Monday, December 09, 2013

Destinasi Lampung

Tanggal 22-24 November lalu aku sekeluarga berpelesir ke Lampung. Awal mulanya karena mendapat undangan pernikahan dari seorang sahabat. Lalu diputuskan saja untuk berjalan-jalan sekalian, memberikan pengalaman baru bagi anak-anak karena mereka belum pernah naik kapal. Sekaligus pengalaman baru bagi bundanya yang belum pernah menginjak tanah Sumatra, hehe.

Sempat menyusun itinerary dadakan. Way Kambas yang merupakan destinasi usulan dari suami terpaksa dicoret karena jaraknya 110 kilometer dari Bandar Lampung, aku khawatir suami dan anak-anak bisa kecapekan. Pengenalan medan yang nihil membuatku tak muluk-muluk mencari destinasi wisata. Yang penting tak jauh dari Bandar Lampung agar tubuh cukup beristirahat, mengingat suamiku bersikeras menyetir mobil sendiri tanpa sopir.

Jumat, 22 November selepas sarapan kami berangkat. Cuaca cerah sepanjang jalan. Tepat dhuhur kami tiba di Serpong, makan siang sambil beristirahat sejenak. Alhamdulillah anak-anak tidak rewel dan menikmati perjalanan. Sekira pukul 14.00 kami tiba di pelabuhan Merak. Antri kapalnya tidak lama, tapi perjalanan menyeberangnya cukup lama. Kapal feri yang jalannya sangat pelan itu menempuh perjalanan kurang lebih dua jam untuk jarak tempuh yang hanya 25 kilometer, dan membutuhkan waktu satu jam untuk antri bersandar di dermaga. Waktu sudah hampir maghrib ketika roda mobil menggelinding keluar dari pelabuhan Bakauheni.

Melihat laut

Riang di atas kapal

Perjalanan berikutnya menuju kota Bandar Lampung memakan waktu sekira 2,5 jam melewati pedesaan Lampung yang cukup eksotis—setidaknya di mataku, hehe—karena jalanan yang dilewati tidak terlalu mulus dan cukup gelap tanpa penerangan. Tepat pukul 20.00 kami tiba di Hotel Grande, Jl. Raden Intan. Hotel ini kami pilih atas rekomendasi temanku yang akan menikah itu. Letaknya di pusat kota, murah meriah, dan cukup nyaman. Kami menyewa kamar family suite seharga 550 ribu per malam di hotel berbintang satu ini selama dua malam. Karena letaknya di pusat kota, tak susah mencari warung makan. Tinggal menyeberang jalan saja kami sudah menemukan warung makan sederhana yang murah meriah.

Sabtu, 23 November jalan-jalan dimulai. Seusai sarapan yang diakhiri dengan ngemil pisang goreng enak (tak heran, Lampung terkenal akan pisangnya, bukan?), mobil meluncur ke arah selatan, menyusuri Jl. RE Martadinata menuju deretan pantai di Kabupaten Pesawaran. Jalan menuju ke sana bersisian dengan bibir pantai berpasir putih, jalannya mulus namun sempit dan berliku. Tanjakan dan tebing yang curam meliputi sepanjang jalan. Deretan bukit dan batu kapur menampakkan keindahan yang tiada tara. Aihh, baru mengintip dari jendela mobil saja aku sudah berdecak kagum. Bingung mencari-cari antara Pantai Klara 1 atau 2, akhirnya kami malah mendarat di Pantai Lembing sebagai pemberhentian pertama. Pantai ini berada di area markas TNI AL, suasananya sepi sekali. Hanya beberapa penduduk lokal terlihat memancing di beberapa titik, dan ada beberapa turis lokal mengajak anaknya bermain air di tepian. Masuk ke sini dikenai biaya 10 ribu per mobil dan 15 ribu untuk menyewa saung tempat duduk-duduk di pinggir pantai.

