Sepanjang usia pernikahanku yang baru empat tahun, terhitung kami sudah pernah merasakan tinggal di tiga rumah. Rumah pertama tentu di Cikarang, rumah pertama kami yang kini sudah dijual. Rumah kedua adalah rumah kontrakan di Cisitu, Bandung, yang baru saja kami tinggal pindahan dua minggu lalu. Rumah ketiga adalah rumah baru kami saat ini.
Kuingat-ingat lagi, aku selalu mengalami fase adaptasi yang tidak mudah. Awal-awal tinggal di kesemua rumah itu, aku pasti merasa sedih karena merasa belum betah, ada saja ini-itu yang dirasa tidak sesuai. Tapi setelah kuingat lagi, masa-masa meninggalkan rumah-rumah itu juga merupakan masa-masa yang berat. Yang tadinya merasa tidak betah, ternyata telah berubah menjadi sangat betah, bahkan cenderung susah untuk berpisah.
Kerinduan pada rumah Cikarang adalah kerinduan melankolis, semata-mata karena rumah itu adalah rumah pertama yang kami beli dari hasil jerih payah kami sendiri. Rumah yang mengawali kehidupan, tempat kami bercengkerama berdua sebelum punya anak. Rumah tempat kami berbulan madu, sekaligus tempatku belajar menjadi seorang istri. Yang tadinya tidak suka memasak, menjadi harus berkutat di dapur dan belajar memasak sesuatu. Rumah ini juga rumah pertama yang perabot dan dekorasinya kupilih sendiri, hingga tiap ruangan terasa punya sentuhan rasa pribadi. Tamannya adalah ajang pertama kami bereksplorasi dengan yang namanya gardening, meskipun hasilnya hampir semua tanaman mati :D
Rumah Cisitu adalah rumah terlama yang pernah kuhuni sampai saat ini, hampir empat tahun lamanya. Pertama tinggal di situ aku sempat sedih soal air yang tidak 24 jam mengalir, hingga memaksa kami harus membeli tandon-tandon air dan membuat kami harus siaga mengisinya di malam hari. Pertama kali punya anak adalah ketika tinggal di rumah ini. Rumah ini betul-betul menjadi saksi masa kehamilan dan kelahiran Hanif. Betul-betul menjadi saksi kerepotan belajar mengurus anak pertama, sekaligus saksi tumbuh-kembang Hanif pada masa tiga tahun pertama.
Di rumah Cisitu lah Hanif belajar ngesot, lalu merangkak, berjalan, dan akhirnya berlari. Dengan anak-anak sekitar masjid di gang itulah Hanif belajar bersosialisasi untuk pertama kali. Dan di rumah ini pula kutemukan makna hidup bertetangga dengan orang-orang yang sangat baik, yang tak pernah merasa berat membantu satu sama lain, sesuatu yang tidak kurasakan ketika tinggal di Cikarang karena di sana masyarakatnya cenderung individualis.
Aku betul-betul merindukan rumah Cisitu, sebagai tempat yang penuh kenangan dalam kehidupanku sebagai seorang bunda, dalam memori indah tentang masa-masa membesarkan Hanif di tahun-tahun pertama.
Bagaimana dengan rumah baru kami di Bojongkoneng? Sama dengan rumah Cikarang, rumah ini juga rumah yang terasa punya sentuhan rasa pribadi karena perabot dan dekorasinya kami pilih sepenuh hati. Tapi entah mengapa, rasanya belum klik benar dengan rumah ini. Memang belum ada dua minggu kami tinggal di situ. Mungkin masih perlu banyak waktu, seperti interaksiku dengan rumah yang sudah-sudah.
Sekarang pekerjaanku tiap hari adalah beres-beres rumah. Kardus sisa pindahan masih ada beberapa yang belum dibongkar, perabot masih ada yang kurang dibeli—terutama rak buku tempat menaruh buku-buku, serta kontainer yang kurencanakan sebagai tempat menaruh mainan Hanif yang seabreg itu. Yup, betul. Kerja beres-beres rumah ini adalah salah satu caraku untuk membuat rumah baru kami terasa lebih homy agar kami lebih betah, meskipun hal itu membuat skoliku sakit hampir tiap hari.
Home is where the heart is. Agaknya pernyataan itu benar adanya. Dan tampaknya, aku sudah harus mulai menaruh hati pada rumah baru kami, rumah yang akan menjadi tempat tumbuh-kembang adiknya Hanif di tahun-tahun pertamanya, dan akan menjadi saksi kehidupan keluarga kami di tahun-tahun selanjutnya, insya Allah.
Foto 1: Rumah Cikarang ketika terakhir kali aku tinggal di sana, awal April 2011. Rumah ini terjual pada 27 April 2011.
Foto 2: Gang Masjid kenangan, menuju rumah Cisitu. Foto ini diambil pada 13 Juni 2011.
Foto 3: Rumah Cisitu yang biru, sebiru haru hatiku ketika mengunjunginya kembali sepulang kerja sore itu. Hanya mengambil fotonya saja tanpa berani masuk, khawatir memori indah tentang rumah ini mendesak ruang rasa hingga membuat perih. Di pintu pagar inilah Hanif biasa menantiku pulang setiap sore, membukakan pintu dengan tawanya yang lebar. Tuh kan, jadi sedih lagi, hiks.
Foto 4: Rumah kami sekarang, yang masih terasa panas karena tidak ada pepohonan di sekitarnya. Sabtu pagi itu Hanif sedang membantu ayahnya mencuci motor di depan rumah.