Monday, November 24, 2025

Repas

Lidya menoleh ke arah jam dinding. Sudah pukul enam sore. Dia harus bergegas merapikan rumah dan menyiapkan makan malam. Kalau Rendi pulang dari kantor dan mendapati semuanya belum beres, bisa habis Lidya kena marah. Sekadar omelan dan hardikan saja mungkin tak mengapa, tetapi repot urusannya bila disertai dengan kekerasan fisik seperti biasa.

Lidya membuka kantong-kantong belanjaan dengan terburu-buru. Pikirannya sibuk memikirkan menu apa yang akan dimasaknya. Cukup lama dia tadi termangu di depan rak-rak supermarket. Bukan karena mengingat-ingat daftar belanjaan, melainkan lebih banyak melamunkan nasibnya yang tak tentu arah.

Sejam kemudian didengarnya mobil Rendi memasuki garasi. Untung rumah sudah rapi dan beberapa menit lagi makan malam sudah siap. Lidya mengaduk sup krim dan menyendok sedikit untuk dicicipi. Dia harus memastikan rasanya pas dengan selera Rendi.

“Selamat malam, Sayang.” Lidya menyapa suaminya dengan suara yang dibuat seramah mungkin. Rendi menutup pintu dengan wajah masam. Tampaknya harinya tidak terlalu baik. Dijawabnya sapaan Lidya dengan dengusan kesal.

“Makan malam sebentar lagi siap,” lanjut Lidya, “Mas bisa mandi dulu.”

“Nggak usah nyuruh-nyuruh,” tukas Rendi dengan gusar. Jantung Lidya berdebar. Rendi berjalan ke arah kamar untuk membasuh diri, memberi kesempatan bagi Lidya untuk menata meja makan dengan cepat.

Beberapa saat kemudian mereka berdua sudah duduk di meja makan. Rendi menyantap makan malam dalam diam. Setelah makan mereka tandas, Rendi berkata, “Aku perhatikan tadi ada tarikan dana dari ATM cukup banyak.”

Tangan Lidya yang sedang membereskan piring kotor terhenti. “Ah iya, aku tadi belanja bulanan.”

“Belanja bulanan seharusnya tidak menghabiskan sebanyak itu.”

Lidya agak gemetar ketika membalas, “Ehm … anu … aku tadi membeli beberapa potong baju …”

“Kenapa tidak minta izin sebelumnya?” potong Rendi.

“Ehm, bajuku sudah banyak yang belel, Mas. Daster yang lama pun sudah banyak bolongnya.”

“Iya, kenapa tidak minta izin?”

“Maaf, Mas, tapi …”

“Kebiasaan memang kamu ini.” Rendi bangkit sambil menggerutu panjang pendek.

Lidya menghela napas lega ketika Rendi meninggalkannya. Dia melanjutkan membereskan meja dan mencuci piring-piring. Sungguh merana hidup dalam rasa was-was seperti ini setiap hari.

Selesai membersihkan dapur, Lidya beranjak ke kamar untuk sekadar menyelonjorkan kaki di atas kasur. Langkahnya terhenti di pintu kamar ketika melihat Rendi sedang memeriksa barang belanjaannya. Di tangan Rendi terlihat beberapa setruk.

“Dengan siapa kamu pergi sore tadi, ha?” Suara hardikan Rendi menggelegar memenuhi ruangan. Tangan Rendi dengan kasar menariknya masuk.

Lidya menggeleng takut, lalu membuka mulut, “Sungguh bukan dengan siapa-siapa.”

“Bohong!”

Telinga Lidya terasa pekak. Sesaat kemudian pelipisnya membentur tembok ketika tangan Rendi menempelengnya dengan kuat. Ia terjatuh.

“Lihat setruk ini,” kata Rendi sambil menyorongkan selembar kertas di depan wajah Lidya, “jelas-jelas tertera pembelian makanan di kafe untuk dua orang!”

Lidya meringkuk di pojok kamar dengan tubuh gemetar. Setetes darah menghias sudut bibirnya. Di depannya, Rendi berdiri menjulang dengan sikap angkuh.

“Aku … aku terlalu lapar tadi, Mas. Sudah lama tidak jajan di luar, jadi aku …”

“Bohong lagi! Nggak ada gunanya punya istri pembohong begini! Ayo ke sini kamu!” Rendi makin meraung. Wajahnya merah meledak marah ketika melihat Lidya beringsut mundur.

Istri? Masa tega dia perlakukan aku seperti ini jika aku masih dianggapnya sebagai istri, batin Lidya. Selama lima tahun pernikahan, hampir setiap hari bogem mentah Rendi melayang. Tak terhitung lagi berapa kali dia menyakiti Lidya secara verbal. Di manakah cinta yang mereka agungkan di awal pernikahan?

Lidya merasa tak lagi memiliki nilai di mata Rendi, selain hanya sebagai sasaran kemarahan belaka. Dia sungguh merasa tak berharga. Hatinya diliputi kecemasan tentang bagaimana hidupnya bisa saja berakhir di tangan suaminya sendiri.

Kuping Lidya terasa berdenging karena kepalanya pusing. Suara Rendi mulai tak fokus didengarnya. Lidya menepis ciut. Dia sudah lelah menumpuk takut. Kali ini dia harus memberanikan diri. Dia bangkit dan mendorong tubuh Rendi sekuat tenaga, lalu berlari ke dapur. Dia tahu di belakangnya Rendi mengejar dengan kemarahan menggelegak. Dia harus bergerak secepat kilat.

Malam menjelang; bulan sabit menggantung di langit berselimut awan. Keributan beberapa saat lalu tak lagi terdengar. Rumah besar itu diliputi sunyi. Sesosok tubuh terbujur kaku di lantai, di dadanya tertancap pisau dapur. Lidya menyeringai.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan November yang bertema “Di Luar Logika”.