Jalanan menuju Kabupaten Pesawaran (foto diambil dari sini)

Dari balik jendela mobil

Pantai Lembing yang sepi

Pemberhentian berikutnya adalah Pantai Klara 1 yang sebenarnya sudah kami lewati dalam perjalanan ke Pantai Lembing tadi. Dari Bandar Lampung, perjalanan ke Pantai Klara 1 yang berjarak 25 kilometer memakan waktu 1,5 jam. Pantai Klara merupakan singkatan dari Kelapa Rapat, karena sangat banyak pohon kelapa yang jaraknya saling berdekatan satu sama lain sehingga membentuk peneduh bibir pantai, biaya masuknya 25 ribu per mobil (sudah termasuk sewa saung sepertinya). Pantai ini sangat cocok untuk destinasi wisata keluarga. Ombaknya tidak besar karena terletak di sebuah teluk yang dilindungi gugusan kepulauan di kejauhan—salah satunya adalah pulau Kelagian—sehingga tidak membahayakan anak-anak yang bermain air dan menceburkan diri ke pantai. Pasirnya putih dan lembut, dan jumlah wisatawan pun tidak terlalu banyak (entah memang biasanya begitu atau karena kami ke sini pas bukan musim liburan). Malas juga kan, berlarian di pantai bertabrakan dengan banyak orang. Untungnya hal itu tidak terjadi. Hanif berkesempatan berlarian dan mengeksplorasi bibir pantai sepuasnya.

Suasana Pantai Klara (foto diambil dari sini)

Deretan saung di tepian Pantai Klara (foto diambil dari sini)

Ceria di Pantai Klara

Hanif asyik bermain

Belum puas bermain pasir, suamiku mengajak menyewa perahu untuk menyeberang ke Pulau Kelagian (sewa perahunya 150 ribu). Keputusan yang belakangan tidak kusesali, meski sebelumnya sempat khawatir mengajak balita menyeberang laut teluk, karena ternyata Pulau Kelagian ini indah sekali. Baru kali ini aku menginjak pantai seindah itu. Perjalanan berangkat menyeberang menghabiskan waktu setengah jam karena ombak sedang besar sehingga laju perahu tak bisa cepat. Riak-riak air asin bercipratan ke seluruh wajah dan tubuh, memaksa Dek Abi mengernyitkan mata berkali-kali. Badan perahu terombang-ambing seru laksana wahana roller coaster, membuat hatiku berdesir takut namun excited.

Menyeberang ke Pulau Kelagian

Berkunjung ke Pulau Kelagian bagai memiliki pulau sendiri. Pulau yang dikelilingi oleh hamparan laut ini airnya jernih dan berwarna hijau toska, suasananya sangat perawan dan alami. Di sini disediakan penyewaan saung, pelampung, ban renang dan banana boat bagi pengunjung yang ingin mengeksplorasi keindahan laut. Biaya menapakkan kaki di pantai ini 10 ribu per perahu (ada yang bilang 3 ribu per orang). Pulau ini memiliki pasir putih yang sangat halus laksana bedak, suguhan ombaknya tenang. Dengan pemandangan yang masih natural, kita dapat memanjakan mata menikmati teduhnya mangrove dan bermain pasir. Karena airnya bening sekali, setiap pengunjung pasti tergoda menceburkan diri. Aku, suamiku, dan Hanif sibuk bermain air, sementara Bulik Nur dan Dek Abi berjalan-jalan di atas pasir. Sayang sekali ponselku kehabisan baterai beberapa saat setelah perahu tertambat, sehingga sedikit sekali foto yang bisa kuambil.

Aktivitas yang paling populer di pulau ini adalah snorkling, memancing, atau hanya berjemur di pasir putihnya yang bersih dan halus. Terumbu karangnya masih bagus, utuh, serta belum terjamah. Sayang kami tak sempat lama singgah di pulau ini. Salah strategi pula, karena sebelumnya aku tak sempat berganti baju renang hingga tak puas berenang-renang.

Suasana Pulau Kelagian (foto diambil dari sini)

Jernihnya perairan Pulau Kelagian (foto diambil dari sini)

Pulau Kelagian yang menawan (foto diambil dari sini)

Dermaga Pulau Kelagian

Perjalananan kembali ke tepian Pantai Klara hanya memakan waktu 15 menit karena tak ada ombak. Hanif langsung menghambur kembali untuk bermain pasir. Beberapa saat sesudahnya kami berganti pakaian yang basah dengan membayar 3 ribu per orang di tempat pembilasan. Seharian bermain di pantai sangat menyenangkan, meskipun kalau boleh memilih, inginnya berlama-lama sampai sore.

Pukul 16.00 kami sudah tiba kembali di Bandar Lampung. Menjelang maghrib, Hanif masih saja minta ditemani berenang di kolam renang hotel, untung aku membawa baju renang cadangan yang sedianya untuk Dek Abi (ternyata Dek Abi sama sekali tak mau menyentuh air, hihihi). Malamnya kami berkeliling kota naik mobil dan sempat singgah sebentar di pasar malam yang digelar di ruas Jl. Jend. Ahmad Yani. Di situ dijual beberapa kuliner tradisional, sayangnya dompet ketinggalan di mobil sehingga kami tak sempat menyicipnya.

