Pagi tadi ketika aku mengerjakan order instalasi jalur internet di gedung sebelah, tak sengaja aku mendengar percakapan bapak-bapak si empunya ruangan. Tiga bapak-bapak, satu baru saja berkesempatan menunaikan ibadah haji akhir tahun lalu—sebut saja Pak X, sedang membicarakan entah apa—yang berhubungan dengan naik haji.
Samar-samar kudengar Pak X berkata, “Matematikanya Allah itu beda dengan matematikanya manusia. Kalau manusia berhitung-hitung uang buat naik haji mungkin memang nggak akan pernah cukup. Tapi kalau Allah berkehendak, baru berapa tahun nabung juga langsung bisa berangkat.”
Beberapa saat kemudian Pak X berkata lagi, “Saya ini sudah naik haji, bukan berarti ibadah saya baik. Biar orang bilang apa, yang penting buat saya, haji saya ini berpengaruh positif buat spiritual saya. Kalau kita nunggu ibadah kita bagus dulu, baru naik haji… bisa-bisa kita nggak bakalan naik haji. Sekarang tolak ukur ibadah bagus itu siapa? Rasulullah dan para sahabat kan? Mana bisa kita bilang ibadah kita sudah bagus.”
Sayup-sayup kudengar juga Pak X berkata, “Yang penting itu tanamkan niat. Berdoa benar-benar supaya Allah memberangkatkan kita bersama istri kita, jangan mau berangkat sendiri. Semoga kita bisa berangkat bersama istri, begitu doanya.”
---
Selama ini, naik haji adalah sesuatu yang sangat jauh dari angan-anganku. Sebagai seseorang yang baru mulai berkeluarga, banyak hal-hal lain yang lebih menyita perhatian. Tak terbersit niat untuk naik haji. Kalaupun ada sedikit, prioritasnya masih jauh alias masih nanti-nanti. Tapi entah kenapa, ketika musim haji tahun lalu datang, tiba-tiba ingin sekali aku naik haji. Apalagi setelah baca blog
ini, dadaku makin berdentum-dentum oleh keinginan kuat untuk bersujud di baitullah.
Aku masih ingat, ketika khotbah sholat Idul Adha akhir tahun lalu, mata ini berkaca-kaca karena malu pada Allah. Dalam khotbah itu diceritakan—konon kisah nyata—seorang miskin yang mengambil seluruh tabungannya untuk membeli kambing qurban, padahal dia sendiri kembang kempis dalam mencari penghasilan karena hanya bekerja sebagai buruh cuci. Justru dia yang berhak menerima daging qurban, sebenarnya.
Lalu ketika membaca cerpen di majalah Ummi tentang kisah penjual jamu gendong keliling yang bisa berangkat haji gratis sementara tetangganya yang suka pamer kekayaan malah kehilangan tabungan haji, hati ini makin malu. Betapa banyak orang-orang yang—di mata manusia—minim kemampuan finansial, ingin pergi haji. Sementara aku yang dilapangkan segalanya oleh Allah malah tak kepikiran untuk pergi haji. Duh, malu…
Hal yang juga membuatku malu pada Allah adalah… karena selama ini tiap kali ditanya aku ingin pergi ke mana kalau ada rezeki, selalu kujawab dengan mantap: Eropa! Sejak dulu aku memang selalu bermimpi bisa pergi ke Eropa dan menjelajahi sudut-sudutnya yang eksotis—hal yang selama ini hanya bisa kulakukan lewat blog teman-temanku yang bermukim di sana. Duh, mirisnya. Masa lebih ingin pergi ke Eropa daripada pergi naik haji? Masya Allah…
Memang benar naik haji itu banyak rintangannya. Tak usah jauh-jauh, orang terdekat pun belum tentu mendukung. Alasannya macam-macam, mulai dari “tabungan masih untuk prioritas yang lain”, “anak masih kecil”, sampai ke alasan “masih punya hutang cicilan rumah” (jadi bertanya-tanya, sebenarnya definisi mampu itu bagaimana kalau masih punya tanggungan cicilan rumah?).
Dunia oh dunia, mengapa begitu melenakan dan memberi berbagai macam alasan uzur?
Aku sangat sepakat dengan perkataan Pak X yang ini: “Kalau kita nunggu ibadah kita bagus dulu, baru naik haji… bisa-bisa kita nggak bakalan naik haji.” Hal ini pernah kualami ketika memutuskan berjilbab. Pertama kali keinginan memakai jilbab timbul, hatiku sempat ragu. Ibadah masih kacau dan belum alim, masa mau berjilbab, begitu pikirku. Akhirnya hilanglah keinginan itu. Selang tak lama, keinginan itu muncul lagi, lalu kutepis lagi. Pada saat keinginan itu muncul untuk ketiga kalinya, aku tak mau sia-siakan. Jangan sampai niat itu hilang dan tak pernah muncul lagi, pikirku. Allah sayang padaku dan berkenan memberiku ilham berjilbab sampai tiga kali, jangan sampai Allah kesal karena selalu kutepis dan tak segera kulakukan, jangan sampai Ia cabut kembali niat itu. Begitulah pikirku waktu itu. Tak peduli ibadahku masih seperti apa dan bagaimana komentar orang, karena kalau aku menunggu jadi shalih dulu, wah… bisa-bisa selamanya aku tak akan pernah berjilbab. Siapa yang tahu kapan maut menjemput, bukan begitu?
Membulatkan niat, meyakinkan orang-orang terdekat, dan sekuat tenaga mengumpulkan bekal finansial… rasanya itu ikhtiar yang harus dilakukan terkait masalah naik haji ini. Sambil terus berdoa, “Ya Allah, mudahkanlah jalan kami ke baitullah. Mantapkanlah niat kami, bulatkanlah semangat kami. Izinkanlah dan sampaikanlah hamba dan suami hamba ke sana, ya Rabb. Amin.”