Monday, April 06, 2009

Indah Pada Waktunya

Dalam hidupku, beberapa kali aku melihat rumput tetangga tampak lebih hijau. Dulu ketika aku nggak lulus-lulus kuliah, aku sering mengeluh pada-Nya... bahwa hidupku tak semulus hidup orang lain. Kenapa si anu sudah begini, kenapa si anu sudah begitu, kapan datangnya waktuku, dan masih banyak lagi.

Saat ini, melihat kembali perjalanan hidupku, aku jadi malu sendiri. Memang skenario-Nya yang terbaik, menjadikan segala sesuatu dalam hidupku indah pada waktunya. Tidak terlalu lambat, juga tidak terlalu cepat. Melainkan tepat pada waktunya.

So, here are some milestones of mine:


2006

  • Lulus kuliah

2007

  • Beli rumah (sama calon suami waktu itu)
  • Nikah

2008

  • Dapat kerja
  • Hanif lahir

2009

  • SK PNS turun


Alhamdulillah. Syukur tak terkira atas segala nikmat-Nya. Resolusi dan milestone lain menyusul ya ;)

Manisnya Berbagi

Satu hal yang amat kukagumi dari suamiku adalah kemurahan hatinya. Dibesarkan dalam keluarga yang mengerti benar tentang arti kesederhanaan, ia tidak lantas bersikap eman terhadap miliknya. Suka sekali ia memberi, terutama terhadap orang-orang yang memang layak menerima.

Sore itu, kami termangu di lobi BIP, memandangi hujan yang turun dengan lebatnya. Parkir motor ada di seberang jalan, dan kami sama sekali tidak membawa payung. Di pinggir jalan, cukup ramai orang menawarkan ojek payung.

”Kita nekat saja yuk. Kasihan Hanif nunggu di rumah. Kita ke motor pake ojek payung, sekalian ngasih rejeki,” kata suamiku seraya meraih payung yang dipegang ojek payung di depannya, yang adalah seorang anak kecil. Ya, anak kecil. Dari obrolan selintas lalu, dia baru kelas 3 SD. Suamiku memilihnya karena ia lebih layak menerima dibanding ojek-ojek payung yang lain, yang rata-rata lebih dewasa.

Di parkir motor, suamiku menyuruhku memberi anak itu lebih dari dua kali lipat tarif ojek payung yang normal. Terus terang kami lebih suka memberi dengan cara seperti ini daripada memberi kepada peminta-minta. Memberi dengan cara ini bagai memberi kail, bukan ikan. Memberi dengan cara ini mengajari orang berusaha, bukan meminta-minta. Dan tentu, memberi lebih daripada yang ia layak terima adalah kebahagiaan tersendiri.

Subhanallah, satu momen lagi dalam hidupku, aku diajari suamiku arti memberi. Binar mata dan ucapan terima kasih anak itu lebih dari cukup untuk membuat hatiku berdesir haru sore itu. Hmm, begini rasanya: bahagia karena memberi. Alhamdulillah masih diberi-Nya kesempatan untuk merasakan bahagia versi ini.

Liburan


Karena Maret lalu KTP, SIM, dan STNK-ku habis masa berlakunya dan perlu diperpanjang, aku dan suami mengambil cuti empat hari untuk pulang ke Solo. Agenda ini sudah direncanakan lama, dan kebetulan bertepatan dengan agenda piknik BIE—nama bidangku di kantor—ke Jogja dan sekitarnya.

Semenjak Hanif lahir, acara pulang kampung selalu riuh dengan barang bawaan. Maklum, kebutuhan bayi kan segambreng adanya. Mainan saja sampai satu kresek besar, belum lagi baju dan celana. Akhirnya setelah semua barang dipadatkan dalam mobil, kami harus merelakan carseat dan stroller-nya nggak dibawa. Nggak ada tempat :D

Perjalanan ke timur memakan waktu yang lama karena tersendat di daerah Majenang, seusai perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah. Di sana jalannya rusak dan ada satu ruas yang dipenuhi longsoran lumpur. Hmmphh, jalannya mobil jadi pelan sekali, terguncang-guncang nggak karuan. Sempat juga kena macet di beberapa titik, salah satunya Kebumen. Di perjalanan, kami mampir di RM Mergosari (di sini ayam gorengnya maknyuss tenan!) dan RM Candisari (kalau di sini yang maknyuss tumis daun pepayanya). Oya, sama beli es dawet Banyumas di saung pinggir sawah. Eksotis bener nuansanya :D

Makanan pertama yang kami santap setelah menjejakkan kaki di Solo malam minggu itu adalah nasi liwet Bu Wongso Lemu. Belakangan suami juga minta diantar cari tengkleng ke Warung Sate Mbok Galak, another Solo’s traditional food yang maknyuss. Oh ya, selama liburan ini tentu tak lupa pula kami membeli penganan favorit: srabi Notosuman yang manis gurih. Sayang nggak sempat berburu cabuk rambak euy, bikin kangen.

