Monday, December 13, 2010

Terrible-Two dan Temper-Tantrum

Alhamdulillah, sampai juga aku pada fase ini. Setelah dari dulu cuma bisa membaca dan berkaca pada pengalaman orang lain, saat ini aku diberi karunia oleh Gusti Allah untuk mengalami sendiri.

Jadi begini, sekarang usia Hanif sudah 2,5 tahun. Semenjak babysitter-nya berganti dua bulan lalu, perangai Hanif berubah. Semula kami mengira ini adalah proses adaptasi dan bentuk protesnya karena babysitter yang lama—yang sangat dekat dengannya—harus pulang dan diganti dengan orang lain yang tidak seasyik pendahulunya. Apalagi ditambah dengan episode sakit, lengkap sudah Hanif berubah menjadi “lebih sulit”.

Apa pasal? Selama sebulan kemarin dia susah makan. Hanif, yang dari usia enam bulan selalu mangap dan menelan apa saja yang kami sodorkan di depan mulutnya, tiba-tiba melakukan GTM (gerakan tutup mulut), mingkem, dan emut. Okelah, mungkin karena waktu itu dia sakit. Dan babysitter yang baru, belum menemukan cara untuk waktu-makan-yang-menyenangkan. Alhamdulillah sekarang Hanif sudah mau makan, meskipun lancar hanya pada saat dia mood makan dan kadang-kadang masih GTM dan emut.

Lebih luas dari sekedar persoalan makan, ternyata perangai Hanif pun berubah. Dia menunjukkan sikap keras kepala bila menginginkan sesuatu, dan suka sekali mengekspresikan keinginannya itu dengan berteriak. Bila tidak kami penuhi, langsung menangis dengan suara yang membuat para tetangga penasaran. Sampai beberapa kali mereka datang untuk mengecek mengapa Hanif menangis sedemikian keras. Ah, kepedulian tetangga yang membuatku malu.

Setelah kupikir-pikir, mungkin seharusnya aku tak perlu malu. Ini periode yang biasa dan normal dalam fase hidup seorang anak. Well, it’s called terrible-two, dengan salah satu gejala berupa temper-tantrum.

Apa Itu Terrible-Two dan Temper-Tantrum?

Terrible two is a child developmental stage which normally occurs around the age of two (but can start earlier) and consists of toddlers often saying no and throwing temper tantrums.

Very basically, the terrible two’s can be described as aggressive, defiant, demanding, unreasonable and mischievous behavior. Some toddlers go through this stage quite mildly while others turn into devil children! :)

Temper tantrums, hitting and biting, yelling, incredible mischievousness and an overall general refusal to do just about whatever is asked of your child are the main ways this behavior is displayed. The biggest thing all parents or guardians must realize is that this behavior is TOTALLY NORMAL, not personal, aimed towards them and is not the sign of a terrible child.

A tantrum is an emotional outburst that is typically characterized by stubbornness, crying, screaming, defiance, angry ranting, a resistance to attempts at pacification and, at some cases, hitting. Physical control may be lost, the person may be unable to remain still, and even if the "goal" of the person is met he or she may not be calmed. A tantrum may be expressed in a tirade: a protracted, angry, or violent speech.

Kalau dari definisi di atas, level Hanif cuma berkisar di “stubbornness, crying, screaming, defiance, angry ranting” dan kadang “a resistance to attempts at pacification”. Alhamdulillah tidak sampai pada “hitting and biting” :)

Mengapa Bisa Sampai Temper-Tantrum?

Tantrum merupakan sesuatu yang normal dan biasa terjadi pada saat tumbuh kembang anak dan biasa muncul saat anak berusia 1-3 tahun (Tantrums Secret to Calming the Storm, La Forge, 1996). Kenapa tantrum terjadi? Secara garis besar, penyebabnya adalah: karena anak mencari perhatian, lapar, lelah, atau karena anak frustrasi.

Frustrasi pada anak sering kali membuat bingung para orangtua. Frustrasi pada anak bisa terjadi karena anak tidak mendapatkan keinginannya: bisa mainan, perhatian, maupun orangtuanya. Jadi, saat kita melihat (atau bahkan mengalami sendiri) anak menangis di pertokoan karena minta sesuatu, atau bahkan menjerit dan berguling di lantai, itu bisa jadi temper-tantrum.

Atau suatu pagi, saat kita mau ke kantor. Si kecil yang biasanya mengantar dengan riang, tiba-tiba menangis menjerit-jerit sambil memegangi kaki. “Nggak boleh... Bunda nggak boleh pergi... di rumah saja.”

Atau bisa juga, si buah hati ingin bercerita sesuatu yang seru. Tapi, dia susah sekali mengomunikasikannya. Hal ini membuatnya frustrasi dan mengakibatkan tantrum. Anak-anak biasanya lebih cepat memahami sesuatu, namun masih susah untuk mengungkapkannya (karena keterbatasan kosakata atau bahasa). Namun, saat kemampuan bahasanya meningkat dan anak sudah memasuki usia sekolah, bisa jadi tantrum akan berkurang atau hilang.

Bagaimana Menghadapinya?

  • Tetap tenang. Tarik napas, berpikir dengan jernih. Karena apabila kita ikut frustrasi, bahkan berteriak, bisa jadi kondisi malah akan lebih runyam. Sedapat mungkin, alihkan perhatian anak. Misalnya, kalau anak minta mainan dan sudah mulai tantrum, alihkan perhatiannya ke benda atau tempat lain.
  • Hindari memberi apa yang anak inginkan hanya karena kita merasa “malu”. Misalnya karena anak menangis di pertokoan, kita langsung membelikan apa yang diminta. Anak itu pintar dan cepat belajar. Sekali hal itu berhasil, bisa jadi dia akan menganggap bahwa kita akan memberi apa yang dia inginkan kalau dia menangis.
  • Memindahkannya ke tempat yang lebih tenang. Jika tantrum terjadi di tempat ramai, angkat si buah hati, bawa ke tempat yang lebih tenang, dan biarkan tantrum-nya selesai. Setelah itu, baru kita ajak bicara.
  • Tidak mengacuhkan anak saat tantrum kadang juga perlu. Tentu dengan melihat bahwa kondisi di sekitarnya aman. Kalau dia sudah tenang, baru kita peluk dan tanya dengan lembut, kenapa dia marah.
  • Jika tantrum makin menjadi, peluk si buah hati. Tapi kalau kita tidak bisa memeluk (karena kita juga sudah mulai jengkel atau emosi), paling tidak, duduk atau berdiri di dekatnya.
  • Jika tantrum sudah lewat, kita bisa mencari tahu apa sebenarnya keinginan anak. Bantu anak untuk mengekspresikan kemarahannya secara verbal dan terkendali. Berikan rasa cinta dan aman kepada si buah hati. Tunjukkan kepadanya, meski dia telah berbuat salah, sebagai orangtua kita tetap menyayanginya.
  • Yang penting, selama tantrum terjadi, sebaiknya tidak membujuk, berargumen, atau menasihati anak karena anak biasanya tidak akan menanggapi atau mendengarkan. Bahkan, terkadang hal itu malah membuat tantrum anak makin menjadi.

Penerapan Riilnya?

Hohoho, meskipun sudah kenyang dengan teori, pada prakteknya terasa susah sekali. Ketika Hanif berteriak-teriak, yang ada juga aku langsung pusing duluan. Biasanya kalau ada suami dan aku sudah geregetan banget, aku mencoba mundur menyendiri dan menyerahkan Hanif ke ayahnya. Berdiam di kamar, atau ngemil di meja makan (haha!) sampai emosiku mereda. Khawatir bernada tinggi di depan anak kalau tidak berhasil mengontrol diri.

Kadang-kadang malah sebaliknya. Ketika suami sedang ngotot untuk tidak menuruti keinginan Hanif yang sedang menangis meraung-raung, akunya yang malah tidak tega. Tergoda sekali untuk bilang “Sudahlah, Yah...” dan memberikan apa yang Hanif minta. Memang, persistensi dan konsistensi itu memerlukan tekad yang kuat. Kapan-kapan aku tulis tentang menerapkan disiplin pada anak deh.

Yosh, sudah panjang lebar ternyata tulisan ini. Semoga tidak membuat bosan para pembaca. Selamat berjuang untuk diriku dan orang tua di luar sana yang bernasib serupa :)

Sumber:
  • http://en.wikipedia.org/wiki/Terrible_two
  • http://www.theterribletwos.org/what-are-terrible-twos/
  • http://en.wikipedia.org/wiki/Temper_tantrum
  • http://wrm-indonesia.org/content/view/1006/3/
  • http://wrm-indonesia.org/content/view/220/58/

Monday, November 08, 2010

Mengelus Dada

[ditulis sambil menghela nafas dalam-dalam]

Hari ini aku kembali menghadapi cercaan tentang pilihanku berkarir, untuk pertama kalinya setelah sekian lama tidak dicerca dengan cercaan serupa. Mereka yang mencerca beralasan, tempat setiap perempuan berkeluarga adalah di rumah. Perempuan berkeluarga yang multifungsi tidak bisa maksimal memberi untuk anak dan suaminya.

Bukannya aku tak tahu ya. Bahkan sebenarnya cercaan itu klise, karena hal semacam itu sudah menjadi pemikiranku sejak lama. Bagi yang jarang mengikuti sepak terjangku di blog ini mungkin tak terlalu tahu masa-masa kritis dulu saat aku menghadapi dilema antara berkarir atau tetap menjadi stay-at-home mom. Tapi yang jelas, pada awalnya aku berkarir adalah untuk mengabulkan harapan suami tentang memiliki istri bekerja, meskipun setengah mati aku ingin di rumah saja. Waktu demi waktu berlalu, aku pisah kota dengan suami, punya anak, dan here I am... tetap menjalani pilihan menjadi perempuan bekerja, lengkap dengan segala konsekuensinya.

Nikmatkah hidupku? Pendewasaan bertumbuh dan aku tak lagi menyalahkan siapapun. Nikmat atau tidak nikmat itu bukan urusanku, karena urusanku hanyalah bagaimana berusaha menjalani hidup ini sebaik mungkin, sebermanfaat mungkin, sembari terus mensyukuri nikmat Gusti Allah, sekecil apapun.

Maka ketika ada orang nyinyir berkomentar, padahal tidak tahu bagaimana pastinya isi rumah tanggaku, kok rasanya sedikit mengelus dada ya. Sudah pasti aku menjalani pilihan ini setelah berpikir panjang, bukan keputusan serta merta. Lagipula aku juga tidak pernah usil mengurusi—apalagi mencerca—pilihan perempuan-perempuan lain untuk bekerja atau tetap tinggal di rumah saja. Berkarir atau memilih menjadi stay-at-home mom menurutku sama mulianya, asal ditempatkan sebagaimana mestinya. Apa pula yang mesti diperdebatkan?

Friday, November 05, 2010

Kematian

Masih terekam dalam ingatan, bagaimana sosok jenazah Mbah Maridjan membujur kaku dalam keadaan sujud. Juga masih terngiang jelas hingga membentuk imaji yang lekat dalam benak, ketika seorang teman kantor bercerita bahwa di R.S. dr. Sardjito ada jenazah seorang ibu dengan anak batita di gendongan. Keduanya membujur kaku akibat terjangan awan panas.

