari apa saja, pasti ada. Mulai dari toko kelontong (menjual sayur, buah, daging, dan ikan segar), mini market (ada Alfamart, Indomaret, dan satu mini market pribadi), salon, toko alat tulis, bengkel, play group, warung nasi, kedai makan, restoran Padang, toko-toko kudapan, dan masih banyak lagi. Persisnya ada tiga deret ruko yang berjajar membelah kompleks di jalan utama, dengan tiap deret terdiri atas lebih dari sepuluh toko.

Jalan-jalan kompleks diaspal mulus dengan hot mix dan dinaungi oleh pepohonan, dan dilengkapi dengan jogging track di sepanjang pinggirnya. Meski jalanan besar dan mulus, tak banyak kendaraan lalu lalang, sehingga sangat ideal untuk sekedar jalan-jalan pagi dan sore. Ideal bagi anak-anak untuk bermain bola, bersepeda ke sana kemari, bermain sepatu roda, atau sekedar bercengkerama bersama teman-teman. Ah, betapa idealnya kompleks ini untuk tumbuh kembang anak.

Kini dengan keputusan mantap, suamiku berniat menjual rumah itu. Tak dapat kupungkiri, keputusan ini diambil dengan berat hati. Segala kerepotan mengurus dua rumah antara Bandung-Jakarta dan kerepotan bolak-balik tiap hari antara Cikarang-Jakarta, akhirnya “memaksa” kami mempertimbangkan keputusan ini. Berat memang, karena hati kami sudah terpaut di sana. We’re gonna miss it so much.

Tulisan terkait tentang kenangan kehidupan di rumah Cikarang:

Tuesday, June 29, 2010

Korespondensi Lanjutan dengan dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine

Pada 21 Juni 2010, aku mengirim e-mail lagi demi memuaskan pertanyaan yang masih menggelitik rasa penasaran.

Terima kasih, Dok. Anda baik sekali mau menjawab pertanyaan2 saya. Tapi saya masih ada pertanyaan lanjutan, tolong diberi pencerahan lagi ya.

Pada jawaban dokter:
4. Apa betul saya tidak boleh senam aerobik lagi?
===>Skoliosis pada kurva14 derajat silakan saja. Bahkan kalau Anda juga seorang atlit penerjun payung sekalipun, saya rasa tidak ada alasan untuk menghentikan kegiatan tersebut. Asal Anda tau bahwa potensi penambahan kurva akan lebih besar bila Anda tidak melakukan aktifitas tsb diatas.

Nah, bagaimana saya tahu kalau senam aerobik "aman" untuk saya? Bagaimana saya tahu kalau kegiatan2 saya tidak akan menambah kurva menjadi lebih besar? Masa saya harus coba2? Apa rekomendasi dokter: terus senam atau sebaiknya berhenti saja (mana yang lebih baik)?

1. Apakah derajat yang baru 14 derajat masih bisa dikoreksi?
===> Tergantung umur, kekakuan, dan kepentingannya. Maksud saya kepentingannnya adalah seberapa penting kita perlu membuat kurva yang 14 derajat menjadi nol derajat. Literatur mengatakan kurva 14 derajat seharusnya tidak memberikan keluhan apapun. Bila ditemukan adanya keluhan maka keluhan itu dipastikan bukan karena skoliosisnya.

Keluhan saya berupa pegal dan nyeri punggung sebelah kanan, Dok. Celana sebelah kiri juga jadi lebih pendek. Kalau bukan karena skoliosis, jadi karena apa dong?

Terima kasih sekali lagi. Dijawab ya, Dok.

Berikut balasan dari dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine pada 28 Juni 2010.

Nah, bagaimana saya tahu kalau senam aerobik "aman" untuk saya? Bagaimana saya tahu kalau kegiatan2 saya tidak akan menambah kurva menjadi lebih besar? Masa saya harus coba2? Apa rekomendasi dokter: terus senam atau sebaiknya berhenti saja (mana yang lebih baik)?
===> Ya.. saya merekomendasikan Anda tetap beraktifitas spt biasa jadi lakukanlah senam dst spt yang sekarang anda kerjakan. Dan jangan lupa Anda harus mengevaluasi skoliosis anda setiap 6 bulan. Bila dari evaluasi ada penambahan yang signifikan maka disinilah kita mulai berfikir untuk melakukan pilihan apakah akan mengubah kegiatan dst. Seharusnya sikap ini tidak menjadi beban buat Anda.

