Monday, February 28, 2011

Sharing atau Menggurui?

Ndak boleh merasa jadi orangtua yang paling benar dan paling tau sedunia. Hanya karena anda pernah membaca sedikit pengetahuan tentang itu. (Rakhmita Akhsayanty)

Sekarang ini sudah zamannya akses informasi mudah dan internet murah. Dengan berkembangnya tren teknologi informasi yang tinggal seujung jari, tak heran jagat dunia maya sangat ramai oleh berbagai macam aktivitas. Satu hal yang menarik dari fenomena ini adalah maraknya komunitas dunia maya bermunculan, mulai dari komunitas masak, klub hobi, hingga komunitas sharing mengenai berbagai macam hal.

Karena aku merupakan makhluk dunia maya yang cukup aktif, aku tak ketinggalan mengikuti sedikit dari beraneka komunitas ini. Salah duanya adalah komunitas sharing ibu-ibu mengenai pengasuhan anak dan komunitas sharing para orang tua tentang kesehatan anak.

Tak dapat kupungkiri, aku mendapat banyak ilmu dari komunitas-komunitas ini. Maklum, ilmu pengasuhan dan kesehatan berkembang begitu cepat. Apa yang menjadi pengetahuan umum bagi generasi terdahulu mungkin bisa dianggap usang dan ketinggalan zaman bagi generasi sekarang. Dan tentu saja, pengalaman menjadi orang-tua-baru adalah pengalaman terkaget-kaget oleh banyak hal, meskipun sudah beberapa tahun sebelumnya berusaha membekali diri dengan pengetahuan parenting. Tetap saja ada perasaan panik, takut, dan was-was ketika mendapati peristiwa yang kita tak banyak tahu tentangnya. Alhamdulillah, lewat komunitas-komunitas ini aku banyak belajar dan merasa mendapat lingkaran pendukung dalam keseharian sebagai orang-tua-baru.

Di balik banyak manfaat yang dirasa, ada sedikit ganjalan yang mengganggu perasaanku. Pada berbagai komunitas digital dan situs jejaring sosial itu, sayangnya ada segelintir orang yang bersikap narsis dengan mengatasnamakan sharing. Memang niat awalnya baik: berbagi pengalaman dan kiat-kiat positif. Lalu lama kelamaan jadi berasa adu pengalaman, berlomba-lomba mengatakan (tidak secara eksplisit sih, tapi cukup tersirat) bahwa pengalamannya-lah yang terbaik, apa yang dilakukannya-lah yang paling benar, ilmunya-lah yang paling baru, bla bla bla.

Kok rasanya jadi pahit ya, ketika orang yang kepadanya kita berguru, ternyata malah merasa jadi mahaguru, lantas bersikap menggurui. Secara ekstrem bahkan terlihat arogan dan sok tahu, seolah dirinya paling benar dan paling tahu. Segala perkataan atau perbuatan kita dianggapnya remeh dan salah (atau kurang tepat), lantas dikomentari dengan tidak bijak seolah-olah kita orang paling bodoh dan paling tidak tahu. Kalaulah memang kita salah, mbok ya ditanggapi dengan kata-kata yang baik dan tidak memojokkan, namanya saja masih newbie.

Ini pernah terjadi padaku dulu, lalu terjadi lagi minggu ini—dan aku juga cukup sering melihatnya terjadi pada orang lain. Kisah yang dulu itu terjadi ketika Hanif masih ASIX, berawal dari keingintahuanku ketika melihat stok ASIP seorang teman yang sampai sekulkas penuh, sementara aku ngos-ngosan dengan stok ASIP yang kejar tayang. Tadinya cuma ingin bertanya bagaimana tipsnya, eh lama kelamaan si teman berasa jadi sombong dengan prestasinya yang seolah-olah ibu terbaik sedunia. Aku langsung jengah, dan serta merta memutuskan pembicaraan. Sekarang sudah malas mau tanya-tanya ke teman itu lagi.