Masya Allah. Sampai detik ini, masih juga diri ini diliputi pertanyaan: bagaimana detik-detik mereka meregang nyawa? Mengingat kecepatan awan panas mencapai ratusan kilometer per jam dan kejadiannya hanya memakan waktu beberapa detik, sempat merasa sakitkah mereka?

Semua orang ingin husnul khatimah. Semua orang tidak ingin merasa sakit saat nyawa tercabut. Tapi bisakah? Pantaskah diri ini mendapat privilege itu?

Pada akhirnya, sesuatu itu adalah kematian. Siapkah diri ini ketika malaikat maut menghampiri?

Update:

Saat tulisan ini dibuat, Merapi masih terus mengamuk. Lebih besar daripada letusan pertama pada 26 Oktober 2010. Daerah rawan diperluas hingga radius 20 kilometer. Luncuran awan panas mencapai hingga 10 kilometer. Dan yang lebih membuatku sedih, korban meninggal terkena awan panas terus bertambah, di mana sebenarnya hal ini bisa dihindari mengingat pemerintah terus menghimbau warga untuk turun mengungsi dan media terus mengabarkan berita terkini.

Tapi sekali lagi, siapa yang bisa melawan takdir Allah? Dan sekali lagi, siapkah kita jika takdir kematian datang menghampiri?

Thursday, November 04, 2010

Speechless

Ketika Hanif dirawat inap, seperti biasa aku menyuapi Hanif sarapan sambil membawanya jalan-jalan. Sebagai anak yang eksploratif, terkungkung di kamar sungguh terasa membosankan. Jalan-jalannya pun tidak cukup cuma di bangsal dan lorongnya, melainkan sampai keluar bangsal, ke ruang tunggu melihat akuarium, sampai minta diantar naik turun lift dari lantai satu hingga enam >_<

Saat di lift itulah, kami bertemu dengan dua staf rumah sakit. Tampaknya seorang perawat dan seorang dokter. Mereka menyapa kami ramah. Wanita yang berpenampilan seperti perawat berkata, “Wah, lagi jalan-jalan ya...”

Lalu wanita yang berpenampilan seperti dokter menimpali sambil memandangku, “Tapi Ibu telaten ya nyuapin sambil jalan-jalan. Kalau anakku makannya susah, udah aja kuserahin ke pembantu. Pembantuku lebih tahu gimana caranya, sambil ngajak anakku main-main.”

Aku langsung speechless. Mengapa bukan dia saja yang berusaha menyuapi anaknya sambil mengajak bermain? Alasan “tidak telaten” atau “tidak tahu caranya” aku rasa cuma omong kosong. Masa iya pembantunya lebih tahu soal anak daripada ibunya sendiri? Kecuali kalau memang sehari-hari si ibu tidak pernah mengurusi anaknya.

Sikap seperti inilah yang membuat profesi wanita karir menjadi tercoreng. Berjaya di karir, tetapi urusan anak terabaikan. Padahal untuk siapa sih sebenarnya kita bekerja? Untuk anak juga, bukan? Ingin rasanya aku berkata, “Punya anak memang repot. Siapa suruh punya anak? Kalau nggak mau repot, ya nggak usah punya anak.”

Dalam hati aku beristighfar. Ya Allah, semoga urusan di luar rumah tidak membuatku lalai akan anakku. Semoga berepot-repot mengurusi anak masih lebih mengasyikkan daripada menyibukkan diri dengan urusan lain.

Tujuh Jam Rawat Inap

This is another deg-degan story of being parents. Jadi ceritanya, Jumat pagi 22 Oktober 2010 ketika bangun pagi, aku mendapati Hanif terbangun dalam keadaan demam. Tak begitu tinggi, jadi kupikir hanya demam biasa. Maka kuputuskan hari itu Hanif tidak masuk “sekolah” dulu, sambil memberinya obat penurun demam yang biasa.

Sehari berlalu. Dua hari berlalu. Dia masih demam—meski tak begitu tinggi, paling-paling cuma 38° C—namun tingkah lakunya tetap lincah ke sana kemari. Makan minumnya juga lancar tanpa kendala. Jadi aku tetap berpikir hanya demam biasa.

Memang sempat terbersit sedikit ketakutan apakah demamnya kali ini berhubungan dengan peristiwa Selasa lalu. Malam itu dia sempat jatuh telentang dan kepala bagian belakang terbentur lantai. Bunda yang ceroboh, I know (hiks). Tapi aku menepis ketakutan itu karena antara peristiwa jatuh dengan demamnya berjarak beberapa hari. Hanif juga tidak menunjukkan gejala langsung apapun selepas jatuh, seperti mual atau muntah. Jadi masih saja, kupikir hanya demam biasa.

Segalanya jadi tak biasa ketika demam Hanif beranjak naik. Maka Minggu malam 24 Oktober, aku dan suami membawanya ke UGD. Di sana suhunya 39,9° C. Petugas dari laboratorium datang, mengambil darah untuk diperiksa. Kemudian perawat yang bertugas, memasukkan obat penurun demam lewat—maaf—anus. Yang aku tahu, obat anal semacam ini memang dapat menurunkan demam dengan segera dan berfungsi untuk mengantisipasi kejang demam (CMIIW).

Hasil cek darah menunjukkan angka normal (trombosit 245.000), kecuali leukositnya yang tinggi mencapai angka 14.300. Dokter di UGD berkata bahwa tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Setelah meresepkan obat, dia menyuruh kami pulang.

Cerita tidak berhenti sampai di sini. Malamnya sekitar pukul satu dini hari, aku tiba-tiba terbangun mendengar suara Hanif. Ketika kuperiksa, badannya menggigil hebat, meskipun tidak demam. Wajahnya pucat, bibir sedikit kebiruan, telapak kaki dan tangannya putih sekali tanpa rona merah sedikitpun. Segera kubangunkan suamiku. Berdua, dalam keadaan panik karena belum pernah mendapati Hanif dalam keadaan begini, segera bersiap membawanya ke UGD lagi.

Sampai di UGD badan Hanif sudah demam hampir 39° C. Dari penjelasan dokter yang berjaga, menggigil adalah usaha badan untuk mengeluarkan panas. Belakangan dokter spesialis anak (DSA) langganan Hanif juga menjelaskan bahwa peristiwa menggigil memang biasa terjadi bila badan yang tadinya tidak demam, akan mendadak demam dengan suhu yang cukup tinggi. Menggigil terjadi akibat perbedaan suhu yang ekstrem ini (CMIIW). Satu lagi ilmu yang kudapat malam itu, meskipun cost of learning-nya cukup membuat ketar-ketir.

Setelah perawat memberi Hanif sirup penurun demam, dokter merekomendasikan Hanif untuk rawat inap. Oh ya ampun, tanpa persiapan sama sekali. Seperti ketika Hanif harus dioperasi dulu. Aku cuma membawa baju ganti satu stel, tadinya untuk berjaga bila Hanif muntah membasahi baju seperti sesaat sebelum kami berangkat ke UGD. Setelah suamiku mengurus administrasi rawat inap, tepat pukul 03.45 Hanif masuk kamar di bangsal Irene lantai tiga. Untung tidak perlu diinfus karena belum ada rekomendasi infus dari DSA-nya Hanif. Bukannya istirahat, dia malah asyik mengeksplorasi kamar (naik turun sofa dan tempat tidur) >_<

Hanif baru tidur ketika jam menunjukkan pukul lima. Setelah dia tidur sekira dua jam, DSA-nya datang. Periksa sana sini sambil mengajak Hanif ngobrol. Lalu berkata bahwa Hanif cuma radang biasa dan sudah boleh pulang. Trombosit masih normal (175.000), hasil uji NS1 (untuk mengetahui DBD atau bukan) juga negatif. Dalam hati ada rasa lega karena Hanif tidak sakit serius, tapi ada juga rasa geli. Jangan-jangan sebenarnya Hanif tidak perlu rawat inap. Yah, namanya juga berjaga-jaga. Nurut aja lah sama dokter.

Tepat pukul 11.15, kami keluar dari bangsal Irene. Diiringi lambaian tangan para suster yang ramah itu. Jadi totalnya Hanif dirawat inap selama tujuh jam, rawat inap terpendek yang pernah aku dan keluargaku alami ^^

Update:

Minggu 31 Oktober sore, Hanif kembali demam 38° C. Senin pagi malah sampai 40° C. Senin sore Hanif kembali berkunjung ke dokter, ternyata DSA langganan sudah tidak praktek sore. Terpaksa ke DSA lain. Disuruh cek darah lagi. Hasilnya semua normal. Kami kembali pulang.

Selasa pagi Hanif kuajak ketemu DSA langganan. Lalu direkomendasikan untuk cek darah lagi (OMG!) untuk mengetahui ini typhus atau bukan. Ternyata bukan typhus (alhamdulillah) dan hasilnya semua juga normal. Jadi tampaknya ini masih radang biasa, lanjutan minggu sebelumnya, begitu kata DSA-nya.

Kalau dihitung-hitung, dalam sepuluh hari terakhir berarti Hanif sudah lima kali bertemu dokter dan empat kali diambil darah. Duh, kasihannya anak Bunda ini. Belum lagi kalau bicara soal antibiotik yang terus diresepkan oleh para dokter itu >_<

Jangan sakit lagi ya, Sayang...

Wednesday, October 13, 2010

Hanif dan Daycare

Seperti yang aku tulis di tulisan sebelum ini, karena babysitter yang lama minta resign dan babysitter yang baru belum datang, untuk sementara Hanif dititipkan di daycare. Untuknya, aku memilihkan daycare terbaik yang aku bisa. Islami, tak terlalu jauh dari rumah, serta insya Allah diasuh oleh tangan-tangan ahli. Silakan klik di sini untuk tahu lebih lanjut soal daycare-nya Hanif.

Malam sebelum Hanif masuk daycare, aku dihinggapi gelisah. Dia tak pernah diasuh di luar rumah, maka wajar jika beberapa kekhawatiran melintas. Memikirkan tak bisa jadi bunda yang baik karena tak bisa mengasuhnya dengan tanganku sendiri, tak urung membuatku sedikit sentimentil dan hampir berujung pada air mata. Sampai lewat tengah malam aku baru bisa tidur.

Inilah dia sekelumit kisah tentang hari-hari awal Hanif di daycare.

Senin, 11 Oktober 2010

Hal yang paling susah tentang menyiapkan Hanif masuk daycare adalah acara membangunkannya di pagi hari. Berhubung dia biasa bangun pukul 07.30, maka diperlukan usaha sedikit keras untuk membuatnya terjaga pukul 06.30. Karena akhirnya dia baru bangun pukul 06.40 dan baru bisa berangkat pukul 07.15, alhasil aku jadi terlambat masuk kantor :D

Proses meninggalkan Hanif di daycare berjalan lebih mulus daripada perkiraanku. Meski awalnya masih beberapa kali memeluk dan menolak untuk ditinggal, akhirnya dia mau melepasku pergi sambil melambaikan tangan. Mungkin karena melihat raut wajahku yang diliputi kekhawatiran, Teh Nita—pemilik daycare—beberapa kali mengirim SMS laporan tentang perkembangan Hanif seharian itu.