Keluhan saya berupa pegal dan nyeri punggung sebelah kanan, Dok. Celana sebelah kiri juga jadi lebih pendek. Kalau bukan karena skoliosis, jadi karena apa dong?
===> untuk menjawab ini perlu pemeriksaan yang teliti. Pegal dan nyeri dipunggung dst... masih bisa disebabkan oleh yang lain misalnya infeksi, peradangan non infeksi, penyakit degeneratif dsb. Perlu pemeriksaan yang teliti mengenai ini. Faktor lain yang perlu dicermati adalah kadangkala diagnosis yang tidak akurat dst.

mudah2an bisa mencerahkan Anda

Rahyussalim

Friday, June 25, 2010

Konsultasi dengan dr. Husodo Dewo Adi, SpOT, K-Spine: My Third Opinion

Dalam rangka mencari opini lanjutan dari sebanyak-banyak ahli tentang skoliosisku, pada 22 Juni 2010 aku berangkat ke RS Halmahera untuk berkonsultasi dengan dr. Husodo Dewo Adi, SpOT, K-Spine. Beliau ini seorang ahli medis mengenai tulang belakang di Bandung yang direkomendasikan oleh seorang teman.

Aku tak tahu kalau pendaftaran bisa dilakukan lewat telepon. Alhasil ketika aku sampai pukul 17.15, aku mendapat nomer antrian 8 padahal praktek baru saja dimulai. Sambil menunggu dipanggil, aku memperhatikan pasien-pasien yang datang. Durasi mereka berada di dalam ruang praktek rata-rata memakan waktu cukup lama. Aku berharap hal ini berarti dokternya memberikan waktu sebanyak-banyaknya untuk observasi pasien dan berkenan memberikan waktu tanya-jawab yang memuaskan.

Setelah menunggu hampir dua jam, pukul 19.10 aku dipanggil. Dugaanku tak meleset. Dari pengamatan sepintas ketika dr. Husodo Dewo Adi, SpOT, K-Spine mengantar pasien-sebelumku ke pintu, aku langsung tahu bahwa beliau betul-betul enak dijadikan tempat berkonsultasi.

Dengan ramah beliau menyambut diriku yang langsung mengangsurkan hasil rontgen sambil berkata, “Apa yang bisa Dokter ceritakan dari hasil rontgen ini?”

Dengan detil beliau menjelaskan foto-foto itu sambil memberiku kesempatan bertanya. Ketika beliau merasa sudah cukup menjelaskan dan memasukkan kembali foto-foto itu ke dalam amplopnya, kemudian demi melihatku yang masih terus menanyakan beberapa pertanyaan lanjutan, dengan rela beliau mengeluarkan foto-foto dan kembali menjelaskan. Ah, baiknya. Penjelasan yang sangat simpatik.

Terlepas dari pribadi sang dokter yang menyenangkan, berikut ini kesimpulan yang kudapatkan dari sesi konsultasi ini.
  • Senada dengan dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine, pada dasarnya beliau mengatakan bahwa derajat skoliosisku masih ringan dan tidak perlu membatasi gerakan. “Semuanya normal, hanya ada sedikit lengkungan,” begitu kata beliau.
  • Tulang dan persendianku bagus, alhamdulillah.
  • Mendekati umur tiga puluh tahun, mungkin elastisitas otot di area tulang belakang agak berkurang. Ditambah dengan persendian tulang belakang yang sering berbenturan akibat gerakan senam yang rutin, bisa menyebabkan pegal di daerah punggung. Untuk itu beliau menyarankan aku mengurangi frekuensi senam aerobik dan menambah frekuensi berenang dan senam fisioterapi.
  • Aku masih boleh senam aerobik (“Kenapa tidak?” kata beliau) tetapi harus diimbangi dengan berenang dan senam fisioterapi, plus mencoba olahraga lain (misal: jogging, voli) agar olah tubuhku tidak melulu senam aerobik.
  • Senada dengan dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine lagi, boleh-boleh saja aku melakukan yoga karena itu sesungguhnya untuk melatih teknik pernapasan dan boleh-boleh saja aku mencoba chiropractic karena itu sesungguhnya hanya terapi untuk meredakan keluhan nyeri punggung.
  • Tas ransel lebih baik daripada tas selempang atau tas wanita yang kebanyakan disandang hanya di sebelah tubuh.
  • Aku harus datang dua bulan lagi untuk kontrol.