Minggu, 24 November setelah check out, kami bertolak ke Auditorium Museum Lampung untuk menghadiri akad nikah temanku. Sekira pukul 09.30, mobil sudah melaju kembali di Jl. Raya Lintas Sumatra untuk menuju pelabuhan Bakauheni. Perjalanan dengan kapal feri agak membosankan karena aku terserang mabuk laut. Anak-anak riang saja mengitari kapal bersama ayahnya, sementara aku duduk diam meredakan pusing. Sampai di Bandung lagi sekitar pukul 19.00, setelah menempuh perjalanan selama sepuluh jam (lebih cepat dua jam dari perjalanan berangkat karena kami tak lagi terdampar di Serpong), menyisakan kepenatan sekaligus pengalaman seru nan menyenangkan menjelajah Lampung untuk pertama kalinya.

Bersama pengantin

Foto-foto lengkap ada di sini (di-set “friends only”).
Artikel menarik tentang Lampung ada di sini.

Monday, August 26, 2013

Mastitis

Tiga hari menjelang ulang tahun Hanif yang ke-5 pada 16 Juni 2013, aku terkena mastitis.

Mastitis adalah peradangan pada payudara yang dapat disertai infeksi atau tidak, yang disebabkan oleh kuman atau bakteri. Bakteri dapat berasal dari beberapa sumber: tangan ibu, mulut bayi, tangan orang yang merawat ibu atau bayi, bayi, duktus laktiferus, atau darah sirkulasi. 

Penyebab utama mastitis adalah statis ASI dan infeksi. Statis ASI biasanya merupakan penyebab primer yang dapat disertai atau menyebabkan infeksi. Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari payudara. Hal ini terjadi jika payudara terbendung segera setelah melahirkan, atau setiap saat jika bayi tidak mengisap ASI, kenyutan bayi yang buruk pada payudara, pengisapan yang tidak efektif, pembatasan frekuensi/durasi menyusui, sumbatan pada saluran ASI, suplai ASI yang sangat berlebihan dan menyusui untuk kembar dua/lebih. Untuk infeksi, organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis dan abses payudara adalah organisme koagulase-positif Staphylococcus aureus dan Staphylococcus albus. Escherichia coli dan Streptococcus kadang-kadang juga ditemukan. Mastitis jarang ditemukan sebagai komplikasi demam tifoid. (dikutip dari sini)

Jadi ceritanya, siang itu selepas kelas pilates, aku pergi ke kantor Oriflame untuk mengurus pesanan. Sudah ada sedikit rasa nyeri di payudara kiri, awalnya kupikir itu karena otot yang tertarik akibat kelas pilates sebelumnya. Ketika sedang duduk manis menanti antrian, tiba-tiba badan terasa kedinginan. Lama-lama menggigil, diikuti dengan tangan berkeringat, lutut gemetar hebat, dan sendi-sendi terasa kaku. Barulah tahu, pasti ada yang tidak beres dengan badan ini.

Perjalanan pulang dilalui dengan penuh perjuangan. Menahan nyeri yang semakin sakit sambil berusaha tetap sadar dengan kesadaran sepenuhnya karena harus menyetir mobil sendiri. Fyuuuhhh, kalau diingat-ingat rasanya luar biasa. Apalagi lutut yang gemetar dan sendi yang kaku mempersulit kaki ini untuk mengatur persneling dan rem, sampai mesin mobil sempat mati dan ban mobil sempat sedikit naik ke atas trotoar karena jalan mobil tidak dapat dikuasai dengan baik.

Waktu itu memutuskan untuk mengarahkan laju mobil ke kantor, karena selain ada janji dengan teman, jam menjemput Hanif masih lama. Barangkali bisa istirahat sambil memeriksakan diri di kantor. Ternyata sampai di kantor, badan sudah panas tinggi hingga 40 derajat celcius. Ditambah dengan pusing yang kemudian mendera, jadilah aku cuma bisa berbaring di klinik kantor. Para perawat di kantor mengira aku terkena demam berdarah. Sementara aku curiga ini mastitis, karena nyeri di payudara semakin menjadi dan benjolannya semakin keras. Dalam hati aku khawatir juga kalau terkena DB, bisa-bisa rencana acara ulang tahun Hanif bubar, padahal aku sudah memesan kue dan berniat menyiapkan goody bag untuk teman-temannya.

