Sejak dahulu aku paham bahwa darah Jawa mengalir sangat kental di dalam keluarga besarku. Namun, baru pada usia dewasa aku mengetahui bahwa di dalam keluarga kami ternyata mengalir darah biru dari sebuah kerajaan yang memiliki latar belakang panjang dalam sejarah.
Surat asal-usul nenek buyutku |
Gambar di atas adalah foto yang kuperoleh dari grup Whatsapp trah Suradi Siswosuhardjo, keluarga besarku dari garis ibu. Suradi adalah nama kakekku, sementara nenekku bernama Suharsi. Pada gambar di atas, panah oranye adalah nama nenek buyutku, ibu dari nenekku, yang kalau dirunut ke atas masih merupakan keturunan dari Sultan Hamengkubuwono I. Gambar di bawah ini adalah pohon silsilah Sultan Hamengkubuwono I dari para raja-raja Jawa zaman dahulu.
Di masa lalu, raja-raja di tanah Jawa dikenal gemar memamerkan silsilah atau asal-usul garis keturunannya sebagai alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan. Babad Tanah Jawi yang dikumpulkan di masa pemerintahan Raja Paku Buwono I pada awal abad ke-18 hingga masa pemerintahan Paku Buwono III, dipercaya oleh beberapa ahli merupakan salah satu sarana yang digunakan kerajaan untuk keperluan legitimasi tersebut.
Babad Tanah Jawi [1] adalah sebuah buku tentang legenda sejarah dan kisah pohon keluarga dan hubungan antara raja dan penguasa Jawa. W.L. Olthof, seorang sejarawan Belanda, menyusun buku ini dari aksara Jawa kuno pada tahun 1941. Seperti yang kita ketahui bersama, banyak naskah beraksara Jawa kuno kini ada di Belanda, hasil dari beberapa ratus tahun pendudukan kolonialisme di negeri ini–meskipun masa sekian ratus tahun ini sebenarnya masih debatable. Buku ini kini telah diterjemahkan oleh sejarawan Indonesia, H.R Sumarsono.
Teks asli Babad Tanah Jawi memuat silsilah raja-raja Jawa dari Nabi Adam hingga tahun 1647, dewa-dewi dalam agama Hindu, tokoh-tokoh dalam Mahabharata, Cerita Panji Masa Kediri, Masa Kerajaan Pajajaran, Masa Majapahit hingga Masa Demak yang kemudian dilanjutkan lagi dengan silsilah Kerajaan Pajang, Mataram dan berakhir pada masa Kartasura.
Dulu ketika mengetahui bahwa nenekku masih ada kaitannya dengan keluarga kerajaan, kupikir kerajaan yang dimaksud adalah Kasunanan Surakarta karena keluarga besar kami berdomisili di Solo, meskipun leluhurnya sempat tinggal di Ngawi. Ternyata kami lebih dekat dengan garis keturunan Sultan Hamengkubuwono dari Kesultanan Yogyakarta.
Dari hasil ngobrol dengan teman-teman SMA-ku, Kesultanan Yogyakarta sejatinya adalah kerajaan sempalan yang lahir dari pemberontakan karena garis asli dari Kerajaan Mataram Islam sebenarnya adalah Kasunanan Surakarta. Mereka meledekku sebagai keturunan pemberontak, hahaha. Lantas, bagaimana sebenarnya kisah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta ini?
Jika dilihat dari gambar kedua di atas, Kerajaan Mataram Islam versi terakhir berkedudukan di Kasunanan Kartasura dengan Amangkurat IV sebagai penguasa Mataram periode 1719–1726. Tiga putra Amangkurat IV di antaranya adalah Pangeran Arya Mangkunegara (putra sulung), Pangeran Prabasuyasa (kelak bergelar Susuhunan Paku Buwono II), dan Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono I).
Pangeran Arya Mangkunegara seharusnya menjadi penguasa Mataram sebagai penerus dari Amangkurat IV. Namun, lantaran kerap menentang Belanda dan difitnah oleh Patih Danureja, dia diasingkan ke Ceylon, Sri Lanka dan meninggal dunia di Cape Town, Afrika Selatan [2]. Pangeran Arya Mangkunegara memiliki seorang putra bernama Raden Mas Said atau dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.
Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said sama-sama merasa berhak mendapatkan bagian dari kekuasaan Kasunanan Kartasura setelah Amangkurat IV wafat. Namun, Belanda justru menaikkan Pangeran Prabasuyasa sebagai raja. Pangeran Prabasuyasa kemudian bergelar Susuhunan Paku Buwono II (1745–1749) dan memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta. Inilah yang membuat Kasunanan Surakarta berdiri sebagai bentuk paling baru dari kerajaan turunan Mataram.
Raden Mas Said lantas mengobarkan perlawanan terhadap Belanda untuk menuntut haknya sebagai pewaris kuasa Mataram. Dia pernah menduduki suatu daerah bernama Sukawati, sekarang Sragen. Bukan hanya Raden Mas Said yang merasa berhak atas tahta, Pangeran Mangkubumi juga berhasrat serupa. Pangeran Mangkubumi sempat menemui pejabat Belanda di Semarang pada 1746 dan meminta agar dirinya diangkat menjadi raja, tetapi permintaan itu ditolak. Penolakan itu membuat Pangeran Mangkubumi marah dan bergabung dengan Raden Mas Said untuk bersama-sama melawan Paku Buwono II dan Belanda.