Tak terasa hampir lima belas menit aku di dalam. Beginilah sikap dokter yang aku cari: komunikatif, bersedia menjelaskan dengan baik, membuka diri untuk segala pertanyaan, dan memberi kesempatan untuk bertanya sebanyak-banyaknya—sampai-sampai aku kehabisan pertanyaan, hehehe.

Ternyata beliau kenal dengan dr. F (baca di sini), dan mengatakan memang ada sedikit beda pandangan dengan dr. F mengenai apakah aku masih boleh senam aerobik atau tidak. Yah, untunglah sejauh ini dua dari tiga dokter yang kutanyai mengatakan aku masih boleh senam. Jadi, aku akan terus senam, alhamdulillah. Yes, I’m back on stage!

Benang merah dari ketiga dokter itu adalah: bahwa aku harus melakukan evaluasi berkala untuk mengetahui progresivitas kurva kelengkungan tulang belakangku pada masa-masa selanjutnya. Memang harus disadari, penyakit ini bukan sekedar penyakit seperti flu, melainkan suatu kelainan yang melekat seumur hidup. Menjadikan tulang belakangku kembali lurus adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin. Yang bisa dilakukan hanyalah menjaganya supaya tidak bertambah lengkung lagi. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Korespondensi dengan dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine: My Second Opinion

stress tidak akan memperbaiki keadaan skoliosis bahkan menambah beban. (tulis dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine di sini)

Setelah bergabung dengan Masyarakat Skoliosis Indonesia dan googling tentang skoliosis, aku menemukan nama dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine, seorang ahli medis mengenai tulang belakang di Jakarta.

Menurut kesaksian Nilvia Hakim, pasien yang pernah dioperasinya, beliau merupakan seorang dokter yang responsif, komunikatif, dan mampu membuat analogi sederhana tentang penanganan skoliosis yang terasa asing. Pertemuan pertama Nilvia yang berlangsung kurang lebih satu jam dihabiskan dengan sesi tanya-jawab untuk lebih memahami apa tujuan dilakukannya operasi sebagai sebuah bentuk koreksi skoliosis. Aku sangat sepakat dengan tulisan Nilvia bahwa pasien harus “pintar” dan sebaiknya mengenal terlebih dahulu dokter yang akan menangani sang pasien sehingga tercipta rasa nyaman dan kepercayaan yang berkesinambungan.

Berdasar kesaksian tersebut, aku berpikir bahwa mungkin saja aku bisa menanyakan skoliosisku kepada dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine. Maka pada 14 Juni 2010, aku mengirim e-mail di bawah ini lewat akun Multiply.

Salam,
saya seorang penderita skoliosis ringan dengan angulus 14 derajat ke kanan pada lumbal spine. Ingin bertanya-tanya sedikit pada dr. Salim, karena saya tidak berhasil memperoleh pencerahan dari dokter ortopedi yang saya temui.

Saya sudah merasa sering pegal bertahun-tahun lalu (mungkin ada 10 tahun), tapi baru periksa minggu lalu dan disarankan rontgen sampai akhirnya ketahuan bahwa saya skoliosis ringan. Dokter yang saya temui sama sekali tidak simpatik dan tidak memberikan saya kesempatan untuk banyak bertanya dan konsultasi.

Dia cuma menyarankan saya untuk berenang dan tidak mengangkat yang berat-berat. Saya juga tidak diperbolehkan lagi senam aerobik meskipun cuma low impact (FYI selama 5 tahun ini saya rutin senam 2-3 kali seminggu). Dokter juga bilang bahwa yoga atau chiropractic tidak perlu dilakukan karena "tidak akan ngaruh" (saya sempat baca postingan dari bung Erikar tentang Iyengar Yoga untuk skolioser di board MSI). Yang ingin saya tanyakan:

1. Apakah derajat yang baru 14 derajat masih bisa dikoreksi?
2. Apakah mungkin menjadi lurus kembali? (menurut bung Erikar kan bisa)
3. Apa yang sebaiknya saya lakukan dan apa yang sebaiknya tidak saya lakukan?
4. Apa betul saya tidak boleh senam aerobik lagi?
5. Apa betul yoga dan chiropractic tidak akan berpengaruh?
6. Apakah saya hanya bisa diam saja? Tidak adakah terapi atau olahraga yang bisa saya lakukan (selain renang)?

