Friday, November 05, 2010

Kematian

Masih terekam dalam ingatan, bagaimana sosok jenazah Mbah Maridjan membujur kaku dalam keadaan sujud. Juga masih terngiang jelas hingga membentuk imaji yang lekat dalam benak, ketika seorang teman kantor bercerita bahwa di R.S. dr. Sardjito ada jenazah seorang ibu dengan anak batita di gendongan. Keduanya membujur kaku akibat terjangan awan panas.

Masya Allah. Sampai detik ini, masih juga diri ini diliputi pertanyaan: bagaimana detik-detik mereka meregang nyawa? Mengingat kecepatan awan panas mencapai ratusan kilometer per jam dan kejadiannya hanya memakan waktu beberapa detik, sempat merasa sakitkah mereka?

Semua orang ingin husnul khatimah. Semua orang tidak ingin merasa sakit saat nyawa tercabut. Tapi bisakah? Pantaskah diri ini mendapat privilege itu?

Pada akhirnya, sesuatu itu adalah kematian. Siapkah diri ini ketika malaikat maut menghampiri?

Update:

Saat tulisan ini dibuat, Merapi masih terus mengamuk. Lebih besar daripada letusan pertama pada 26 Oktober 2010. Daerah rawan diperluas hingga radius 20 kilometer. Luncuran awan panas mencapai hingga 10 kilometer. Dan yang lebih membuatku sedih, korban meninggal terkena awan panas terus bertambah, di mana sebenarnya hal ini bisa dihindari mengingat pemerintah terus menghimbau warga untuk turun mengungsi dan media terus mengabarkan berita terkini.

Tapi sekali lagi, siapa yang bisa melawan takdir Allah? Dan sekali lagi, siapkah kita jika takdir kematian datang menghampiri?

No comments:

Post a Comment