Peristiwa terbaru minggu ini terjadi ketika aku absen rapat yang tadinya kujadwalkan hadir. Malam sebelumnya Hanif sakit hingga tak bisa tidur. Aku izin tak bisa rapat karena menunggui Hanif dan berencana membawanya ke dokter di rumah sakit. Dan komentar seorang teman membuatku kecut. Tanyanya, “Emang sakit apa kok sampai harus ke rumah sakit?” Seorang teman lain menambahkan, “Sakit apa kok ke rumah sakit? Sudah HT (home treatment, red.) apa?”

Oh, baiklah. Kenapa harus ke rumah sakit, ya karena hari Minggu, tentu dokter yang buka ya cuma UGD rumah sakit. Aku tahu maksud mereka baik, berawal dari kepedulian. Tapi nadanya itu lho, seakan-akan aku bertindak serampangan pada anakku sendiri. Aku tahu mereka sudah lebih senior malang melintang dalam dunia kesehatan anak. Aku tahu aku masih newbie. Tapi hellooooo, aku kan juga sudah belajar untuk rasional ketika anak sakit. Menganut RUM bukan berarti anti dokter dan anti rumah sakit to? Komentar mereka menjatuhkan mentalku, seolah-olah aku tak bisa menjadi orang tua yang baik. Aku kan tak ingin peristiwa dua tahun lalu terulang lagi, ketika aku terlambat menyadari Hanif sakit hernia dan harus segera dioperasi. Niatku ke dokter juga bukan untuk minta obat, tapi ingin tahu apa diagnosis dokter. Wong kita juga bukan dokter kok, tak bisa lah kita mengira-ngira sendiri. Kalau diagnosis dokter sudah jelas, barulah kita bisa putuskan akan melakukan HT apa, bukan begitu?

Kelihatannya kita semua harus belajar menjadi lebih bijak dalam berkata-kata. Juga ketika kita berniat sharing pengalaman, jangan sampai ilmu yang tadinya diniatkan baik untuk ditularkan, menjadi mentah hanya gara-gara kita terlampau narsis dan arogan. Lebih jauh lagi, seperti yang pernah kutulis di sini, marilah kita sama-sama berusaha untuk berhati-hati dalam berkomentar. Karena kita tak pernah tahu apa pertimbangan orang lain. Karena kita tak sepenuhnya memahami jalan pikiran dan situasi yang melatarbelakangi orang lain untuk mengambil keputusan. Yuk, kita jadi orang yang lebih menyenangkan dengan tidak bersikap sok tahu dan tidak nyinyir ketika berkomentar. Yuk yuk...

Catatan: Mungkin memang akunya yang lagi sensi ketika nulis ini. Ya gimana, anak lagi sakit, dikomentari macam-macam hauhauhau. Padahal sebenarnya nggak jadi ke rumah sakit juga karena aku tetap bersikap rasional. Izin rapat cuma untuk jaga-jaga dan menunggui Hanif. Lha kok tega-teganya komentar begitu padahal nggak tahu kejadian sebenarnya, hiksss...

Lewat kesempatan ini, untuk yang pernah tersakiti ketika mengomentari aku, atau tak sengaja aku komentari secara nyinyir (meskipun sudah lama aku berusaha untuk tidak demikian), aku minta maaf yang sebesar-besarnya ya.

Friday, February 04, 2011

Line Dance


A line dance is choreographed dance with a repeated sequence of steps in which a group of people dance in one or more lines or rows without regard for the gender of the individuals, all facing the same direction, and executing the steps at the same time. Line dancers are not in physical contact with each other. (dikutip dari sini)

Akhirnya aku belajar dance juga :D

Seperti yang pernah aku tulis di sini, dari dulu memang sudah terasa betapa aku begitu menyenangi bergerak dengan iringan musik. Jauh sebelum aku kecanduan senam aerobik, dance sudah menjadi obsesiku. Hanya saja, belum pernah kesampaian untuk belajar dance. Lagipula dance itu kan banyak macamnya.

