Wednesday, December 30, 2009

Resolusi Awal Tahun

Selama ini bisa dibilang aku tidak pernah benar-benar membuat resolusi awal tahun yang jelas. Kalau sekedar target global sih sering ya, tapi tidak untuk target-target yang spesifik harus begini atau begitu. Alih-alih membuat resolusi awal tahun, aku lebih suka melakukan evaluasi akhir tahun dan membuat daftar pencapaian atau milestone tahun yang sudah (atau akan) berlalu.

Minggu lalu, tepat dua pekan menjelang pergantian tahun, aku sakit cukup parah. Mungkin kelihatannya tidak begitu buat orang lain, tapi bagiku sakit itu sungguh menyiksa. Aku tak tahu sebenarnya aku sakit apa, sepertinya terkena infeksi virus—entah virus apa (orang sunda menyebutnya “tampak”). Gejalanya mirip campak jerman, didahului dengan demam tinggi lalu muncul bercak merah sekujur tubuh yang gatalnya minta ampun. Selama lima hari aku tak bisa tidur karena gatalnya benar-benar parah. Mana bisa tidur kalau seluruh kulit terasa gatal menyengat. Setelah gatal mereda, bercak merah menjadi bintil-bintil timbul yang membuat tangan, kaki, dan mukaku bengkak. Untungnya ada tanggal merah tahun baru hijriah dan natal, jadi aku sedikit tertolong tak perlu absen lama dari kantor, meskipun faktanya aku sakit hampir sepuluh hari.

Sampai saat aku menulis ini, kesehatanku belum pulih benar. Gatal dan virus memang sudah menyingkir. Namun seluruh kulit yang kemarin gatal-gatal itu, kini mengelupas dengan suksesnya, membuat kulitku keriput dan tampak putih-putih kelupasan di mana-mana. Aku juga masih sedikit lemas, jadi untuk sementara belum senam dulu—padahal sudah rinduuu dengan lantai senam itu hehehe…

Lalu apa kaitannya sakitku dengan resolusi awal tahun? Jadi begini, malam-malam yang kulalui dengan gelisah dan sedih karena tak bisa tidur saat sakit kemarin, membawaku pada dialog batin dengan-Nya. Betapa rasanya diri ini sedang dicubit-Nya, sedang diingatkan atas segala kenikmatan dan betapa diri ini tak pernah cukup bersyukur. Lalu dalam dialog itu aku membuat semacam janji pada-Nya dan pada diriku sendiri, untuk berusaha menjadi insan yang lebih baik… to be a better person. Apa dan bagaimana detil resolusi yang kunyatakan pada-Nya tak bisa kuceritakan di sini karena rasanya terlalu personal untuk diungkapkan. Yah, semacam dialog spiritual yang menghantam ego dan bermuara pada kesadaran untuk menjadi lebih baik, dalam segala aspek insya Allah.

Pergantian tahun sudah di depan mata. Kini aku siap dengan beberapa resolusi dalam catatanku, baik dalam peranku sebagai istri, bunda, maupun perempuan bekerja.

Belanja

Booo… gawat! Belakangan ini aku udah kayak emak-emak beneran *selama ini belum berasa emak-emak, hihihi*. Indikasinya adalah: suka banget belanja baju. Duh pusing, gimana bisa begini ya. Perasaan dulu semasa kuliah, aku suka bener belanja buku. Kok sekarang bawaannya laper mata kalau lihat baju-baju lucu, doohhh *tepuk jidat*.

Oniomania (from Greek onios = for sale, mania = insanity) is a medical term for the compulsive desire to shop. Oniomania is the technical term for the compulsive desire to shop, more commonly referred to as compulsive shopping, compulsive buying, shopping addiction or shopaholism. (dikutip dari sini)

Kalau kata Om Wiki, shopaholic atau bahasa medisnya oniomania, adalah satu dari sekian banyak mental disorder. Hii, ngeri. Memang nggak sampai taraf itu, tapi hobi baruku ini sudah merusak kantong dan merusak pikiran *hehe, lebay*. Lha bagaimana nggak merusak pikiran, yang terbayang cuma baju-baju dan sepatu nan lucu, huhuhu…

Berhubung aku sangat menjunjung tinggi perihidup berhemat *halah*, laper mata ini terpaksa ditahan-tahan khusus untuk belanja baju yang murah. Bisa karena harganya yang memang murah, bisa karena lagi dapat voucher gratisan, atau bisa karena harga lagi kena diskon, hohoho. Yang terakhir ini terutama berlaku untuk baju-baju branded seperti Omara dan Shafira.

Desember ini Shafira lagi ngadain diskon up to 70%. Dengan senang hati segera meluncur ke sana. Booo, yang namanya Shafira tuh ya, meskipun ada diskon tetep aja mahal! Alhasil cuma bisa puter-puter di rak tertentu, yang harga setelah diskon jatuhnya di bawah Rp 100 ribu, hehehe. Lumayan lah, ngeborong empat potong cuma keluar duit Rp 229 ribu. Dulu di Omara juga gitu, beli tiga potong cuma Rp 200 ribu. Mantap nggak tuh. Dan setelah dihitung-hitung, harga asli produk Shafira ini adalah Rp 1.166.000. Berarti dapat diskon Rp 937 ribu. Gile bener, banting harganya kenceng amat, hahaha *ketawa puasss*.

Berhubung masih laper mata, acara belanja di Shafira dilanjut dengan window shopping. Ckckck, baju kok ya ada yang harganya enam juta. Itu baju makainya gimana yak, fiuhhh… Ma kasih deh, nggak lagi-lagi ke sana kalau nggak ada diskon :D

Sekarang aku punya cara untuk menyalurkan hasrat laper mata yang terpendam ini, ihik ihik. Nanti deh ya, ceritanya bakal dilanjut lagi ;)