Wednesday, October 13, 2010

Hanif dan Daycare

Seperti yang aku tulis di tulisan sebelum ini, karena babysitter yang lama minta resign dan babysitter yang baru belum datang, untuk sementara Hanif dititipkan di daycare. Untuknya, aku memilihkan daycare terbaik yang aku bisa. Islami, tak terlalu jauh dari rumah, serta insya Allah diasuh oleh tangan-tangan ahli. Silakan klik di sini untuk tahu lebih lanjut soal daycare-nya Hanif.

Malam sebelum Hanif masuk daycare, aku dihinggapi gelisah. Dia tak pernah diasuh di luar rumah, maka wajar jika beberapa kekhawatiran melintas. Memikirkan tak bisa jadi bunda yang baik karena tak bisa mengasuhnya dengan tanganku sendiri, tak urung membuatku sedikit sentimentil dan hampir berujung pada air mata. Sampai lewat tengah malam aku baru bisa tidur.

Inilah dia sekelumit kisah tentang hari-hari awal Hanif di daycare.

Senin, 11 Oktober 2010

Hal yang paling susah tentang menyiapkan Hanif masuk daycare adalah acara membangunkannya di pagi hari. Berhubung dia biasa bangun pukul 07.30, maka diperlukan usaha sedikit keras untuk membuatnya terjaga pukul 06.30. Karena akhirnya dia baru bangun pukul 06.40 dan baru bisa berangkat pukul 07.15, alhasil aku jadi terlambat masuk kantor :D

Proses meninggalkan Hanif di daycare berjalan lebih mulus daripada perkiraanku. Meski awalnya masih beberapa kali memeluk dan menolak untuk ditinggal, akhirnya dia mau melepasku pergi sambil melambaikan tangan. Mungkin karena melihat raut wajahku yang diliputi kekhawatiran, Teh Nita—pemilik daycare—beberapa kali mengirim SMS laporan tentang perkembangan Hanif seharian itu.

10.40
“Mbak, Hanif anteng kok. Ditinggal nggak nangis. Mau main dengan temennya. Cuma belum mau pipis. Sedang adaptasi aja. Insya Allah nggak apa-apa.”

10.54
“Udah mau pipis, Mbak. Sekarang lagi pada belajar. Hanif OK sampai sekarang. Beberapa anak ada yang adaptasinya dimulai hari kedua dst. Kita lihat nanti waktu makan siang.”
Pikirku: Syukurlah, berarti Hanif termasuk yang gampang beradaptasi.

13.38
“Hanif lagi coba dibobokin di kamar sama Ammah Ira. Tadi kedengeran nangis-nangis. Sekitar 10 menit-an. Biasa Bu, adaptasi tidur. Sekarang udah anteng, mungkin udah tidur. Makan siang disuapin Ammah Ira, habis 3 porsi (nambah 2 kali). Nggak nyampai setengah jam makannya. Mungkin karena temen-temennya juga pada makan.”
Pikirku: Ya ampun, anakku... Makan habis 3 porsi? Ckckck...

Ketika sorenya aku datang untuk menjemput Hanif, dia menolak untuk pulang :D

Sepertinya harinya dilalui dengan fun, syukur alhamdulillah. Berarti segala kekhawatiran pupus sudah. Mendengar satu komentar tentang Hanif yang terlihat lebih mandiri dibanding teman-temannya, cukup menimbulkan kebanggaan tersendiri di hatiku. Proses belajar dan meleburnya dia di lingkungan daycare—teman-teman maupun pengasuh—juga berjalan lancar.

Selasa, 12 Oktober 2010

Hanif berhasil bangun lebih pagi. Juga lebih bersemangat untuk pergi ke “sekolah” (begitulah kami membahasakan daycare padanya). Tapi hari ini Hanif sedikit menangis ketika bangun tidur siang. Menangisnya sambil panggil-panggil bunda ^^

Laporan dari Teh Nita, “Tadi diaper-nya kepakai waktu tidur siang. Pipisnya banyak.”