Selama dua hari berikutnya aku hanya bisa berbaring di tempat tidur. Untuk berdiri dan berjalan pun susah karena harus menahan sakit kepala, makan juga tak ada nafsu. Terpaksa memanggil suami pulang untuk ikut mengurus anak karena aku benar-benar tak bisa apa-apa. Masya Allah, baru kali itu aku mengalami kejadian seperti itu. Tak ada hal lain yang aku lakukan kecuali terus-terusan mengompres dan memijat payudara agar benjolannya memudar.

Alhamdulillah tepat pada hari ulang tahun Hanif, aku bisa bangun. Masih pusing sedikit, tapi aku sudah dapat bepergian untuk berbelanja keperluan goody bag. Jadi begini to rasanya kena mastitis itu. Benar-benar pengalaman tak terlupakan. Aku baru tahu bahwa mastitis bisa juga menyerang ibu yang payudaranya tidak sedang terisi penuh. Selama ini kukira mastitis hanya menyerang ibu-ibu yang payudaranya penuh (terbendung) hingga bengkak. Untuk kasus mastitisku, mungkin sumbatan pada saluran ASI-lah penyebabnya. Satu lagi ilmu baru yang diperoleh melalui learning by doing dengan cost of learning yang luarrr biasa :D

Monday, June 17, 2013

Perjalanan Jiwa

Dalam perjalanan hidupku, aku menyadari bahwa pribadiku turut bermetamorfosis seiring dengan makin bertambahnya usia. Mulai dari pribadi yang meledak-ledak kala remaja, lalu menjadi pribadi yang gloomy dan serba negatif saat kuliah hingga hamil anak pertama, kemudian berproses menjadi pribadi yang jauh lebih baik saat ini ketika sudah menjadi emak beranak dua. Mengapa bisa dikatakan lebih baik? Karena di usia 30-an sekarang ini, aku merasa jiwaku telah bertumbuh, aku berdamai dengan diri sendiri dan keadaan, serta menjadi pribadi yang lebih bahagia. Alhamdulillah.

Aku lupa kapan persisnya atau momen seperti apa yang membuatku berdamai dengan diri sendiri dan keadaan. Yang jelas, sekarang aku mensyukuri setiap detik hidupku, memilih untuk bereaksi positif terhadap berbagai keadaan, serta memilih untuk mengambil hikmah dari apapun, bahkan dari suatu hal pahit sekalipun. Jadi jangan heran kalau sekarang aku tetap tersenyum ketika menghadapi kemacetan, atau masih bisa tertawa kala anak bertengkar. Meskipun sekali-sekali kelepasan, aku rasa itu wajar saja karena aku juga manusia :D

Episode hidup yang membahagiakan ini (halah! :D) tentu tidak datang dengan sendirinya. Mungkin juga karena aku sudah bertambah tua, hahaha. Ada beberapa pelatihan bagus yang pernah kuikuti, yang berhasil mengubah sudut pandangku dalam memandang kehidupan.

Pelatihan yang pertama adalah SIAware 8 (Self Insight Awareness 8) yang diadakan oleh IA-ITB. Di pelatihan ini aku belajar menggali masalah dari dalam diriku sendiri, dan pelatihan ini membuatku menyadari bahwa keluarga adalah akar dari segala eksistensi diri. Seperti apa kita, masalah apa yang kita bawa, semua berawal dari keluarga. Pelatihan ini kuikuti pada akhir 2005. Sebagian catatan pelatihan yang tertinggal bisa dibaca di sini.

Pelatihan kedua yang menurutku juga bagus adalah pelatihan Amazing Communication-nya Bunda Rani Razak Noe’man, kuikuti pada Maret 2013. Dari pelatihan ini aku belajar dua teknik penting untuk berkomunikasi dengan anak (bisa dipraktekkan untuk berkomunikasi dengan sesama orang dewasa juga). Nama tekniknya adalah Mendengar Aktif (MA) untuk membangun jembatan komunikasi dengan anak, dan Pesan Diri (PD) untuk memarahi atau melarang anak dengan cara yang elegan. Memarahi di sini dalam tanda kutip ya, karena caranya dengan penuh kasih, tanpa emosi, dan tanpa berteriak. Dua cara ini sangat efektif untuk membuat anak menurut dan memiliki kedekatan hubungan dengan kita sebagai orang tua. Pemaparan lebih lanjut tampaknya harus dibuat dalam tulisan tersendiri karena cukup panjang.

