Thursday, December 22, 2005

Life Ain’t Just About Money


Belakangan ini aku banyak merenung tentang hidup, dalam kaitannya dengan masa lalu, kini, dan masa depan. Kenangan tentang sebuah keluarga di mana aku tumbuh besar, dan impian tentang sebuah keluarga yang ingin kubangun. Fiuuhh... perenungan yang panjang dan dalam...

Perenungan itu membawaku pada pertanyaan: mengapa orang sering menganggap kebahagiaan identik dengan kekayaan, kesejahteraan identik dengan harta yang melimpah, dan kebanggaan identik dengan kedudukan yang tinggi? Alangkah dangkalnya manusia bila tiap orang berpikir seperti itu.

Aku mengenal sebuah keluarga yang sangat berkecukupan. Dari segi harta, mereka tak kekurangan. Dari segi kedudukan, mereka sangat terhormat. Mereka tampak bahagia. A perfect family. Tapi entahlah... ada sesuatu yang sangat menusuk perasaanku. Ingin rasanya kutanyakan pada anak dalam keluarga itu ketika ia dewasa nanti: adakah yang terlewat dari masa kanak-kanaknya yang berkelimpahan? Ingin rasanya kutatap bening matanya, berharap tak pernah ia akan rasakan duka di sana, seperti duka yang dulu selalu ada dalam hatiku. Ingin kutanyakan padanya: adakah ia rasakan kehilangan akibat kedua orang tua yang jarang berada di rumah?

Bagiku, bullshit bila orang tua berdalih melakukan semua itu demi kesejahteraan si anak. Cinta dan perhatian tak bisa diganti dengan uang dan kedudukan tinggi. Love doesn’t cost a thing. Apa artinya berkecukupan bila kita tak punya teman untuk bicara, dengan siapa kita berbagi, bermanja, bermain, atau sekedar minta ditemani mengerjakan tugas sekolah? Apa artinya terpilih dalam pertunjukan atau pertandingan sekolah bila orang-orang terkasih kita tak ada di sana untuk menyaksikannya? Akankah kita temukan kasih sayang orang tua pada pembantu, tukang kebun, guru les, atau guru mengaji yang lebih sering berada di rumah daripada orang tua kita?

Berdasar pengalaman pribadi, menurutku ada dua kemungkinan dampak buruk yang bisa terjadi pada si anak. Dia akan tumbuh menjadi anak yang tertutup, minder, merasa tidak diperhatikan, dan tidak dicintai. Kebutuhan emosionalnya akan kasih sayang orang-orang terdekat tidak terpenuhi secara baik. Kemungkinan kedua lebih buruk lagi: bisa saja dia bahkan menjadi kebas, merasa tidak lagi membutuhkan orang tua. Toh selama ini dia bisa berdiri sendiri dan berusaha sendiri tanpa kedekatan dengan orang tua. Hubungan yang berjarak dengan orang tua membuatnya teralienasi. Bukankah menyedihkan bila seorang anak merasa tidak lagi membutuhkan orang tuanya?

Aku sangat percaya dengan lirik lagu Hero ini:
It's a long road
When you face the world alone
No one reaches out a hand
For you to hold

Orang tua adalah orang-orang terdekat anak yang paling bisa reach out a hand for them to hold, supaya anak tidak merasa sendiri. Apa jadinya jika orang tua tidak memiliki pemahaman ini?

Aku tidak ingin jadi bunda yang seperti itu buat anak-anakku. Aku ingin jadi bunda yang selalu ada untuk mendukung mereka dan memberi mereka nasehat tanpa menggurui. Bunda kepada siapa mereka berbagi keajaiban, kegembiraan, bahkan air mata. Bunda yang mampu membuat mereka merasa lebih baik. Bunda yang jadi sahabat sejati mereka. Bunda yang juga akrab dengan teman-teman mereka. Sungguh... aku bersedia mengambil resiko apa saja untuk menjadi bunda yang seperti ini...

Pada akhirnya, kebahagiaanku adalah ketika anak-anakku dengan bangga berkata, ”Bundaku adalah bunda paling hebat...”