Lalu aku mendapat bocoran kalau bekal sarapan yang disiapkan dari rumah ternyata porsinya kurang. “Makannya luar biasa. Kayaknya nasi yang pagi tadi kurang deh,” ujar Ammah Ira.

Secara keseluruhan, hari kedua ini berjalan baik. Juga tak lagi menolak untuk pulang ketika dijemput, seperti hari pertama :D

Tuesday, October 12, 2010

Pilih Daycare atau Babysitter?

Ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa babysitter andalan minta resign, tak pelak aku kebingungan. Bagaimanapun, sebenarnya tanggung jawab mengasuh anak itu adalah tanggung jawab natural yang tak hendak kuhindari. Tapi mau tidak mau, karena bekerja, aku harus mendelegasikan tugas itu kepada orang lain ketika aku berada di luar rumah. Dan sebagai bentuk dari tanggung jawab itu adalah memilihkan pengasuh yang terbaik buat anak, yang satu visi dan satu pemikiran denganku soal bagaimana mengasuh anak.

Selama ini babysitter memang menjadi pilihan utama. Dalam rentang waktu usia Hanif 0-2 tahun, aku rasa tempat terbaik baginya adalah di rumah, terawasi satu lawan satu dengan si babysitter. Dan aku tak main-main dalam mencari pengasuh terbaik ini. Harus yang kredibel, tak sembarang comot. Maka dua tahun lalu, didapatlah keputusan untuk mengambil babysitter dari Daarut Tauhiid. Insya Allah terpercaya akhlaknya. Dan ternyata memang benar (baca ceritaku di sini).

Ketika sekarang usia Hanif menginjak 2 tahun 4 bulan dan si babysitter minta pamit, ada beberapa pertimbangan yang membuatku melirik daycare. Jujur, ini masih terkait dengan usaha-memilihkan-pengasuh-terbaik-buat-anak itu. Ada beberapa poin dalam perkembangan Hanif yang menjadi kegelisahanku. Ini dia:
  • Hanif belum lancar bicara. Secara konsep dia sudah mengerti semuanya, tapi secara verbal dia masih terpatah-patah. Kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya suku kata paling belakang dari tiap kata. Aku pribadi masih menganggap ini normal karena progres bicara tiap anak berbeda-beda, tapi apakah memang benar demikian adanya? Padahal di rumah, rasanya tak kurang-kurang kami merangsang sisi linguistiknya (mengajak ngobrol, membacakan buku cerita, melihat VCD/DVD bersama sambil bercerita, dan lain-lain). Aku pikir mungkin dengan bergaul di daycare, perkembangan bahasanya bisa lebih meningkat.
  • Sekarang ini tingkat egonya sedang luar biasa. Susah berbagi, anak tetangga tidak diperbolehkannya main ke rumah, dan beberapa indikasi lain yang membuatku curiga pada kurangnya sisi sosialnya. Atau memang lagi masanya ya? Entahlah. Tapi kupikir daycare akan bisa mengajarinya tentang persahabatan, brotherhood, suka duka berbagi, dan keceriaan kebersamaan. Juga mengajarinya bahwa di luar sana tidaklah semudah berbagai bentuk kemanjaan di rumah (eits, bukan berarti aku memanjakannya ya). Bukankah sejak kecil anak juga harus diajari kerasnya kehidupan (halah bahasanya!) ketika dia harus menghadapi persaingan (dengan teman sebaya) dan usaha untuk survive?