Pelatihan berikutnya adalah pelatihan Self Emotional Healing, masih oleh Bunda Rani, kuikuti pada April 2013. Dari pelatihan ini aku belajar tentang konsep mindful life, yaitu hidup yang dijalani dengan menerima diri kita apa adanya, penuh syukur, menikmati setiap momen, menghargai diri, dan berdamai dengan masa lalu. Teknik yang diajari ada dua, yaitu Self Nurture (SN) dan Self Coaching (SC). SN mirip dengan self hypnosis, merupakan suatu terapi bagi jiwa dan bertujuan untuk membersihkan diri dari residu masa lalu. SC adalah suatu bentuk teknik untuk mengenali perasaan dan kebutuhan diri, mengenali akar dari perasaan/kebutuhan, kemudian merespon dengan aksi untuk memenuhi kebutuhan itu.

Yang membuat pelatihan ini “wow” buatku adalah bagaimana kita diilhami dengan kesadaran bahwa diri kita begitu berharga dan kita berhak untuk bahagia. Oh yess, bahagia itu dipilih, Saudara-Saudara. Kitalah yang memilih respon kita dalam menghadapi kehidupan, mau bahagia atau mau sedih. Kitalah yang memilih untuk tersenyum, entah seberapa pahitnya keadaan yang kita hadapi. Karena seorang bunda yang bahagia akan menghasilkan anak-anak yang bahagia. Indah sekali, bukan?

Alhamdulillah tiga pelatihan powerful yang pernah kuikuti di atas meninggalkan bekas positif dalam hati sehingga bisa menjadikanku pribadi yang bahagia seperti saat ini. Pernah ketika suatu hari aku merasa titik emosiku turun hingga ke titik nadir (aku menyebut saat seperti itu sebagai “momen sumbu pendek” karena amarahku gampang tersulut) dan tingkah aktif Hanif yang sederhana sekalipun berhasil membuatku uring-uringan, maka aku mulai meraba-raba ke dalam diri: apa yang salah? Apa yang membuat diriku yang bahagia ini menjadi hilang kesabaran? Momen sumbu pendek menjadi semacam alarm bagiku untuk instropeksi emosi. Dan ternyataaaa, beberapa hari kemudian aku kedatangan tamu bulanan. Legalah diriku: berarti bukan aku yang kesulitan menata emosi, melainkan memang ada saatnya emosi babak belur ketika PMS datang. Dimaklumi saja lah yaaa :D

Memang ada masanya emosi atau kesabaran menurun, kita kan juga manusia. Pasti ada saja hal-hal yang membuat mood kita berantakan. Tak masalah. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana keluar dari keterpurukan itu dengan cantik dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sebagai penutup, ada tautan menarik di sini. Semoga kita senantiasa mengabaikan hal-hal negatif yang tak penting dalam hidup dan merasa bahagia dengan diri kita apa adanya.

Monday, June 10, 2013

Bayi-Bayi Kecil Itu

Sering sekali mendengar kabar duka dari lingkungan sekitar tentang kehilangan anak ketika si anak masih dalam keadaan bayi. Dari teman-temanku saja sudah ada beberapa orang yang pernah kehilangan bayinya: ada yang ketika usia bayi baru 10 hari karena gagal nafas, ada yang ketika usia bayi 2 bulan karena tak mampu bertahan akibat lahir prematur, ada yang karena sakit ketika usia bayi 8 bulan dan 2 tahun, bahkan ada yang kehilangan janin ketika masih dalam kandungan. Belum lagi kabar dari internet tentang bayi-bayi yang kurang beruntung karena mengidap penyakit langka, kelainan, tumor, atau kanker.

Kabar-kabar itu selalu membuatku tercenung, dan seringkali membuatku menitikkan air mata. Sambil mengelus atau mengusap kedua buah hatiku, terbayang bayi-bayi malang itu dalam benak. Terbayang betapa berat beban emosi yang harus ditanggung orang tuanya, karena semua orang tua pasti tak akan pernah mau mengalaminya. Bahkan kalau bisa, kita sebagai orang tua saja yang menanggung rasa sakit itu, kita saja yang mendahului anak-anak kita dipanggil oleh-Nya.

Ada seuntai doa yang selalu terucap buat para orang tua super itu. Special children are for special parents. Bayi-bayi mungil yang telah dipanggil-Nya itu adalah tabungan di surga, yang semoga kelak bisa menjemput orang tuanya di pintu surga. Kalau mau selalu berbaik sangka pada Allah, mungkin paradigma berpikirnya harus dibalik. Betapa setiap orang tua berkeinginan mengantarkan anak-anaknya menjadi pribadi shalih dan shalihah agar anak-anaknya kelak masuk surga, dan lihat betapa dengan kasih sayang-Nya Allah menganugerahkan para orang tua ini sebuah privilege dengan masuknya buah hati mereka ke surga tanpa hisab. Takdir-Nya selalu yang terbaik, mengangkat sakit yang mungkin diderita oleh anak-anak itu.

