Monday, May 26, 2008

Tomoe Gakuen

Tulisan ini terinspirasi dari blog Pak Armein seperti kukutip di bawah ini.

Sebuah artikel di New York Times mengatakan bahwa manusia dilahirkan dengan kemampuan belajar empat kebiasaan berpikir utama: analytically, procedurally, relationally (atau collaboratively), dan innovatively. Sayangnya saat kita mencapai pubertas, tubuh kita mematikan kapasitas membiasakan diri ini sampai 50%, dan hanya memelihara kebiasaan yang kita anggap penting dalam 10 tahun pertama hidup kita.

Oleh sebab itu betapa mengerikan tragedi yang terjadi pada anak-anak Indonesia hari ini. Sistem belajar di sekolah formal membunuh kemampuan kreatif dan inovatif anak-anak. Akibatnya, kebiasaan atau habit anak-anak kita jauh dari kreatif dan inovatif. Ini suatu kemunduran, karena di jaman kita kecil dulu, kita tidak mengalami pembunuhan kemampuan dan karakter se-hebat dan se-sistematis ini.

Pernah baca buku Totto-chan? Kalau belum, ini ada sedikit keterangan dari wikipedia.

Totto-chan, the Little Girl at the Window is a book written by Japanese television personality Tetsuko Kuroyanagi about her childhood at Tomoe Gakuen, an alternative elementary school founded by educator Sosaku Kobayashi.

The book begins with Totto-chan’s mother coming to know of her daughter’s expulsion from public school. Her mother realizes that what Totto-chan needs is a school where more freedom of expression is permitted. Thus, she takes Totto-chan to meet the headmaster of the new school, Mr. Kobayashi. From that moment a friendship is formed between master and pupil.

The book goes on to describe the times that Totto-chan has, the friends she makes, the lessons she learns, and the vibrant atmosphere that she imbibes. All of these are presented to the reader through the eyes of a child. Thus the reader sees how the normal world is transformed into a beautiful, exciting place full of joy and enthusiasm. The reader also sees in their role as adults, how Mr. Kobayashi introduces new activities to interest the pupils. One sees in Mr. Kobayashi a man who understands children and strives to develop their qualities of mind, body and heart. His concern for the physically handicapped and his emphasis on the equality of all children are remarkable. In the school, the children lead happy lives, unaware of the things going on in the world. World War 2 has started, yet in this school, no signs of it are seen. But one day, the school is bombed, and was never rebuilt, even though the headmaster claimed that he looked forward to building an even better school the next time round. It was never done and this ends Totto-chan’s years as a pupil at Tomoe Gakuen.

Dari dulu aku selalu berkeinginan kelak akan memasukkan anakku ke sekolah seperti Tomoe Gakuen, sekolah di mana sistemnya “tidak membunuh kemampuan kreatif dan inovatif anak-anak”, kalau mengutip kalimat Pak Armein. Atau kalau mengutip wikipedia, “a school where more freedom of expression is permitted” dengan guru-guru semacam Mr. Kobayashi, “a man who understands children and strives to develop their qualities of mind, body, and heart... a man who has a concern for the physically handicapped and the equality of all children”.

Kedengaran terlalu ideal? Mungkin. Tapi nyatanya sekolah semacam itu pernah ada, bahkan di zaman Perang Dunia II. Dan aku yakin, orang-orang bervisi dan bermisi seperti Mr. Kobayashi akan selalu ada. Dan ini terbukti. Sekarang ini banyak sekolah di Indonesia yang mengadopsi sistem Tomoe Gakuen. Yah, nggak mirip-mirip banget sih, tapi akarnya sama. Tentu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan perkembangan sistem pendidikan itu sendiri. Intinya mah teuteupp, berusaha menjadikan setiap anak itu unik, berusaha memberikan pendidikan yang menyenangkan, kreatif, dan inovatif. Plus pendidikan yang tidak membebani anak seperti sistem pendidikan formal di negara kita saat ini.

