Malam ini aku kembali mengurai rindu yang berjela-jela. Telah lama ingin kukatakan ini kepadamu, tapi aku tak pernah punya keberanian untuk memulainya. Ah, tidak. Bukan hanya keberanian yang tak kumiliki, aku juga tak tahu bagaimana harus mengatakannya.
Kau terlalu baik. Kau memberi semua yang kubutuhkan. Kau mempercayaiku saat yang lain tidak. Kau mendukungku saat yang lain tak peduli. Kau juga berhati besar: memaafkan semua kesalahanku dan memahamiku apa adanya. It’s too much. Tak sadarkah dirimu bahwa relasi yang terlalu sempurna ini benar-benar membuatku addicted, membuatku bergantung sepenuhnya padamu? Lalu tiba-tiba tiap desah nafasku telah menjelma menjadi dirimu, membuat dadaku sesak akan dirimu.
Buatku yang dulu terbiasa menikmati kesendirian, masih aneh rasanya merasa tak berdaya tanpamu. Dan ketika kau hanya punya sedikit waktu untukku, aku merasa sakit karena telah terbiasa dengan limpahan perhatianmu. Selisih ruang dan waktu tak mampu membuatku sedikit abai akan dirimu. Pada waktu-waktu tertentu aku bahkan sangat rindu untuk berbagi denganmu, sesuatu yang dulu hampir tak pernah kulakukan dengan siapapun. Benar kata orang bahwa kerinduan adalah luka yang memerihkan. Meski kerinduan berbatas tipis dengan harapan, ia tetap sajalah menyakitkan. Menyakitkan karena ia laksana sebuah penantian sunyi yang panjang.
Adakah kadang kau dengar suara lapat-lapat dari dalam hatiku, yang berkata bahwa aku ingin sejenak berhenti bercakap denganmu? Ingin kudefinisikan rasa hati ini mengenai dirimu. Ingin kembali kuperoleh kemandirianku, kesenanganku melakukan segala sesuatu sendirian. Tapi tahukah kau bahwa aku selalu saja gagal? Kau selalu membuatku menyerah. Kau selalu membuatku membutuhkanmu lagi dan lagi. You’re just too good to be true.
Aku seperti Rubah dan kau seperti Pangeran Kecil. Kau berhasil menjinakkanku, warna jagung yang keemasan selalu mengingatkanku akan dirimu, dan aku mulai menyukai suara angin yang berhembus di ladang jagung. Dan ketika aku menangis, aku tahu itu bukan salahmu. Kau tidak pernah bermaksud untuk menyakitiku. Tapi aku sendiri yang memintamu menjinakkanku.
Kau terlalu sempurna. Dan itu ternyata meletihkan...
Kau terlalu baik. Kau memberi semua yang kubutuhkan. Kau mempercayaiku saat yang lain tidak. Kau mendukungku saat yang lain tak peduli. Kau juga berhati besar: memaafkan semua kesalahanku dan memahamiku apa adanya. It’s too much. Tak sadarkah dirimu bahwa relasi yang terlalu sempurna ini benar-benar membuatku addicted, membuatku bergantung sepenuhnya padamu? Lalu tiba-tiba tiap desah nafasku telah menjelma menjadi dirimu, membuat dadaku sesak akan dirimu.
Buatku yang dulu terbiasa menikmati kesendirian, masih aneh rasanya merasa tak berdaya tanpamu. Dan ketika kau hanya punya sedikit waktu untukku, aku merasa sakit karena telah terbiasa dengan limpahan perhatianmu. Selisih ruang dan waktu tak mampu membuatku sedikit abai akan dirimu. Pada waktu-waktu tertentu aku bahkan sangat rindu untuk berbagi denganmu, sesuatu yang dulu hampir tak pernah kulakukan dengan siapapun. Benar kata orang bahwa kerinduan adalah luka yang memerihkan. Meski kerinduan berbatas tipis dengan harapan, ia tetap sajalah menyakitkan. Menyakitkan karena ia laksana sebuah penantian sunyi yang panjang.
Adakah kadang kau dengar suara lapat-lapat dari dalam hatiku, yang berkata bahwa aku ingin sejenak berhenti bercakap denganmu? Ingin kudefinisikan rasa hati ini mengenai dirimu. Ingin kembali kuperoleh kemandirianku, kesenanganku melakukan segala sesuatu sendirian. Tapi tahukah kau bahwa aku selalu saja gagal? Kau selalu membuatku menyerah. Kau selalu membuatku membutuhkanmu lagi dan lagi. You’re just too good to be true.
Aku seperti Rubah dan kau seperti Pangeran Kecil. Kau berhasil menjinakkanku, warna jagung yang keemasan selalu mengingatkanku akan dirimu, dan aku mulai menyukai suara angin yang berhembus di ladang jagung. Dan ketika aku menangis, aku tahu itu bukan salahmu. Kau tidak pernah bermaksud untuk menyakitiku. Tapi aku sendiri yang memintamu menjinakkanku.
Kau terlalu sempurna. Dan itu ternyata meletihkan...