10.40
“Mbak, Hanif anteng kok. Ditinggal nggak nangis. Mau main dengan temennya. Cuma belum mau pipis. Sedang adaptasi aja. Insya Allah nggak apa-apa.”

10.54
“Udah mau pipis, Mbak. Sekarang lagi pada belajar. Hanif OK sampai sekarang. Beberapa anak ada yang adaptasinya dimulai hari kedua dst. Kita lihat nanti waktu makan siang.”
Pikirku: Syukurlah, berarti Hanif termasuk yang gampang beradaptasi.

13.38
“Hanif lagi coba dibobokin di kamar sama Ammah Ira. Tadi kedengeran nangis-nangis. Sekitar 10 menit-an. Biasa Bu, adaptasi tidur. Sekarang udah anteng, mungkin udah tidur. Makan siang disuapin Ammah Ira, habis 3 porsi (nambah 2 kali). Nggak nyampai setengah jam makannya. Mungkin karena temen-temennya juga pada makan.”
Pikirku: Ya ampun, anakku... Makan habis 3 porsi? Ckckck...

Ketika sorenya aku datang untuk menjemput Hanif, dia menolak untuk pulang :D

Sepertinya harinya dilalui dengan fun, syukur alhamdulillah. Berarti segala kekhawatiran pupus sudah. Mendengar satu komentar tentang Hanif yang terlihat lebih mandiri dibanding teman-temannya, cukup menimbulkan kebanggaan tersendiri di hatiku. Proses belajar dan meleburnya dia di lingkungan daycare—teman-teman maupun pengasuh—juga berjalan lancar.

Selasa, 12 Oktober 2010

Hanif berhasil bangun lebih pagi. Juga lebih bersemangat untuk pergi ke “sekolah” (begitulah kami membahasakan daycare padanya). Tapi hari ini Hanif sedikit menangis ketika bangun tidur siang. Menangisnya sambil panggil-panggil bunda ^^

Laporan dari Teh Nita, “Tadi diaper-nya kepakai waktu tidur siang. Pipisnya banyak.”

Lalu aku mendapat bocoran kalau bekal sarapan yang disiapkan dari rumah ternyata porsinya kurang. “Makannya luar biasa. Kayaknya nasi yang pagi tadi kurang deh,” ujar Ammah Ira.

Secara keseluruhan, hari kedua ini berjalan baik. Juga tak lagi menolak untuk pulang ketika dijemput, seperti hari pertama :D

Tuesday, October 12, 2010

Pilih Daycare atau Babysitter?

Ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa babysitter andalan minta resign, tak pelak aku kebingungan. Bagaimanapun, sebenarnya tanggung jawab mengasuh anak itu adalah tanggung jawab natural yang tak hendak kuhindari. Tapi mau tidak mau, karena bekerja, aku harus mendelegasikan tugas itu kepada orang lain ketika aku berada di luar rumah. Dan sebagai bentuk dari tanggung jawab itu adalah memilihkan pengasuh yang terbaik buat anak, yang satu visi dan satu pemikiran denganku soal bagaimana mengasuh anak.

Selama ini babysitter memang menjadi pilihan utama. Dalam rentang waktu usia Hanif 0-2 tahun, aku rasa tempat terbaik baginya adalah di rumah, terawasi satu lawan satu dengan si babysitter. Dan aku tak main-main dalam mencari pengasuh terbaik ini. Harus yang kredibel, tak sembarang comot. Maka dua tahun lalu, didapatlah keputusan untuk mengambil babysitter dari Daarut Tauhiid. Insya Allah terpercaya akhlaknya. Dan ternyata memang benar (baca ceritaku di sini).

Ketika sekarang usia Hanif menginjak 2 tahun 4 bulan dan si babysitter minta pamit, ada beberapa pertimbangan yang membuatku melirik daycare. Jujur, ini masih terkait dengan usaha-memilihkan-pengasuh-terbaik-buat-anak itu. Ada beberapa poin dalam perkembangan Hanif yang menjadi kegelisahanku. Ini dia:
  • Hanif belum lancar bicara. Secara konsep dia sudah mengerti semuanya, tapi secara verbal dia masih terpatah-patah. Kata-kata yang keluar dari mulutnya hanya suku kata paling belakang dari tiap kata. Aku pribadi masih menganggap ini normal karena progres bicara tiap anak berbeda-beda, tapi apakah memang benar demikian adanya? Padahal di rumah, rasanya tak kurang-kurang kami merangsang sisi linguistiknya (mengajak ngobrol, membacakan buku cerita, melihat VCD/DVD bersama sambil bercerita, dan lain-lain). Aku pikir mungkin dengan bergaul di daycare, perkembangan bahasanya bisa lebih meningkat.
  • Sekarang ini tingkat egonya sedang luar biasa. Susah berbagi, anak tetangga tidak diperbolehkannya main ke rumah, dan beberapa indikasi lain yang membuatku curiga pada kurangnya sisi sosialnya. Atau memang lagi masanya ya? Entahlah. Tapi kupikir daycare akan bisa mengajarinya tentang persahabatan, brotherhood, suka duka berbagi, dan keceriaan kebersamaan. Juga mengajarinya bahwa di luar sana tidaklah semudah berbagai bentuk kemanjaan di rumah (eits, bukan berarti aku memanjakannya ya). Bukankah sejak kecil anak juga harus diajari kerasnya kehidupan (halah bahasanya!) ketika dia harus menghadapi persaingan (dengan teman sebaya) dan usaha untuk survive?

Namun demikian, ada juga kekhawatiran bila Hanif dititip di daycare:
  • Kata Ayahnya, dia belum mandiri, jadi masih mengkhawatirkan bila ditinggal sendiri di lingkungan yang belum tentu memahaminya. Salah satunya terkait dengan belum-bisa-ngomongnya itu. Kalau kami sekeluarga yang sering berinteraksi dengannya kan sudah paham dengan celotehnya yang patah-patah itu. Di daycare yang notabene anak tidak terawasi satu lawan satu dengan pengasuh, kami khawatir Hanif agak “terbengkalai” karena belum bisa mengutarakan maksudnya dengan jelas.
  • Di Bandung, Hanif kan cuma tinggal berdua sama aku. Artinya, tanpa babysitter, tanpa suami yang menemani, kalau malam aku harus siap stand by seorang diri. Masalahnya, dia termasuk anak aktif yang suka memanjat, suka menyentuh ini itu, sehingga membuatku paranoid kalau tidak diawasi. Salah-salah bisa kejedot, jatuh, atau berbagai hal mengerikan lainnya. Apalagi aku termasuk makhluk yang paling-tidak-bisa sebentar di kamar mandi. Tidak nyaman rasanya harus melakukan ritual di kamar mandi cepat-cepat. Belum kalau Hanif sakit, aku harus begadang sendirian. Belum juga kalau akunya yang sakit, masih harus mengasuh Hanif tanpa bisa istirahat karena tidak ada orang yang bisa diajak gantian.
  • Alat transportasi yang kami punya cuma sepeda motor. Artinya, antar jemput Hanif dari dan ke daycare harus siap bertempur dengan panas dan hujan. Panas mungkin tidak jadi masalah ya. Tapi bagaimana kalau musim hujan? Kasihan Hanif yang bakal sering terpapar air hujan dan bisa menjadikannya sakit.
  • Masalah lain yang muncul adalah bagaimana jika aku harus keluar kota, yang artinya bakal berangkat pagi-pagi dan pulang malam seperti yang sudah-sudah? Daycare kan belum buka. Kepada siapa Hanif dititipkan, mengingat kami tidak punya kerabat di Bandung ini? Satu lagi kepusingan.
  • Mungkin ini memang tidak penting bagi sebagian orang yang membaca, tapi ini sangat penting buatku. Yang kumaksud adalah rutinitas yang sering kujalani sepulang kerja seperti: senam aerobik, berenang, dan fisioterapi. Kadang-kadang menyempatkan ke salon juga. Kalau Hanif dititipkan di daycare, berarti aku harus mengucapkan selamat tinggal pada aktivitas tersebut, mengingat aku harus segera menjemputnya. Ini bukan hal yang mudah. Bukan berarti aku egois ya, tapi aktivitas itu demi “menjaga kewarasan” seperti yang aku kutip dari sini.

Bagi kami, waktu egois saya adalah investasi, demi menjaga kewarasan. Kebutuhan untuk bersosialisasi, kebutuhan untuk mendapat ide segar dari kegiatan di luar rumah, kebutuhan untuk mengurusi dan menyegarkan diri sendiri (yang sebagian ibu suka manfaatkan dengan creambath di salon, belanja di mal, atau dalam kasus saya; jalan-jalan sendirian dan baca buku yang sebelumnya dipinjam dari rumah buku yang dikelilingi kebun bibit), lahir ataupun batin.

Update:

Setelah Hanif melewati satu hari yang lancar di daycare, akhirnya aku mendapat stok babysitter dari Daarut Tauhiid. Jadi, hari-hari Hanif di daycare—untuk minggu ini—cukuplah sampai tiga hari saja. Selanjutnya dia akan kembali diasuh di rumah.

Keputusan untuk kembali bersama babysitter ini didapat melalui diskusi yang cukup alot dengan suami dan Mami. Tarik ulur antara segi positif dan negatif bila Hanif dititip di daycare—seperti yang aku tulis di atas, berlangsung cukup seru :)

Rencana ke depannya, mungkin Hanif akan “disekolahkan” lagi di daycare dua kali seminggu untuk mengoptimalkan proses belajarnya. Keputusan ini dibuat untuk mengakomodasi banyaknya manfaat yang didapat Hanif dari daycare.

Yah, pada akhirnya, semoga semua ini adalah yang terbaik buat Hanif, karena tidak ada satupun langkah dan keputusan yang tidak kami mintakan petunjuk dari-Nya. Insya Allah.

Wednesday, September 22, 2010

Luka yang Sama

Entah untuk keberapa kalinya hatiku menyimpan luka ini. Luka yang dulu tertoreh saat aku mulai bekerja, hingga kini Hanif beranjak batita dan mulai mengerti arti kehadiran bundanya. Selalu saja aku tak kuasa untuk tak berdarah melihat malaikat kecilku ini menangis kala aku berangkat kerja, karena luka di matanya.

Pun belakangan ini, ketika dengan tangisnya ia mencoba memrotes setiap kepergianku darinya. Setelah sebelumnya merengek memintaku mengganti baju-pergi dengan baju-rumahan.

Ah, Sayang. Andai kau tahu, bukan hanya dirimu yang merasa berat berpisah. Hati Bunda sudah terluka ketika meninggalkanmu di saat pertama, saat dua bulan cuti melahirkan usai. Luka yang sama sampai detik ini, ketika melihat matamu juga terluka, dan binarnya meredup hingga menjadi embun yang berloncatan.