Namun demikian, ada juga kekhawatiran bila Hanif dititip di daycare:
  • Kata Ayahnya, dia belum mandiri, jadi masih mengkhawatirkan bila ditinggal sendiri di lingkungan yang belum tentu memahaminya. Salah satunya terkait dengan belum-bisa-ngomongnya itu. Kalau kami sekeluarga yang sering berinteraksi dengannya kan sudah paham dengan celotehnya yang patah-patah itu. Di daycare yang notabene anak tidak terawasi satu lawan satu dengan pengasuh, kami khawatir Hanif agak “terbengkalai” karena belum bisa mengutarakan maksudnya dengan jelas.
  • Di Bandung, Hanif kan cuma tinggal berdua sama aku. Artinya, tanpa babysitter, tanpa suami yang menemani, kalau malam aku harus siap stand by seorang diri. Masalahnya, dia termasuk anak aktif yang suka memanjat, suka menyentuh ini itu, sehingga membuatku paranoid kalau tidak diawasi. Salah-salah bisa kejedot, jatuh, atau berbagai hal mengerikan lainnya. Apalagi aku termasuk makhluk yang paling-tidak-bisa sebentar di kamar mandi. Tidak nyaman rasanya harus melakukan ritual di kamar mandi cepat-cepat. Belum kalau Hanif sakit, aku harus begadang sendirian. Belum juga kalau akunya yang sakit, masih harus mengasuh Hanif tanpa bisa istirahat karena tidak ada orang yang bisa diajak gantian.
  • Alat transportasi yang kami punya cuma sepeda motor. Artinya, antar jemput Hanif dari dan ke daycare harus siap bertempur dengan panas dan hujan. Panas mungkin tidak jadi masalah ya. Tapi bagaimana kalau musim hujan? Kasihan Hanif yang bakal sering terpapar air hujan dan bisa menjadikannya sakit.
  • Masalah lain yang muncul adalah bagaimana jika aku harus keluar kota, yang artinya bakal berangkat pagi-pagi dan pulang malam seperti yang sudah-sudah? Daycare kan belum buka. Kepada siapa Hanif dititipkan, mengingat kami tidak punya kerabat di Bandung ini? Satu lagi kepusingan.
  • Mungkin ini memang tidak penting bagi sebagian orang yang membaca, tapi ini sangat penting buatku. Yang kumaksud adalah rutinitas yang sering kujalani sepulang kerja seperti: senam aerobik, berenang, dan fisioterapi. Kadang-kadang menyempatkan ke salon juga. Kalau Hanif dititipkan di daycare, berarti aku harus mengucapkan selamat tinggal pada aktivitas tersebut, mengingat aku harus segera menjemputnya. Ini bukan hal yang mudah. Bukan berarti aku egois ya, tapi aktivitas itu demi “menjaga kewarasan” seperti yang aku kutip dari sini.

Bagi kami, waktu egois saya adalah investasi, demi menjaga kewarasan. Kebutuhan untuk bersosialisasi, kebutuhan untuk mendapat ide segar dari kegiatan di luar rumah, kebutuhan untuk mengurusi dan menyegarkan diri sendiri (yang sebagian ibu suka manfaatkan dengan creambath di salon, belanja di mal, atau dalam kasus saya; jalan-jalan sendirian dan baca buku yang sebelumnya dipinjam dari rumah buku yang dikelilingi kebun bibit), lahir ataupun batin.

Update:

Setelah Hanif melewati satu hari yang lancar di daycare, akhirnya aku mendapat stok babysitter dari Daarut Tauhiid. Jadi, hari-hari Hanif di daycare—untuk minggu ini—cukuplah sampai tiga hari saja. Selanjutnya dia akan kembali diasuh di rumah.

Keputusan untuk kembali bersama babysitter ini didapat melalui diskusi yang cukup alot dengan suami dan Mami. Tarik ulur antara segi positif dan negatif bila Hanif dititip di daycare—seperti yang aku tulis di atas, berlangsung cukup seru :)

Rencana ke depannya, mungkin Hanif akan “disekolahkan” lagi di daycare dua kali seminggu untuk mengoptimalkan proses belajarnya. Keputusan ini dibuat untuk mengakomodasi banyaknya manfaat yang didapat Hanif dari daycare.

Yah, pada akhirnya, semoga semua ini adalah yang terbaik buat Hanif, karena tidak ada satupun langkah dan keputusan yang tidak kami mintakan petunjuk dari-Nya. Insya Allah.