Aku menatap lelaki di hadapanku. Dia baru saja menutup laptop di pangkuanku, mengambilnya, lalu meletakkannya di meja. Gerakannya tegas, tetapi sorot matanya teduh tanpa amarah.
“Sudah kubilang untuk
istirahat, kan,” katanya kemudian sambil tersenyum. Dia mengambil langkah
panjang ke jendela di sudut kamar dan menyibakkan tirai. Seberkas sinar mentari
jatuh di wajahku; aku mengernyitkan mata.
“Ups, maaf … silau
ya?” Dia tertawa renyah sambil mengacak rambutku pelan ketika sudah sampai di
sisi pembaringan. Tangannya dengan sigap membereskan berkas-berkas yang
bertebaran di kasur.
“Istirahat dulu sampai
sembuh. Oke?” Dia menatapku tegas. Aku menarik napas dalam-dalam sambil
menyandarkan kepala ke bantal. Baiklah,
aku menyerah.
Dua hari lalu aku
kolaps di kantor. Mereka membawaku ke sini dan dokter menyuruhku beristirahat
selama beberapa hari karena aku mengalami hipoglikemia dan kadar hemoglobinku
sangat rendah.
“Pengen makan apa?”
Aku menggeleng. “Nggak
pengen apa-apa.”
“Aku beliin apa saja
yang kamu mau. Makanan rumah sakit nggak terlalu menggugah selera, kan?” Dia menunjukkan
layar aplikasi pesanan antar dengan antusias.
“Nggak usah, Ben.”
Kupandang Beni dengan
lekat. Aku mengenalnya setahun lalu di sebuah gym tempat dia menjadi personal
trainer di sana. Saat itu hampir tiap hari aku mampir ke gym untuk mengurai pikiran yang ruwet,
tanpa tahu akan berkenalan dengan sosoknya yang begitu tulus. Aku bukan
kliennya, tetapi dengan riang dia berbagi kiat bagaimana gerakan yang benar,
berbincang tentang nutrisi dan gaya hidup sehat, hingga akhirnya kami akrab
satu sama lain dan sering pergi bersama.
Beberapa bulan lalu
dia menyatakan cintanya. Menjalin hubungan serius dengan seseorang adalah hal
terakhir yang ada dalam benakku, maka dengan berat hati aku menolaknya. Aku menyukainya, tetapi ada banyak ketakutan
dari masa lalu yang masih memberati pundakku. Hari demi hari berlalu tanpa ada
yang berubah dari dirinya: masih tulus dan peduli, juga masih bersikap penuh
perhatian.
Seorang petugas
katering masuk ke dalam kamar dan membuyarkan lamunanku. “Silakan sarapannya,
Bu.”
Beni dengan serta
merta meraih nampan dan membuka plastik yang menutupi permukaan piring. “Aku
suapin ya, Ta?”
“Belum lapar, Ben.”
“Ta, nggak boleh gitu.
Nanti gula darahnya nge-drop lagi
kalau kamu nggak makan.”
“Nanti saja, Ben.
Nanti aku makan sendiri.”
Beni menyentuh daguku
pelan, lalu menghadapkan wajahku tepat di depan wajahnya. Mata kami berserobok.
“Jangan ngeyel terus,
Ta,” katanya dengan lembut, “nanti nggak sembuh-sembuh.”
Aku melihat kasih
terpancar dari bening mata coklatnya. “Kenapa masih betah ngurusin aku, Ben?
Kamu kan tahu betapa keras kepalanya aku.”
Beni meraih tanganku
dan menggenggamnya. “You know why.
Sudah, sekarang jangan ngeyel lagi. Aku suapin, ya?”
Aku mengangguk pasrah.
***
Aku berlari dengan
terengah-engah. Bayangan laki-laki itu terlihat ketika aku menoleh. Kupercepat langkah
sambil menengok ke kiri dan ke kanan mencari tempat persembunyian. Aku mengusap
sudut bibirku yang berdarah. Ah, sial.
Dia lebih cepat. Sudah tinggal
beberapa meter saja dia di belakangku.
“Mau lari ke mana kau
sekarang?” serunya sambil tertawa keras. Bulu kudukku berdiri. Dalam sekali
loncat dia berhasil menarik bajuku. Aku terbanting ke jalan.
Tiba-tiba kepalaku
terasa sakit sekali. Ternyata laki-laki itu menempelengku dengan keras sampai
aku terjatuh. Dijambaknya rambutku, lalu dibenturkannya kepalaku ke aspal. Dia memegang
pergelangan tanganku dengan kencang. Napasku megap-megap.
“Ta! Bangun, Ta!” Aku
mendengar suara Beni samar-samar. Kubuka mata dengan berat. Napasku masih
memburu. Ketika aku sadar sepenuhnya, kudapati tangan Beni-lah yang memegang
pergelangan tanganku. Kamar rumah sakit ini terasa dingin dan gelap.
“Aku bermimpi?” Kulihat
pandangan khawatir di mata Beni. Dengan lembut dihapusnya air mata dari sudut
mataku.
“Mimpi apa sampai
menangis begini?”
Aku tak menjawab,
tetapi balik bertanya, “Pukul berapa sekarang?”
“Pukul sepuluh malam.
Aku tadi ke sini sepulang dari gym.”
“Kepalaku pusing
sekali.”
Pandangan Beni tampak
prihatin. “Mereka bilang, kalau Hb-mu tak kunjung naik, besok harus transfusi.”
Aku mendesah pelan dan
mencoba duduk. Beni sigap membantu.
“Aku capek, Ben.”