Ah, Sayang. Andai kau mengerti, Bunda juga benci berpisah darimu. Andai kau paham bagaimana Bunda masih menyimpan mimpi untuk menjadi stay-at-home mom. Berkarir di rumah sambil menjadi saksi tiap detik tumbuh-kembangmu. Benci ini sebenci Bunda pada jam kerja yang mengikat, yang membuat Bunda teralienasi darimu dan terpaksa harus menolak dekapan eratmu.

Maafkan Bunda, Sayang. Karena belum bisa mewujudkan mimpi untuk menjadi atasan bagi diri Bunda sendiri. Hingga Bunda bebas mengatur waktu kerja dan bebas melakukan apa yang Bunda suka, tak perlu tunduk pada orang lain. Tak perlu memasang semangat palsu untuk berangkat kerja, padahal hati Bunda sudah layu bahkan ketika kaki ini belum menginjak kantor.

Ada penyesalan karena tak bisa selalu hadir di sisimu, itu pasti. Tapi ada juga bara tekad untuk suatu hari nanti, Bunda akan menjadi atasan bagi diri Bunda sendiri. Hingga waktu Bunda penuh untukmu. Relung hati ini, meski menyimpan luka yang sama, juga masih memendam mimpi setinggi langit untukmu. Luka dan mimpi ini, bersisian dan tak terpisahkan.

Romantisme Ala Hanif


Aku lupa persisnya sejak kapan aku mulai menyadari bahwa pangeran kecilku satu-satunya ini benar-benar romantis. Ketika dia sudah mulai bisa mengekspresikan perasaannya, ada belasan kali dalam sehari dia menunjukkan rasa sayangnya kepada bundanya. Kadang-kadang secara spontan dia mencium-cium pipi, dagu, atau ujung hidungku. Tak jarang pula dia memeluk-meluk punggungku dari belakang—biasanya ini terjadi ketika kami sedang menonton televisi, maklum ruang keluarga kami memang lesehan. Juga kali-kali lain, di mana hal ini jauh lebih sering dilakukannya pada bundanya daripada ayahnya :)

Seiring dengan usianya yang bertambah besar dan berkurangnya frekuensi bangun-malam-untuk-mimik, dia lebih sering terbangun untuk kemudian tertidur lagi dalam hitungan kejap. Yang menghadirkan embun dalam hatiku adalah tingkah lakunya ketika terbangun dalam beberapa kejap itu. Dia akan menggeser badannya hingga menempel ke badanku, lalu melingkarkan tangan mungilnya ke leher, bahkan dalam posisi tidurku yang membelakanginya. Kadang-kadang dengan pose pipinya menempel di pipi atau rambutku. Dengan nyamannya kemudian dia melanjutkan tidur kembali. Long lazy cuddling yang sangat romantis :)

Lima belas tahun lagi, akankah romantismu hanya untuk Bunda seorang, Sayang?

Beasiswa

Umm, masalah beasiswa dan melanjutkan kuliah… selalu ada hal yang mengganjal tentangnya. Seorang teman bilang, menerima beasiswa untuk melanjutkan sekolah memiliki beban mental tersendiri. Tuntutan dan ekspektasi yang disandarkan pada para lulusannya sering terlalu tinggi. Apa jadinya bila ternyata kita lulus, tapi nggak bisa apa-apa? Wih, yang ada juga malu-maluin. Contoh nyata: aku. Lulusan perguruan tinggi terkenal tapi kompetensi nol besar hehehe *tersenyum kecut*

Kembali ke masalah beasiswa, tak jarang aku mendengar komentar-komentar berseliweran di kantor ini, “Lulusan S2 kok cara mikirnya gitu…” atau “Lulusan S3 kok tingkah lakunya gitu…”. Seakan-akan gelar S2 atau S3 adalah cap untuk sederet ekspektasi tinggi.

Mendengar orang lain dikomentari begitu, tak ayal membuatku berpikir banyak tentang mengambil beasiswa. Jujur, aku tak terlalu tertarik dengan dunia yang kugeluti saat ini. Nggak kebayang melanjutkan kuliah di dunia yang sama—dengan bekal S1 yang sangat pas-pasan. Bagaimana kalau ketika lulus dan ternyata masih saja belum bisa menemukan minat, orang lain sudah mengharapkan yang terbaik, hanya karena ekspektasi tinggi akan gelar S2 atau S3?

Fiuhh, kita memang hidup di dunia penilaian orang lain. Untuk melepaskan diri dari itu, sangat sulit. Apalagi untuk aku yang cenderung sensitif dengan komentar orang. Jadi… beasiswa? Mikir-mikir dulu deh…

Tuesday, August 24, 2010

Resign (Lagi)

Setiap kali peristiwa ini terjadi, perasaan tak berdaya datang menghantam. Ini sudah kali keempat pengasuh Hanif minta berhenti kerja, lagi-lagi karena alasan keluarga seperti para pendahulunya. Menemukan pengasuh pengganti tidak pernah menjadi sesuatu yang mudah. Pun adaptasi setelahnya, tak mudah bagiku, tak juga mudah bagi Hanif.

Mengapa tak mudah? Aku menganggap pengasuh Hanif yang terakhir ini sebagai harta karun. Di saat kebanyakan babysitter seprofesinya begitu strict dalam aturan main dan job description, dia masih sangat rela membantuku mengatasi pekerjaan rumah tangga yang bukan menjadi tanggung jawabnya. Oh, tentu aku tak pernah menyuruhnya berbuat demikian. Aku sangat paham pasal-pasal kontrak yang mengatakan bahwa urusan babysitter hanya seputar anak. Tapi dengan sikap tahu-sama-tahu, dengan ikhlas dia membantu menyuci piring, menanak nasi, mengangkat jemuran, atau menyapu lantai. Bagaimana aku bisa menemukan lagi babysitter sebaik dia?

Belum lagi kalau bicara tentang sikapnya dalam mengasuh Hanif. Kuakui, aku memang bukan bunda yang sempurna. Ada lubang-lubang pengasuhan yang tak bisa kuperbaiki akibat bekerja di luar rumah. Sejauh ini, pengasuh Hanif sangat baik dalam memegang Hanif. Dengan baik dia mampu menambal lubang-lubang kekurangan yang kutinggalkan. Satu pemikiran dalam sistem dan pola pengasuhan sudah menjadi kelebihan tersendiri. Ditambah dengan betapa baiknya dia mengajarkan macam-macam warna, huruf, doa-doa, lagu-lagu anak-anak... ahh, di mana lagi bisa kutemukan babysitter sebaik dia?

Okelah, kalau buat aku, mungkin aku bisa menghadapinya. Hanif yang aku khawatirkan. Dia begitu dekat dengan pengasuhnya, terutama karena selama setahun ini si pengasuh sudah berhasil menjadi teman main yang seru buatnya. Tak seperti pengasuh Hanif yang lain, yang rata-rata lebih senior, di mana mereka lebih memilih menonton TV daripada bermain dengan Hanif. Asal Hanif aman, tak jatuh, tak menangis, tak lapar... bagi mereka sudah cukup. Tak peduli mereka dengan parenting atau mengajarkan Hanif sesuatu. Tentu aku tak mau pengasuh yang seperti mereka, aku ingin pengasuh Hanif seperti yang sekarang. Oh tidak, lebih tepatnya, aku memang ingin Hanif tetap diasuh oleh pengasuhnya yang sekarang.

Meskipun demikian, pengasuh sebaik itu dan kedekatan yang nyata di antara mereka tidak membuatku khawatir. Hanif tetap lebih dekat denganku dan ayahnya. Hanif tetap memilih bersama kami ketika kami berdua ada di rumah. Jadi, kasus anak yang lebih lengket dengan pengasuhnya, dalam hal ini tidak terjadi pada Hanif. Berkat pola pengasuhan yang tepat, alhamdulillah.

Tapi sekarang babysitter andalan ini akan resign. Kalau sudah begini, perasaan tak-bisa-jadi-bunda-yang-baik benar-benar membuatku hopeless. Merasa tak bisa memberikan yang terbaik buat Hanif. Merasa tak bisa menyediakan diri sepenuhnya untuk mengasuh Hanif. Sementara pilihan berhenti bekerja, bukan merupakan pilihan terbaik saat ini.

Waktu bergulir demikian cepat. Punya anak jauh lebih besar maknanya daripada sekedar melahirkannya. Membesarkan dan mendidiknya, menitipkannya pada pengasuhan dan sekolah yang tepat, benar-benar perjuangan luar biasa. Membawaku pada muara kesadaran bahwa jalan ini begitu panjang dan berliku.

Aku, Hanif, dan Minat Baca

Sejak aku kecil, membaca sudah menjadi duniaku. Aku tak ingat persisnya mulai usia berapa aku gemar membaca. Yang aku ingat, masa kecilku kuhabiskan dengan menekuri lembar demi lembar majalah Bobo; komik bergambar macam Nina, Tintin, Asterix, atau Steven Sterk; komik Jepang semisal Candy Candy, Pansy, Mari-chan, atau Doraemon; novel seperti Lima Sekawan, Trio Detektif, Stop, atau Malory Towers; bahkan novel detektif karya Agatha Christie. Begitu senangnya aku membaca, hingga pergi ke toko buku atau tempat persewaan buku menjadi suatu agenda mingguan yang menyenangkan.

Aku masih ingat, semasa aku SD, perpustakaan tak pernah luput dari kunjunganku. Penjaga perpustakaan sampai hafal. Rajin sekali aku meminjam buku-buku di sana di mana sebagian besar koleksinya waktu itu masih didominasi oleh buku-buku terbitan Balai Pustaka.

Aku tak tahu mengapa minat bacaku waktu itu tumbuh dengan pesat bagai tanaman di atas sebidang lahan subur. Mungkin karena orang tuaku sering membelikan buku dan menyediakan aneka bacaan di rumah. Atau mungkin karena terinspirasi oleh Papi yang kelihatannya juga gemar membaca. Atau mungkin karena lingkungan teman di rumah dan sekolah yang sama-sama suka membaca.

Beranjak dewasa, aku lebih dari sadar bahwa buku adalah jendela dunia. Aku pernah menjadi salah satu kandidat terbaik dalam seleksi yang diadakan oleh sebuah kantor surat kabar di Jakarta ketika mereka mencari calon wartawan baru. Pertanyaan dan tes yang diajukan seputar pengetahuan umum. Aku yakin itu antara lain karena aku sejak dulu suka sekali membaca rubrik pengetahuan di majalah Bobo, lalu ketika remaja aku mulai suka membaca koran dan melihat berita di televisi.

Aku prihatin dengan minat baca masyarakat Indonesia yang masih terbilang minim. Terjadi lompatan budaya yang tidak semestinya, dari budaya-dengar (audio) langsung ke budaya-lihat (visual). Itulah mengapa televisi menjadi penghibur rakyat nomer satu, sementara di sisi lain stasiun televisi masa kini lebih banyak menyajikan tayangan sampah *pasang jempol besar-besar bagi stasiun yang tidak.

Setelah budaya-dengar, seharusnya kita masuk pada budaya-baca. Ini yang terjadi di negara-negara Barat di mana minat baca mereka begitu tinggi. Lah orang-orang kita, belum masuk ke budaya-baca malah langsung lompat ke budaya-lihat. Akibatnya, susah sekali menumbuhkan minta baca anak-anak yang sudah telanjur jatuh hati pada televisi.