Selalu terselip harapan bagi mereka, para orang tua sabar itu, semoga kelak mereka cepat diberi ganti buah hati lain yang akan segera bermunculan. Sebagai penyejuk hati dan pelipur lara bagi yang pernah kehilangan. Karena memang betul seperti apa yang tertulis di tautan ini, bukan kita malaikatnya. Merekalah malaikat-malaikat kecil yang dihadirkan di dunia untuk membawa kebahagiaan untuk orang-orang di sekitarnya. Merekalah malaikat-malaikat kecil yang dalam sakit mereka, Allah mengingatkan kita akan kematian. Dalam sakit mereka, Allah menguji kesabaran orang tuanya dan juga kepedulian kita.

Tulisan ini kututup dengan sebuah puisi yang kuambil dari sini. Teriring sekecup kasih untuk bayi-bayi mungil yang sudah menghuni surga-Nya, dan teriring sebait doa untuk para orang tua mereka, terutama bunda mereka.


ada sosok IBU yang luar biasa...


ibu yang slalu berada disamping mereka hampir 24 jam,

ibu yang slalu tak henti berdoa,



ibu yang pandai bersandiwara, yang tak pernah menampakkan kegundahan hatinya didepan sang anak tercinta, tak pernah meneteskan airmata dihadapan anaknya,



ibu hadirkan senyum,

hadirkan penyemangat,



walau vonis dokter sudah bicara tinggal sesaat,

ibu tak pernah menyerah,

apapun usaha agar sang anak bisa seperti sedia kala.



ibu....

tak bisa kubayangkan betapa kuatnya dirimu bu,

pun ketika Allah mengambil kembali titipan Nya,

engkau tetap dalam keikhlasanmu....


*ditulis sambil berkaca-kaca*

Wednesday, June 05, 2013

Cinta Oh Cinta

Ada yang menarik hatiku tiap kali melewati persimpangan Surapati-Cikapayang dengan Jl. Ir. H. Juanda. Perjalanan yang tertahan di lampu merah perempatan itu selalu membuatku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan hampir selalu membuat pandanganku tertuju pada sepasang pemuda dan pemudi yang sepertinya tengah memadu kasih.

Pasangan pemuda dan pemudi itu unik. Mereka adalah pengamen jalanan yang mengais rezeki dari satu angkot ke angkot yang lain yang berhenti di lampu merah itu. Sang pemuda memegang gitar sementara kekasihnya menyanyi. Lalu apanya yang unik? Entahlah, ada sesuatu yang merembesi hati kala melihat mereka. Badan sang pemuda kurus dan penuh tato, bibirnya juga bertindik, tapi bagiku sama sekali tak tampak menakutkan karena ia selalu memandang kekasihnya dengan penuh cinta. Binar cinta itu sangat tampak dalam setiap hal kecil yang ia lakukan, misalnya seperti ketika ia memberikan air minum kemasan gelas pada si pemudi, membersihkan tepian trotoar untuk tempat duduk si pemudi, atau bahkan ketika mereka sekedar berbincang dalam samar.

Si pemudi tidak cantik. Tapi wajahnya tak pernah tampak sedih atau galau. Dia dalam keadaan sedang hamil besar, mungkin buah hati dalam kandungannya adalah anaknya dengan pemuda itu. Aku tak tahu apakah mereka terikat dalam pernikahan resmi, yang jelas mereka terlihat saling mencintai. Di mataku, pekerjaan mengamen yang mereka lakoni berdua seperti dilakukan dengan enjoy. Aura cinta mereka menguar dengan jelas, membuatku tertegun dengan kenyataan bahwa cinta bisa menguatkan dalam kondisi sesulit apapun.

Beberapa hari ini aku tak melihat mereka. Mungkin si pemudi sudah melahirkan? Entahlah. Yang jelas, tiap kali aku mengingat mereka, aku juga mengingat tentang kekuatan cinta.

Monday, June 03, 2013

ASI untuk Dek Abi

Enam bulan lagi, insya Allah Dek Abi akan lulus S3-ASI. Perjalanan panjang memberikan ASI yang dimulai sebelum kelahirannya: mulai dari membulatkan niat, melengkapi ilmu, melengkapi alat tempur, hingga ujian sebenarnya yang datang sejak ia lahir (baca kisahnya di sini).