Lalu mengapa memilih line dance? Yah, kebetulan bertemunya sama komunitas itu, hehe. Pada awalnya ketika ada yang mengajak, aku masih belum terbayang line dance itu seperti apa. Setelah ikut, ohh... ternyata dance yang seperti itu. Bagi yang belum tahu, poco-poco sepertinya bisa juga dikategorikan sebagai line dance, jadi kurang lebih seperti itulah. Gerakan line dance tidak terlalu memerlukan stamina tinggi. Meskipun demikian, sama seperti senam aerobik, line dance memerlukan fokus dan konsentrasi tinggi untuk menghafal gerakan dan mengulangnya terus menerus. Untuk bagian hafal menghafal, aku tidak menemui kesulitan berarti. Sekali dua kali diulang aku sudah bisa mengikuti dan menghafalnya.

Hanya saja, karena basic dan background-ku adalah senam aerobik yang terbiasa bergerak dengan power, lompatan, dan kelincahan, ternyata aku mengalami beberapa kendala untuk menyesuaikan dengan “adab” line dance. Berkali-kali instrukturnya mengingatkanku, “jangan diangkat kakinya”, “jangan lompat-lompat”... heuheu... Yah, mau bagaimana lagi. Gerakannya sama, adabnya beda. Sama-sama chacha, kalau di senam aerobik harus diangkat kakinya dengan power, kalau di line dance kita mesti bergerak halus. Melangkah pun tak boleh terlalu lebar, sementara di senam aerobik: makin bertenaga makin bagus, makin lebar lompatannya makin bagus. Harus menyesuaikan, dan berkali-kali harus mengingatkan diri sendiri supaya tidak lompat-lompat karena tidak sedang berada di kelas senam aerobik, hehehe..

Pada sesi line dance yang kuikuti kemarin, instrukturnya ada dua: satu laki-laki dan satu perempuan. Instruktur yang laki-laki ini mengingatkanku pada Rudi Wowor yang sama-sama dancer juga. Sementara instruktur yang perempuan, tipe ibu-ibu akhir 40-an yang mewakili kaum sosialita: cantik, tahu bagaimana berdandan dan bergaya, wangi, dan tentu saja perokok.

Harus kuakui, line dance seperti ini merupakan santapan ibu-ibu kelas menengah ke atas. Peserta yang datang rata-rata tajir, bermobil, dan tipe ibu-ibu arisan yang bukan pekerja. Mereka biasanya datang berkelompok, dengan dandanan cantik berwarna-warni, yang tentu bukan merupakan kelompok ibu-ibu pengajian. Bahkan ada satu kelompok yang sangat bertipe sosialita. Suka sekali melihat mereka karena ibu-ibu berumur ini cantik-cantik dan gaya, tapi yang membuat sebal adalah karena banyak di antara mereka yang perokok. Di sesi kemarin, aku beberapa kali terbatuk-batuk karena baik instruktur maupun sebagian peserta sukses membuat ruangan penuh dengan kepulan asap rokok.

Kalau mau disimpulkan, line dance jelas berbeda dengan senam aerobik. Maksudku bukan pada gerakannya—kalau yang ini sih sudah jelas—tapi lebih kepada fungsi dan kedudukannya. Kita pergi senam aerobik agar bugar dan langsing, tujuannya lebih ke kesehatan. Tapi untuk line dance, orang melakukannya demi pergaulan dan untuk having fun. Bisa saja menjadi bugar, tapi itu bukan tujuan utama. Khusus untukku, aku masih menimbang-nimbang apakah akan melanjutkan belajar line dance atau tidak. Asyik sih, tapi rasanya aku lebih tertarik ke jenis dance yang lebih dinamis macam salsa atau latin dance. Dan jelas, senam aerobik tetap yang paling menarik. Teuteupp, hehehe...

Gambar: diambil dari sini.