Menjadi mahasiswa S2 benar-benar membawa pengalaman yang berbeda buatku. Dalam
hal mengambil mata kuliah pilihan, aku bebas mengambil apa saja, bahkan yang
berbeda fakultas sekalipun. Mata kuliah pilihanku di semester tiga ini masih
tidak jauh-jauh dari dunia keilmuanku sih, tapi kali ini aku mencoba
menyeberang ke program studi satunya untuk mengambil mata kuliah yang menarik
minatku.
Pertama kali masuk, aku terlambat. Hihihihi. Oleh dosennya aku disuruh
duduk di depan. Okelah. Oh wow, sekelilingku mahasiswa S1 semua. Tak apalah,
malah berasa lebih muda. Hehehehe. Sepanjang kuliah sore itu, aku terperangah. Kadang
berpikir sejenak. Lalu tertegun.
Apa pasal? Hmm, sejujurnya bukan konten kuliah yang membuatku seperti itu. Dosen
yang sudah lumayan senior itu membuatku berekspresi demikian karena dari
kata-katanya tersirat rivalitas program studi (prodi) yang sangat kental. Komentar-komentarnya
hampir selalu menyindir dan menjelekkan prodi sebelah—yang adalah prodi
tempatku menimba ilmu selama ini—hingga membuatku berpikir keras: ada apa
dengan hubungan kedua belah pihak selama ini.
Tak hanya dalam kesempatan itu, pada kuliah-kuliah berikutnya beliau tetap pada
gayanya yang meremehkan “prodi sebelah” itu. Sampai-sampai aku ingin sekali
berseru, “Saya dari prodi sebelah lho, Pak!”
Buatku pribadi, kuliah yang menarik adalah kuliah yang di dalamnya aku
dapat mengambil nilai lebih (added value)
dari sekedar konten atau materi kuliah. Aku suka sekali pada dosen-dosenku yang
selama ini selalu memberi nilai lebih pada kuliahnya. Meskipun materi kuliah
tergolong susah dan tidak menyenangkan, aku masih semangat masuk kelas pada
kuliah-kuliah semacam ini karena dosen-dosen itu memberi encouragement, motivasi, dan inspirasi tentang hidup dan kehidupan.
Sehingga kuliah tidak terasa kering, melainkan full of spirit hingga membuatku melongo takjub di dalam kelas dan
merenung dalam-dalam di luar kelas. Hormatku pada Pak Budi Rahardjo dan Pak Armein Z. R. Langi, dosen-dosenku yang
dengan pas memenuhi deskripsiku pada paragraf ini. Kebetulan keduanya adalah
sosok yang ahli di bidangnya dan pada keduanya kutemukan makna kata “integritas”.
Monggo kalau ada yang tertarik main ke blog beliau berdua, silakan mencari
inspirasi dari sana ya.
Kembali pada awal tulisan ini, ada yang mengusik sanubari (cieehh
bahasanya) ketika dosen senior dari prodi sebelah itu menyindir-nyindir
dosen-dosen yang kukagumi. Kritiknya terhadap mereka otomatis menjadi kritik
terhadapku karena betapa klopnya cara berpikirku dengan cara berpikir dosen
favoritku itu. Apakah selama ini ada rivalitas yang tak kentara dan tak
kupahami? Ah entahlah, mengapa dosen senior itu jadi menjelek-jelekkan begitu
ya? Padahal ini masih satu fakultas, satu kampus. Bagaimana kalau beda kampus? Bisa
lebih parah meremehkannya.
Ngeri sama yang namanya arogansi. Ya Allah, jauhkanlah.