Cukup cerita tentang makanan, sekarang pengen cerita soal jalan-jalannya. Minggu, 8 April 2009, kami janjian sama teman-teman BIE untuk bertemu di Borobudur. Tepat ketika mulai jalan dari tempat parkir, hujan deras mengguyur. Uiii, terpaksa lari-larian mencari tempat berteduh, yang pada akhirnya berupa payung gede tempat orang jual tanaman. Setelah cukup lama berteduh dari hujan yang lebat itu, dan terpaksa merelakan diri terciprat-ciprat air hujan—karena satu payung gede itu diisi kami berenam (kasihan Hanif)—kami pun masuk ke dalam area candi. Sempat keliling sebentar dan bertemu teman-teman BIE, lalu kami pulang karena harus mengejar acara lamaran adik ipar malam harinya.

Hari-hari selanjutnya di Solo dihabiskan dengan tetek bengek memperpanjang KTP, SIM, dan STNK punyaku dan suamiku—kebetulan punya dia juga habis masa berlakunya. Tak lupa menyempatkan diri menjenguk Shasha—sepupuku yang lahir Januari lalu—untuk mengantarkan kado baby bouncer. Sempat pula jenguk Mbak Sur, pengasuh pertama Hanif *duh, pengen lagi sama beliau*.

Sabtu, 14 Maret, dengan terpaksa kami pulang ke Bandung. Kalau mau diturutin, pengennya berlama-lama di Solo. Sayangnya pekerjaan tak kenal kompromi, pun juga kulit sensitif Hanif. Jadi ceritanya, karena Hanif bujang Bandung tea... dia selalu berkeringat hebat tiap kali pulang ke Solo. Alhasil, kulitnya jadi merah-merah di sekujur punggung, dada, bahu, dan lengan. Merah-merah ini lalu jadi kasar dan menebal. Alhamdulillah mengelupas pelan-pelan ketika kembali ke Bandung, dan seminggu kemudian sudah sembuh berganti kulit baru.

Dalam perjalanan menuju Bandung ini, kami mampir ke Kebumen, kampung halaman Mbak Sari—pengasuh Hanif yang sekarang. Senangnya bisa bersilaturahim dengan keluarganya. Lalu malamnya sampai di Pangandaran dan segera mencari tempat menginap.

Acara menginap di Pangandaran ini memang sengaja direncanakan. Alasan suamiku, supaya Hanif tidak kelelahan karena kelamaan di jalan. Menjelang tengah malam, saat yang lain sudah terlelap, aku masih saja tak bisa tidur. Menunggu pergantian hari, mencoba merasakan sensasi merayakan hari lahir di tengah suara deburan ombak yang sayup-sayup kudengar dari kamar. Dan paginya, aku mendapat ucapan dan kecupan sayang dari Hanif dan suami. Ah senangnya :D

Ketika sinar mentari pagi menyapa Pangandaran, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di pantai. Melihat-lihat suasana sambil merasakan desir pasir di kaki, sekaligus sedikit bermain air. Hmmph, sulit membayangkan daerah yang indah ini hancur diterpa tsunami Juli 2006 lalu. Miris juga mendengar sekelumit kisah dari orang-orang yang sempat kami ajak berbincang. Alhamdulillah daerah ini kini telah ramai kembali.

Menjelang pukul 10, setelah berbelanja beberapa macam jenis ikan, kami meninggalkan Pangandaran. Kesampaian juga datang ke situ. Meskipun sebentar, paling tidak... meninggalkan kenangan yang sedikit berbeda tentang hari lahir yang diperingati di tengah debur ombak :D

Sooooo, liburan berakhir sudah. Balik lagi ke Bandung, balik lagi ke rutinitas kerja dan rutinitas meninggalkan Hanif di rumah. Seminggu penuh bareng Hanif dan ayahnya... sesuatu yang amat berharga dan jarang-jarang didapatkan. Liburan ini cukup menguras kantong, but it was all worth it.

Foto-foto lain ada di sini.