Anak yang minat bacanya tinggi cenderung lebih gampang menerima informasi. Tentu pengetahuan mereka juga lebih banyak. Untuk menulis, mereka tidak akan menemui kesulitan yang berarti karena perbendaharaan kata sudah beragam. Bahkan aku pernah membaca—entah di mana aku lupa, anak yang suka membaca lebih pandai dan lebih kritis, terutama dalam diskusi, dibanding dengan yang tidak suka membaca.

Karena menyadari hal-hal tersebut di atas, aku bertekad ingin selalu menimbulkan minat baca pada anak. Eksperimen pertama kulakukan pada adik: apa benar usaha membombardir anak dengan buku akan bisa menjadikan anak suka membaca?

Sejak adikku berusia tujuh tahun, aku selalu rutin menghadiahinya buku ketika dia berulang tahun. Mulai dari buku bergambar sampai akhirnya novel tebal ketika dia sudah beranjak remaja. Ternyata benar, dia tumbuh menjadi seseorang yang gemar membaca. Waktu aku kuliah, masa-masa mudik selalu kuisi dengan agenda pergi ke toko buku bersamanya. Dia sudah berhasil menamatkan novel Harry Potter yang setebal bantal dalam waktu dua hari ketika ia belum lagi lulus SD. Lalu ketika SMP, dia mulai suka membaca koran. Pengetahuannya bertambah, kemampuan menulisnya juga bertambah. Dan aku tak bisa lebih bangga, dia masuk dalam jajaran anak-anak pintar di kelasnya.

Eksperimen kedua kulakukan pada Hanif :)

Well, ini sebenarnya bukan lagi eksperimen, melainkan suatu tindakan yang didasarkan pada kesadaran nyata tentang pentingnya menumbuhkan minat baca pada anak. Sejak Hanif berusia enam bulan, ia mulai rutin kubelikan buku. Mulai dari softbook, boardbook, sampai buku-buku bergambar yang lebih beraneka ragam. Aku dan pengasuhnya sering mengadakan sesi-baca-buku. Di usia Hanif yang dua tahun sekarang ini, dia sudah mulai bisa memahami jalan cerita. Maka biasanya setelah bercerita, kami mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan untuk menguji seberapa jauh pemahamannya. Atau kadang-kadang kami menyuruhnya bercerita dengan kalimatnya sendiri.

Aku rasa kebiasaan membaca sudah mulai menjadi kebiasaan yang tertanam pada diri Hanif. Sebelum tidur, sesaat sebelum naik ke tempat tidur, dia akan memastikan barang-barang favoritnya sudah dibawa serta: mobil-mobilan favoritnya, dan tentu saja: buku pilihannya untuk malam itu. Dengan gembira dia akan membuka-buka buku lalu bercerita tentang halaman tertentu dengan antusias—tentu dengan bahasanya sendiri. Jika minta dibacakan, dia akan duduk manis di pangkuanku setelah sebelumnya menyodorkan buku padaku. Hmm, buah dari usahaku selama ini demi menjadikannya anak yang suka membaca, alhamdulillah sudah mulai terlihat sedikit demi sedikit.

Tapi perjalanan ini masih panjang. Masih jauh dari berpuas diri. Untuk tumbuh-kembang-minat-baca ini aku tetap optimis bisa. Insya Allah ingin membuat perpustakaan kecil-kecilan di rumah dalam rangka mendukungnya. Nah, untuk tumbuh-kembang aspek yang lain, aku masih belajar :)

Yosh, parenting is really never easy, yet it’s so exciting.

Friday, July 23, 2010

Rumah Mungil Kami

Setelah melalui pemikiran panjang selama berbulan-bulan—hampir dua tahun, akhirnya tibalah kami pada keputusan itu: menjual rumah mungil kami di Cikarang. Memang sejak aku pindah menetap di Bandung, ada selintas pertimbangan untuk mengontrakkan rumah itu, mengingat suami bekerja di Jakarta dan terlalu capek kalau harus pulang-pergi setiap hari. Hanya saja, rasanya terlalu sayang mengalihkannya ke orang lain. Bagaimana kalau orang itu tak mau merawat rumah kami dengan baik? Khawatir malah jadi rusak. Juga masih terlalu sayang membayangkan kami (terutama aku) tak bisa mengunjunginya kembali sewaktu-waktu kalau ia sudah ditempati orang lain.

How can I not love that house much? Ialah istana pertama kami yang dibeli dengan keringat sendiri, tempat kami menguntai harapan di masa awal pernikahan. Rumah itu betul-betul penuh kenangan. Dapurnya yang berlantai keramik merah marun adalah tempatku belajar meracik masakan untuk suami, ruang tengahnya yang putih adalah tempat kami menghabiskan malam dengan berbincang dan menonton televisi, taman depannya adalah arena kencan kami lewat kegiatan berkebun dan menanam bunga, kain gordennya yang berwarna-warni adalah gorden yang kupilih dengan sepenuh hati. Duh, kangen sekali aku pada rumah itu.

Lingkungan kompleks juga mantap benar. Keamanan sangat terjamin karena sistemnya cluster dengan satu pintu yang dijaga oleh satpam 24 jam, dan mereka tak henti berkeliling kompleks melakukan patroli. Dengan model rumah tanpa pagar, sistem ini sangat aman untuk meletakkan mobil dan motor di luar.

Di dalam kompleks juga terdapat deretan ruko yang sangat lengkap. Mau cari apa saja, pasti ada. Mulai dari toko kelontong (menjual sayur, buah, daging, dan ikan segar), mini market (ada Alfamart, Indomaret, dan satu mini market pribadi), salon, toko alat tulis, bengkel, play group, warung nasi, kedai makan, restoran Padang, toko-toko kudapan, dan masih banyak lagi. Persisnya ada tiga deret ruko yang berjajar membelah kompleks di jalan utama, dengan tiap deret terdiri atas lebih dari sepuluh toko.

Jalan-jalan kompleks diaspal mulus dengan hot mix dan dinaungi oleh pepohonan, dan dilengkapi dengan jogging track di sepanjang pinggirnya. Meski jalanan besar dan mulus, tak banyak kendaraan lalu lalang, sehingga sangat ideal untuk sekedar jalan-jalan pagi dan sore. Ideal bagi anak-anak untuk bermain bola, bersepeda ke sana kemari, bermain sepatu roda, atau sekedar bercengkerama bersama teman-teman. Ah, betapa idealnya kompleks ini untuk tumbuh kembang anak.

Kini dengan keputusan mantap, suamiku berniat menjual rumah itu. Tak dapat kupungkiri, keputusan ini diambil dengan berat hati. Segala kerepotan mengurus dua rumah antara Bandung-Jakarta dan kerepotan bolak-balik tiap hari antara Cikarang-Jakarta, akhirnya “memaksa” kami mempertimbangkan keputusan ini. Berat memang, karena hati kami sudah terpaut di sana. We’re gonna miss it so much.

Tulisan terkait tentang kenangan kehidupan di rumah Cikarang:

Tuesday, June 29, 2010

Korespondensi Lanjutan dengan dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine

Pada 21 Juni 2010, aku mengirim e-mail lagi demi memuaskan pertanyaan yang masih menggelitik rasa penasaran.

Terima kasih, Dok. Anda baik sekali mau menjawab pertanyaan2 saya. Tapi saya masih ada pertanyaan lanjutan, tolong diberi pencerahan lagi ya.

Pada jawaban dokter:
4. Apa betul saya tidak boleh senam aerobik lagi?
===>Skoliosis pada kurva14 derajat silakan saja. Bahkan kalau Anda juga seorang atlit penerjun payung sekalipun, saya rasa tidak ada alasan untuk menghentikan kegiatan tersebut. Asal Anda tau bahwa potensi penambahan kurva akan lebih besar bila Anda tidak melakukan aktifitas tsb diatas.

Nah, bagaimana saya tahu kalau senam aerobik "aman" untuk saya? Bagaimana saya tahu kalau kegiatan2 saya tidak akan menambah kurva menjadi lebih besar? Masa saya harus coba2? Apa rekomendasi dokter: terus senam atau sebaiknya berhenti saja (mana yang lebih baik)?

1. Apakah derajat yang baru 14 derajat masih bisa dikoreksi?
===> Tergantung umur, kekakuan, dan kepentingannya. Maksud saya kepentingannnya adalah seberapa penting kita perlu membuat kurva yang 14 derajat menjadi nol derajat. Literatur mengatakan kurva 14 derajat seharusnya tidak memberikan keluhan apapun. Bila ditemukan adanya keluhan maka keluhan itu dipastikan bukan karena skoliosisnya.

Keluhan saya berupa pegal dan nyeri punggung sebelah kanan, Dok. Celana sebelah kiri juga jadi lebih pendek. Kalau bukan karena skoliosis, jadi karena apa dong?

Terima kasih sekali lagi. Dijawab ya, Dok.

Berikut balasan dari dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine pada 28 Juni 2010.

Nah, bagaimana saya tahu kalau senam aerobik "aman" untuk saya? Bagaimana saya tahu kalau kegiatan2 saya tidak akan menambah kurva menjadi lebih besar? Masa saya harus coba2? Apa rekomendasi dokter: terus senam atau sebaiknya berhenti saja (mana yang lebih baik)?
===> Ya.. saya merekomendasikan Anda tetap beraktifitas spt biasa jadi lakukanlah senam dst spt yang sekarang anda kerjakan. Dan jangan lupa Anda harus mengevaluasi skoliosis anda setiap 6 bulan. Bila dari evaluasi ada penambahan yang signifikan maka disinilah kita mulai berfikir untuk melakukan pilihan apakah akan mengubah kegiatan dst. Seharusnya sikap ini tidak menjadi beban buat Anda.

Keluhan saya berupa pegal dan nyeri punggung sebelah kanan, Dok. Celana sebelah kiri juga jadi lebih pendek. Kalau bukan karena skoliosis, jadi karena apa dong?
===> untuk menjawab ini perlu pemeriksaan yang teliti. Pegal dan nyeri dipunggung dst... masih bisa disebabkan oleh yang lain misalnya infeksi, peradangan non infeksi, penyakit degeneratif dsb. Perlu pemeriksaan yang teliti mengenai ini. Faktor lain yang perlu dicermati adalah kadangkala diagnosis yang tidak akurat dst.

mudah2an bisa mencerahkan Anda

Rahyussalim

Friday, June 25, 2010

Konsultasi dengan dr. Husodo Dewo Adi, SpOT, K-Spine: My Third Opinion

Dalam rangka mencari opini lanjutan dari sebanyak-banyak ahli tentang skoliosisku, pada 22 Juni 2010 aku berangkat ke RS Halmahera untuk berkonsultasi dengan dr. Husodo Dewo Adi, SpOT, K-Spine. Beliau ini seorang ahli medis mengenai tulang belakang di Bandung yang direkomendasikan oleh seorang teman.

