Wednesday, September 22, 2010

Luka yang Sama

Entah untuk keberapa kalinya hatiku menyimpan luka ini. Luka yang dulu tertoreh saat aku mulai bekerja, hingga kini Hanif beranjak batita dan mulai mengerti arti kehadiran bundanya. Selalu saja aku tak kuasa untuk tak berdarah melihat malaikat kecilku ini menangis kala aku berangkat kerja, karena luka di matanya.

Pun belakangan ini, ketika dengan tangisnya ia mencoba memrotes setiap kepergianku darinya. Setelah sebelumnya merengek memintaku mengganti baju-pergi dengan baju-rumahan.

Ah, Sayang. Andai kau tahu, bukan hanya dirimu yang merasa berat berpisah. Hati Bunda sudah terluka ketika meninggalkanmu di saat pertama, saat dua bulan cuti melahirkan usai. Luka yang sama sampai detik ini, ketika melihat matamu juga terluka, dan binarnya meredup hingga menjadi embun yang berloncatan.

Ah, Sayang. Andai kau mengerti, Bunda juga benci berpisah darimu. Andai kau paham bagaimana Bunda masih menyimpan mimpi untuk menjadi stay-at-home mom. Berkarir di rumah sambil menjadi saksi tiap detik tumbuh-kembangmu. Benci ini sebenci Bunda pada jam kerja yang mengikat, yang membuat Bunda teralienasi darimu dan terpaksa harus menolak dekapan eratmu.

Maafkan Bunda, Sayang. Karena belum bisa mewujudkan mimpi untuk menjadi atasan bagi diri Bunda sendiri. Hingga Bunda bebas mengatur waktu kerja dan bebas melakukan apa yang Bunda suka, tak perlu tunduk pada orang lain. Tak perlu memasang semangat palsu untuk berangkat kerja, padahal hati Bunda sudah layu bahkan ketika kaki ini belum menginjak kantor.

Ada penyesalan karena tak bisa selalu hadir di sisimu, itu pasti. Tapi ada juga bara tekad untuk suatu hari nanti, Bunda akan menjadi atasan bagi diri Bunda sendiri. Hingga waktu Bunda penuh untukmu. Relung hati ini, meski menyimpan luka yang sama, juga masih memendam mimpi setinggi langit untukmu. Luka dan mimpi ini, bersisian dan tak terpisahkan.

Romantisme Ala Hanif


Aku lupa persisnya sejak kapan aku mulai menyadari bahwa pangeran kecilku satu-satunya ini benar-benar romantis. Ketika dia sudah mulai bisa mengekspresikan perasaannya, ada belasan kali dalam sehari dia menunjukkan rasa sayangnya kepada bundanya. Kadang-kadang secara spontan dia mencium-cium pipi, dagu, atau ujung hidungku. Tak jarang pula dia memeluk-meluk punggungku dari belakang—biasanya ini terjadi ketika kami sedang menonton televisi, maklum ruang keluarga kami memang lesehan. Juga kali-kali lain, di mana hal ini jauh lebih sering dilakukannya pada bundanya daripada ayahnya :)

Seiring dengan usianya yang bertambah besar dan berkurangnya frekuensi bangun-malam-untuk-mimik, dia lebih sering terbangun untuk kemudian tertidur lagi dalam hitungan kejap. Yang menghadirkan embun dalam hatiku adalah tingkah lakunya ketika terbangun dalam beberapa kejap itu. Dia akan menggeser badannya hingga menempel ke badanku, lalu melingkarkan tangan mungilnya ke leher, bahkan dalam posisi tidurku yang membelakanginya. Kadang-kadang dengan pose pipinya menempel di pipi atau rambutku. Dengan nyamannya kemudian dia melanjutkan tidur kembali. Long lazy cuddling yang sangat romantis :)

Lima belas tahun lagi, akankah romantismu hanya untuk Bunda seorang, Sayang?

Beasiswa

Umm, masalah beasiswa dan melanjutkan kuliah… selalu ada hal yang mengganjal tentangnya. Seorang teman bilang, menerima beasiswa untuk melanjutkan sekolah memiliki beban mental tersendiri. Tuntutan dan ekspektasi yang disandarkan pada para lulusannya sering terlalu tinggi. Apa jadinya bila ternyata kita lulus, tapi nggak bisa apa-apa? Wih, yang ada juga malu-maluin. Contoh nyata: aku. Lulusan perguruan tinggi terkenal tapi kompetensi nol besar hehehe *tersenyum kecut*

Kembali ke masalah beasiswa, tak jarang aku mendengar komentar-komentar berseliweran di kantor ini, “Lulusan S2 kok cara mikirnya gitu…” atau “Lulusan S3 kok tingkah lakunya gitu…”. Seakan-akan gelar S2 atau S3 adalah cap untuk sederet ekspektasi tinggi.

Mendengar orang lain dikomentari begitu, tak ayal membuatku berpikir banyak tentang mengambil beasiswa. Jujur, aku tak terlalu tertarik dengan dunia yang kugeluti saat ini. Nggak kebayang melanjutkan kuliah di dunia yang sama—dengan bekal S1 yang sangat pas-pasan. Bagaimana kalau ketika lulus dan ternyata masih saja belum bisa menemukan minat, orang lain sudah mengharapkan yang terbaik, hanya karena ekspektasi tinggi akan gelar S2 atau S3?

Fiuhh, kita memang hidup di dunia penilaian orang lain. Untuk melepaskan diri dari itu, sangat sulit. Apalagi untuk aku yang cenderung sensitif dengan komentar orang. Jadi… beasiswa? Mikir-mikir dulu deh…