Setelah Paku Buwono II wafat pada 20 Desember 1749, Belanda mengangkat putra mendiang Paku Buwono II, yaitu Raden Mas Suryadi menjadi raja Kasunanan Surakarta bergelar Susuhunan Paku Buwono III. Sepeninggal Paku Buwono II, perlawanan terhadap Belanda dan Surakarta semakin meningkat. Pangeran Mangkubumi memimpin pasukannya dari sebelah timur Surakarta, sedangkan angkatan perang pimpinan Raden Mas Said menyerang dari utara.
Belanda yang merasa kewalahan kemudian menjalankan siasat adu domba antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Utusan Belanda menghubungi Pangeran Mangkubumi secara diam-diam. Mereka menjanjikan separuh wilayah Mataram yang dikuasai oleh Paku Buwono III kepada Pangeran Mangkubumi jika bersedia menghentikan perlawanannya.
Pada 13 Februari 1755, Belanda dan Pangeran Mangkubumi bertemu. Pertemuan inilah yang menghasilkan Perjanjian Giyanti, yang disebut juga dengan Babad Palihan Nagari [3]. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti yang saat ini terletak di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, dekat Karanganyar, Jawa Tengah.
Naskah Perjanjian Giyanti, sumber dari Google |
Perjanjian Giyanti merupakan kesepakatan yang intinya membagi Mataram menjadi dua bagian. Berdasarkan perjanjian itu, kawasan milik Mataram di sebelah timur Sungai Opak dikuasai oleh Paku Buwono III dengan kedudukan tetap berada di Surakarta, sedangkan wilayah yang berada di sebelah barat menjadi milik Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Mangkubumi kemudian mendeklarasikan berdirinya kerajaan baru bernama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dia menjadi raja pertama dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I. Pangeran Mangkubumi akhirnya melepaskan diri dari Raden Mas Said.
Lantas, apa yang terjadi dengan Raden Mas Said? Dia akhirnya menjadi musuh bersama antara Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Namun dalam perjalanannya, Raden Mas Said akhirnya memperoleh jatah atas campur tangan Belanda setelah menandatangani Perjanjian Salatiga dengan Belanda pada 17 Maret 1757. Melalui perjanjian tersebut, dia diberikan hak untuk memiliki bagian dari timur Mataram, yang kemudian menjadi Kadipaten Mangkunegaran. Dia kemudian bergelar sebagai Mangkunegara I.
Perjanjian Giyanti kemudian diikuti pula dengan pertemuan antara Sultan Hamengkubuwono I dan Paku Buwono III di Lebak, Jatisari pada 15 Februari 1755. Dalam pertemuan ini dibahas mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan. Kesepakatan yang dikenal dengan nama Perjanjian Jatisari ini membahas tentang perbedaan identitas kedua wilayah yang sudah menjadi dua kerajaan yang berbeda.
Pembahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain. Inti dari perjanjian ini kemudian adalah Sultan Hamengkubuwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Mataram. Sementara itu, Paku Buwono III sepakat untuk memberikan modifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru. Pertemuan Jatisari menjadi titik awal perkembangan budaya yang berbeda antara Yogyakarta dan Surakarta. Mungkin inilah sebabnya, orang lebih mengenal Keraton Yogyakarta sebagai penerus kerajaan Mataram Islam karena lebih "membawa" budaya Mataram.
Seiring berjalannya waktu, wilayah Kesultanan Yogyakarta mengalami pasang surut. Utamanya, terkait dengan pengaruh pemerintah kolonial, baik Belanda maupun Inggris. Pada 20 Juni 1812, ketika Inggris berhasil menyerang dan memasuki keraton, Sultan Hamengkubuwono II dipaksa turun tahta. Sebagai penggantinya, Sultan Hamengkubuwono III dipaksa menyerahkan sebagian wilayahnya untuk diberikan kepada Pangeran Notokusumo (putra Hamengkubuwono I) yang diangkat oleh Inggris sebagai Adipati Paku Alam I.
Maka jangan heran jika hari ini ada dua keraton di Solo, yaitu Keraton Surakarta dan Keraton Mangkunegaran, serta ada dua keraton di Jogja, yaitu Keraton Yogyakarta dan Keraton Pakualaman. Semua keraton itu berasal dari root yang sama, yaitu kerajaan Mataram Islam [4].
Demikianlah kisah panjang sejarah yang mengalir di dalam keluargaku. Idenya terpantik oleh tema tantangan Mamah Gajah Ngeblog yang digawangi oleh Mamah Andra, dan aku elaborasi setelah melihat-lihat foto di galeri grup Whatsapp keluarga besar.
Kini aku memahami sepenuhnya mengapa unggah-ungguh di keluargaku sangat dijunjung tinggi. Sejak kecil kami diwajibkan bisa berbahasa krama inggil bila berbicara dengan orang tua, dan harus siap-siap kena marah bila salah memilih diksi, hahaha. Belum lagi jika bicara tentang kebiasaan kakekku membaca buku-buku beraksara jawa dan menyimpan keris-keris pusaka.
Meskipun kini keluarga besar kami lebih proletar dan tak lagi saklek dengan tradisi karena rata-rata menikah dengan rakyat jelata, aku bisa dengan bangga menyatakan bahwa leluhur kami terdahulu berasal dari keturunan raja-raja Jawa.
[1] Babad Tanah Jawi: Mulai Dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647, W.L. Olthof (1941), alih bahasa oleh H.R. Sumarsono.
[2] Sejak Indische sampai Indonesia, Sartono Kartodirdjo (2005).
[3] Sejarah Kanjeng Sultan Hamengkubuwana IX, Purwadi (2006).
[4] Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga, Sri Wintala Achmad (1964).
Tulisan ini diikutsertakan dalam Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Agustus yang bertema “Sejarah Indonesia dari Sisi yang Berbeda”.