Sementara ini dulu ya, dr. Salim yang baik. Saya sangat mohon pencerahannya.

Alhamdulillah, pada 18 Juni 2010, dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine membalas e-mail-ku.

yustika15 yth,
Saya coba jawab langsung dibawah pertanyaan.

1. Apakah derajat yang baru 14 derajat masih bisa dikoreksi?
===> Tergantung umur, kekakuan, dan kepentingannya. Maksud saya kepentingannya adalah seberapa penting kita perlu membuat kurva yang 14 derajat menjadi nol derajat. Literatur mengatakan kurva 14 derajat seharusnya tidak memberikan keluhan apapun. Bila ditemukan adanya keluhan maka keluhan itu dipastikan bukan karena skoliosisnya.

2. Apakah mungkin menjadi lurus kembali? (menurut bung Erikar kan bisa)
===>Pasti dong, tapi yang pasti tidak oleh yoga atau tindakan manipulasi non operatif lainnya. Ingin saya katakan adalah kurva kecil kadangkala bisa kembali lurus (0 derajat) oleh mekanisme yang dibangun oleh tubuh sendiri. Atau bisa juga tindakan operasi, itupun tidak ada ahli bedah yang mau melakukan operasi untuk mengoreksi skoliosis dengan kurva 14 derajat. Lagian Erikar ngerti nggak sih apa itu skoliosis??? Jangan2 pengertian skoliosis yang dipahami oleh dunia kedokteran berbeda dengan pemahaman dia. Saya kira ini perlu dipertegas dulu. Saya bisa pastikan bahwa pengertian saya mengenai skoliosis berbeda dengan pemahaman oleh teman saya yang juga ahli orthopaedi tapi tidak mendalami masalah tulang belakang (skoliosis) apatah lagi seorang irekar yang tidak belajar ilmu kedokteran sama sekali.

3. Apa yang sebaiknya saya lakukan dan apa yang sebaiknya tidak saya lakukan?
===>untuk skoliosis yang 14 derajat sebaiknya wait and see saja. Anda cukup bersikap se normal mungkin dan melakukan evaluasi 6 bulanan untuk melihat progresifitas kurva sehingga anda tau kapan waktu yang paling ideal dilakukan intervensi.

4. Apa betul saya tidak boleh senam aerobik lagi?
===>Skoliosis pada kurva14 derajat silakan saja. Bahkan kalau Anda juga seorang atlit penerjun payung sekalipun, saya rasa tidak ada alasan untuk menghentikan kegiatan tersebut. Asal Anda tau bahwa potensi penambahan kurva akan lebih besar bila Anda tidak melakukan aktifitas tsb diatas.

5. Apa betul yoga dan chiropractic tidak akan berpengaruh?
===>untuk koreksi ya. Tapi untuk kenyamanan dan kebugaran boleh2 saja. Chiropractic sesungguhnya hanyalah pijat, pijit, urut saja.

6. Apakah saya hanya bisa diam saja? Tidak adakah terapi atau olahraga yang bisa saya lakukan (selain renang)?
===> ah... enggak. Lakukanlah aktifitas sesuai keinginan Anda tidak perlu membatasi gerakan, namun yang penting Anda tau bahwa Anda perlu mengevaluasi penambahan kurva paling tidak 6 bulan atau setahun sekali.

Demikian mudah2an bisa menjawab Anda.

Rahyussalim

Langsung plong hatiku membaca e-mail ini. Artinya aku masih bisa senam aerobik lagi :D

Tapi aku juga tidak mau gegabah. Aku masih akan mencari opini lagi dari dokter lain.

Satu hal yang sangat penting yang aku pelajari dari dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine adalah tentang sikap mental bahwa tidak ada gunanya menjadi stress karena skoliosis. Sarannya tentang berusaha hidup senormal mungkin, senyaman mungkin, serta melakukan aktivitas sesuai keinginan dan tidak perlu membatasi gerakan, cukup membuatku percaya diri lagi untuk menjalani hari. Yah, meskipun harus dibarengi dengan evaluasi progresivitas kurva paling tidak enam bulan atau setahun sekali, aku rasa itu sepadan.