ASIX pada Enam Bulan Pertama


Enam bulan pertama adalah masa-masa terberat. Poin-poin penting yang kulakukan saat itu:
  • Mind management yang tak henti dilakukan: untuk meyakinkan diri sendiri bahwa produksi ASI-ku melimpah, melatih pikiran untuk tidak memikirkan hal-hal yang tak penting, menjauhkan diri dari segala hal yang bisa membuat stres. Intinya adalah berusaha rileks dan yakin bahwa aku mampu memberikan ASIX. Rileks dalam keseharian, rileks saat pumping, dan rileks saat menyusui, sambil tak henti-hentinya berdzikir dan melakukan afirmasi.
  • Melengkapi perbekalan alat tempur (uraiannya ada di bawah).
  • Pumping di mana saja dan kapan saja. Pernah waktu itu muter-muter keliling kampus untuk mencari tempat pumping yang representatif dan nyaman, setelah menemukan kenyataan bahwa beberapa musholla masih dikunci karena hari masih pagi. Aku tak lupa untuk konsisten melakukan pumping agar produksi ASI tetap berlimpah, tak peduli harus bangun malam pun dijabanin demi ketersediaan stok ASIP.

Beberapa teknik pumping yang kulakukan:
  • Pumping ketika Dek Abi menyusu. Jadi misalnya dia menyusu payudara kiri, aku pompa yang sebelah kanan. Dengan cara ini LDR (let down reflex) mudah didapat dan ASI yang mengucur tidak terbuang sia-sia.
  • Pumping setelah Dek Abi menyusu. Ini dilakukan pada payudara yang habis disusukan. Teknik ini berfungsi untuk menguras atau mengosongkan payudara. FYI payudara yang sering dikosongkan akan merangsang produksi ASI sehingga produksinya semakin bertambah banyak.
  • Pumping sambil rileks. Terdengar klise memang, tapi aku agak menghindari pumping dengan tergesa-gesa atau hati kemrungsung. Dengan pumping yang rileks dan tenang, sekali pumping pada satu payudara, aku bisa mendapat hampir 200 mL dengan tiga kali LDR.

Dek Abi sempat mengalami growth spurt yang membuatnya ingin menyusu terus. Cukup membuat lelah, tapi alhamdulillah aku sudah membekali diri dengan ilmu sehingga aku tahu pasti bahwa itu bukan karena ASI yang kurang. Jadi aku dapat menghadapinya dengan tenang dan tidak stres. Bagi yang tidak tahu kan bisa saja mengira ASInya kurang, lalu stres sendiri, malah beneran nanti ASInya berkurang. Ilmu ini penting untuk membuat kita tetap rileks, dan selalu yakin bahwa ASI kita cukup.

Peralatan tempur:

Breastpump
Harga breastpump yang bagus itu berkisar 400-600 ribu rupiah. Harga memang tidak bohong. Aku pernah membeli yang murah (200 ribu-an), puting malah sakit dan berdarah. Meskipun demikian, masalah breastpump itu cocok-cocokan. Ada juga yang bisa memerah ASI dengan banyak menggunakan tangan.


My breastpump

Cooling bag dan breastmilk storage bags
Cooling bag hanya berfungsi untuk membawa ASIP dari kantor/kampus ke rumah (selama di perjalanan), bukan untuk menyimpan ASIP. Jadi di kantor ASIP harus tetap masuk kulkas. Bisa juga sih untuk menyimpan ASIP tapi tidak lama, misalnya untuk ASIP yang akan segera diberikan. Cooling bag-ku ini sudah memiliki built-in ice gel di dalamnya (terjahit menyatu di dalam tas), tapi masih kutambahkan dengan ice gel tambahan (yang di dalam plastik transparan itu di foto) untuk menjaga agar lebih dingin.
Sedangkan breastmilk storage bags itu pada dasarnya adalah plastik yang khusus untuk menyimpan ASIP (sekali pakai). Tidak terlalu urgent sih, untuk jaga-jaga saja bila kehabisan botol untuk menyimpan ASIP.