Coba cek situs Sekolah Alam Jakarta dan Sekolah Alam Bandung. Sekolah-sekolah ini sangat menarik minatku. Sayang, kabarnya sekolah-sekolah ini belum mendapat pengakuan Depdiknas. Jadi lulusannya harus ikut Kejar Paket kalau mau diakui secara formal. Ah, sayang sekali.

Yah, mungkin karena sistemnya masih baru sih. Kalau nggak salah, sistem homeschooling juga mendapat perlakuan yang sama dari pemerintah. Harus ikut ujian kesetaraan kalau lulusannya mau diakui.

Hmmm, mudah-mudahan kelak pas anakku menginjak usia masuk sekolah, sistem seperti ini sudah diakui dan mendapat tempat di mata pemerintah maupun masyarakat. Ayo kita sama-sama peduli dengan pendidikan anak, supaya anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak yang kritis, cerdas, kreatif, dan inovatif. Bukan tumbuh menjadi robot yang kehilangan masa kecil akibat beban pelajaran yang kerap mengundang stres.

Sunday, May 25, 2008

Mainan Baru

Aku punya mainan baru :)
Cek di http://yustika.myminicity.com/. Sering-sering mengunjungi yaaa....

Memandangmu

Tahukah, Sayang...

Aku suka sekali memandangmu saat kau terlelap di sampingku
Memandangi tiap senti wajahmu yang kokoh
Memandangi tiap lekuk bibirmu yang tak pernah lelah mengecupku

Aku juga suka sekali membelai rambutmu
Lalu mengecup kening dan hidungmu
Sambil berucap syukur saat itu kau masih ada di sisiku

Memandangmu, Sayang...
Membuat hatiku menjadi tenteram dan damai
Segala letih terurai sudah
Segala kesah terbanglah sudah

Betapa aku merindui ciuman selamat pagi yang kauberikan saat kita membuka mata
Juga ciuman selamat malam yang kauberikan menjelang tidur
Ah, betapa ingin aku selalu memulai dan mengakhiri hari dengan memandangmu

*kapan kita bisa serumah lagi ya, Cintaaa???*

Oleh-Oleh Prajabatan [2]: Bulan Madu Ketiga


Pas aku prajab, aku dan suamiku sempat berbulan madu lagi, hehehe. Lho kok bisa? Bisa dong... Yustika tea...

Jadi ceritanya gini. Ahad tanggal 4 Mei adalah hari libur prajab. Peserta udah bebas sejak malam minggu untuk ke mana aja. Yang rumahnya di Jakarta atau Bogor dan sekitarnya tentunya memilih mudik. Aku sebenarnya juga pengen pulang ke Cikarang, tapi khawatir kecapekan kalau bolak-balik dalam jangka waktu yang sempit seperti itu.

Akhirnya aku janjian sama suamiku untuk nginep di Puncak aja. Menghabiskan waktu berdua, memanfaatkan hari libur prajab. Begitulah, sejak Sabtu maghrib suamiku udah sampai di Puncak, cari hotel, lalu menjemput aku dari asrama. Sampai di hotel kami langsung tertidur, huehehe. Habis sama-sama kecapekan. Apalagi aku yang *karena prajab* jadi kurang tidur terus.

Ahad pagi, kami memutuskan untuk sarapan di Cimory. Cimory ini restoran yang produk utamanya adalah susu dan yoghurt *my favorite... cihuiii*. Makanannya enak-enak, susu dan yoghurtnya apalagi. Wah, pokoknya mantapss. Udah gitu, tempatnya juga cozy banget. Enak aja gitu, menikmati sarapan bermandikan cahaya matahari pagi, sambil memandang lepas ke lembah dan perbukitan nun jauh.

Habis dari Cimory, kami jalan-jalan ke Puncak. Menyusuri jalanan *yang macet :(* pakai angkot, melewati gerbang Taman Safari, sampai ke petak-petak kebun teh. Sayangnya kondisi badanku masih nggak karuan, jadi nggak bisa jalan-jalan lebih jauh lagi. Maaf ya, Sayang.