Aku tak tahu kalau pendaftaran bisa dilakukan lewat telepon. Alhasil ketika aku sampai pukul 17.15, aku mendapat nomer antrian 8 padahal praktek baru saja dimulai. Sambil menunggu dipanggil, aku memperhatikan pasien-pasien yang datang. Durasi mereka berada di dalam ruang praktek rata-rata memakan waktu cukup lama. Aku berharap hal ini berarti dokternya memberikan waktu sebanyak-banyaknya untuk observasi pasien dan berkenan memberikan waktu tanya-jawab yang memuaskan.

Setelah menunggu hampir dua jam, pukul 19.10 aku dipanggil. Dugaanku tak meleset. Dari pengamatan sepintas ketika dr. Husodo Dewo Adi, SpOT, K-Spine mengantar pasien-sebelumku ke pintu, aku langsung tahu bahwa beliau betul-betul enak dijadikan tempat berkonsultasi.

Dengan ramah beliau menyambut diriku yang langsung mengangsurkan hasil rontgen sambil berkata, “Apa yang bisa Dokter ceritakan dari hasil rontgen ini?”

Dengan detil beliau menjelaskan foto-foto itu sambil memberiku kesempatan bertanya. Ketika beliau merasa sudah cukup menjelaskan dan memasukkan kembali foto-foto itu ke dalam amplopnya, kemudian demi melihatku yang masih terus menanyakan beberapa pertanyaan lanjutan, dengan rela beliau mengeluarkan foto-foto dan kembali menjelaskan. Ah, baiknya. Penjelasan yang sangat simpatik.

Terlepas dari pribadi sang dokter yang menyenangkan, berikut ini kesimpulan yang kudapatkan dari sesi konsultasi ini.
  • Senada dengan dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine, pada dasarnya beliau mengatakan bahwa derajat skoliosisku masih ringan dan tidak perlu membatasi gerakan. “Semuanya normal, hanya ada sedikit lengkungan,” begitu kata beliau.
  • Tulang dan persendianku bagus, alhamdulillah.
  • Mendekati umur tiga puluh tahun, mungkin elastisitas otot di area tulang belakang agak berkurang. Ditambah dengan persendian tulang belakang yang sering berbenturan akibat gerakan senam yang rutin, bisa menyebabkan pegal di daerah punggung. Untuk itu beliau menyarankan aku mengurangi frekuensi senam aerobik dan menambah frekuensi berenang dan senam fisioterapi.
  • Aku masih boleh senam aerobik (“Kenapa tidak?” kata beliau) tetapi harus diimbangi dengan berenang dan senam fisioterapi, plus mencoba olahraga lain (misal: jogging, voli) agar olah tubuhku tidak melulu senam aerobik.
  • Senada dengan dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine lagi, boleh-boleh saja aku melakukan yoga karena itu sesungguhnya untuk melatih teknik pernapasan dan boleh-boleh saja aku mencoba chiropractic karena itu sesungguhnya hanya terapi untuk meredakan keluhan nyeri punggung.
  • Tas ransel lebih baik daripada tas selempang atau tas wanita yang kebanyakan disandang hanya di sebelah tubuh.
  • Aku harus datang dua bulan lagi untuk kontrol.

Tak terasa hampir lima belas menit aku di dalam. Beginilah sikap dokter yang aku cari: komunikatif, bersedia menjelaskan dengan baik, membuka diri untuk segala pertanyaan, dan memberi kesempatan untuk bertanya sebanyak-banyaknya—sampai-sampai aku kehabisan pertanyaan, hehehe.

Ternyata beliau kenal dengan dr. F (baca di sini), dan mengatakan memang ada sedikit beda pandangan dengan dr. F mengenai apakah aku masih boleh senam aerobik atau tidak. Yah, untunglah sejauh ini dua dari tiga dokter yang kutanyai mengatakan aku masih boleh senam. Jadi, aku akan terus senam, alhamdulillah. Yes, I’m back on stage!

Benang merah dari ketiga dokter itu adalah: bahwa aku harus melakukan evaluasi berkala untuk mengetahui progresivitas kurva kelengkungan tulang belakangku pada masa-masa selanjutnya. Memang harus disadari, penyakit ini bukan sekedar penyakit seperti flu, melainkan suatu kelainan yang melekat seumur hidup. Menjadikan tulang belakangku kembali lurus adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin. Yang bisa dilakukan hanyalah menjaganya supaya tidak bertambah lengkung lagi. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Korespondensi dengan dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine: My Second Opinion

stress tidak akan memperbaiki keadaan skoliosis bahkan menambah beban. (tulis dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine di sini)

Setelah bergabung dengan Masyarakat Skoliosis Indonesia dan googling tentang skoliosis, aku menemukan nama dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine, seorang ahli medis mengenai tulang belakang di Jakarta.

Menurut kesaksian Nilvia Hakim, pasien yang pernah dioperasinya, beliau merupakan seorang dokter yang responsif, komunikatif, dan mampu membuat analogi sederhana tentang penanganan skoliosis yang terasa asing. Pertemuan pertama Nilvia yang berlangsung kurang lebih satu jam dihabiskan dengan sesi tanya-jawab untuk lebih memahami apa tujuan dilakukannya operasi sebagai sebuah bentuk koreksi skoliosis. Aku sangat sepakat dengan tulisan Nilvia bahwa pasien harus “pintar” dan sebaiknya mengenal terlebih dahulu dokter yang akan menangani sang pasien sehingga tercipta rasa nyaman dan kepercayaan yang berkesinambungan.

Berdasar kesaksian tersebut, aku berpikir bahwa mungkin saja aku bisa menanyakan skoliosisku kepada dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine. Maka pada 14 Juni 2010, aku mengirim e-mail di bawah ini lewat akun Multiply.

Salam,
saya seorang penderita skoliosis ringan dengan angulus 14 derajat ke kanan pada lumbal spine. Ingin bertanya-tanya sedikit pada dr. Salim, karena saya tidak berhasil memperoleh pencerahan dari dokter ortopedi yang saya temui.

Saya sudah merasa sering pegal bertahun-tahun lalu (mungkin ada 10 tahun), tapi baru periksa minggu lalu dan disarankan rontgen sampai akhirnya ketahuan bahwa saya skoliosis ringan. Dokter yang saya temui sama sekali tidak simpatik dan tidak memberikan saya kesempatan untuk banyak bertanya dan konsultasi.

Dia cuma menyarankan saya untuk berenang dan tidak mengangkat yang berat-berat. Saya juga tidak diperbolehkan lagi senam aerobik meskipun cuma low impact (FYI selama 5 tahun ini saya rutin senam 2-3 kali seminggu). Dokter juga bilang bahwa yoga atau chiropractic tidak perlu dilakukan karena "tidak akan ngaruh" (saya sempat baca postingan dari bung Erikar tentang Iyengar Yoga untuk skolioser di board MSI). Yang ingin saya tanyakan:

1. Apakah derajat yang baru 14 derajat masih bisa dikoreksi?
2. Apakah mungkin menjadi lurus kembali? (menurut bung Erikar kan bisa)
3. Apa yang sebaiknya saya lakukan dan apa yang sebaiknya tidak saya lakukan?
4. Apa betul saya tidak boleh senam aerobik lagi?
5. Apa betul yoga dan chiropractic tidak akan berpengaruh?
6. Apakah saya hanya bisa diam saja? Tidak adakah terapi atau olahraga yang bisa saya lakukan (selain renang)?

Sementara ini dulu ya, dr. Salim yang baik. Saya sangat mohon pencerahannya.

Alhamdulillah, pada 18 Juni 2010, dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine membalas e-mail-ku.

yustika15 yth,
Saya coba jawab langsung dibawah pertanyaan.

1. Apakah derajat yang baru 14 derajat masih bisa dikoreksi?
===> Tergantung umur, kekakuan, dan kepentingannya. Maksud saya kepentingannya adalah seberapa penting kita perlu membuat kurva yang 14 derajat menjadi nol derajat. Literatur mengatakan kurva 14 derajat seharusnya tidak memberikan keluhan apapun. Bila ditemukan adanya keluhan maka keluhan itu dipastikan bukan karena skoliosisnya.

2. Apakah mungkin menjadi lurus kembali? (menurut bung Erikar kan bisa)
===>Pasti dong, tapi yang pasti tidak oleh yoga atau tindakan manipulasi non operatif lainnya. Ingin saya katakan adalah kurva kecil kadangkala bisa kembali lurus (0 derajat) oleh mekanisme yang dibangun oleh tubuh sendiri. Atau bisa juga tindakan operasi, itupun tidak ada ahli bedah yang mau melakukan operasi untuk mengoreksi skoliosis dengan kurva 14 derajat. Lagian Erikar ngerti nggak sih apa itu skoliosis??? Jangan2 pengertian skoliosis yang dipahami oleh dunia kedokteran berbeda dengan pemahaman dia. Saya kira ini perlu dipertegas dulu. Saya bisa pastikan bahwa pengertian saya mengenai skoliosis berbeda dengan pemahaman oleh teman saya yang juga ahli orthopaedi tapi tidak mendalami masalah tulang belakang (skoliosis) apatah lagi seorang irekar yang tidak belajar ilmu kedokteran sama sekali.

3. Apa yang sebaiknya saya lakukan dan apa yang sebaiknya tidak saya lakukan?
===>untuk skoliosis yang 14 derajat sebaiknya wait and see saja. Anda cukup bersikap se normal mungkin dan melakukan evaluasi 6 bulanan untuk melihat progresifitas kurva sehingga anda tau kapan waktu yang paling ideal dilakukan intervensi.

4. Apa betul saya tidak boleh senam aerobik lagi?
===>Skoliosis pada kurva14 derajat silakan saja. Bahkan kalau Anda juga seorang atlit penerjun payung sekalipun, saya rasa tidak ada alasan untuk menghentikan kegiatan tersebut. Asal Anda tau bahwa potensi penambahan kurva akan lebih besar bila Anda tidak melakukan aktifitas tsb diatas.

5. Apa betul yoga dan chiropractic tidak akan berpengaruh?
===>untuk koreksi ya. Tapi untuk kenyamanan dan kebugaran boleh2 saja. Chiropractic sesungguhnya hanyalah pijat, pijit, urut saja.

6. Apakah saya hanya bisa diam saja? Tidak adakah terapi atau olahraga yang bisa saya lakukan (selain renang)?
===> ah... enggak. Lakukanlah aktifitas sesuai keinginan Anda tidak perlu membatasi gerakan, namun yang penting Anda tau bahwa Anda perlu mengevaluasi penambahan kurva paling tidak 6 bulan atau setahun sekali.

Demikian mudah2an bisa menjawab Anda.

Rahyussalim

Langsung plong hatiku membaca e-mail ini. Artinya aku masih bisa senam aerobik lagi :D

Tapi aku juga tidak mau gegabah. Aku masih akan mencari opini lagi dari dokter lain.

Satu hal yang sangat penting yang aku pelajari dari dr. Rahyussalim, SpOT, K-Spine adalah tentang sikap mental bahwa tidak ada gunanya menjadi stress karena skoliosis. Sarannya tentang berusaha hidup senormal mungkin, senyaman mungkin, serta melakukan aktivitas sesuai keinginan dan tidak perlu membatasi gerakan, cukup membuatku percaya diri lagi untuk menjalani hari. Yah, meskipun harus dibarengi dengan evaluasi progresivitas kurva paling tidak enam bulan atau setahun sekali, aku rasa itu sepadan.