Cooling bag dan breastmilk storage bags

Cup feeder
Fungsinya sebagai alat untuk memberi ASIP ke bayi. Mengapa harus cup feeder? Untuk menghindari bingung puting pada bayi. Penggunaan dot dapat membuat bayi keenakan (dengan dot, bayi tidak perlu susah-susah mengisap) sehingga akhirnya tidak mau menyusu langsung ke puting dan lebih memilih dot. Dengan cup feeder, si bayi terlatih untuk mengisap sendiri. Aku tidak memakai dot sama sekali untuk dek Abi.
Kekurangannya, memang diperlukan latihan untuk menggunakan cup feeder ini. Baik bagi si bayi maupun orang dewasa yang memberi ASIP ke bayi. Orang dewasanya harus sabar dan telaten. Perlu waktu, tapi hasilnya sepadan (worth it). Jadi orang dewasa yang diserahi tugas untuk memberi ASIP via cup feeder ini harus diwanti-wanti supaya telaten dan mau berlatih, demi kebaikan bayinya. Kalau memakai cup feeder ini, bayi akan minum ASIP dengan lidahnya. Mirip kucing yang minum air pakai lidah. Jadi biarkan si bayi yang mainkan lidahnya untuk minum, cup jangan terlalu disorongkan supaya bayi tidak tersedak.


Cup feeder (kiri)

Beberapa tautan di di Youtube yang menunjukkan cara memakai cup feeder:

Botol ASI
Aku menggunakan 2 jenis: botol UC (yang atas, kapasitas 120 mL) dan botol wideneck (yang bawah, kapasitas 250 mL).
Botol UC itu:
  • Kelebihannya: tutupnya rapat, lebih slim sehingga tidak makan tempat (apalagi kalau freezer-nya kecil).
  • Kekurangan: susah dibersihkan (gunakan sikat yang bisa menjangkau sampai ke bawah).
Botol wideneck itu:
  • Kelebihannya: gampang dibersihkan, bisa untuk menyimpan MPASI kalau dedeknya sudah mulai makan.
  • Kekurangannya: tutupnya tidak rapat (gampang tumpah) dan makan tempat.
Saran: kalau freezer kecil, lebih baik gunakan botol UC. Aman juga dibawa-bawa dengan cooling bag karena tutupnya rapat, tidak akan tumpah.


Botol UC

Botol wideneck

Freezer
Untuk Dek Abi aku membeli freezer khusus untuk ASIP. Freezer 6 rak, harga asli hampir 2,5 juta tapi aku membeli second di Kaskus dengan harga 1,5 juta saja hehe. Asiknya lagi, kondisi masih 90% baru karena baru dipakai sebentar sama pemilik lamanya. Dengan dua freezer—satu yang baru dan freezer kecil di kulkas lama, usaha untuk menyetok ASIP aku lakukan sejak Dek Abi lahir untuk kejar stok, karena dua minggu berikutnya sudah harus ujian semester hehe.


Ketika baru satu rak terisi

Stok ASIP menjelang Dek Abi 4 bulan

Masa S2-ASI dan S3-ASI


Setelah Dek Abi mulai makan pada usia 6 bulan, pumping masih terus dilakukan tetapi tidak se-hectic sebelumnya. Kuliah juga sudah mulai berkurang sehingga tanpa harus menyetok banyak, aku masih bisa menyusuinya di rumah. Kalau aku tidak salah ingat, stok-ASI-yang-terakhir dipompa pada September 2012 ketika Dek Abi berusia 10 bulan, dan diberikan pada Januari 2013 ketika usianya 14 bulan.

Aku lupa kapan persisnya Dek Abi mulai minum susu UHT, mungkin ketika usianya sekitar 16 bulan. Waktuku yang lebih banyak di rumah memberi dia kebebasan untuk menyusu kapan saja dia mau. Ketika aku harus kuliah atau menghadap dosen, stok ASI sedikit demi sedikit mulai digantikan dengan susu UHT.

Penutup


Kesimpulan yang dapat kuambil tentang segala proses menyusui ini adalah tentang niat dan komitmen yang kuat, lalu dibarengi dengan ikhtiar yang konsisten. Pemberian ASIX pada Hanif yang cuma 4 bulan dulu (tapi dia tetap menyusu sampai usia 2 tahun 3 bulan lho) memberiku amunisi tekad yang membaja untuk dapat sukses dan tuntas menyusui Dek Abi. Ilmu dan dukungan lingkungan sekitar adalah sesuatu yang juga penting dimiliki agar prosesnya lancar dalam menghadapi ujian dan rintangan. Untuk para pejuang ASI di manapun dirimu berada, keep up the good work! Yakinlah bahwa kita sedang memberikan investasi cairan emas yang sangat berharga untuk buah hati kita :)

Catatan: foto-foto lengkap bisa dilihat di sini.