Kalau diingat-ingat, dari dulu aku dan suamiku selalu berbulan madu dengan cara ”menumpang”, hehehe. Bulan madu pertama: di Lembang, menumpang acara family gathering kantornya suami. Bulan madu kedua: di Bali, menumpang tugas dinas suami. Baca kisah keduanya di sini. Trus sekarang, bulan madu ketiga: di Puncak, menumpang acara prajab. Yah, mumpung di Puncak ini. Jarang-jarang kan. Yang penting bulan madu berlangsung asyik dan uhuy... ;)

Oleh-Oleh Prajabatan [1]

Semenjak pulang dari Diklat Prajabatan 27 April – 10 Mei lalu, enggak tahu kenapa... aku jadi males banget mau nulis blog. Padahal blogwalking tetep rajin lho, lebih sering malah. Tapi kok nulis blog sendiri males ya. Mungkin karena laptop di rumah bervirus, jadi terganggu melulu tiap kali mau nulis sesuatu :(

Cerita sedikit tentang prajab ya. Ternyata nggak seserem yang kukira. Pas masuk asrama Komplek Bumi PPMKP Ciawi, aku malah sempat terbengong-bengong. Ya nggak kebayang aja gitu, asramanya sebagus itu *untuk ukuran prajab yaaa*. Satu kamar berempat, ada TV-nya, kamar mandi di dalam *jadi bebas nyuci... cihuiii* dan lumayan bersih. Teras di depan kamar dilengkapi satu set sofa, tiap satu set untuk dua kamar. Air minum tinggal ambil di dispenser, mau hangat atau dingin terserah. Udah gitu, di komplek asrama ada cafe-nya. Bukan cafe yang bagus sih, cuma lumayan lah buat nongkrong dan jajan jus.

Satu-satunya yang kurang adalah: ventilasi kamar kurang bagus. Menurutku, kamar kayak gitu didesain untuk pakai AC karena agak-agak tertutup kayak kamar-kamar hotel gitu. Jendela sih ada, besar dan bisa dibuka lebar. Hanya saja, kami tidak leluasa membuka jendela di malam hari. Biasa lah, panitia sok pakai macam-macam aturan. Padahal gerahnya minta ampun. Terpaksa deh... tidur bermandikan keringat *hihihi, hiperbolis*.

Dua minggu prajab, tiap hari bangun jam 03.30, antri mandi, lalu ke musholla buat sholat subuh berjamaah. Lanjut olahraga dan senam *enaknya jadi bumil, pas sesi ini aku cuma nonton aja, hehehe*. Habis itu kuliah di kelas dari jam 07.30 sampai maghrib, modelnya mirip-mirip penataran P4 zaman dulu. Bosen aku tiap hari diskusi. Oh ya, ada apel pagi dan apel malam. Terus, tiap kali mau makan harus baris dulu kayak bebek. Plus pakai seragam hitam putih, berdasi, pakai pin korpri. Oalah, mau makan aja kok repot banget.

Dua minggu kayak gitu terus, aku jadi kurang istirahat. Soalnya tiap malem tidur di atas jam 23.00 gara-gara musti ngerjain tugas. Aku tuh tipe orang yang nggak bisa tidur dengan enak sebelum semua tugas dibereskan. Jadilah, badan rasanya nggak karuan. Dan you know what, selama hampir dua minggu, kakiku bengkak guedee bangett. Tentu aja sakit, dan jadi nggak muat di sepatu. Terpaksa deh jalan terpincang-pincang. Udah sakit karena bengkak, masih ditambah dengan sakit karena kaki dipaksa masuk ke sepatu, huhuhuhu.

Akhirnya semua selesai sudah. Akhirnya semua terlalui sudah. Seneng juga jadi banyak kenal sama teman-teman. Plus ditambah sedikit jalan-jalan ke kota Bogor: mampir ke Venus ”roti unyil” di Pajajaran dan Pia Apple Pie di Pangrango. Wah, sayang kesempatan jalan-jalannya cuma sedikit. Itu pun curi-curi waktu pas jam bebas. Padahal kayaknya Bogor itu asyik buat dijelajahi: banyak tempat makan yang cozy... dan dari dulu aku pengen ngerasain duduk di bawah pohon-pohon di Kebun Raya. Sayang belum kesampaian.