My Lovely Scoli


Seperti yang aku tulis di tulisanku sebelumnya, aku menderita skoliosis thorakolumbal dengan angulus 14 derajat ke kiri. Disebut thorakolumbal karena areanya terdapat pada thoracic spine dan lumbar spine (baca keterangannya di sini). Informasi ini kudapat setelah membaca surat dari dokter spesialis radiologi yang menganalisa foto rontgen-ku.


Pada gambar di atas, sudut 14 derajat diukur dari ruas T11 sampai L3. Tapi kalau kulihat-lihat lagi, sebenarnya bentuk melengkungnya itu sudah dimulai dari ruas T9, terus memanjang sampai ruas L5 (huaaa, hiks hiks).

dr. F, dokter ortopedi yang memeriksaku pertama kali, bukan tipe dokter yang simpatik dan enak diajak diskusi atau konsultasi. Hanya melihat hasil rontgen selama satu detik, dia langsung memasukkan foto-foto itu kembali ke dalam amplopnya. Dia hanya menyarankanku untuk berenang dan meresepkan obat pereda nyeri punggung. Ketika kutanya apakah aku masih boleh senam aerobik, dia langsung melarang keras. Ketika aku bertanya lagi apakah aku perlu yoga, chiropractic atau adakah terapi lain yang bisa kulakukan, dia berkata bahwa semua itu tidak akan ada pengaruhnya.

Sambil terus melarang aku untuk senam aerobik, dia mengatakan beberapa kalimat seperti, “Senam nggak boleh karena ada loncatnya. Saya pernah jadi pelatih senam osteoporosis, jadi saya tahu.”, “Jangan angkat yang berat-berat.”, “Kamu mau saya bohongin dengan terapi macam-macam? Semua itu nggak akan ada pengaruhnya.”, “Chiropractic itu buat kaki, bukan buat kayak gini.”, “Emangnya kamu mau dioperasi? Operasi itu nggak enak.”, “Mau sakit apa mau sehat?”

Baru aku akan membuka mulut untuk bertanya lebih lanjut, pandangannya seolah berkata, “Mau nanya apa lagi?”. Cepat dia bilang, “No no no. Pokoknya berenang, berenang, berenang.”

Alih-alih mendapat kejelasan tentang skoliosis yang aku hadapi, aku malah mendapat serangan yang bertubi-tubi tentang tidak boleh melakukan ini-itu. FYI, selama lima tahun terakhir ini aku rutin melakukan senam aerobik 2-3 kali seminggu, sehingga kenyataan bahwa aku tidak boleh senam lagi cukup memukul kesadaranku. Bagaimana tidak sedih kalau hal itu sudah benar-benar menjadi bagian hidup? Tidak bermaksud lebay, tapi yes... it’s been a part of my life for years.

Gontai aku melangkah keluar dari ruangan dokter. Sambil menunggu resep di bagian farmasi, tanpa sadar air mata menitik. Shock karena membaca hasil rontgen lima hari sebelumnya bertambah dengan shock hari itu karena pernyataan dokter yang—menurutku—keras.

Shock ini lebih kepada kesadaran tentang: ya Allah, ternyata aku cacat. Aku tidak bisa berbuat ini-itu akibat kelainan tulang belakang ini. Tapi untungnya shock ini cuma bertahan beberapa hari. Aku bertekad: oke, kalau memang aku ditakdirkan dengan kelainan ini, lalu apa yang bisa kuperbuat?

Pada kelas senam aerobik hari berikutnya, sambil melaraskan diri dengan irama yang berdentam, aku berpikir dengan hati basah: ya Allah, olahraga yang sedemikian menyenangkannya seperti ini... mengapa aku sampai tidak boleh melakukannya? Sore itu aku bertekad: aku akan mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang skoliosis, kalau perlu akan menuliskannya di blog untuk berbagi informasi bagi sebanyak-banyak orang yang mungkin bisa merasakan manfaatnya, serta akan mencari opini lanjutan dari sebanyak-banyak ahli tentang skoliosisku ini. Aku bertekad: I’ll do anything to keep moving. Bismillah...

Skoliosis [2]: Penanganan

Penanganan Medis

Meskipun tidak harus dilakukan, skoliosis yang parah sebaiknya dioperasi, demikian menurut dr. Luthfi Gatam, SpOT. dr. Michael Cornish juga menegaskan bahwa operasi merupakan usaha terakhir. “Perawatan-perawatan lain harus dicoba terlebih dulu. Jika kondisinya terus memburuk hingga tahap sangat serius (membahayakan jiwa penderita), maka perlu dipertimbangkan untuk dioperasi,” tutur dr. Michael.

dr. Luthfi Gatam, SpOT. mengatakan, jika baru pada tahap 20 derajat (disebut Cobb angle), hanya akan dilakukan observasi saja. Tahap 20 sampai 40 derajat dianjurkan mengenakan brace, sedangkan lebih dari 40 derajat perlu dilakukan operasi. Namun, operasi tulang punggung kemungkinan besar menimbulkan rasa takut pada pasien semua usia. Apalagi bila dikatakan bahwa penyembuhannya perlu 5-7 hari, sedangkan reda rasa sakit pasca operasi membutuhkan waktu lebih lama lagi. Masih ditambah dengan adanya bekas operasi berupa bekas luka yang memanjang.

Penanganan Lain

Menurut penelitian para ahli sejauh ini, selain penanganan medis, penanganan lain seperti stimulasi elektrik, manipulasi chiropractic, dan terapi fisik cukup efektif. Seorang skolioser bernama Prita tetap menjalani terapi chiropractic dan latihan tertentu yang diberikan oleh chiropractor-nya, meski keadaannya telah membaik. “Agar skoliosis saya tidak bertambah parah,” ujarnya. Skolioser lain bernama Astrid merasakan kemajuan yang sangat nyata setelah mengikuti paket perawatan sejak dini di klinik chiropractic. Sementara Ade Rose mengikuti latihan yoga. “Setiap hari saya melakukan yoga, ibarat minum obat,” kata ibu satu anak ini. Dengan dipandu Ann Baros, seorang master yoga Iyengar, gerakan-gerakan yoga yang dilakukan Ade semakin tepat. “Kini kondisi saya sudah stabil, normal.” Olah tubuh dengan gerakan tertentu yang sesuai kemampuan fisik, bisa membuat kondisi tubuh penderita lebih nyaman.

Berikut ini beberapa penanganan skoliosis yang melibatkan olah tubuh.

Chiropractic

Seorang chiropractor percaya bahwa tubuh memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Penanganan yang dilakukan chiropractor bersifat memberdayakan tubuh agar kembali memiliki mekanisme dan sistem tubuh yang baik. Demikian pendapat dr. Tinah Tan.

Menghadapi pasien skoliosis, chiropractor akan melakukan pemeriksaan dengan mempelajari postur tubuh pasien (examine posture), mengamati pergerakan tubuh (motion palpation), dan memeriksa ototnya (static palpation). Pasien diminta membuat foto X-ray untuk memastikan kondisi kurva tulang belakangnya. Jika ditemukan adanya masalah, akan dilakukan koreksi (adjustment) dan terapi, atau perawatan (treatment). Pasien juga diminta melakukan latihan tertentu (exercise) dan olahraga yang disarankan.

Olahraga yang disarankan untuk pasien skoliosis antara lain berenang gaya bebas, jogging, yoga, pilates, dan taichi. “Yang penting teknik dari olah tubuh yang dilakukan harus benar,” ujar dr. Tinah Tan.

Yoga

Gerakan yoga untuk pasien skoliosis ditujukan untuk mengoreksi dengan cara menarik dan mengarahkan tulang belakang secara tepat, ke depan, samping kiri, dan samping kanan. Demikian menurut Ann Barros, guru yoga asal Santa Cruz, Amerika Serikat, yang sejak kecil menderita skoliosis bawaan. Lebih dari 30 tahun ia mengajar yoga Iyengar. Gerakan ditujukan untuk menarik dan mengembalikan tulang belakang pada posisinya yang alami. “Bukan lurus melainkan ada lengkungannya,” ujarnya.

Jadi, dalam menentukan terapi pasien skoliosis, Ann Barros tidak bisa menerapkan sembarang gerakan yoga, tetapi harus mengobservasi pasien terlebih dulu dengan melihat hasil X-ray untuk mengetahui derajat keparahannya. “Ada kalanya saya harus membahasnya dengan seorang ahli tulang belakang,” tutur Ann yang awal Agustus lalu datang ke Jakarta atas undangan Jakarta Do Yoga.

Dalam memandu gerakan pun Ann tidak memaksa, karena semua gerakan merupakan bagian dari observasi. Dari keterbatasan gerak yang dilakukan pasien, sedikit demi sedikit Ann bisa menentukan ketepatan gerak serta alat bantu terapi bagi pasien.

Menurut Elise B. Miller, ahli yoga, dalam tulisannya di situs Yoga for Teens with Scoliosis, latihan gerakan yoga (asana) ditujukan untuk memperbaiki postur dan meningkatkan kelenturan dan kekuatan otot, dengan cara menarik dan memperkuat otot-otot yang menunjang tulang belakang. Posisi Adho Mukha Svanasana dan Urdhva Mukha Svanasana baik untuk membentuk dan memperbaiki lengkungan dan rotasi tulang belakang. Sedangkan Bharadvajasana untuk memperkuat kaki sebagai penyangga tulang belakang.

Pilates

Ada enam prinsip dalam pilates yang efektif membantu penderita skoliosis, yaitu concentration, control, centering, precision, flow of movement, dan correct breathing technique. Demikian tutur Nancy Wuisan dari Pilates Bodymotion, Bimasena Club, The Dharmawangsa Jakarta.

Concentration artinya setiap gerakan dan hitungan dalam pilates harus dilakukan dengan penuh konsentrasi. Control artinya setiap gerakan harus terkontrol oleh pikiran, jadi bukan pikiran yang dikontrol oleh tubuh. Centering artinya perhatian harus terpusat pada tujuan berlatih pilates, misalnya tujuannya untuk meringankan skoliosis. Precision, setiap gerakan harus dilakukan dengan perhitungan yang tepat, misalnya kalau harus mengangkat kaki setinggi 90 derajat ya harus tepat 90 derajat. Flow of movement berarti gerakan yang dilakukan harus urut dan berkesinambungan, menggunakan napas yang benar yaitu pernapasan perut. Pernapasan perut dapat mendorong tulang belakang bersama otot-ototnya kembali berfungsi secara seimbang.

“Dengan gabungan dari enam prinsip dasar tersebut, tulang akan membantu mengoreksi skoliosis,” tutur Nancy. Postur tubuh dan pernapasan yang benar, otot yang elastis, akan membuat organ tubuh termasuk tulang belakang kembali berfungsi dengan baik. “Pilates dengan bantuan alat-alat berusaha menyeimbangkan otot-otot, melenturkan otot yang meregang, dan membuat persendian menjadi lebih sehat. Latihan diberikan setahap demi setahap sesuai kemampuan pasien, karena tidak semua gerakan cocok untuk semua pasien skoliosis. Dari gerakan-gerakan awal, bisa diketahui tingkat keparahan pasien. Dengan demikian dirancanglah sebuah program untuk mengatasi masalah yang dideritanya.”

