Bingung juga, ya, ketika Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus mengambil tema “Keinginan yang Masih Ingin Dicapai Mamah”. Bukan apa-apa, itu karena aku sendiri tidak tahu keinginan mana yang akan diceritakan. Yah, namanya manusia, keinginannya pasti banyak! Namun, untuk saat ini sepertinya hal-hal di bawah ini yang terlintas dalam pikiran.
Naik Haji
Aku belum pernah pergi ke Makkah untuk memenuhi panggilan Allah, baik dalam bentuk menunaikan ibadah haji maupun ibadah umroh. Ketika masa awal berkeluarga, naik haji adalah sesuatu yang sangat jauh dari angan-angan. Sebagai seseorang yang baru mulai membangun rumah tangga, banyak hal lain yang lebih menyita perhatian. Tak terbersit niat untuk naik haji. Kalaupun ada sedikit niat, prioritasnya masih jauh alias masih nanti-nanti. Namun entah mengapa, pada suatu musim haji, tiba-tiba ingin sekali aku naik haji. Dada berdentum-dentum oleh keinginan kuat untuk bersujud di baitullah.
Aku masih ingat, dalam sebuah khotbah salat Idul Adha, mata ini berkaca-kaca karena malu pada Allah. Dalam khotbah itu diceritakan—konon kisah nyata—seorang miskin yang mengambil seluruh tabungannya untuk membeli kambing kurban, padahal dia sendiri kembang kempis dalam mencari penghasilan karena hanya bekerja sebagai buruh cuci. Justru dia yang berhak menerima daging kurban, sebenarnya.
Lalu ketika membaca cerpen di sebuah majalah tentang kisah penjual jamu gendong keliling yang bisa berangkat haji gratis sementara tetangganya yang suka pamer kekayaan malah kehilangan tabungan haji, hati ini makin malu. Betapa banyak orang-orang yang—di mata manusia—minim kemampuan finansial, ingin pergi haji. Sementara aku yang dilapangkan segalanya oleh Allah malah tak kepikiran untuk pergi haji. Duh, malu.
Hal yang juga membuatku malu pada Allah adalah … karena selama ini tiap kali ditanya aku ingin pergi ke mana kalau ada rezeki, selalu kujawab dengan mantap: Eropa! Sejak dulu aku memang selalu bermimpi bisa pergi ke Eropa dan menjelajahi sudut-sudutnya yang eksotis. Duh, mirisnya. Masa lebih ingin pergi ke Eropa daripada pergi naik haji? Astaghfirullah.
Memang benar naik haji itu banyak rintangannya. Tak usah jauh-jauh, orang terdekat pun belum tentu mendukung. Alasannya macam-macam, mulai dari “tabungan masih untuk prioritas yang lain”, “anak masih kecil”, sampai ke alasan “masih punya hutang cicilan rumah”. Dunia, oh, dunia. Mengapa begitu melenakan dan memberi berbagai macam alasan uzur?
Beberapa tahun lalu, aku dan suami akhirnya membuka tabungan haji. Meski entah kapan terkumpulnya, yang penting kami sudah mengambil langkah untuk berikhtiar. Tak disangka, negara api datang menyerang. Karena sesuatu hal yang tidak bisa kuceritakan di sini, kami terpaksa mengambil seluruh tabungan mengingat kami sedang dalam kondisi “butuh uang” waktu itu.
Hingga kini kami belum membuka tabungan haji kembali, tetapi tampaknya memang harus disegerakan. Mengingat antrian haji makin panjang dan makin tidak realistis, hiks. Membulatkan niat, meyakinkan orang-orang terdekat, serta sekuat tenaga mengumpulkan bekal rohani dan finansial … rasanya itu ikhtiar yang harus dilakukan terkait masalah naik haji ini. Sambil terus berdoa, tentunya.
Menjadi Certified Yoga Teacher dan Certified Fitness Trainer
Sejak dulu kala aku selalu tertarik dengan pemberdayaan perempuan dan bagaimana aku bisa berkontribusi di situ. Karena hobiku olahraga, salah satu upaya yang aku rasa cukup realistis dan dapat dicapai adalah dengan memberdayakan mereka dalam hal peningkatan kualitas hidup dari segi kesehatan dan kebugaran. Aku pernah bermimpi memiliki one stop facility di mana di situ terintegrasi antara fasilitas olahraga, salon atau spa, tempat makan dengan menu sehat, serta tempat berbelanja berbagai hal yang berkaitan dengan pola hidup sehat dan aktif. Namun, tampaknya itu mimpi yang ketinggian, hahaha.
Kembali ke keinginan untuk memberdayakan perempuan dalam hal peningkatan kualitas hidup dari segi kesehatan dan kebugaran, aku rajin mengedukasi lingkaran-lingkaran terdekat tentang kampanye hidup sehat dan aktif, baik dari media sosial, tulisan blog, materi webinar, hingga menjadi instruktur. Olahraga pertama di mana aku percaya diri menjadi instruktur adalah senam aerobik karena sudah belasan tahun aku bergelut di situ.
Mengajar senam aerobik |
Demikian pula halnya dengan yoga. Setelah lebih dari lima tahun menjadi praktisi, pada 2018 dan 2019 aku mengikuti Teacher Training Course untuk menjadi instruktur yoga prenatal. Awalnya sebagai sarana healing setelah kehilangan bayi dalam kandungan, tetapi akhirnya hal itu justru memantik keinginan untuk memberdayakan para ibu hamil supaya mereka tidak mengalami hal sepertiku.
Setelah akhirnya proses healing selesai dan aku merasakan manfaat nyata yoga prenatal pada kehamilan dan persalinan berikutnya, makin dalam visi dan misiku untuk membahagiakan para ibu hamil, membantu mereka melalui kehamilan dan persalinan dengan lembut, nyaman, aman, sehat, dan bugar. Aku percaya bahwa ibu yang bahagia akan melahirkan dan membesarkan generasi yang bahagia. Setelah mendapatkan banyak hal positif dari yoga, baik general maupun prenatal, aku juga ingin menularkan semangat dan berbagi manfaat dengan perempuan-perempuan lainnya. Aku pun makin mantap mengajar karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.
Mengajar yoga prenatal |
Ketika aku semakin mendalami yoga prenatal dan pascanatal, aku tertarik juga mendalami spesialisasi Prenatal-Postnatal Corrective Exercise karena erat sekali kaitannya dengan pengembalian fungsi tubuh perempuan dan perbaikan kualitas hidupnya pascapersalinan. Nah, Corrective Exercise ini tidak ada hubungannya dengan yoga. Cabang ilmu yang ini merupakan perpanjangan dari ilmu tentang fitness dan latihan beban. Bahkan untuk menjadi Corrective Exercise Specialist, seseorang harus terlebih dahulu menjadi Certified Fitness Trainer.
Mengikuti Training of Trainers dari Asosiasi Pelatih Kebugaran Indonesia |
Hmmm, ternyata tubuh seorang perempuan itu memang rumit sekali. Satu ilmu membawa pada ilmu-ilmu yang lain. Kebetulan aku sudah menjadi anak gym yang rutin latihan beban sejak sebelum pandemi untuk melengkapi latihan lariku. Dan jujur, mau jadi atlet atau tidak, bahkan jika kita hanya mewakili general population, kita tetap membutuhkan latihan beban untuk peningkatan kualitas hidup. Dari situ aku mulai tertarik juga untuk mengedukasi para perempuan tentang pentingnya latihan beban (kalau yang ini, sih, harus dibahas dalam tulisan tersendiri, hehehe).
Salah satu kendala yang kuhadapi untuk menjadi Certified Yoga Teacher dan Certified Fitness Trainer adalah waktu yang tidak fleksibel karena statusku saat ini sebagai ASN yang terikat dengan jam kerja. Hal itu membuatku kesulitan untuk mengambil pelatihan dan sertifikasi yang biasanya memakan waktu selama beberapa bulan. Mana mungkin aku diizinkan atasan untuk cuti selama itu. Jadi, aku hanya bisa mengambil training dan workshop yang pendek-pendek saja. Mudah-mudahan ilmu yang kupelajari, meskipun sedikit, dapat kutularkan juga kepada para perempuan lain demi cita-citaku memberdayakan mereka dari segi kesehatan dan kebugaran.