“Ta …”
“Aku lelah dengan
semua ini. Aku pikir dengan menyibukkan diri pada pekerjaan, aku akan bisa lupa.”
Aku tergugu.
Beni merengkuhku.
“Bebanmu terlalu berat, Ta. Justru dengan rapat-rapat sampai malam, mengejar
tender proyek sampai habis-habisan, kamu menghancurkan badanmu sendiri. Padahal
yang mengganggumu itu ada di pikiranmu.”
“Aku nggak tahu harus
bagaimana, Ben. Bayangan dirinya terus mengejar.”
“Hei, dengerin aku.
Laki-laki itu nggak bisa menyakitimu lagi.”
Bahuku terguncang di
dada Beni. Menjadi korban KDRT selama bertahun-tahun benar-benar menyisakan
kepedihan. Bukan hanya tilas patah tulang, rahang yang bergeser, atau bekas
luka jahitan, melainkan juga trauma psikologis berkepanjangan meskipun aku
sudah lama tidak bertemu mantan suamiku.
Beni membiarkanku menangis
di pelukannya. Ketika akhirnya aku tenang, dia berkata, “Aku nginep di sini ya
malam ini.”
Sambil menghapus
sisa-sisa air mata, aku kembali berbaring. Beni membetulkan letak selimutku,
mengecup keningku, lalu melangkah ke arah sofa dan tidur meringkuk di atasnya. Aku
merasa lebih nyaman melihat dia ada di situ, tetapi masih ada hal yang
mengganjal di hatiku.
***
Aku sedang
mengganti-ganti saluran televisi dengan bosan ketika Beni masuk ke kamar.
Kausnya basah oleh keringat.
“Pas aku bangun tadi
kamu masih tidur, jadi aku jogging
dulu sebentar,” katanya.
“Sudah kuduga,”
sahutku, “pagi yang cerah ini memang sayang untuk dilewatkan begitu saja.”
“Dokter sudah visit?”
“Sudah.”
“Lalu apa dia bilang?”
tanya Beni dengan tatap penasaran.
“Hb-ku sudah naik.
Sudah di range normal, jadi nggak
perlu transfusi. Hari ini sudah boleh pulang.”
“Syukurlah,” katanya sambil
tersenyum, “habis ini harus makan yang benar, banyak istirahat.”
Dia duduk santai di
atas sofa sambil menenggak air mineral. “Hari ini aku ada janji dengan klien
pukul sembilan. Mungkin selepas makan siang aku baru bisa kemari. Check out-nya nunggu aku saja ya, nanti
aku yang urus-urus.”
Aku berdehem
membersihkan tenggorokan. “Ben, sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan.”
“Hmm?” Pandangannya
masih mengarah ke dalam tas.
“I’ve been thinking … about us.”
Gerakan tangan Beni
terhenti. Dia mendongakkan kepala dan menatapku tajam. Aku merasa senewen.
“Ada apa?” Kali ini
nadanya curiga. Aku bahkan tak berani menatapnya.
“Ehm … Ben, aku rasa
kamu harus berhenti ngurusin aku.”
“Kenapa? Kamu merasa
nggak nyaman?”
“Oh, bukan,” tukasku
cepat, “hanya saja … aku banyak merepotkan.”
“Nggak sama sekali.” Dia
mengernyit.
“Dengar, Ben. You’re a good person. Banyak gadis-gadis
di luar sana yang lebih pantas buat kamu. Kenapa kamu masih bertahan ngurusin
seorang janda yang bahkan …”
“Ta! Kamu ngomong apa
sih?” Dia berjalan ke arahku dan duduk di tepi tempat tidur.
“I’m such a burden, Ben. I’m
torn. I’m a mess. Mungkin
sebaiknya kita sampai di sini saja. Kamu berhak punya kehidupan yang lebih
baik.” Mataku mulai berkaca-kaca.
Beni menghela napas.
“Bukankah kita pernah ngobrol soal ini? Aku sayang sama kamu, Ta. Kita akan
hadapi ini sama-sama, oke?”
Aku menggeleng.
Kusentuh lengan Beni pelan. Lengannya yang berotot itu dulu membuatku takut.
Membayangkan dihantam dengan keras atau dibenturkan ke tembok oleh lengan
sekuat itu membuatku terintimidasi olehnya di awal masa pertemuan kami. Namun,
yang terjadi justru sebaliknya. Kedua lengannya yang kokoh itu seringkali
memberiku perlindungan dan kehangatan, tetapi sungguh aku tidak cukup baik
untuknya.
Mata Beni menatapku
serius ketika dia berkata, “Menikahlah denganku, Ta …”
Aku tertegun.
Laki-laki ini sungguh unbelievable. Saat aku ingin memutuskan hubungan
dengannya, dia malah melamarku.
“Ben …”
“Listen to me. Aku
nggak peduli seperti apa masa lalumu. Yang aku tahu, aku pengen habiskan sisa
hidupku sama kamu. Selalu ada buat kamu, lindungi kamu. Please, Ta …
jangan tolak aku terus. Beri aku kesempatan untuk membahagiakanmu.”
Aku terisak pelan.
Buliran bening mengalir dari kedua mataku. Beni menghapusnya dengan lembut lalu
memelukku erat sambil berbisik, “Jangan pernah merasa tidak pantas. You
really mean the world to me.”
Sinar mentari pagi
menari-nari masuk ke dalam ruangan, menembus vitrase tipis sampai ke hatiku.
Mungkin memang sudah saatnya aku berhenti berlari. Dalam dekapan Beni, aku
berpasrah diri dan mulai memahami bahwa Tuhan sedang memberiku kesempatan kedua
untuk mencinta.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus yang bertema “Cerita Cinta”.