Meskipun kini banyak beredar buku dan VCD tentang pilates, namun Nancy Wuisan tidak menganjurkan penderita belajar sendiri. “Setiap pasien memiliki kebutuhan yang berbeda. Pilates yang dicontohkan dalam buku dan VCD sifatnya umum. Untuk menghindari cedera atau semakin parahnya skoliosis, sebaiknya latihan dilakukan di bawah pengawasan ahlinya,” tutur Nancy.

Kesimpulan

Secara garis besar, seperti yang aku baca di blog dr. Rahyussalim, SpOT., terapi skoliosis ini terdiri atas 3 macam:
  1. Olah tubuh (berenang, yoga, pilates)
  2. Pemasangan brace
  3. Operasi

Tidak ada yang berani mengatakan bahwa berenang dapat memberikan dampak koreksi pada skoliosis, apalagi menyembuhkan skoliosis itu sendiri. Berenang diyakini hanya mampu memperlambat progresivitas skoliosis.

Sementara operasi merupakan jalan terakhir yang dilakukan setelah upaya olah tubuh tidak berhasil atau memang karena perlu dilakukan penanganan yang cepat, sebab derajat kemiringannya sangat besar dan dapat membahayakan organ-organ tubuh lainnya, misalnya jantung atau paru-paru.

Yang perlu diingat, langkah penting yang harus disadari adalah mengetahui detil skoliosis itu sendiri sebelum melakukan apapun tindakan pengobatannya. Dan untuk mengetahui ini tentunya harus pada orang yang mengerti, konsern, dan ahli, karena setiap kasus skoliosis adalah unik dan berbeda antara satu skolioser dengan yang lainnya.

Sumber:

Skoliosis [1]: Definisi dan Penyebab

Dua pekan yang lalu, 10 Juni 2010, aku mengambil hasil rontgen di bagian radiologi rumah sakit St. Borromeus. Rontgen ini atas rujukan dokter ortopedi di rumah sakit yang sama ketika aku berkunjung untuk konsultasi dua hari sebelumnya. Setelah membaca hasil rontgen, aku tertegun dan sedikit shock. Mengapa? Ternyata aku menderita skoliosis, Saudara-saudara!

Mengenal Susunan Tulang Belakang Manusia

Sebelum mengenal lebih jauh mengenai skoliosis, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu struktur tulang belakang manusia. Seperti halnya kasus skoliosis dengan segala keunikannya, tulang belakang manusia pun merupakan struktur yang unik dan kompleks. Gambar di bawah ini dapat menjelaskan susunan tulang belakang manusia.


Tulang belakang di bagian leher atau istilah medisnya “Cervical Spine”, terdiri dari 7 ruas yang dalam dunia kedokteran diberi label C1 sampai dengan C7 (Cervical 1 sampai dengan Cervical 7). Seperti terlihat di gambar, C1 jaraknya terdekat dengan tengkorak, sementara C7 terdekat dengan dada. Dokter biasanya menyebut “servikal”.

Tulang belakang di bagian punggung atau istilah medisnya “Thoracic Spine”, terdiri dari 12 ruas yang dalam dunia kedokteran diberi label T1 sampai dengan T12. Sering mendengar dokter menyebutnya dengan istilah “Torakal”. Torakal ini terhubung ke tulang rusuk sehingga bagian tulang belakang ini relatif kaku dan stabil. Pergerakan Torakal tidak sedinamis pergerakan di bagian lain dari tulang belakang manusia.

Tulang belakang di bagian pinggang atau istilah medisnya “Lumbar Spine”. Terdiri dari 5 ruas yang dalam dunia kedokteran diberi label L1 sampai dengan L5 (Lumbar 1 sampai dengan Lumbar 5). Lumbar merupakan bagian tulang belakang yang memiliki penampang terluas dan terkuat sehingga mampu menumpu berat badan manusia.

Selanjutnya adalah Sacrum dan Coccyx. Sakrum yang merupakan bagian dari panggul (pinggul) terdiri dari 5 ruas tulang dan biasanya menyatu pada usia dewasa untuk membentuk satu tulang, sedangkan Coccyx atau yang dikenal dengan tulang ekor memiliki 4 ruas tulang (terkadang 5 ruas) yang juga menyatu membentuk satu tulang.


Pada dasarnya, tulang belakang yang normal memiliki kurva (kelengkungan pada tulang belakang) - seperti gambar di atas, bagian tengah. Jika dilihat dari sisi (tampak samping), akan terlihat bahwa ada kurva keluar (cekung) di bagian tulang belakang leher (cervical spine), kemudian turun ke torakal akan terdapat kembali kurva yang melengkung ke dalam (cembung), dan kurva yang keluar lagi di bagian lumbar.

Pada susunan tulang belakang yang normal, jika dilihat dari depan atau dari belakang kelengkungan kurva tersebut seharusnya tidak tampak dan hanya tegak lurus saja seperti gambar pada sisi kiri dan kanan di atas.

Nah, pada kasus skoliosis kemiringan kurva yang terjadi, melengkung ke arah yang tidak seharusnya (salah), sehingga terjadilah Skoliosis (bisa membentuk kelengkungan tulang belakang yang menyerupai huruf “S” atau huruf “C”).

Apa Itu Skoliosis?

Skoliosis adalah kelainan bentuk tulang belakang yang ditandai melengkungnya tulang belakang ke arah samping (lateral curvature of the spine). Kata skoliosis berasal dari bahasa Yunani scolios yang artinya bengkok atau berputar. Kelainan tulang punggung ini tampak jika dilihat dari belakang.

Jika dilihat dari belakang, tulang punggung yang normal berbentuk garis lurus dari leher sampai ke tulang ekor. Sedangkan pada penderita skoliosis, akan tampak adanya satu atau lebih lengkungan ke samping yang tidak wajar pada punggung.

Seseorang didiagnosa skoliosis jika ditemukan dua macam kelainan pada tulang belakangnya, yaitu:
  1. Lateral curvature: terjadi jika tulang belakang bengkok. Ini bisa dilihat dari belakang ketika penderita pada posisi berdiri dengan tubuh dibungkukkan 90 derajat ke depan. Jika tulang tampak seperti huruf S, bentuknya menyimpang, punggung tidak sama tinggi atau ada tonjolan, berarti skoliosis.
  2. Rotation: terjadi jika ada sendi tulang belakang yang terputar. Kadarnya hanya sedikit, namun selalu ada pada setiap gejala skoliosis. Aspek ini menyebabkan tulang belakang berbentuk berliku. Penyimpangan kurang dari 10 derajat dianggap masih normal.

Apa Penyebab Skoliosis?

dr. Michael Cornish, chiropractor lulusan RMIT, Melbourne, Australia, yang berpraktik di klinik chiropractic di Indonesia, mengatakan, “Secara keilmuan, penyebab skoliosis tidak diketahui. Namun, secara spekulatif, saya menduga salah satu penyebabnya adalah pola makan yang salah dan postur tubuh yang kurang baik.”

Senada dengan pernyataan tersebut, dr. Tinah Tan, chiropractor dari Citylife Chiropractic, mengatakan bahwa kekurangan asam folat pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko sambungan spina tulang belakang pada bayi yang dikandung menjadi tidak sempurna (cacat spina bifida). Keadaan ini dapat memicu skoliosis.

Sedangkan menurut dr. Luthfi Gatam, SpOT., spesialis ortopedi & traumatologi dari RS Fatmawati, bahwa 80% skoliosis tidak diketahui penyebabnya. Ini disebut idiopathic scoliosis. Kata idiopathic menunjukkan bahwa penyebabnya tidak diketahui. Usia penderita bisa di bawah 3 tahun sampai di atas 19 tahun. Literatur terbaru sekalipun masih mengatakan bahwa penyebab patofisiologi terjadinya skoliosis idiopatik belum diketahui. Sekitar tahun 1998 terdapat teori yang mengaitkan patofisiologi ini dengan hormon melatonin. Terdapat dugaan yang kuat bahwa skoliosis ini banyak dipengaruhi oleh sistem hormonal reproduksi (adrenal, hipofisis, ovarium, dsb.) dengan melihat kenyataan bahwa penderita memang pada umumnya wanita dan organ reproduksi yang dimiliki wanita tidak dimiliki oleh kaum pria (demikian sebaliknya).

Banyak literatur tidak menyebutkan skoliosis idiopatik sebagai penyakit keturunan. Namun, seorang wanita yang memiliki saudara yang menderita skoliosis dikatakan memiliki peluang yang besar untuk mengalami skoliosis.

Ada juga skoliosis yang diketahui penyebabnya, yaitu dikategorikan sebagai congenital scoliosis atau kelainan bawaan. Ini disebabkan oleh perkembangan tulang belakang yang tumbuh abnormal. Termasuk kelompok ini adalah sindrom kerdil (osteochondrodystrophy). Contoh-contoh tersebut termasuk kategori skoliosis struktural.

Ada pula skoliosis non-struktural yang disebabkan adanya masalah dengan bagian tubuh lain. Misalnya kaki yang tidak sama panjang, sehingga terjadi lengkungan abnormal pada tulang belakang. Kejang otot dan radang otot juga bisa menimbulkan kelainan tulang belakang. Jika penyebab skoliosis didiagnosa non-struktural, penanganannya bukan reposisi tulang belakang melainkan reposisi bagian tubuh yang menyebabkan skoliosis tersebut.

Akibat dari Skoliosis

Kasus skoliosis memerlukan pemeriksaan atau check-up pada waktu-waktu tertentu secara reguler. Kondisi tulang belakang yang tidak sempurna akan menyebabkan fungsi organ yang ada di dalam tubuh menjadi terganggu. Contohnya, skoliosis bisa menghambat pergerakan rusuk dan volume paru-paru (pulmonary hipertention) sehingga penderita sering sulit bernapas (sesak napas).

Penderita skoliosis juga lebih mudah terkena osteoartritis akibat pergerakan sendi yang terhambat pada satu sisi. Selain itu, skoliosis juga menyebabkan kelelahan tulang dan sendi, sehingga penderitanya sering merasakan nyeri, sakit kepala, kaku otot, atau pegal punggung.

Beberapa penderita bisa mengalami gejala kesemutan dan kejang kaki ketika hamil. Ada indikasi bahwa skoliosis yang parah bisa menyulitkan proses persalinan. Namun, tulis dr. Rahyussalim, SpOT. dalam blog-nya, sejauh ini skoliosis tidak mempengaruhi kehamilan dan melahirkan, justru sebaliknya kehamilan akan memperburuk kondisi skoliosis (kurva makin besar, progresnya juga bertambah).

Skoliosis bisa diderita setiap orang, namun lebih banyak diderita wanita. “Di klinik saya perbandingannya 10:1,” ujar dr. Michael Cornish. Sedangkan di RS Fatmawati rasionya 9:1. “Sampai sekarang masih merupakan misteri, kenapa wanita lebih banyak menderita skoliosis dibanding pria,” kata dr. Luthfi Gatam, SpOT.

Sumber: